Share

4. Apa Dosa Papa?

"Aku tidak mengundangnya, aku tidak ingin dia ada di acaraku pa, aku tidak ingin melihat dia ada di sini." Dengan penuh amarah dan menatap tajam ke arah Handa, Hanin melontarkan kata-kata penolakan atas kehadiran adiknya.

Handa mendengus kasar dan membalas tatapan mata Hanin. Nafasnya mulai tak beraturan menahan emosi. Bisa saja saat ini juga Handa berbalik dan kembali lagi ke Semarang, tetapi ketika dialihkannya pandangan ke arah Gunadi dan Marini yang tampak sedih dan kecewa, Handa mengurungkan niatnya tersebut. Hingga mulai terdengar suara isak tangis Marini yang membuat suasana terasa semakin mencekam.

"Aku baru tiba ... lelah. Aku mau istirahat," ucap Handa, seakan tidak mempedulikan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Hanin.

Handa memberanikan diri melangkahkan kaki menaiki tangga, bahkan ia pun berusaha tidak memandang Hanin agar tidak terpancing emosinya. Handa pulang karena Gunadi dan Marini memintanya pulang di acara penikahan Hanin. Handa pulang bukan untuk Hanin tapi untuk Gunadi dan Marini, kedua orang tuanya. Sudah cukup bagi Handa menyaksikan kesedihan Gunadi dan Marini, bahkan saat belum setengah jam dia memasuki rumah. Handa harus segera mengakhiri perbincangan dengan Hanin yang terasa sangat tidak berfaedah, karena perbincangan yang terjadi di antara mereka mungkin lebih tepat jika disebut dengan pertengkaran.

"Mau kemana kamu?" Hanin menghalangi langkah Handa, "Untuk apa kau di sini?" cecar Hanin.

"Mengunjungi keluargaku." Jawab Handa dengan suara bergetar.

"Aku bukan keluargamu." Hanin menegaskan perasaan tidak senangnya terhadap Handa.

"Aku mengunjungi keluargaku." Handa mengulangi jawabanya dengan suara yang lebih tenang. "Jika ada saudara yang tidak menerimaku, aku masih punya orang tua yang menyanyangiku. Aku pulang untuk mereka, aku di sini untuk mereka. Minggir!"

Handa dan Hanin saling berhadapan, tatapan tajam keduanya membuat suasana menjadi sangat tegang. Handa mendengus kasar berusaha menghentikan suasana yang sangat tidak nyaman tersebut.

"Ku harap kau paham dengan apa yang ku katakan. Dan sekarang, beri aku jalan."

"Hanin!" Suara lembut Marini, mampu mengalihkan perhatian Hanin. Suara lembut seorang ibu yang mampu meluruhkan kekerasan hati anaknya. Hanin segera bergeser ke tepian tangga, tangannya mencengkeram erat handgrib railling tangga di sampingnya.

Setelah mendapatkan jalan, Handa segera melangkahkan kakinya menaiki tangga dan bergegas memasuki kamarnya setelah sampai lantai dua rumah tersebut.

Suasana menjadi hening, tampak Hanin berusaha mengendalikan emosi yang hampir meledak. Bahkan sampai saat Handa sudah tak terlihat karena telah memasuki kamarnya pun Hanin tampak belum bisa mengendalikan dirinya.

"Bagaimanapun dia tetap adikmu." Suara Marini memecah keheningan.

"Aku ti..."

"CUKUP!" Bentak Marini memotong pembicaraan Hanin. Marini tidak suka jika apa yang dia katakan dibantah oleh anak-anaknya.

"Ma!"

Hanin mencoba menjelaskan isi hatinya pada sang ibu. Tetapi Marini memilih segera melangkahkan kaki menuju kamarnya, tampak ia berjalan sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya. Hanin masih berdiri ditempatnya, ditatapnya wajah memelas Gunadi dengan penuh amarah dan kebencian.

***

Handa berada di kamar yang sudah lima tahun tidak ia masuki. Kamar yang sebenarnya tidak besar, tapi tampak sangat lega karena tidak banyak benda di dalamnya. Hanya ada tempat tidur dengan ukuran single bed, nakas dan lemari pakaian kecil. Handa meletakkan tas punggungnya di atas nakas, lalu duduk di tepian tempat tidur, melepas sepatu dan memasukkannya ke bawah tempat tidur.

Handa berjalan menuju ke arah jendela. Beberapa saat ia berdiri di dekat jandela, dan disibakkannya gorden hingga ia bisa memandang keluar jendela. Tak lama kemudian ia kembali ke tempat tidurnya dan membaringkan tubuh untuk istirahat. Handa memiringkan tubuhnya dan menggunakan kedua tangannya menjadi bantal. Ingatan masa lalu mengganggu istirahanya.

Flashback:

Handa kecil duduk bersandar railling di lantai dua, dipeluknya erat kedua kakinya dan bulir-bulir bening jatuh bercucuran dengan deras kala Handa mendengar pertengkaran Gunadi dan Marini. Suara pertengkaran masih begitu jelas terdengar oleh telinga Handa, meskipun kejadiannya berada di lantai satu.

"Aku mohon pengertianmu, Mar!" Suara memelas Gunadi memohon.

