Tolong kasih gue recommended cerita yang rame dan memorable dongs~
Happy reading~
Suara ketukan di pintu membuat Alvis mengalihkan pandangan dari laporan di dokumennya, lalu mendongak untuk menatap pintu ruangannya yang barusan diketuk dari luar. "Masuk." seru Alvin pada siapapun yang ada di balik pintu itu.
Pintu terbuka sedikit demi sedikit dan berjalan lambat saat celahnya menampilkan kepala menunduk Nadiar yang terlihat gugup. "B-bos ..." cicitnya.
Alvis hanya berdeham untuk membalasnya.
Nadiar terlihat menggigit bibir bawahnya saat mencoba masuk lebih dalam dengan kepala yang masih menunduk dalam. "B-bos ...," panggilnya lagi.
Alvis harus menahan diri untuk tidak mendengus sebal pada Nadiar. "Ada apa?"
"S-saya ...," ucap Nadiar gugup, dan Alvis tetap diam tanpa menjawab saat Nadiar bergerak tidak nyaman ditempatnya. "S-saya gak bawa dompet."
Alvis mengerutkan alis mendengarnya, sedangkan Nadiar masih tetap berdiri tidak nyaman disana sambil sesekali menatap Alvis. Sedangkan Alvis diam dengan segala pikiran berkecamuk di otaknya. Ia berpikir tentang mengapa Nadiar harus melapor kepada Alvis perihal dompet. Apakah ada di peraturan perusahaan jika sekertaris harus melapor pada bosnya saat tidak membawa dompet? Atau bagaimana? Alvis bingung sendiri dibuatnya.
"Bos gak peka?" tanya Nadiar yang nampaknya sudah lelah menunggu respon Alvis.
"Apa itu ada hubungannya dengan peraturan perusahaan?"
Mulut Nadiar terbuka lebar beberapa detik, sebelum menutup rapat, dan kepalanya terangkat hanya untuk mendelik sebal pada Alvis.
Hey! Tidak sopan! Alvis baru saja akan protes atas kelaukan Nadiar itu. Namun Alvis urungkan dan lebih baik duduk tenang ditempatnya sambil menunggu Nadiar mengatakan apa maksud kedatangannya pada Alvis.
"Saya ingin makan, bos," Nadiar kemudian berkata dengan helaan napas yang menyusul kalimatnya. "Tapi, saya gak bawa dompet."
Alis Alvis sukses bertautan mendengar perkataan Nadiar yang tetap tidak dapat dimengerti oleh Alvis. "Jadi?"
"Saya gak bisa makan jadinya."
Alvis hanya menganggukan kepalanya. "Oh."
Raut wajah Nadiar terlihat kesal melihat respon Alvis. "Iya, bos. Saya gak bisa makan."
Alvis hanya mengangguk membalasnya. "Iya, saya tahu."
Senyum Nadiar terukir lebar mendengarnya. "Sekarang, bos udah peka?"
Alvis kembali menautkan alisnya. "Saya harus peka apa lagi?"
Nadiar mengedip cepat dengan mulutnya yang terbuka setengah. "Jadi, tadi bos peka karena apa?"
"Karena kamu bilang tidak bawa dompet dan tidak bisa makan siang?" Alvis menjawab pertanyaan Nadiar dengan pertanyaan, membuat perempuan yang masih berdiri didepannya itu tampak semakin kesal.
Beberapa detik kemudian, Nadiar menghela napas panjang. "Bos, saya ini gak punya hape!" serunya kesal. "Saya gak bisa ngehubungin orang rumah karena hape saya gak ada, Bos!"
"Emang, hape kamu ke mana?" tanya Alvis heran dengan alis yang mengerenyit bingung.
Nadiar mengusap wajahnya kasar, lalu menjambak rambutnya dengan frustasi. "Hape saya di lempar Bang Alden ke kebun binatang, trus di makan gajah. Abis itu, gajahnya di kirim keluar negeri dan poop di sana. Makanya, hape saya sedang berada di luar negeri dalam keadaan rusak."
