Home / Romansa / Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak / 8. Keputusan yang tak menyenangkan

Share

8. Keputusan yang tak menyenangkan

Author: Lemonia
last update Last Updated: 2025-10-22 20:06:46

Felisha melangkah maju. "Tama, kau sudah tau efek sampingnya?" Nada bicaranya lebih seperti pernyataan. Dia terdiam sejenak mencerna sesuatu. "Kau sudah tau tentang itu, dan kau masih akan melakukan operasi ini?" suaranya bergetar, jarinya terangkat untuk mencengkeram kedua bahu Tama dengan begitu kuat.

Tama mengalihkan pandangan. Dia enggan menatap siapapun di ruangan itu. Mata kelamnya hanya tertuju pada dinding rumah sakit yang putih dan bisu. "Itu tidak akan berguna untukku," katanya datar tanpa adanya emosi sedikitpun yang ditunjukkan.

Felisha tersentak. "Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan cinta," bisiknya lirih.

“Ada.” Kali ini Tama menoleh. Tatapannya tajam. “Aku.” Dia melanjutkan dengan nada getir. “Aku bahkan membencinya. Dan aku masih tidak percaya aku berada di sini dan melakukan operasi sebentar lagi, hanya karena 'cinta' yang tidak aku punya dari awal."

"Omong kosong." Felisha tertawa meski matanya tidak. Satu tangannya terangkat, mengusap sudut matanya yang basah. "Tanpa cinta, hanahaki tidak akan tumbuh! Sampai kapan kau menutupinya dan terus keras kepala?!" Bentaknya, napasnya mulai memberat.

Tama mengatupkan rahang, giginya bergemelutuk menahan emosi. "Aku bahkan belum pernah merasakan cinta sampai enam belas tahun aku hidup. Bahkan cinta dari orang tuaku pun, aku tidak mendapatkannya. Lalu kau, yang hanya tahu tidak lebih dari dua puluh persen kehidupanku, berani bersikap seolah-olah mengerti segalanya tentangku.”

Kalimat itu berakhir dengan membungkam semua suara. Tidak ada yang segera menyahut, sekalipun Felisha. Erwin mendekati gadis tersebut, membujuknya untuk melepaskan Tama. Felisha terdiam, wajahnya memucat, sementara jemarinya mengepal begitu erat hingga buku-bukunya memutih.

Dia mundur beberapa langkah, namun masih belum mau mengakhiri perdebatan mereka.

"Tanpa cinta, apa alasan manusia untu hidup, Tama?" Felisha bertanya pelan. Keheningan membuat semuanya bisa mendengar apa yang dia ucapkan.

Tidak mendengar jawaban apapun dari Tama, Felisha menarik napas panjang. "Tama, aku tidak ingin mencampuri hidupmu. Tapi aku hanya ingin memastikan, kau ingin menjalankan hidup tanpa cinta seumur hidupmu?"

"Ya."

"Baiklah. Aku harap kau tidak menyesali itu.” Felisha berbalik, langkahnya cepat. “Aku butuh udara segar.” Suaranya hilang bersamaan dengan pintu yang menutup di belakangnya. Erwin segera menyusul keluar.

Kepergian mereka meninggalkan ruang inap itu dalam suasana berat dan tidak nyaman.

Raisa menggigit bibirnya. Sejak tadi dia hanya diam, menyaksikan pertengkaran itu tanpa berani menengahi.

Di lubuk hatinya, Raisa bertanya-tanya, kalau saja dia berada di posisi Tama, apa dia bisa memilih? Hidup tanpa cinta, atau mati karena cinta?

Lamunan itu buyar ketika suara batuk keras terdengar. Tama terhuyung, menunduk sambil menekan dada. Suara batuknya memenuhi ruangan, dan kelopak bunga berwarna merah muda berjatuhan ke lantai.

“Tama!” Aldo spontan bangkit, wajahnya panik. Dia mengambil tisu yang tersedia di nakas.

Tama mengusap mulutnya, merasa lebih baik setiap kelopak bunga berhasil keluar.

Tak lama kemudian, pintu terbuka kembali. Lily dengan rambut digerai muncul, langkahnya ragu ketika melihat wajah-wajah di dalam ruangan. “Ada apa dengan suasana ini? Kalian terlihat tegang.”

*・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿

Erwin mengejar Felisha sampai mendapat teguran dari perawat untuk tidak berlari di koridor. Dia meminta maaf singkat, namun tidak mengurangi kecepatan langkahnya.

"Felis!" panggilnya, tapi gadis itu terus melangkah tanpa menoleh.

"Tunggu aku." Erwin berhasil meraih lengannya.

"Apa?"

"Kau mau ke mana?" tanya Erwin. Keningnya berkerut mendapati bawah mata Felisha lembab seperti habis menangis.

Felisha terdiam sejenak, menunduk. "Jalan-jalan sebentar. Aku butuh udara segar," jawabnya.

Mereka berdiri di lorong yang lengang, hanya terdengar suara langkah perawat dan bunyi roda ranjang pasien dari kejauhan.

