Tingkah Nadiar yang konyol dan Alvis yang judes semoga dapat menghibur pembaca.
Sesuai nama tengah mereka, Alvis Lucifer Gideon adalah Lucifer, yang berarti iblis terkuat. Itulah sifatnya, yang berarti jahat. Dan Nadiar Gabriela Putri adalah Gabriel, yang berarti malaikat terkuat. Itulah sifatnya, yang berarti mulia.
Disaat Alvis di cap sebagai psikopat gila, Nadiar di cap baik oleh sekitarnya. Dan disaat Alvis bahkan dapat dengan mudahnya membunuh manusia, Nadiar selalu merasa berdosa saat membunuh seekor semut.
"Kamu benar, Nad. Kita bener-bener berbanding terbalik. Aku Lucifer, dan kamu Gabriel. Aku iblis, kamu malaikat. Aku jahat, dan kamu baik. Pertanyaannya ... apa kita bisa berakhir bahagia?" -Alvis
***
Alvis POV
Aku menggeram. Mataku menatap tajam pada dua penjaga yang sedang berdiri di ambang pintu yang tidak juga membuka penghalang untukku masuk ke dalam sebuah undangan pernikahan.
Ini konyol.
Maksudku, ayolah! Syarat tidak penting itu, seharusnya tidak menyulitkanku untuk masuk ke dalam sana. Kalian yang membaca cerita ini pasti akan berpikiran sama denganku. Karena syaratnya adalah;
Yang tidak membawa pasangan dilarang masuk.
Sialan! Mana mungkin aku membawa pasangan? Sedangkan, aku disini bukan untuk bertamu, melainkan untuk menghancurkan undangan ini sebelum si mempelai pria mengucap ijab qabul. Jika mereka tetap menahanku, bisa-bisa, aku tidak bisa mencegah pernikahan ini berlangsung.
Dan aku akan kehilangan orang yang aku sayangi.
Rahangku menegang, namun aku tetap memasang wajah tenang. Satu kalimat yang masuk ke dalam pikiranku itu membuat aku kembali melangkah, namun dengan cepat, kedua penjaga itu menahan dadaku, membuatku memberontak dari mereka. "Minggir." ucapku dingin, namun tetap tidak berpengaruh apapun.
Merasa marah, aku pun memukul telak salah satu penjaga itu, membuat penjaga itu tersungkur ke lantai.
Pekikan kencang terdengar di belakangku. Kedua penjaga yang tadinya melotot padaku kini mengalihkan tatapannya ke arah belakang tubuhku, membuatku menoleh.
Seorang perempuan yang usianya ... erm ... SMA, mungkin? Dilihat dari bentuk tubuhnya yang mungil itu, mungkin iya anak SMA. Aku tidak bisa menebaknya dengan pasti karena dia memakai sebuah gaun pesta dengan roknya yang di atas lutut. Sepertinya, dia salah kostom. Karena dia terlihat seksi seperti mau dugem.
Perempuan itu melotot garang padaku, lalu menghampiriku dengan pasti. Saat tepat di depanku, dia memukul kencang kepalaku, membuatku melotot ke arahnya. "Lo ini kasar banget, sih! Main tonjok aja! Gak sopan! Ih, gue gak suka! Walaupun lo ganteng, gue gak suka! Kasar! Dingin! Iiihhh!"
Apasih?
Malas debat dengan anak SMA, aku mendelik membuang pandangan darinya. Namun lagi-lagi, perih kembali terasa di kepalaku saat perempuan itu menjitak kepalaku lagi.
"Lo denger gak?! Gaboleh kasar-kasar!"
"Ya, ya, terserah." tanggapku acuh.
Perempuan SMA itu berdecak, lalu mengobrol dengan dua penjaga itu. Obrolan mereka diselingi dengan senyum, dan saat menoleh padaku, mereka menatap sinis dengan mata menyiratkan kalimat dasar-sombong nya.
"Minta maaf!" Tiba-tiba lenganku terdorong ke depan oleh tamparan perempuan itu.
Aku mengerutkan alis dengan mata yang menatapnya kesal.
"Minta maaf!" Ulangnya.
Aku memutar kedua bola mataku dengan malas. "Ogah."
"Iiihhh! Jangan sombong deh jadi orang! Mereka bakal maafin lo tau! Jangan gengsi dan takut gak dimaafin, deh!"
"Gak mau!"
