Share

5. Makan Malam yang Kacau

Makan malam dalam suasana yang dingin mencekam, hanya suara dentingan sendok yang bergesekan dengan piring yang mengisi ruangan. Handa sangat menikmati makan malam, karena hanya itu yang dia inginkan malam ini, menikmati makan malam. Berbeda dengan Hanin, dia hanya mengaduk-aduk makanannya sambil menatap tajam Handa yang tampak lahap menikmati makananya. Hanin tidak pernah ingin melihat Handa bahagia, bahkan menyaksikan Handa menikmati makanannya pun sangat menyakitkan bagi Hanin.

"Makan Nin!" Suara lembut Marini membuat suasana makan malam yang dingin tampak semakin mencekam.

"Nggak nafsu, Ma, melihat ada orang makan dengan rakusnya seperti orang kelaparan," jawab Hanin dengan tatapan mata yang tak pernah lepas dari Handa.

Handa yang makan tanpa sendok, dan bahkan sesekali menjilat jarinya yang berlumuran bumbu kuning sadar jika dirinya yang dimaksud Hanin. Handa menghentikan tanganya yang hampir memasukkan potongan ikan ke mulutnya. Akhirnya dia dan Hanin saling berpandangan, sesuatu yang sejak tadi dihindari oleh Handa.

"Maaf." Lirih suara Handa sambil melanjutkan makannya dengan mengunyah pelan berusaha untuk lebih sopan.

Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras.

"Hanya kata maaf yang bisa kau ucapkan?" Hanin berdiri sambil mengebrak meja.

Handa kesulitan menelan makanan di mulutnya, dia menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Sekuat tenaga Handa berusaha menenangkan dirinya.

"Aku jarang berada di sini berkumpul dengan kalian, waktu berkumpul pun juga tidak lama, aku hanya tidak ingin waktu itu habis hanya untuk perdebatan yang tidak berguna," jawab Handa.

"Habiskan makanan kalian!" Marini berusaha menengahi Handa dan Hanin.

"Hilang nafsu makan Hanin, ma." Jawab Hanin singkat sambil melangkah meninggalkan kursinya.

"Makan Nin, kamu harus menjaga kesehatanmu untuk hari pernikahanmu." Nasihat Gunadi, yang dari tadi hanya diam.

"Jika papa peduli padaku, pada pernikahanku, mengapa papa mengundang dia?" cecar Hanin yang kembali mendekati meja makan.

"Namanya Handa, dia adikmu, keluarga kita juga. Dia harus ada disetiap acara penting di keluarga kita." Gunadi berusaha memberi pengertian pada Hanin.

"Tapi tidak pernikahanku." Dengan penuh amarah Hanin menyangkal apa yang menjadi kehendak sang ayah. "Mengapa papa tidak tanya dulu padaku?"

"Handa itu adikmu satu-satunya Nin, apa kata orang jika dia tidak ada di hari pernikahanmu nanti." Gunadi memberi penjelasan pada Hanin, alasan dia mengundang Handa.

"Maaf, aku sudah di sini, aku hanya mengunjungi kedua orang tuaku, aku tidak akan menghadiri pernikahanmu. Santai saja!" jawab Handa dengan tenang.

"Apa? Kau akan tetap di sini?" Hanin tampak sudah tidak bisa mengendalikan emosinya. "Setelah kau mengambil papaku, kau ambil mamaku, apa kau akan tetap di sini untuk mengambil calon suamiku?"

"Apa-apaan ini?" Handa bingung dengan apa yang diucapkan Hanin. "Aku tidak pernah mengambil apapun darimu."

Kemarahan Hanin semakin menjadi, dia meraih gelas di depannya dan menyiramkan air putih ke muka Handa. "Cuci mukamu yang sok suci itu!"

Handa segera berdiri, tangannya meraih piring yang ada sisa bumbu kuning dan menyiramkanya ke Hanin. "Cuci hatimu yang penuh kebencian itu! Selama ini aku diam, aku terima harus pergi dari rumah ini, mengapa Mbak Hanin belum puas juga? Mbak Hanin mau aku bagaimana?"

Hanin menjerit karena wajah dan pakaiannya kotor oleh kuah bumbu kuning.

"Apa yang kalian lakukan?" Marini marah melihat apa yang dilakukan kedua anaknya. "Mama capek-capek masak dan kalian menghancurkannya."

"Maaf Ma." Handa mengelap wajahnya yang basah, ia tampak sangat menyesal karena tidak dapat mengendalikan emosinya menghadapi Hanin.

"Bunuh papa!" Lirih suara pria yang terdengar penuh luka. "Papa yang salah, bunuh saja papa!" Suara lirih Gunadi terdengar seperti rintihan yang terasa menyayat hati.

"Kedatanganmu hanya membuat semua orang ingin mati." Hanin sibuk membersihkan dirinya dari sisa-sisa bumbu kuning yang masih melekat. "Sialan!" gumam Hanin pelan.

Handa mengangguk pelan, "Baiklah, aku akan pergi. Tapi beri tahu aku, mengapa aku dibuang?"

"Karena kamu a..."

