LOGINFelisha melangkah maju. "Tama, kau sudah tau efek sampingnya?" Nada bicaranya lebih seperti pernyataan. Dia terdiam sejenak mencerna sesuatu. "Kau sudah tau tentang itu, dan kau masih akan melakukan operasi ini?" suaranya bergetar, jarinya terangkat untuk mencengkeram kedua bahu Tama dengan begitu kuat.
Tama mengalihkan pandangan. Dia enggan menatap siapapun di ruangan itu. Mata kelamnya hanya tertuju pada dinding rumah sakit yang putih dan bisu. "Itu tidak akan berguna untukku," katanya datar tanpa adanya emosi sedikitpun yang ditunjukkan. Felisha tersentak. "Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan cinta," bisiknya lirih. “Ada.” Kali ini Tama menoleh. Tatapannya tajam. “Aku.” Dia melanjutkan dengan nada getir. “Aku bahkan membencinya. Dan aku masih tidak percaya aku berada di sini dan melakukan operasi sebentar lagi, hanya karena 'cinta' yang tidak aku punya dari awal." "Omong kosong." Felisha tertawa meski matanya tidak. Satu tangannya terangkat, mengusap sudut matanya yang basah. "Tanpa cinta, hanahaki tidak akan tumbuh! Sampai kapan kau menutupinya dan terus keras kepala?!" Bentaknya, napasnya mulai memberat. Tama mengatupkan rahang, giginya bergemelutuk menahan emosi. "Aku bahkan belum pernah merasakan cinta sampai enam belas tahun aku hidup. Bahkan cinta dari orang tuaku pun, aku tidak mendapatkannya. Lalu kau, yang hanya tahu tidak lebih dari dua puluh persen kehidupanku, berani bersikap seolah-olah mengerti segalanya tentangku.” Kalimat itu berakhir dengan membungkam semua suara. Tidak ada yang segera menyahut, sekalipun Felisha. Erwin mendekati gadis tersebut, membujuknya untuk melepaskan Tama. Felisha terdiam, wajahnya memucat, sementara jemarinya mengepal begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Dia mundur beberapa langkah, namun masih belum mau mengakhiri perdebatan mereka. "Tanpa cinta, apa alasan manusia untu hidup, Tama?" Felisha bertanya pelan. Keheningan membuat semuanya bisa mendengar apa yang dia ucapkan. Tidak mendengar jawaban apapun dari Tama, Felisha menarik napas panjang. "Tama, aku tidak ingin mencampuri hidupmu. Tapi aku hanya ingin memastikan, kau ingin menjalankan hidup tanpa cinta seumur hidupmu?" "Ya." "Baiklah. Aku harap kau tidak menyesali itu.” Felisha berbalik, langkahnya cepat. “Aku butuh udara segar.” Suaranya hilang bersamaan dengan pintu yang menutup di belakangnya. Erwin segera menyusul keluar. Kepergian mereka meninggalkan ruang inap itu dalam suasana berat dan tidak nyaman. Raisa menggigit bibirnya. Sejak tadi dia hanya diam, menyaksikan pertengkaran itu tanpa berani menengahi. Di lubuk hatinya, Raisa bertanya-tanya, kalau saja dia berada di posisi Tama, apa dia bisa memilih? Hidup tanpa cinta, atau mati karena cinta? Lamunan itu buyar ketika suara batuk keras terdengar. Tama terhuyung, menunduk sambil menekan dada. Suara batuknya memenuhi ruangan, dan kelopak bunga berwarna merah muda berjatuhan ke lantai. “Tama!” Aldo spontan bangkit, wajahnya panik. Dia mengambil tisu yang tersedia di nakas. Tama mengusap mulutnya, merasa lebih baik setiap kelopak bunga berhasil keluar. Tak lama kemudian, pintu terbuka kembali. Lily dengan rambut digerai muncul, langkahnya ragu ketika melihat wajah-wajah di dalam ruangan. “Ada apa dengan suasana ini? Kalian terlihat tegang.” *・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿ Erwin mengejar Felisha sampai mendapat teguran dari perawat untuk tidak berlari di koridor. Dia meminta maaf singkat, namun tidak mengurangi kecepatan langkahnya. "Felis!" panggilnya, tapi gadis itu terus melangkah tanpa menoleh. "Tunggu aku." Erwin berhasil meraih lengannya. "Apa?" "Kau mau ke mana?" tanya Erwin. Keningnya berkerut mendapati bawah mata Felisha lembab seperti habis menangis. Felisha terdiam sejenak, menunduk. "Jalan-jalan sebentar. Aku butuh udara segar," jawabnya. Mereka berdiri di lorong yang lengang, hanya terdengar suara langkah perawat dan bunyi roda ranjang pasien dari kejauhan. Erwin menatapnya lekat. "Aku