"Aku tidak mengundangnya, aku tidak ingin dia ada di acaraku pa, aku tidak ingin melihat dia ada di sini." Dengan penuh amarah dan menatap tajam ke arah Handa, Hanin melontarkan kata-kata penolakan atas kehadiran adiknya.
Handa mendengus kasar dan membalas tatapan mata Hanin. Nafasnya mulai tak beraturan menahan emosi. Bisa saja saat ini juga Handa berbalik dan kembali lagi ke Semarang, tetapi ketika dialihkannya pandangan ke arah Gunadi dan Marini yang tampak sedih dan kecewa, Handa mengurungkan niatnya tersebut. Hingga mulai terdengar suara isak tangis Marini yang membuat suasana terasa semakin mencekam.
"Aku baru tiba ... lelah. Aku mau istirahat," ucap Handa, seakan tidak mempedulikan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Hanin.
Handa memberanikan diri melangkahkan kaki menaiki tangga, bahkan ia pun berusaha tidak memandang Hanin agar tidak terpancing emosinya. Handa pulang karena Gunadi dan Marini memintanya pulang di acara penikahan Hanin. Handa pulang bukan untuk Hanin tapi untuk Gunadi dan Marini, kedua orang tuanya. Sudah cukup bagi Handa menyaksikan kesedihan Gunadi dan Marini, bahkan saat belum setengah jam dia memasuki rumah. Handa harus segera mengakhiri perbincangan dengan Hanin yang terasa sangat tidak berfaedah, karena perbincangan yang terjadi di antara mereka mungkin lebih tepat jika disebut dengan pertengkaran.
"Mau kemana kamu?" Hanin menghalangi langkah Handa, "Untuk apa kau di sini?" cecar Hanin.
"Mengunjungi keluargaku." Jawab Handa dengan suara bergetar.
"Aku bukan keluargamu." Hanin menegaskan perasaan tidak senangnya terhadap Handa.
"Aku mengunjungi keluargaku." Handa mengulangi jawabanya dengan suara yang lebih tenang. "Jika ada saudara yang tidak menerimaku, aku masih punya orang tua yang menyanyangiku. Aku pulang untuk mereka, aku di sini untuk mereka. Minggir!"
Handa dan Hanin saling berhadapan, tatapan tajam keduanya membuat suasana menjadi sangat tegang. Handa mendengus kasar berusaha menghentikan suasana yang sangat tidak nyaman tersebut.
"Ku harap kau paham dengan apa yang ku katakan. Dan sekarang, beri aku jalan."
"Hanin!" Suara lembut Marini, mampu mengalihkan perhatian Hanin. Suara lembut seorang ibu yang mampu meluruhkan kekerasan hati anaknya. Hanin segera bergeser ke tepian tangga, tangannya mencengkeram erat handgrib railling tangga di sampingnya.
Setelah mendapatkan jalan, Handa segera melangkahkan kakinya menaiki tangga dan bergegas memasuki kamarnya setelah sampai lantai dua rumah tersebut.
Suasana menjadi hening, tampak Hanin berusaha mengendalikan emosi yang hampir meledak. Bahkan sampai saat Handa sudah tak terlihat karena telah memasuki kamarnya pun Hanin tampak belum bisa mengendalikan dirinya.
"Bagaimanapun dia tetap adikmu." Suara Marini memecah keheningan.
"Aku ti..."
"CUKUP!" Bentak Marini memotong pembicaraan Hanin. Marini tidak suka jika apa yang dia katakan dibantah oleh anak-anaknya.
"Ma!"
Hanin mencoba menjelaskan isi hatinya pada sang ibu. Tetapi Marini memilih segera melangkahkan kaki menuju kamarnya, tampak ia berjalan sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya. Hanin masih berdiri ditempatnya, ditatapnya wajah memelas Gunadi dengan penuh amarah dan kebencian.
***
Handa berada di kamar yang sudah lima tahun tidak ia masuki. Kamar yang sebenarnya tidak besar, tapi tampak sangat lega karena tidak banyak benda di dalamnya. Hanya ada tempat tidur dengan ukuran single bed, nakas dan lemari pakaian kecil. Handa meletakkan tas punggungnya di atas nakas, lalu duduk di tepian tempat tidur, melepas sepatu dan memasukkannya ke bawah tempat tidur.