"Tak ada yang membuangmu." Suara tegas Gunadi memotong ucapan Hanin, air mata menetes di pipi Gunadi. Pria paruh baya itu seakan mengabaikan harga dirinya, terserah orang mau menyebutnya pria cengeng, menghadapi perselisihan tiga perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya membuatnya benar-benar tak mampu lagi menahan air matanya.

Handa tak mampu menahan bulir-bulir bening yang jatuh berderaian, hatinya pun ikut sakit saat harus menyaksikan sang ayah yang tampak sangat rapuh dan terluka. Tapi rasa ingin tahu membuat Handa mengesampingkan semua itu, simpati dan empati Handa seakan lenyap raib begitu saja. "Tapi mengapa aku harus meninggalkan rumah ini pa, dan setiap kedatanganku selalu saja ada penolakan? Pakdhe, Budhe Lasmi, Mas Dharma sama Mas Damar, semua sayang Handa." Handa menjeda kalimatnya, susah payah dia menelan ludah membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Tapi Handa rindu bersama papa, mama, Handa ingin merasakan kasih sayang kalian juga. Mengapa kalian harus membuang Handa?" Akhirnya Handa menangis tergugu, ia tak mampu menahan sesak di dada yang sudah ditahan dari tadi.

"Tak ada yang membuangmu Han, dan jangan tanyakan itu lagi! Atau kau bunuh saja papa jika kau masih menanyakannya." Gunadi mengelengkan kepala, menatap Handa dengan mata sembabnya.

Marini mendengus kasar mendengar ucapan suaminya yang seakan-akan dia adalah korban dalam masalah di keluarga mereka, masalah yang sudah lama tetapi tidak menemukan titik akhir sebuah penyelesaian.

"Pengecut," gumam Marini.

"Aku akan pergi, kedatanganku hanya mengganggu kedamaian kalian."

Gunadi segera meraih tangan Handa yang akan meninggalkan tempat itu. Marini menundukkan kepala dan tanganya mengepal. Hanin meninggalkan ruangan dengan muka masam. Setelah beberapa langkah Hanin membalikkan tubuhnya "Apa kau disini untuk mengambil calon suamiku juga?"

Handa terkejut dengan pertanyaan Hanin, "Aku tidak pernah mengambil apapun darimu, aku hanya mengambil apa yang diberikan Tuhan padaku." Handa dan Hanin saling beradu pandang dengan sorot mata tajam. 

Handa menyesali mengapa dia tidak memiliki foto bersama Pak Alim. Meskipun Pak Alim tidak pernah menyatakan perasaan cinta padanya, jika Handa memiliki foto itu setidaknya Handa bisa menunjukkan ada lelaki yang dekat dengannya selama di Semarang pada Hanin. Toh Hanin juga tidak akan menyelidikinya untuk mengetahui kebenaran hubungannya dengan Pak Alim.

Dengan muka masam penuh kekesalan Hanin segera meninggalkan ruang makan dan menaiki tangga menuju kamarnya. Marini tak menutupi kesedihannya menatap Hanin dan kekacauan yang terjadi di ruang makan.

Handa berusaha melepaskan tangan Gunadi yang memegangnya dengan erat, "Tangan Handa sakit Pa, tolong lepaskan!"

"Jangan tinggalkan papa!" Rasa takut kehilangan membuat Gunadi justru semakin erat memegang tangan Handa. "Kau anakku" Lanjut Gunadi menegaskan perasaannya.

"Aku tetap anak Papa, meskipun aku meninggalkan rumah ini." Handa menenangkan Gunadi, dan terus berusaha melepaskan tangan Gunadi. "Pa, sakit Pa." Handa menjadi bingung dengan tingkah sang ayah yang justru terlihat seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya. Sambil menahan sakit di tangannya, Handa menggaruk kepalanya meskipun tak terasa gatal.

Marini menggelengkan kepala dengan seringaian yang dibarengi dengan tetesan air mata, hatinya sangat sakit melihat Gunadi yang terlihat sangat takut kehilangan Handa.

Hanin menuruni tangga dengan wajah yang sudah bersih dan sudah berganti pakaian, tas selempang kecil di pundaknya. Hanin berlalu tanpa menghiraukan kedua orang tuanya dan Handa.

"Mau kemana Nin?" Marini segera berdiri dan mengejar Hanin. "Nin! Jangan tinggalin mama, Nin!"

Hanin membuka pintu bergegas menuju ke mobilnya. Marini terus mengejar Hanin yang sudah berada di dalam mobil. Hanin menulikan telinganya tidak mempedulikan Marini yang memukul-mukul kaca mobilnya.

"Buka Nin! Jangan tinggalin mama! Mama sama siapa Nin, jika kamu pergi?" Marini terus memukul-mukul kaca mobil Hanin, dan baru berhenti saat dia tak mampu lagi mengejar mobil yang dikemudikan Hanin meninggalkan rumahnya.

Dengan air mata yang jatuh bercucuran Marini terpaksa melepas kepergian Hanin. Dengan langkah gontai Marini masuk ke dalam rumah, dan harus menyaksikan drama Gunadi yang masih saja tak ingin melepas tangan Handa. Hati Marini merasakan nyeri saat ia menyaksikan kekonyolan Gunadi yang justru bertingkah seperti anak kecil yang takut di tinggal ibunya, dunianya terasa jungkir balik.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Asmoro Condro Veryanto
bab 6 dan 7 kenapa sama?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status