tahu kau marah. Tapi menurutku itu bagus, Felis. Keputusan Tama adalah hal yang diinginkan semua orang terdekat pengidap hanahaki." Felisha menoleh cepat, matanya melebar. "Bagus? Bagaimana bisa kau menyebut keputusan gila itu 'bagus'?" Erwin menarik napas panjang, mencoba memilih kata. "Karena Tama memilih hidupnya. Sebagian besar penderita hanahaki lebih memilih mati ketimbang kehilangan cinta mereka. Mereka menolak operasi, seakan-akan cinta itu lebih berharga daripada nyawa. Tapi Tama tidak. Dia memilih bertahan, meski artinya menolak cinta seumur hidup." Felisha termenung. Bahunya turun. "Tapi hidup tanpa cinta, apakah itu bisa dibilang hidup?" Erwin tersenyum. "Yah, seperti yang dikatakan Tama. Dia sudah hidup seperti itu selama ini." Felisha memukul bahu Erwin dengan cemberut. "Kau tidak menenangkanku sama sekali." *・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿ Hanahaki. Kata itu menggema di pikirannya sejak dia diberitahu. Tama mengidap Hanahaki dan itu berarti seseorang telah mengakar dalam hatinya, meninggalkan luka yang hanya bisa sembuh dengan cinta yang setara. Tapi siapa? 'Itu tak mungkin aku', gumamnya dalam hati. 'Aku mencintainya, terlalu dalam dan terlalu lama, sampai rasa ini menjadi bagian dari hidupku sendiri. Tapi, bukankah jika itu aku, Tama tidak akan menderita Hanahaki? Bukankah cintaku justru akan menyembuhkannya?' Dia mengalihkan pandangannya pada wajah Tama yang damai dalam tidurnya. "Kalau begitu... siapa?" bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar, "kenapa bukan aku saja, Tama." Hanya dia yang mendengar kegetiran dalam ucapannya. 'Kenapa bukan aku?' bisik berkali-kali dalam kepalanya, meski dia tahu betul betapa menyedihkan pemikiran itu. Dia mendesah panjang, menundukkan kepalanya dalam keputusasaan. Tama sudah menjalani operasi, mencabut semua akar bunga tanpa sisa. Jika itu dirinya, dia tidak mungkin mengambil keputusan itu dengan mudah. Yang dia tahu, mencabut akar bunga berarti menghapus cinta pada orang tersebut, merelakan perasaan yang pernah begitu dalam. Dia tak mengerti, mengapa Tama begitu tergesa ingin menghapusnya seolah tak berarti baginya.Tama mengerutkan kening ketika menyadari betapa gugupnya gadis di depannya. Dinda menggosok-gosok tangannya pada rok seragamnya dengan cemas. Hal itu membuat Tama penasaran tentang apa yang membuat Dinda begitu khawatir untuk dibicarakan dengannya. Kalau tidak siap untuk bicara, untuk apa gadis itu meminta pertemuan dengannya?“Aku yakin ada sesuatu yang membuatmu mengundangku ke sini.”“Tapi aku tidak akan membuang waktuku hanya untuk menunggumu bicara. Mungkin lain kali.”“Tidak! Aku, aku harus mengatakan sekarang.”Tama diam, menunggunya melanjutkan.“Aku, sebenarnya aku ingin mengatakan ini sejak lama. Beberapa kali ingin memendam sendiri, namun kau mengajakku mengobrol waktu itu, bersama teman-temanmu. Aku meresa sangat senang. Aku memberanikan diri untuk mengatakan padamu,” Dinda berhenti. Terdiam sangat lama.“Jadi?!” tanya Tama agak tidak sabar. Penantian ini membuatnya cemas, tetapi dia merasa sedikit bersalah ketika Dinda tersentak dan meremas kedua tangannya sendiri tampak
Udara pagi ini hangat. Sepertinya ramalan cuaca yang mengatakan akan ada badai hujan itu salah. Syukurlah, Raisa tidak akan kesulitan untuk berangkat ke tempat kerja kalau begitu. Apalagi hari ini ada perayaan ulang tahun di tempat kerjanya. Dia diharuskan datang lebih awal. Semoga saja kelas terakhir tidak mendadak menambah jam di luar jadwal.Langkah Raisa melambat ketika melihat seseorang mondar-mandir di depan kelasnya. Dia sepertinya sedang gugup, terlihat dari raut wajahnya.“Hai!” Raisa menghampirinya. “Kau mau menemui siapa? Aku bisa bantu panggilkan.”Orang yang Raisa tahu bernama Dinda, tersentak seolah tertangkap basah. Wajahnya yang sudah pucat kini memerah karena Malu. "Emm..." dia bimbang. Pandangannya langsung jatuh ke lantai. Kemudian, dia berusaha mencuri pandang ke dalam kelas, mencari seseorang.“Kau Dinda kan? Mau aku panggilkan seseorang di dalam kelas?” tawar Raisa. Dia sebenarnya ingin langsung masuk, tetapi meninggalkan Dinda begitu saja terasa tidak enak.Dind
