Dengan langkah tegap penuh wibawa, Satria berjalan menuju ruang kerjanya. Kehadirannya di kantor setelah pesta penikahannya di gelar menimbulkan banyak pertanyaan bagi para karyawan, dia yang tidak mengambil cuti atau berbulan madu membuat banyak orang berspekulasi tentang pernikahannya, ditambah lagi kabar tentang mempelai wanita langsung menghilang begitu saja, dan tak pernah terlihat mendampingi sang suami, membuat rasa penasaran banyak pihak semakin mencuat."Siapkan semua file proyek-proyek kita yang di Semarang dan sekitarnya, secepatnya! Saya tunggu di ruang kerja saya," perintah Satria dengan tegas kepada asisten pribadi dan juga sekretarisnya.Dari suara dengan nada tegas dan eksperesi wajah yang serius, dua orang kepercayaan Satria itu bergegas mencari apa yang diminta oleh calon pewaris tunggal Arga Group. Tentu saja mereka berdua tak ingin membuat kecewa atasannya, karena sebagai atasan Satria terkenal tidak pelit, dia tidak akan sungkan untuk memberikan bonus pada karyawa
Hanin menumpahkan air matanya melepas kepergian Satria, dia sungguh tidak menduga cinta yang dulu begitu menggebu bisa sirna begitu saja. Bahkan kebersamaan yang pernah mereka lalui seakan tidak memiliki arti bagi Satria. Dalam hati Hanin terus bertanya, apa yang telah Handa berikan hingga dengan mudah dia bisa menggapai hati Satria dan membuat Satria berpaling darinya?"Maafkan aku yang tak bisa setia, karena hati berpaling pada cinta yang lain, bersamanya kuraih bahagia, dalam ikatan suci pernikahan," ucap Satria dengan begitu dingin layaknya orang yang berbicara tanpa hati.Sungguh tak terperi sakit di hati Hanin saat mengingat setiap kata yang keluar dari mulut Satria sebelum meninggalkannya, kata-kata maaf yang Hanin dengar, layaknya senandung lagu sang durjana. Sungguh tanpa perasaan Satria mencampakkan Hanin begitu saja, setelah Satria puas menikmati tubuh Hanin selama mereka menjalin hubungan asmara."Tapi kau tidak bisa menyalahkan aku begitu saja, kerena kau yang telah mengh
Di Stasiun Gambir, Handa turun dari kereta api Argo Anggrek yang membawanya dari Kota Semarang. Wajahnya terlihat sangat lelah, beberapa kali dia mengucek matanya yang masih mengantuk. Handa menutup wajah bangun tidurnya dengan jemari yang merenggang, tersungging senyum malu dan sangat dipaksakan saat dia melihat Satria sudah berdiri di depannya.Satria tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat tingkah lucu Handa, Pewaris tunggal Arga Group itu bergegas menghampiri wanita yang telah dia sebut namanya dalam akad, diangsurkan tangan pada sang istri, hingga saat kedua tangan mulai bertautan, Satria merasakan hasratnya yang semakin membara."Kita pulang dulu," ajak Satria pada Handa, berharap bisa menikmati malam pertama yang telah tertunda. Digenggamnya erat tangan sang istri, lalu Handa dan Satria melangkah meninggalkan Statiun Gambir. Dengan langkah lebar dan cepat seperti orang yang sedang buru-buru, Satria membuat Handa harus sedikit berlari untuk bisa mengimbanginya."Papa?" Me
Handa dan Satria duduk berdampingan di dalam mobil. Satria segera mengenakan sabuk pengamannya, setelah selesai dia mengalihkan perhatiannya pada Handa yang sepertinya sedang kesulitan mengenakan sabuk pengaman."Aku bantu," tawar Satria sambil mendekatkan tubuhnya pada Handa."Sudah," jawab singkat Handa, tersenyum sambil menunjukkan dirinya yang sudah bisa memasang sabuk pengaman dengan benar. Bukan hal yang istimewa, tetapi dia harus menunjukkan pada Satria hal tersebut layaknya sebuah prestasi. Hal itu Handa lakukan karena dia tahu, lelaki yang bergelar suami yang kini berada di sampingnya sedang melancarkan berbagai modus untuk bisa menyentuhnya.Merasa sudah ketahuan niatnya, Satria bergegas menyalakan mesin dan mobil pun mulai melaju meninggalkan area parkir rumah sakit. Pasangan suami istri itu menghabiskan waktu selama perjalanan hanya dengan saling diam, mereka disibukkan oleh pikiran mereka masing-masing. Satria yang tidak sabar untuk menghabiskan waktu dengan istrinya, sed