Handa berjalan menuju ke arah jendela. Beberapa saat ia berdiri di dekat jandela, dan disibakkannya gorden hingga ia bisa memandang keluar jendela. Tak lama kemudian ia kembali ke tempat tidurnya dan membaringkan tubuh untuk istirahat. Handa memiringkan tubuhnya dan menggunakan kedua tangannya menjadi bantal. Ingatan masa lalu mengganggu istirahanya.
Flashback:
Handa kecil duduk bersandar railling di lantai dua, dipeluknya erat kedua kakinya dan bulir-bulir bening jatuh bercucuran dengan deras kala Handa mendengar pertengkaran Gunadi dan Marini. Suara pertengkaran masih begitu jelas terdengar oleh telinga Handa, meskipun kejadiannya berada di lantai satu.
"Aku mohon pengertianmu, Mar!" Suara memelas Gunadi memohon.
"Kurang pengertian apa aku selama ini, Mas?" Marini justru balik bertanya dengan nada dengan tegas.
"Aku menerimamu apa adanya, aku menerima dosa-dosamu, aku menerima dosamu di rumah ini."Ucap Marini lagi tetapi dengan nada yang lebih tinggi.
PLAK
"Papa!" Teriak Hanin yang baru saja memasuki rumah dengan mengenakan seragam putih abu-abu.
Hanin berlari menghampiri Marini yang menangis sambil memegangi pipi kirinya.
"Mengapa papa tega memukul mama? Apa salah mama pa?" Hanin memeluk Marini dengan air mata mulai membasahi pipinya.
Tangan Gunadi masih bergetar setelah menampar Marini, Gunadi hanya diam kala hatinya dipenuhi dengan penyesalan.
"Papa memukul mama hanya untuk menutupi kesalahan papa, papa sangat egois, keterlaluan!" Caci maki keluar dari mulut Hanin, seolah dia lupa jika lelaki yang berada di depannya adalah ayah yang selama ini memenuhi nafkah untuknya. Gunadi pun semakin merasa bersalah, dia hanya berdiri mematung seakan tak bisa menggerakkan tubuhnya.
"Jangan menangis lagi ma, siapa pun yang membuat mama menangis harus merasakan penderitaan yang sama seperti mama, dia harus menangis seperti mama. Hanin tidak akan membiarkan dia bahagia di atas tangisan mama." Janji Hanin pada Marini sambil memeluk erat dengan air mata yang seakan tak mau berhenti membasahi pipinya.
Flashback off
Handa yang berbaring miring di tempat tidurnya dengan menggunakan kedua tangannya sebagai bantal segera bangun dan duduk bersandar dikepala dipan.
"Apa dosa papa? Mengapa aku harus pergi? Apakah aku dosa papa?" Handa berbicara dengan dirinya sendiri, lalu memeluk kedua kakinya dan menundukkan kepala hingga menyentuh lututnya.
***
Marini menyiapkan makan malam dibantu Handa. Handa tampak senang Marini memasak makanan kesukaannya, ikan bumbu kuning masakan yang sudah lama tak ia nikmati, karena di Semarang masakannya lebih banyak yang dominan rasa manis. Hidup menumpang membuat Handa menerima setiap makanan yang disajikan tanpa berani protes meskipun tidak sesuai dengan selera lidahnya, dalam keadaan seperti itu pun Handa harus tetap bersyukur karena masih ada yang bisa ia makan, gratis pula.
"Terima kasih ma, mama masih ingat makanan kesukaan Handa." Handa memeluk Marini dari belakang.
"Semua sudah siap, kamu panggil papa, mama panggil Mbak Hanin." Marini tersenyum sambil menepuk punggung tangan Handa.
Handa mengangguk, bergegas ke kamar orang tuanya. Marini menaiki tangga menuju kamar kamar Hanin di lantai dua.
"Makan dulu Nin, makan malam sudah mama siapkan." Marini memanggil Hanin sambil mengetuk pintu.
"Aku masih kenyang ma, aku tidak makan." Jawab Hanin dari dalam kamarnya.
"Makan Nin, jaga kesehatanmu! Jangan sampai kau ambruk di hari pernikahanmu nanti." Marini memaksa Hanin untuk makan, karena ia sangat mengkhawatirkan kesehatan putrinya.
Akhirnya pintu dibuka, dan Hanin muncul dari balik pintu dengan wajah cemberut.
"Aku tidak mau makan bersamanya, ma."
"Bersabarlah! Seperti biasanya Handa tidak akan lama di sini." Marini berusaha menyakinkan Hanin.