Setelah Tama mengantar Raisa, dia langsung menuju toko buku bekas yang diberitahu Felisha. Toko itu lumayan jauh dari tempat Raisa bekerja, dia harus memutar untuk sampai di sana. Tama langsung masuk ke dalam toko, dan disapa senang oleh seorang kakak yang berdiri dari balik meja kasir. "Hari ini pasti keberuntunganku. Senang mendapat lebih banyak pelanggan daripada kemarin," ujarnya sebelum mempersilahkan Tama masuk. Toko buku yang sepi ini membuat Tama langsung menemukan keberadaan Felisha dan Erwin. Tampaknya Aldo belum sampai. "Apa yang kalian temukan?" "Oh, akhirnya kau datang. Cepat, duduk sini." Felisha bersorak sambil menepuk kursi di sebelahnya. "Erwin menemukan ini. Lihat," dia mendorong buku itu, "buku analogi puisi, tapi yang paling menarik adalah tulisan tangan ini. Hampir setiap halaman kosong penuh dengan coretan yang bukan sekadar catatan." "Tulisan itu seperti jurnal kehidupan seseorang, lengkap dengan tanggal dan tahun," tambahnya "Ini di buat tahun 2015, sepu
Suara tawa anak-anak memenuhi halaman panti asuhan. Bau matahari bercampur aroma tanah basah dari taman kecil di pojok halaman, memberi Tama kenangan ketika dia mengunjungi panti ini dulu. Sekelebat ingatan bermain bersama anak-anak panti sebayanya. Tapi dia tidak ingat bertemu Raisa kecil. Dia duduk di bangku kayu dibawah pohon yang rindang, menatap Raisa yang sedang membantu anak-anak membuat gelembung sabun. Mereka berlarian, menjerit kegirangan setiap kali gelembung pecah di udara.Raisa menoleh padanya. Melambai sambil tersenyum, pipinya merah karena panas.Tama tidak bisa mengalihkan pandangannya sejenak, sedikit terpukau. Raisa terlihat lebih cantik ketika tersenyum lebar seperti itu.Rasa geletik di tenggorokannya benar-benar mengganggu, Tama berdeham dan satu kelopak tersangkut di langit-langit mulutnya. Tama terkejut betapa mudahnya itu, biasanya dia harus menggunakan tenaga untuk mengeluarkannya.Dia mengambil kelopak itu dari mulutnya. Menatap kelopak warna merah muda itu
Keduanya kemudian memeriksa buku yang dibawa kakek tadi. Felisha membaca judul buku pertama, “Bahasa Rahasia Bunga.” Sampulnya merah marun dengan gambar berbagai bunga yang disatukan. Melewati kata pengantar dan daftar isi, yang dibahas pertama adalah bunga anggrek (orchid) dan makna simbolik bunga tersebut. Bunga anggrek bulan; Kemurnian, Keindahan, Keanggunan. Anggrek Bulan dikenal dengan bunga yang besar dan indah, biasanya berwarna putih atau ungu muda. Dalam budaya Asia, bunga ini melambangkan kemurnian dan keanggunan yang mendalam. 'Hm? Hanya begitu saja? Tidak dijelaskan secara personifikasi bunganya.' Sedangkan Erwin mengambil yang kedua, “Herbarium.” Berisi gambar-gambar bunga yang sudah diawetkan. Merasa tidak membutuhkan ini, dia meraih buku terakhir dari sang kakek. Yang terakhir berjudul “Mitos dan Legenda dari Timur.” Erwin mengerjap pelan, 'Mitos dan legenda, ya? Mungkin saja Hanahaki juga termasuk di dalamny
Felisha menatap sekeliling. Di dalam toko yang nyaris runtuh ini, terdapat rak-rak menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit. Sebagian tampak miring, menandakan sudah terlalu lama bertahan mengemban beban. Erwin mendekat ke salah satu rak dan mengusap punggung buku yang warnanya sudah pudar. Debu menempel di ujung jarinya. Sang kakek terkekeh kecil. “Toko ini sudah berdiri sangat lama. Lebih tua dari umur kalian. Dulu tempat ini hanyalah gudang buku yang tak terpakai. Kupikir, daripada menumpuk dan dilupakan, lebih baik dijual saja,” ujarnya dengan bangga. Felisha menatap langit-langit kayu yang retak. "Ya, tapi apakah tempat ini tidak pernah direnovasi? Bisa berbahaya kalau sampai rubuh kek." Erwin berdeham untuk memperingatkan Felisha untuk menjaga kata-matanya. "Aku minta maaf," kata Felisha sembari membungkuk. Sang kakek malah tertawa, bahunya sedikit bergetar. “Tidak apa-apa, Nak. Ak