Dia kembali menjitakku. Kali ini lebih keras sampai aku mengaduh dibuatnya. Dia ini! Tadi menyuruhku untuk jangan kasar. Tapi sekarang? Sialan! Benar-benar ingin ku tinju!
Aku memelototinya dengan garang. Namun, dia malah ikutan memelototiku dengan garang. "Minta maaf sana!"
"Gak mau! Lo kok maksa banget, sih?!"
"Minta maaf, ganteng! Ntar gue bakal jadi pasangan lo deh kalo lo nya minta maaf."
"Ogah. Pede banget gue bakal milih lo."
"Heh! Gue ini lagi berniat baik! Lo boleh masuk kalo bareng gue."
"Idih, siapa lo? Sok penting banget."
"Eh amit amit ya lo! Ganteng-ganteng kok bego? Situ amnesia? Syarat masuk undangan kan berpasangan!!"
Aku mengedip cepat. Seketika, aku mengerti kenapa perempuan SMA ini menawarkan diri. Maksudku, bukannya aku geer kalau perempuan ini ingin berduaan bersamaku. Hanya saja, perkataannya itu tuh yang terlalu bertele-tele.
Akhirnya, aku menatap perempuan itu lalu mengangguk cepat.
Dia hanya mendelik kesal, lalu menatap penjaga itu sambil tersenyum.
"Sori." ucapku pada akhirnya. Namun, si perempuan SMA itu malah kembali menatapku dengan melotot garang. Aku menghela napas panjang lalu menatap penjaga itu satu persatu. "Gue minta maaf atas kekasaran gue barusan."
Perempuan itu kembali menatap dua penjaga itu, lalu tersenyum. Hebat! Dia mendiskriminasi dengan terang-terangan. Kurang ajar. Baru kali ini aku di begitukan.
Aku buru-buru masuk saat penghalang itu terbuka. Namun, bahuku langsung melemas kala melihat mempelai pria sedang mencium kening mempelai wanita.
Aku terlambat.
Satu kenyataan yang sukses membuat darahku mendidih. Lihat saja! Aku akan-
"Eh minggir bego! Lo nutupin jalan gue!"
Aku terdorong ke samping saat ada yang mendorongku dengan kuat. Mataku lalu menemukan perempuan SMA itu yang sedang cemberut sambil menatapku tajam.
Mulutku menganga lebar. Di saat aku marah, dia mengganggu. Dan di saat aku sedih sekaligus murka, dia mengganggu juga.
Aku berdiri, menatap perempuan SMA itu dengan sengit. "Eh anak kecil! Lo tuh kenapa, sih? Ngefans ya sama gue? Ganggu mulu dari tadi!"
Dia melotot, lalu mencubit lenganku dengan kencang. "Siapa yang lo bilang anak kecil?!"
Aku mendelik kesal kearahnya. "Heh! Gue ini mahasiswa semester 5! Dan lo yang masih anak SMA, seharusnya hargai gue dikit."
Matanya makin melotot. Dia lalu memukul tanganku dengan sekuat tenaga. "GUE JUGA MAHASISWI SEMESTER 2! GUE BUKAN ANAK SMA!"
Aku mendengus sebal. "Terserahlah. Yang pasti, jangan ikuti gue!"
"Idiihh, siapa juga yang mau ngikut lo?! Sadar diri dong! Ngaku gede, tapi berdiri di tempat yang bener aja masih linglung. Elo dari tadi halangin jalan masuk, bego!"
Astaga! AKU BELUM MENERUSKAN MONOLOG TERAKHIRKU! Dan sungguh, berdebat dengan anak ini menguras tenaga. Aku berdecak sebal karenanya. "Yaudah sono! Ngapain masih deket-deket gue?"
Mukanya memerah. Aku tahu, itu bukan karena tersipu, melainkan karena menahan segala umpatan yang ada di dalam otaknya. Namun akhirnya, perempuan itu mengalihkan pandangan ke depan. Dan aku kaget saat ekpresinya berubah dengan cepat dan berganti dengan wajah berbinar bahagianya.
Dia akhirnya berjalan menjauh dengan gumaman, "Makanan, Mom comming." yang masih dapat kudengar.
Aku menggeleng melihatnya. Tadi, aku bermonolog sampai mana, sih? Ah, ya, aku ingat.
Satu kenyataan yang sukses membuat darahku mendidih. Lihat saja! Aku akan membalas dendam.