"Fokuslah pada pernikahanmu, jangan kau kacaukan dengan kedatangan Handa. Masa depanmu lebih berarti dari pada sakit hatimu." Nasihat Marini pada sang putri.
"Bagaimana mama bisa menerima semua ini?" Hanin justru balik bertanya dengan nada kesal.
Marini mendengus kasar mendengar pertanyaan Hanin yang seakan mengingatkan pada luka dimasa lalunya.
"Mama hanya berjuang demi keluarga mama, setidaknya sampai sekarang kita memiliki keluarga yang utuh. Keluarga yang utuh tanpa Handa seperti yang kita mau. Biarkan dia sesekali hadir sebagai selingan layaknya iklan, yang penting keluarga kita tetap utuh." Marini meraih tangan Hanin, seakan menariknya keluar dari kamar.
Hanin menutup pintu kamarnya dan mengikuti Marini menuju ruang makan.
Di ruang makan tampak Handa dan Gunadi duduk berdekatan sudah menunggu di meja makan.
Hanin dan Marini segera duduk di salah satu kursi di ruang makan. Hanin menatap tajam ke arah Handa. Marini menyentuh tangan Hanin untuk menenangkannya. Handa berusaha untuk tidak menatap Hanin, bukan karena ia merasa bersalah atau takut, tetapi lebih karena ia menghindari provokasi Hanin. Handa hanya ingin menikmati makan malam dengan tenang, makan malam bersama keluarganya, apalagi menu yang dihidangkan Marini malam ini adalah masakan kesukaannya yang sudah lama tidak ia nikmati.
Handa ditemani Satria, Dharma, Gunawan dan juga Lasmi berdiri di depan sebuah pusara. Sungguh Handa tidak pernah menduga jika ternyata dia adalah anak dari Arumi, adik bungsu Lasmi yang pernah dititipkan di rumah Gunadi untuk menuntut ilmu di Jakarta.Saat itu Gunadi dan Marini membawa pulang jasad Arumi yang katanya mengalami kecelakaan saat pulang kuliah. Gunadi menyimpan rapat rahasia itu, bahkan Marini pun baru mengetahuinya bersamaan dengan Handa. Kala itu Marini yang melihat gelagat mencurigakan antara Gunadi dan Arumi, langsung meminta kepada Arumi untuk segera mencari kost. Tetapi, keadaan itu justru menjadi peluang bagi Gunadi dan Arumi untuk bisa bersama tanpa sepengetahuan Marini.Hingga saat Gunadi memberitahukan jika Arumi meninggal karena kecelakaan, Marini justru dihinggapi rasa bersalah karena tidak mampu menjaga Arumi yang dititipkan kepadanya. Mulai saat itulah ada perang dingin antara Marini dan Lasmi yang membuat Marini enggan untuk bersilaturahim ke Semarang.“Bag
Setelah kepulangan Harris dan Lisa dari perjalanan umrah, Handa tampak lebih tenang menantikan hari persalinan yang sudah dijadwalkan dari pihak rumah sakit. Dan kini tampak kesibukan di rumah keluarga Argawinata yang akan membawa Handa ke rumah sakit untuk menjalani proses persalinan.Karena memang sudah dijadwalkan sebelumnya, sehingga tidak menunggu Handa merasakan kontraksi. Bahkan untuk menuju ke mobil Handa masih bisa berjalan dengan biasa. Meskipun terjebak macet di beberapa titik jalan raya, tetapi tidak ada kepanikan pada Handa maupun Satria, karena jadwal operasi masih esok hari.Setelah bertaruh nyawa di meja operasi, akhirnya Handa melahirkan bayi perempuan yang cantik. Ketegangan selama beberapa hari terakhir kini berganti dengan rasa lega saat dokter menyataka jika ibu dan bayi dalam keadaan sehat.Dengan senyum lebar Satria menghampiri Harris dan Lisa yang sudah menunggunya sejak Handa masuk ruang operasi. Pelukan hangat sudah menyambut Satria, pria yang kini telah mend