Alvis mengangguk mengerti dengan mulutnya yang mengucapkan 'O' tanpa suara. "Itu beneran?"
"Ya enggak, lah!" kesal Nadiar dengan dadanya yang mulai naik turun, dan wajahnya yang memerah marah.
"Lalu? Kenapa kamu menceritakan hal itu pada saya?"
"Ish," desis Nadiar kencang dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. "Udah, lah, lupain! Saya permisi, Bos!"
Mulut Alvis menganga saat Nadiar keluar dengan pintu yang di banting kencang. Rahang Alvis mengeras mendapatkan perlakuan seperti itu. Kenapa sekertarisnya itu kurang ajar sekali? Berani-beraninya membentak dan membanting pintu di hadapan Alvis! Padahal, perempuan itu tahu jika Alvis adalah Bosnya! Kali ini, Alvis tidak tahan lagi!
Dengan suara menggeram marah yang dikeluarkan mulutnya, Alvis mengeluarkan ponsel dari lacinya, lalu menghubungi nomor internasional Devan. "Halo?!" sapa Alvis saat Devan sudah mengangkat panggilannya.
"Wew, selow, sayang. Ada apa, sih?" tanya Devan, lalu terkekeh geli. "Kangen ya lo?"
Alvis menggeram marah, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Dave, plis. Gue gak tahan banget ama itu cewek! Lo nemu dia dimana, sih? Gak ada sopan-sopannya ama gue, tau gak?!" ujar Alvis bertubi-tubi dengan matanya yang menatap Nadiar melalui jendela kerjanya. Perempuan itu sedang mengacak rambutnya, lalu berkomat-kamit sendiri, kemudian memukul meja dengan kesal. Alvis merinding dengan kelakuan abnormal Nadiar.
Devan malah terkekeh di sebrang sana. "Itu calon istri gue yang nemuin, Dave."
Alvis mengerutkan alisnya dengan bingung. "Apa maksud lo?"
"Yea, dia temen calon istri gue. Awalnya, gue milih 3 orang yang bakal jadi sekertaris lo. Calon istri gue ada disana, dan dia ngasih tau asal usul Nadiar. Yah daripada gue cari yang gak jelas tektek bengeknya, mending gue pilih yang jelas aja. Kata istri gue, sih, Nadiar orangnya jujur."
Alvis mendengus sebal. "Jadi, lo milih dia karna dia temen calon istri lo?"
Devan tertawa di sebrang sana. "Duh, Vis, gue gak serendah itu. Udah gue bilang, dia itu orangnya kompeten."
"Tapi dia gak hormat ama gue!"
"Dia orangnya jujur, Vis. Kalo dia gak hormat ama lo, berarti ada yang dia pendem tentang lo. Yang pasti, hal yang dia pendem itu buruk bagi dia. Emangnya, dia ngapain, sih? Sampe bisa bikin lo uring-uringan gini."
Alvis melonggarkan dasi yang mencekik lehernya, lalu membuka 2 kancing teratas kemejanya, kemudian menyandarkan punggungnya di kursi kerja. "Dia beberapa hari kemarin nyusahin gue! Tadi juga! Lo tau? Waktu gue nyuruh lo ganti Nadiar itu adalah hari di mana gue nolongin dia dari berandalan! Gue digebukin sama berandalan itu karna Nadiar minta tolong gue buat ambilin hapenya yang ketinggalan sama belanjaan yang jatuh deket itu berandalan. Makanya, gue pemulihan di RS. Sialnya, dia malah nambah gue susah dengan dateng ke RS tiap balik kerja! Dia cerewet banget, Dave! Gue gak tahan! Trus tadi, dia tiba-tiba curhat kepingin makan tapi gak bawa dompet dan gak punya hape. Udah itu, dia malah marah dah banting pintu dengan gak sopannya! Maksudnya apa, coba?!"