"Masuk!"Pintu tinggi yang barusan diketuk dari luar itu terbuka, menampakan seorang lelaki muda berjas hitam yang tersenyum pada seseorang yang duduk di kursi singgasananya.Lelaki yang duduk itu membuka kacamatanya, lalu menyandarkan punggungnya di kursi."Pak Alvis-""Gausah basa-basi, lo! Udah keluar, juga." Lelaki yang duduk di kursi singgasananya itu bersuara, memotong panggilan dari lelaki berjas itu.Lelaki yang masih berdiri di ambang pintu itu tertawa pelan mendengarnya. Kakinya lalu melangkah masuk lebih dalam dengan sebuah map berwarna coklat yang dibawanya. Ia berjalan santai menghampiri lelaki yang tadi dipanggilnya Pak Alvis.Hingga akhirnya ia sampai di samping meja Alvis yang berantakan. Di sana terdapat banyak kertas dan juga map-map yang bertebaran. Juga 1 gelas, dan tanda pengenal yang di ukir pada kaca dengan tulisan;Alvi
Nadiar menatap tampilan dirinya di cermin dengan mata berbinar senang. Ditubuhnya, melekat sebuah kemeja berwarna putih yang dilapisi blazzer hitam dan rok hitamnya yang berjarak sedikit di atas lutut. Sambil tersenyum, Nadiar merapikan rambutnya dan menyimpan gumpalan rambutnya melewati bahu. Senyum Nadiar melebar melihat tampilan dewasanya. "Aduhh, cantiknya ciptaanmu, Ya Allah ..." ucapnya sambil mendesah, kagum pada dirinya sendiri.Setelah bercermin beberapa menit, Nadiar lalu menggunakan sedikit bedak dipipinya. Setelah itu, memoleskan lipstik berwarna merah tebal dibibirnya. Melihat tampilan tante-tantenya, Nadiar cekikikan sendiri. "Aaa! Nadiar udah gede!"Tak tahan berlama-lama mengagumi diri sendiri, Nadiar mengambil tas di kasurnya, lalu memilih satu heels berwarna hitam di rak sepatunya. Ia kemudian keluar dari kamar dengan senyum yang memenuhi pipinya. Sampai di lantai 1 rumahnya, ia memasuki ruang makan dima
Nadiar menghela napas untuk menenangkan dirinya. Ia lalu melepaskan pelukannya dari laki-laki yang kini bersamanya di dalam lift. Tangan Nadiar menarik jas lelaki itu, sedangkan ia melangkah mundur dan kembali menyandarkan tubuhnya di dinding lift. "Hey, sini dong! Gue takut, tau!!" suruhnya saat sadar tubuh lelaki itu masih terpaku di tempat."Lepas."Nadiar cemberut mendengar suara dingin itu. Ia lalu menghempaskan pegangannya di jas lelaki itu dengan sebal. Mata Nadiar kemudian menatap sekelilingnya yang gelap, membuatnya berdecak sebal. "Ini lift kenapa, sih? Perusahaannya elit, tapi liftnya gak elit."Sesaat setelah mengatakan hal tersebut, cahaya muncul saat lelaki yang bersama Nadiar menyalakan ponsel dan terlihat mengutak atik layarnya. Nadiar lalu mengambil ponsel di tasnya, kemudian menyalakan flash agar mendapat cahaya lebih banyak."Halo?"Tatapan Nadiar beralih pada lelaki
Nadiar menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Kepalanya tertunduk dalam saat Alvis membawanya masuk dan berhenti tepat di sebuah meja di luar ruangan lain dalam pintu tersebut."Di sini meja kamu," ucap Alvis dingin. "Kamu boleh masuk ke ruangan saya kalau saya yang suruh. Selebihnya, kalau ada apa-apa, telfon saja. Mengerti?"Sambil menelan ludahnya, Nadiar mengangguk cepat. "Me-mengerti, Bos."Alvis mengangguk. "Bagus," katanya. "Kalau begitu, saya masuk dulu. Nanti saya beri kamu tugas."Nadiar mengangguk cepat, bersamaan dengan Alvis yang langsung berlalu dihadapannya. Akhirnya, Nadiar bisa bernapas. Ia lalu menghela napas lega, mencoba menetralkan detak jantungnya yang meloncat gila-gilaan.Benar, kan? Hari ini akan sial. Soalnya, tadi Nadiar sudah terpeleset dengan tidak elitnya.Nadiar jadi ingin menangis. Matanya sudah berkaca-kaca dan bibir bawahnya sudah maju ke depan. "I