Erwin menatapnya lekat. "Aku tahu kau marah. Tapi menurutku itu bagus, Felis. Keputusan Tama adalah hal yang diinginkan semua orang terdekat pengidap hanahaki."

Felisha menoleh cepat, matanya melebar. "Bagus? Bagaimana bisa kau menyebut keputusan gila itu 'bagus'?"

Erwin menarik napas panjang, mencoba memilih kata. "Karena Tama memilih hidupnya. Sebagian besar penderita hanahaki lebih memilih mati ketimbang kehilangan cinta mereka. Mereka menolak operasi, seakan-akan cinta itu lebih berharga daripada nyawa. Tapi Tama tidak. Dia memilih bertahan, meski artinya menolak cinta seumur hidup."

Felisha termenung. Bahunya turun. "Tapi hidup tanpa cinta, apakah itu bisa dibilang hidup?"

Erwin tersenyum. "Yah, seperti yang dikatakan Tama. Dia sudah hidup seperti itu selama ini."

Felisha memukul bahu Erwin dengan cemberut. "Kau tidak menenangkanku sama sekali."

*・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿

Hanahaki. Kata itu menggema di pikirannya sejak dia diberitahu.

Tama mengidap Hanahaki dan itu berarti seseorang telah mengakar dalam hatinya, meninggalkan luka yang hanya bisa sembuh dengan cinta yang setara. Tapi siapa?

'Itu tak mungkin aku', gumamnya dalam hati. 'Aku mencintainya, terlalu dalam dan terlalu lama, sampai rasa ini menjadi bagian dari hidupku sendiri. Tapi, bukankah jika itu aku, Tama tidak akan menderita Hanahaki? Bukankah cintaku justru akan menyembuhkannya?'

Dia mengalihkan pandangannya pada wajah Tama yang damai dalam tidurnya. "Kalau begitu... siapa?" bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar, "kenapa bukan aku saja, Tama." Hanya dia yang mendengar kegetiran dalam ucapannya.

'Kenapa bukan aku?' bisik berkali-kali dalam kepalanya, meski dia tahu betul betapa menyedihkan pemikiran itu.

Dia mendesah panjang, menundukkan kepalanya dalam keputusasaan.

Tama sudah menjalani operasi, mencabut semua akar bunga tanpa sisa. Jika itu dirinya, dia tidak mungkin mengambil keputusan itu dengan mudah. Yang dia tahu, mencabut akar bunga berarti menghapus cinta pada orang tersebut, merelakan perasaan yang pernah begitu dalam. Dia tak mengerti, mengapa Tama begitu tergesa ingin menghapusnya seolah tak berarti baginya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak   8. Keputusan yang tak menyenangkan

    Felisha melangkah maju. "Tama, kau sudah tau efek sampingnya?" Nada bicaranya lebih seperti pernyataan. Dia terdiam sejenak mencerna sesuatu. "Kau sudah tau tentang itu, dan kau masih akan melakukan operasi ini?" suaranya bergetar, jarinya terangkat untuk mencengkeram kedua bahu Tama dengan begitu kuat. Tama mengalihkan pandangan. Dia enggan menatap siapapun di ruangan itu. Mata kelamnya hanya tertuju pada dinding rumah sakit yang putih dan bisu. "Itu tidak akan berguna untukku," katanya datar tanpa adanya emosi sedikitpun yang ditunjukkan. Felisha tersentak. "Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan cinta," bisiknya lirih. “Ada.” Kali ini Tama menoleh. Tatapannya tajam. “Aku.” Dia melanjutkan dengan nada getir. “Aku bahkan membencinya. Dan aku masih tidak percaya aku berada di sini dan melakukan operasi sebentar lagi, hanya karena 'cinta' yang tidak aku punya dari awal." "Omong kosong." Felisha tert

  • Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak   7. Kehilangan cinta adalah konsekuensinya

    Kamar rawat inap terasa dingin oleh AC, dindingnya putih bersih tanpa ornamen, terlalu sunyi sampai rasanya menakutkan. Tama berbaring setengah duduk, selang infus menempel di punggung tangannya. Pandangannya kosong menatap jendela, meski yang terlihat hanya gedung rumah sakit lain di seberang.Pintu kamar diketuk pelan. Felisha muncul lebih dulu, membawa kantong plastik, lalu disusul Erwin dengan cengiran lebarnya.“Hei,” Felisha menyapa, matanya tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir. “Kau kelihatan pucat sekali.”Tama hanya mengangkat bahu. “Tentu, aku pasien,” katanya dengan santai.Erwin menarik kursi, kemudian duduk di samping ranjang rumah sakit. “Kapan jadwal operasimu?” tanyanya.Tama menoleh, memperhatikan kedua sahabatnya bergantian. "Lima jam lagi."Erwin hanya mengangguk tanpa menambahkan sepatah kata pun. Sementara itu, Felisha meletakkan kantong kresek yang dibawanya di atas nakas. Pandangannya kemudian tertuju pada kelopak-kelopak bunga yang tercecer di pojok meja. Se

  • Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak   6. Hidup menempel dan merugikan inangnya

    Tama merasa tidak sehat.Belum dua puluh menit, namun sudah terengah-engah ketika mengikuti porsi latihan biasa. Tama yakin dia sedang dalam kondisi paling menyedihkan sepanjang hidupnya, dan dia mungkin takkan pernah pulih dari kondisi terkutuk yang mengerikan ini. Seandainya parasit di organ pernafasannya tidak pernah ada...Sekarang Tama menyebutnya sebagai parasit. Sebutan paling tepat untuk sesuatu yang hidup menempel dan merugikan inangnya."Istirahatlah, kau terlihat pucat." Pak Burhan menyarankan. Tama menurut. Dia menepi sambil terbatuk-batuk. Menyembunyikan kelopak bunga di tangannya."Yang lain berlari keliling lapangan sepuluh putaran!" seru Pak Burhan, disambut keluhan dan protes dari anak-anak lainnya. Aldo mengerutkan kening ketika menoleh ke arah Tama, lalu akhirnya ikut berlari menyusul teman-temannya."Kau akan dicap pilih kasih oleh mereka." Tama menutup botol minumnya yang tersisa setengah.Pak Burhan hanya mengangkat bahu, tampak acuh. “Itu risiko menjadi guru yan

  • Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak   5. Semuanya tau

    “Apa maksudmu mengatakan itu?” Tama memekik, berdiri dari duduknya dan memberikan tatapan tajam pada Felisha. “Jangan membuatnya salah paham.”Felisha balas menatap, namun tatapannya sedikit goyah dan getir.Keadaan menjadi tegang. Erwin mendekati Felisha sedangkan Aldo menjaga Tama agar tidak lepas kendali.Di tengah keadaan yang tidak nyaman ini, Raisa mencoba keluar dari kebingungan. “Eh, adakah yang mau menjelaskan sesuatu padaku?”Bel masuk berbunyi dan guru pelajaran pertama sudah di depan pintu. Mereka memutuskan untuk berhenti dan kembali ke bangku masing-masing mengabaikan tatapan beberapa teman sekelas mereka yang mulai penasaran.Namun bukan berarti Tama bisa menghindar selamanya. Tepat saat bel istirahat berbunyi, mereka memutuskan untuk menyeret Tama dan melanjutkan pembicaraan tadi di tempat sepi dan tidak mencolok, seperti di sudut ruang bagian belakang perpustakaan.Tama menyadari bahwa ada tambahan orang dan dia curiga seiring berjalannya waktu seluruh sekolah akan ta

  • Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak   4. Orang itu Raisa!

    Rumor menyebar lebih cepat daripada angin.Tama setuju dengan pepatah tersebut.Tidak tau dimulai dari siapa, namun rumor tentang ia yang telah ditolak seorang gadis dan mendapat kutukan dari dewa cinta dengan batuk berbunga telah menyebar ke seluruh penjuru sekolah.Rumornya tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak benar.Tama tidak pernah mengerti orang-orang yang gemar mencampuri urusan orang lain. Tidak bisa dipungkiri, kalau Tama merupakan idola sekolah dan banyak yang menaruh atensi padanya, tak heran rumor sekecil apapun akan langsung membesar dengan hitungan detik."Tama!"Merasa dipanggil namanya, ia menoleh. Seorang gadis berjalan ke arahnya, dia melambaikan tangan pada Tama. Laki-laki itu menunggu sampai gadis tersebut lebih dekat untuk menyapanya kembali, "Raisa.""Bagaimana keadaanmu?""Seperti yang terlihat, aku baik.""Rumor tidak berbicara begitu."Tama terkekeh, “Rumor hanyalah rumor.” Ia menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, memilih berdiri tenang di tengah ta

  • Hanahaki Reverse: Saat Cinta Membuatku Sesak   3. Cinta itu membuat sakit

    Tama menatap tajam pria paruh baya yang setengah rambutnya sudah memutih. Sama sekali mengabaikan teguran kakaknya yang berada disampingnya."Berapa kali aku harus mengatakannya? Aku tidak menyukai, mencintai, atau merayu siapa pun. Sepanjang hidupku, aku tidak pernah mempunyai perasaan seperti itu."Setelah mendengar dari dokter secara langsung tentang kondisi kesehatannya, Tama masih tidak mau percaya. Itu tidak masuk akal.Serius, Hanahaki? Dari segala jenis penyakit lainnya?Apakah dia sedang bermimpi sekarang?Sang dokter menghela napas. Wajahnya masih tenang, sudah terbiasa menghadapi pasien keras kepala seperti Tama. "Bahkan jika kau menyimpan perasaan pada seorang pria—”"Tidak siapa pun, berarti termasuk seorang pria," sahut Tama, menekankan setiap kata.Tama selalu punya sifat pemarah. Pada dasarnya, itu sifat utamanya. Bukan berarti dia bangga akan hal itu, tapi keadaan saat ini benar-benar menguras emosinya.Wanita di sebelah Tama mengusap punggungnya perlahan. Sejujurnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status