Share

thirteen; treat you better

Nadiar sedang duduk dengan pipinya yang di simpan di permukaan meja kerjanya, membuat Nadiar harus membungkuk agar kepalanya tersimpan di atas meja. Mulutnya terus berkomat-kamit, sedangkan tangannya mengelus perut rampingnya dengan miris. Nadiar lapar. Nadiar butuh makan. Waktu sudah menunjukan pukul 12 lebih 46 menit, dan sudah seharusnya cacing-cacing di perut Nadiar diberi makan. Namun, apalah daya. Nadiar mempunyai bos yang kepekaannya amat sangat rendah. Lebih rendah dari hanya sekedar kata rendah. Jika ada kata yang lebih rendah daripada kata rendah, itulah kata yang tepat untuk kepekaan Alvis pada keadaan Nadiar.

Nadiar merasa ingin menangis sekarang juga. Kejam sekali ketidakpekaan Alvis.

Membuat Nadiar lapar adalah kejahatan.

Makanan adalah hal yang amat sangat tidak boleh alfa di hidup Nadiar. Jika harus memilih antara ditikung atau tidak di beri makan, Nadiar lebih memilih ditikung daripada tidak di beri makan. Nadiar kan cantik dan punya banyak pacar. Jadi, ditikung bukanlah hal yang besar.

Suara ketukan di pintu membuat lamunan Nadiar terhenti. Ia menegapkan duduknya dan menoleh ke arah pintu. Seorang satpam berdiri di bingkai pintu sambil tersenyum ramah pada Nadiar. Kepalanya mengangguk sekali sebagai kesopanan. "Permisi, mbak."

Nadiar langsung berdiri dari tempatnya dengan tatapan mata memincing ke satpam tersebut. "Ya," balas Nadiar setengah sadar. Karena kini, Nadiar sedang terpikirkan oleh wajah satpam tersebut yang terlihat familier.

Satpam tersebut masih muda, dan kulitnya terlihat putih dan mulus. Mungkin, umurnya sama dengan umur Nadiar. Atau bahkan lebih muda. Entahlah. Yang pasti, wajahnya amat sangat familier. Tangan satpam itu terangkat untuk menunjukan sebuah kantung plastik yang ia bawa. "Maaf. Tadi, ada yang ngirim makanan. Dan katanya, ini atas nama Pak Alvis."

Nadiar mengangguk dengan mulut yang terbuka membentuk huruf 'O'. "Oke, Pak. Sini saya kasihin," ucapnya sambil melangkah keluar dari meja, lalu mengambil kantung plastik berwarna putih itu. "Makasih, ya, mas ...," jeda, mata Nadiar melirik ke arah kartu pengenal satpam tersebut. "... Hengki."

Senyuman Hengki melebar. Lelaki itu kemudian mengangguk sopan sekilas. "Permisi, mbak."

Nadiar mengangguk pelan. "Oke."

Hengki pun berbalik, kemudian berlalu.

Nadiar masih diam ditempatnya dengan alis yang berkerut heran. Ya, sepertinya, Nadiar pernah melihat lelaki itu. Tapi ..., dimana?

Nadiar menghela napasnya karena tidak menemukan jawaban atas pertanyaan di pikirannya. Ia kemudian berbalik dan berjalan ke arah ruangan Alvis. Tangan Nadiar lalu terangkat untuk mengetuk pintu 3 kali.

"Masuk."

Seperti biasa, seruan bernada dingin itu yang di dengar Nadiar lagi. Tangan Nadiar kemudian memegang gerendel pintu, lalu membukanya lebar-lebar. Nadiar masih kesal pada Alvis. Jadi, ia hanya diam di bingkai pintu sambil mengangkat tangannya yang memegang kantung plastik. "Ini, Pak. Ada kiriman. Barusan, satpam yang anter."

Alvis sedang duduk bersidekap ditempatnya. Dan Nadiar harus menggigit bibir bawahnya agar tidak terpengaruh dengan penampilan Alvis kali ini. Kenapa 2 kancing teratas Alvis terbuka? Kenapa dasi Alvis melonggar? Kenapa juga rambut Alvis terlihat acak-acakan? Dan yang paling penting ..., KENAPA ALVIS MAKIN GANTENG??

Nadiar membuang napas, lalu menelan ludahnya dengan susah payah.

"... Nadiar? Kamu dengar apa yang saya bilang?"

Suara dingin Alvis membuat Nadiar mengedip cepat, lalu menatap Alvis dengan linglung. "A-apa tadi, Bos?"

Alvis terlihat menghela napas panjang. "Saya bilang, tolong simpen pizzanya di ruangan sofa saya."

"O-oke," Nadiar lagi-lagi menjawab gugup. Ia harus berdeham dan mulai melangkahkan kakinya ke arah ruangan lain di dalam ruangan Alvis. Sebuah ruangan yang terdapat 2 sofa panjang, 1 sofa untuk seorang dan satu meja panjang yang terdapat di tengah. Disanalah Naidar menyimpan kantung plastik yang berisi pizza.