Dengan terpaksa Satria menurunkan Handa yang memberontak dari gendongannya. Pemandangan yang tak pernah Satria duga, akan menyambut kedatangan istrinya saat pertama kalinya memasuki apartemen yang dia miliki. "Sepertinya habis ada pesta, Mas?" tanya Handa dengan nada menyindir. Senyum yang terukir di bibir kini ditemani oleh lelehan air mata yang hadir dengan lancangnya. "Ini tidak seperti yang pikirkan, Han." Satria menyugar rambutnya dengan kasar, dia tidak tahu harus memulai dari mana untuk memberikan penjelasan pada Handa. "Han!" panggil Satria, saat wanita yang bergelar istri baginya itu dengan kasar berusaha melepaskan tangan dari genggamananya. Handa melangkah menuju ke ranjang berukuran king size dengan sprei yang berantakan, dipungutnya lingerie dan pakaian dalam berwarna hitam yang berserakan. Handa mengangkat pakaian dengan minim bahan tersebut untuk ditunjukkan pada Satria sambil tersenyum kecut. Satria menggelengkan kepalanya, dalam hati dia mengumpat pada dirinya sen
Handa hampir terjatuh saat dia menerima tamparan keras dari Lisa. Selayaknya karma yang dibayar dengan lunas setelah sebelumnya dia menampar Satria, kini dia harus menerima balasan dari wanita yang telah melahirkan suaminya tersebut. Ada benarnya juga kata-kata jika pembalasan itu lebih menyakitkan, buktinya Handa sampai menitikkan air mata gara-gara telapak tangan Lisa yang mendarat sempurna di pipinya, Handa merasakan panas di pipi seperti terbakar, dan giginya seperti rontok semua."Apa yang kau lakukan pada putraku?" bentak Lisa tak menghiraukan Handa yang sedang meringis kesakitan. "Kau tahu? Satria adalah putraku satu-satunya, hanya dia yang kumiliki. Dan karenamu, kini dia berjuang antara hidup dan mati," tuduh Lisa dibarengi dengan lelehan air mata yang tak terbendung.Kesedihan dan amarah yang menjadi satu karena melihat keadaan putra semata wayangnya yang sangat memprihatinkan sempat membuat Lisa tantrum hingga sempat tak sadarkan diri. Dan saat dia sudah siuman, Handa menja
"Maaf Pa, Handa tidak bisa menemani Papa," ucap Handa sambil menyeka air matanya. "Nanti kalau Mas Satria sudah mendingan, Handa ke tempat Papa." Handa berusaha berbicara setenang mungkin, karena tidak ingin membuat Gunadi yang sudah mulai membaik kesehatannya menjadi khawatir. Satria dan Gunadi dirawat di dua rumah sakit yang berbeda, Satria dirawat di sebuah rumah sakit elit dengan fasilitas terbaik, sedangkan Gunadi dirawat di rumah sakit umum daerah dengan fasilitas gratis menggunakan BPJS karena dia seorang PNS. Sejujurnya Handa ingin menemani dan merawat Gunadi, papanya, tetapi karena rasa bersalah membuat Handa tetap menunggu kabar perkembangan kesehatan Satria yang masih belum sadarkan diri, meskipun keberadaannya tidak diinginkan oleh Lisa dan membuatnya harus menunggu di depan ruang perawatan suaminya. Setelah mengakhiri perbincangan melalui ponsel dengan sang papa, Handa membalikkan tubuhnya dan melihat Asta yang sudah berdiri di depannya dengan membawa paper bag bergambar
Harris memasuki sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari rumah sakit, lelaki paruh baya itu tak butuh waktu yang lama untuk menemukan sosok yang dia cari. Di pojokan kafe Selo Ardi duduk sendiri sambil sesekali menyesap kopi yang tampak masih mengebulkan uap panasnya.Selo Ardi segera berdiri saat melihat kedatangan Harris, dan baru kembali duduk setelah Harris menjatuhkan bobot tubuhnya pada kursi yang terletak di depannya. Dan kini mereka berdua duduk saling berhadapan."Ini hasil penyelidikan saya." Selo Ardi menyodorkan sebuah amplop besar kepada Harris. "Untuk bukti rekaman saya simpan di flashdisk, tapi Pak Harris bisa melihat foto-foto yang tercetak untuk mengenali pelaku yang menabrak Mas Satria."Harris segera mengambil amplop yang disodorkan oleh Selo Ardi. Tak ingin membuang-buang waktu, Harris segera membuka amplop tersebut untuk mengetahui orang yang sudah mencelakai Putranya. Foto sosok yang sangat dia kenal terpampang jelas di depan matanya. Ada rasa kecewa dan marah saa