Alvis sedang mengatur deru napasnya yang memburu saat Devan tidak membalas perkataan Alvis lagi. Terlalu lama, hingga membuat Alvis menjauhkan ponsel dari telinganya hanya untuk memastikan di layar ponselnya jika sambungan masih terhubung.
Alvis mengerutkan alis saat melihat sambungannya masih terhubung dengan Devan. Ia lalu kembali menempelkan layar ponselnya di telinga. "Dave? Lo masih disana?"
"E-eh, ya, Vis. Gue masih di sini."
Alvis menghela napas panjang. "Pokoknya, Dave, gue gak mau tau! Lo harus secepatnya ganti dia, atau gue sendiri yang turun tangan."
"Kasih dia waktu sebulan dulu, Vis. Kalo lo masih tetap pada pendirian lo, gue bakal turutin. Takutnya, lo ntar nyesel, Vis."
Alvis berdecak kesal. "Gak akan, Dave. Gue malah sial kalo dia tetep di sini," ucapnya, lalu kembali menghela napas panjang. "Udah deh. Gue mau makan siang dulu. Gue tutup, ya!" Alvis sudah akan menekan simbol berwarna merah di ponsel saat Devan meneriakan namanya dan membuat Alvis harus menyimpan kembali layar ponselnya di telinga. "Kenapa, Dave?"
"Gue tau sekertaris lo kenapa."
Alvis mengerutkan alisnya dengan bingung. "Kenapa emang?"
"Dia pengen minjem duit lo. Lo sendiri yang bilang hape Nadiar ada dibelanjaannya yang ketinggalan, dan lo sendiri yang bilang kalo Nadiar gak punya hape. Jadi, maksud dia curhat tentang dompet itu, karna Nadiar gak bisa ngehubungin siapapun buat ngasihin dompetnya ke kantor."
Alis Alvis makin berkerut dalam mendengar penuturan Devan. Benar juga. Apa yang dibilang Devan, benar-benar menunjukan gelagat Nadiar barusan. Seketika, mata Alvis menatap Nadiar melalui jendela ruangannya. Perempuan itu sedang memegang gagang telfon kantor dengan raut wajah cemas. Jari telunjuk Nadiar memijat pelan pelipisnya dengan mata yang terpejam, terlihat sedang berpikir keras. Dari gelagatnya, mungkin Nadiar sedang mengingat nomor telfon orang rumah yang bisa membawakan dompetnya.
Alvis mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menghela napas panjang. "Yaudah, Dave. Gue tutup telfonnya."
"Okidoki, sayang."
Alvis bergidik ngeri, lalu cepat-cepat menatap sambungan telfon disaat Dave sedang tertawa setan disebrang sana.
Mata Alvis lalu kembali menatap Nadiar yang kini sedang menjedotkan kepalanya berkali-kali pada permukaan meja. Alvis menghela napas panjang.
Apa ..., Alvis harus menghampiri Nadiar duluan?