"Kurang pengertian apa aku selama ini, Mas?" Marini justru balik bertanya dengan nada dengan tegas.

"Aku menerimamu apa adanya, aku menerima dosa-dosamu, aku menerima dosamu di rumah ini."Ucap Marini lagi tetapi dengan nada yang lebih tinggi.

PLAK

"Papa!" Teriak Hanin yang baru saja memasuki rumah dengan mengenakan seragam putih abu-abu.

Hanin berlari menghampiri Marini yang menangis sambil memegangi pipi kirinya.

"Mengapa papa tega memukul mama? Apa salah mama pa?" Hanin memeluk Marini dengan air mata mulai membasahi pipinya.

Tangan Gunadi masih bergetar setelah menampar Marini, Gunadi hanya diam kala hatinya dipenuhi dengan penyesalan.

"Papa memukul mama hanya untuk menutupi kesalahan papa, papa sangat egois, keterlaluan!" Caci maki keluar dari mulut Hanin, seolah dia lupa jika lelaki yang berada di depannya adalah ayah yang selama ini memenuhi nafkah untuknya. Gunadi pun semakin merasa bersalah, dia hanya berdiri mematung seakan tak bisa menggerakkan tubuhnya.

"Jangan menangis lagi ma, siapa pun yang membuat mama menangis harus merasakan penderitaan yang sama seperti mama, dia harus menangis seperti mama. Hanin tidak akan membiarkan dia bahagia di atas tangisan mama." Janji Hanin pada Marini sambil memeluk erat dengan air mata yang seakan tak mau berhenti membasahi pipinya.

Flashback off

Handa yang berbaring miring di tempat tidurnya dengan menggunakan kedua tangannya sebagai bantal segera bangun dan duduk bersandar dikepala dipan.

"Apa dosa papa? Mengapa aku harus pergi? Apakah aku dosa papa?" Handa berbicara dengan dirinya sendiri, lalu memeluk kedua kakinya dan menundukkan kepala hingga menyentuh lututnya.

***

Marini menyiapkan makan malam dibantu Handa. Handa tampak senang Marini memasak makanan kesukaannya, ikan bumbu kuning masakan yang sudah lama tak ia nikmati, karena di Semarang masakannya lebih banyak yang dominan rasa manis. Hidup menumpang membuat Handa menerima setiap makanan yang disajikan tanpa berani protes meskipun tidak sesuai dengan selera lidahnya, dalam keadaan seperti itu pun Handa harus tetap bersyukur karena masih ada yang bisa ia makan, gratis pula.

"Terima kasih ma, mama masih ingat makanan kesukaan Handa." Handa memeluk Marini dari belakang.

"Semua sudah siap, kamu panggil papa, mama panggil Mbak Hanin." Marini tersenyum sambil menepuk punggung tangan Handa.

Handa mengangguk, bergegas ke kamar orang tuanya. Marini menaiki tangga menuju kamar kamar Hanin di lantai dua.

"Makan dulu Nin, makan malam sudah mama siapkan." Marini memanggil Hanin sambil mengetuk pintu.

"Aku masih kenyang ma, aku tidak makan." Jawab Hanin dari dalam kamarnya.

"Makan Nin, jaga kesehatanmu! Jangan sampai kau ambruk di hari pernikahanmu nanti." Marini memaksa Hanin untuk makan, karena ia sangat mengkhawatirkan kesehatan putrinya.

Akhirnya pintu dibuka, dan Hanin muncul dari balik pintu dengan wajah cemberut.

"Aku tidak mau makan bersamanya, ma." 

"Bersabarlah! Seperti biasanya Handa tidak akan lama di sini." Marini berusaha menyakinkan Hanin.

"Fokuslah pada pernikahanmu, jangan kau kacaukan dengan kedatangan Handa. Masa depanmu lebih berarti dari pada sakit hatimu." Nasihat Marini pada sang putri.

"Bagaimana mama bisa menerima semua ini?" Hanin justru balik bertanya dengan nada kesal.

Marini mendengus kasar mendengar pertanyaan Hanin yang seakan mengingatkan pada luka dimasa lalunya.

"Mama hanya berjuang demi keluarga mama, setidaknya sampai sekarang kita memiliki keluarga yang utuh. Keluarga yang utuh tanpa Handa seperti yang kita mau. Biarkan dia sesekali hadir sebagai selingan layaknya iklan, yang penting keluarga kita tetap utuh." Marini meraih tangan Hanin, seakan menariknya keluar dari kamar.

Hanin menutup pintu kamarnya dan mengikuti Marini menuju ruang makan.

Di ruang makan tampak Handa dan Gunadi duduk berdekatan sudah menunggu di meja makan.

Hanin dan Marini segera duduk di salah satu kursi di ruang makan. Hanin menatap tajam ke arah Handa. Marini menyentuh tangan Hanin untuk menenangkannya. Handa berusaha untuk tidak menatap Hanin, bukan karena ia merasa bersalah atau takut, tetapi lebih karena ia menghindari provokasi Hanin. Handa hanya ingin menikmati makan malam dengan tenang, makan malam bersama keluarganya, apalagi menu yang dihidangkan Marini malam ini adalah masakan kesukaannya yang sudah lama tidak ia nikmati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status