Alvis menutup pintu ruangannya, lalu menatap Nadiar yang sedang sibuk dengan komputer didepannya. Melihatnya, membuat Alvis mendengus pelan. "Saya ada pertemuan siang ini."Nadiar mendongak, lalu mengangguk. "Ya, bos. Di kafe dekat kantor ini.""Iya."Lalu hening. Keduanya saling menatap. Dan Alvis menunggu. Menunggu reaksi Nadiar selanjutnya. Namun, Nadiar tetap duduk dan menatap Alvis datar, lalu mengedip. Terus melakukan hal tersebut, dan Alvis terus menatap Nadiar."Bos?""Hm?""Bos ngapain masih di sini?" tanya Nadiar dengan alis yang bertautan."Kamu sendiri, ngapain masih duduk?""Saya kan kerja, bos.""Kamu gak akan menemani saya?""Hah?" Alis Nadiar bertaut dalam. Tangannya terangkat lalu menggaruk tengkuknya pelan. "Harus, ya, bos?"Alvis mendelik sebal. "Ya kamu pikir saja. Gunanya kamu ap
Alvis baru saja keluar dari gedung perusahannya saat melihat Nadiar yang berdiri di halaman perusahaan sambil memeluk dirinya sendiri. Alvis mengerutkan alis. Ia memperhatikan dengan seksama saat ada mobil sedan berwarna merah yang terparkir tepat di depan Nadiar. Pengemudi sedan itu lalu keluar, dan menatap Nadiar dengan wajah berbinar senang.Nadiar buru-buru lari ke arah lelaki itu, lalu mereka berpelukan di sana. Si lelaki kemudian mengecup puncak kepala Nadiar, lalu mengelus pelan rambut perempuan itu.Walaupun dari jauh, Alvis masih dapat mendengar laki-laki itu bersuara. "Gimana kerjanya, sayang? Lancar?"Nadiar mengangguk cepat. "Lancar, tapi capek.""Capek banget?" tanya lelaki itu lagi.Nadiar kembali mengangguk, lalu menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu. "Kangen kamu."Lelaki yang di peluk Nadiar itu tertawa, lalu kembali mengecup puncak kepala Nadiar. "Kalo git
"Psst! Cewek! Godain abang, dong~""Abang! Apaansih! Minggir, ah!""Godain abang, dong, cantik!""Abang!! Jangan ganggu!!""Psst, neng, godain abang, dong!!"Nadiar mengeraskan rahangnya. Tangannya kemudian mengambil bantal sofa, lalu melemparnya pada Alden yang sedang berdiri menghalangi tv. Dan sialnya, Alden berhasil menangkap bantal tersebut dan menatap Nadiar dengan seringai mengejek. Sekali lagi, Nadiar mengambil bantal dan melempar kembali ke kepala Alden. Kali ini, bantal tersebut malah melayang melewati kepala Alden. Dan sekali lagi, Alden memberi seringai mengejek dengan tatapan segitu-doang-kemampuan-lo?Nadiar menggeram kesal, lalu mengambil seluruh bantal di sofa untuk melempar pada Alden dengan membabi buta. Alden kabur, sedangkan Nadiar terus mengejar sambil melempar dan berteriak, "Harus kena, abang!! Ngalah dikit ama adek!!"Alden hanya
No edit.Ternyata, Alvis tidak mati.Sesaat setelah Nadiar menangis kencang, Alden datang dengan mobilnya dan menghampiri Nadiar yang masih sesegukan. Sadar ada orang lain di sana, Nadiar mengangkat kepalanya, dan tangisnya semakin kencang. "Abang!! Bos Diar meninggal, Bang!"Alden lalu berjongkok dan mengulurkan jarinya ke bawah hidung Alvis. "Dia masih hidup!" ucap Alden sambil berdecak dan menjitak kepala Nadiar kencang. "Lo kenapa lama banget, sih?! Gue di marahi nyokap, tau!"Nadiar sesegukan dan menyedot ingusnya kuat-kuat. "Abang mau marahin Diar? Sedangkan di sini ada orang yang lagi sekarat gara-gara Diar."Alden berdecak, lalu menarik tangan Alvis, kemudian menopang tubuh Alvis dengan punggungnya. Kepala Alden mengedik pada mobil yang ternyata sudah terparkir di sisi jalan. "Masuk!"Nadiar mengangguk, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.