“Mungkin memang saya harus meminum air bekas cuci kaki mama,” ucap Handa dengan sendu setelah mendengar penjelasan dari dokter.“Apa tidak ada jalan lain?” tanya Satria kepada dokter yang menangani Handa. Digenggamnya tangan Handa dengan erat berharap istrinya bisa lebih tenang dalam menghadapi proses persalinan yang semakin dekat.Tentu Satria tidak akan membiarkan Handa meminum air bekas cuci kaki Marini. Sampai saat ini Satria belum bisa mempercayai ibu mertuanya tersebut, dia tidak ingin mengambil risiko jika Marini sudah memberi sesuatu di kakinya yang bisa membahayakan Handa dan juga anak mereka. Jika yang disebut mama adalah Lisa, Satria yakin sang mama pasti akan menolak permintaan Handa.“Bu Handa memiliki panggul yang kecil, akan sangat berisiko jika dipaksakan melahirkan secara normal.”Penjelasan dari dokter yang baru saja mereka dengar sepertinya membuat Handa menjadi down. Karena selama ini Handa ingin melahirkan secara normal, menikmati setiap proses untuk menjadi seora
“Syukurlah!” ucap Nadia yang karena kehamilannya terlihat kesulitan memeluk Handa.“Ini karena doa Mbak Dia juga … terima kasih atas doanya,” balas Handa dengan senyum lebar yang menggambarkan kebahagiaan.Nadia tersenyum tersipu malu, dia masih ingat saat mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan tersulut emosi mendengar niat Satria yang mengadopsi anak sulungnya. tetapi apa pun itu Nadia tetap bahagia karena Tuhan mengabulkan doanya, bukan hanya bahagia untuk pasangan Handa dan Satria yang akhirnya akan memiliki anak, tetapi juga bahagia karena dia tidak perlu takut lagi Satria akan mengadopsi Rio.“Nanti kita bisa senam hamil bersama,” ajak Nadia sungguh-sungguh, karena senang akan memiliki teman di tempat tersebut.Handa yang belum mengetahui seluk beluk tentang kehamilan pun mengalihkan pandangan pada Lisa, seolah bertanya dan meminta persetujuan. Anggukan dan senyum hangat yang diberikan oleh ibu mertuanya adalah jawaban yang membuat Handa yakin untuk menerima ajakan dari Nad
“Han!” Dengan perlahan Satria semakin mendekat ke arah brankar tempat Handa berada. “Bisa diulang? Aku takut salah dengar.” “Ya, Mas! Apa yang telah lama kita tunggu akhirnya datang juga. Aku hamil, Mas!” Handa pun tidak bisa menahan air mata bahagianya. Satria segera memeluk erat tubuh istrinya untuk mengungkapkan rasa bahagianya. Penantian panjang itu akhirnya berakhir bahagia, kala Tuhan telah berkehendak memberikan karunianya pada Handa dan Satria. “Terima kasih, terima kasih atas pengorbananmu yang bersedia mengalah untuk selalu di bawah ….” Tiba-tiba terdengar suara Hanin yang sedang berdehem. Wanita yang sedang mengandung bayi kembar itu merasa tidak nyaman mendengar kata-kata Satria. Handa dan Satria pun kembali tersadar jika saat ini mereka tidak sedang berdua. Ada Hanin yang masih bersama mereka. “Aku keluar dulu, ya!” Tidak bisa dipungkiri, rasa canggung itu masih ada kala Hanin harus berdekatan dengan Satria. Selain itu Hanin ingin memberi kesempatan kepada adik dan i
“Mas Dharma nggak ikut? Mbak Hanin kan sedang hamil, apa tidak khawatir?” cecar Handa kepada Hanin. “Apalagi Mbak Hanin kan hamil kembar?”“Hamil nggak harus membuat kita jadi manja. Mas Dharma banyak kerjaan di sana, anaknya sudah mau lima, Han! Harus kerja lebih keras lagi. Sebelum ke sini, periksa ke dokter dulu, dan katanya aman untuk perjalanan jauh, ya sudah,” jawab Hanin dengan santai.Sejak Hanin menikah dengan Dharma, hubungan Handa dengan kakaknya itu semakin lama semakin membaik. Tidak ada lagi amarah di hati Hanin saat bertemu dengan adiknya, bahkan sekarang mereka bisa berbincang dengan begitu akrab seolah sudah melupakan masa lalu yang kelam. Dharma benar-benar mampu meluluhkan hati Hanin yang keras karena kebencian yang tertanam sejak kecil.“Han!” Hanin terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Ada rasa takut jika apa yang akan dia katakan berakibat terjadi sebuah kesalahpahaman.“Ada apa, Mbak?” tanya Handa yang justru terlihat semakin penasaran.“Dandan ya! Biar ng