Eh? Pizza? Satu kenyataan bahwa di dalam sana terdapat makanan, membuat sesuatu terasa bergejolak di perut Nadiar. Setelah itu, disusul dengan suara aneh yang membuat Nadiar harus menelan ludahnya susah payah.

Apakah terdengar? Suara keroncongan perut Nadiar ..., apa di dengar Alvis?

Dengan menggigit  bibir bawahnya dengan gugup, Nadiar menolehkan sedikit kepalanya ke belakang. Melihat Alvis yang sudah berada dekat dengannya, membuat Nadiar melotot dan berjengit kaget. "B-bos ...," jeda, Nadiar kembali menelan ludahnya. "Tadi ..., kedengeran?"

Alvis menyorot datar, lalu mengangguk sekali. Hal itu, dapat membuat Nadiar hampir pingsan di tempat, sedangkan Alvis biasa-biasa saja dan meneruskan langkahnya berjalan ke sofa, lalu duduk di sofa panjang. Suara dehaman dari Alvis lalu terdengar bersahtuan dengan suara kantung plastik yang diturunkan. "Kamu lapar?"

Nadiar hanya menjilat bibirnya dengan gugup, lalu menunduk dalam. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan dari Alvis. Kalau Nadiar menjawab jujur, Nadiar malu. Kalau Nadiar menjawab bohong, sama saja dosa. Jadi, jawaban terbaik adalah diam.

"Lapar tidak?" Alvis kembali bertanya. Dan Nadiar tidak bisa untuk menahan anggukan pelan kepalanya. Alvis ikut mengangguk, mengerti. "Yasudah. Kamu ikut saya makan saja."

"APA?!" Nadiar berteriak tanpa sadar, dan sukses membuat Alvis yang sedang mengeluarkan kotak pizza itu tersentak kaget. Nadiar menutup mulutnya yang menganga, lalu menggigit bibir bawahnya agar tidak tersenyum lebar akibat ajakan Alvis tadi. "Bos tadi nawarin saya?"

Alvis terlihat menenangkan dirinya, lalu mengangguk. "Iya, saya nawarin kamu makan bareng. Itupun kalo kamu mau makan—"

"Mau, Bos! Mau banget!!" Nadiar menjawab cepat dengan semangat. Hampir saja ia melompat kesenangan karena mendapatkan makanan di saat-saat terlaparnya.

Alvis terdengar mendengus. Sebuah dengusan yang terselip kegelian didalamnya. Itu dugaan awal Nadiar. Namun, melihat Alvis yang malah kembali mengangkat 1 kotak pizza dan mengabaikan Nadiar, membuat Nadiar sadar jika tadi hanya khayalannya saja.

Ya, tidak mungkin juga si dingin-judes-yang-cerewet Alvis bisa mendengus geli atas kelakuan Nadiar. Diberikan kelucuan lawakan Sule saja, mungkin Alvis tetap tidak akan tertawa. Alvis benar-benar bukan tipe Nadiar banget!

"Kamu mau makan sambil berdiri?" pertanyaan dari Alvis membuat lamunan Nadiar yang sekejap itu buyar.

"Ya enggak, lah! Dosa, Bos," jawab Nadiar, lalu mendekat pada Alvis. "Geser dong, Bos!"

Alvis mengangkat wajahnya, lalu mengedip cepat pada Nadiar.

Nadiar yang di tatap begitu, mengedikan kepalanya ke arah ruang kosong di samping Alvis. "Geser dikit ke sana."

"O-oh ..., oke." Alvis kemudian menggeser duduknya, dan memberi ruang untuk Nadiar.

Nadiar nyengir lebar, lalu duduk di samping Alvis sambil menatap lapar pada 2 kotak pizza di hadapan keduanya. "Bos ..."

"Hm?"

"Gak akan mesen lagi gitu, Bos? Porsi segini masih kurang buat mengisi kekosongan di perut saya," ujar Nadiar sambil menatap bosnya yang juga menatap pada Naidar.

"Kamu ...," jeda, Alvis berdeham sebentar, lalu mengalihkan tatapannya pada pizza lagi. "Kamu mau nambah makan apa?"

Nadiar nyengir lebar. "Dikit, sih."

"Apa aja?"

"Spageti, gorengan, ciken, sama bakso aja. Udah. Segitu aja."

Alvis menoleh pada Nadiar dengan matanya yang agak membelalak. Namun setelah itu, Alvis berdeham dan mengangguk mengerti. "Oke, kalo gitu. Tar saya suruh satpam depan beliin."

"Uow!! Bos baik banget!!" puji Nadiar, lalu tertawa dan bertepuk tangan dengan antusias.

Kali ini, Nadiar mengetahui fakta lain tentang Alvis. Alvis ini, orang yang bisa dengan mudah membuatnya kesal, sekaligus orang yang juga dapat membuat Nadiar lebih baik dalam sekejap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status