Langit sudah gelap saat mobil yang Nadiar tumpangi kini berhenti di depan rumah milik Nadiar. Sisa tawa akibat celotehan Nadiar yang direspon menyebalkan oleh Alvis pun, perlahan terhenti. Nadiar tersenyum lebar pada Alvis. "Bye honey, sampai ketemu di kantor!"Baru saja tangan Nadiar menyentuh gagang pintu mobil, suara Alvis yang berseru, "Tunggu!" membuat Nadiar membatalkan niatnya dan menoleh pada Alvis."Kenapa?" tanya Nadiar dengan alis yang terangkat sebelah.Alvis melepaskan sabuk pengamannya, lalu tersenyum miring pada Nadiar. Dan sial, ketampanan Alvis berlipat-lipat! "Aku yang bukain pintunya," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.BUNUH GUE!! Nadiar tidak bisa merespon kelakuan Alvis sedikitpun. Ia hanya diam saat Alvis keluar dan mengelilingi mobil. Sifat Alvis yang amat sangat jarang Nadiar lihat kini seketika membuat darah Nadiar berdesir. Dan harus Nadiar akui. Untu
Mulut Nadiar menganga lebar, sedangkan matanya mengedip cepat. Apa tadi? Apakah Alvis baru saja ..., menembak Nadiar? Be my baby, katanya? Nadiar melotot pada Alvis. "Bos ..., tadi, Bos nembak saya?"Alvis tersenyum, lalu menjauhkan wajahnya dari wajah Nadiar. Ia mengangguk mantap. "Ya, saya ingin kamu jadi pacar saya. Kenapa? Kamu menolak?"Nadiar tertawa hambar. "Saya bego kalo saya nolak Bos. Tapi ...," jeda, Nadiar mengubah raut wajahnya menjadi ekspresi tidak mengerti. "Kayaknya, Bos yang bego deh, mau-maunya sama saya. Kenapa? Terpukau sama teori penjahat berhak bahagia, ya? Wah, kalo emang itu penyebabnya, saya udah ngomong kayak gitu di depan Justin Bibier.""Kamu meledek saya?"Nadiar menggeleng cepat sambil menggoyakan tangannya di depan tubuh. "Bukan! Bukan gitu, Bos! Tapi, aneh aja. Kok, Bos bisa-bisanya nembak saya? Kalo saya yang suka Bos rasanya gak aneh. Tapi, saya gak nyangka
"Bos, kita sebenernya, mau kemana, sih?"Pertanyaan itu membuat Alvis melirik sejenak ke arah Nadiar yang tengah duduk di kursi samping pengemudi. Matanya berkedip heran, dan bibirnya mengerut akibat penasaran. Ya, setelah mereka menghabiskan makanan dan saling bertukar sapaan selamat tinggal pada Devan-Dizi, Alvis dan Nadiar langsung pergi ke tempat yang ingin dikunjungi oleh Alvis. Dan disinilah mereka. Dalam perjalanan menggunakan mobil untuk sampai ke pantai."Bos, kok perasaan, gak nyampe-nyampe, ya?" Nadiar kembali bertanya, namun, belum juga Alvis menjawab, Nadiar kembali membuka suara. "Bos, saya pengen dengerin lagu lewat radio mobil ini, boleh? Biar gak terlalu sepi, hehe.""Hm," balas Alvis sambil mengangguk pelan. Alvis melihat Nadiar yang mengaduk tasnya, lalu mengeluarkan ponsel dan kabel data.Nadiar langsung menghubungkan radio mobil dan ponselnya dengan menggunakan kabel data. "Mobil Bos bagus
"Mana coba mulutnya? Sini ..., am nyam, nyam, nyam. Enak?"Lelaki itu menelan makanannya, lalu nyengir lebar. "Enak!"Mereka tertawa lalu kembali melanjutkan makan.Alvis dan Nadiar kompak menggeleng melihat kelakuan mereka. Sesuai keputusan, Alvis dan Nadiar meluangkan waktu mereka untuk makan sebentar. Namun ternyata, walaupun mereka mengajak Alvis dan Nadiar makan bersama, dunia seolah milik mereka berdua. Sedari tadi, mereka saling suap, lalu saling menghapus remah di bibir pasangannya tanpa mempedulikan orang lain yang menjadi obat nyamuk keduanya.Nadiar menghela napas panjang. "Plis, deh, Dizi, gue yang banyak mantan aja gak pernah, tuh, yang namanya suap-suapan di depan lo."Dizi seolah tersentak. Matanya melotot, sedangkan mulutnya terbuka lebar. "Ya ampyun, gue lupa ada lo di sini! Omaygat! Maaf, ya, sayang."Nadiar ha
Baga$kara : sayangBaga$kara : kita putus aja yaBaga$kara : aku gak tahan pacaran sama kamu 😿🙏😘😘Nadiar GP : serah lu, nyetNadiar GP : waktu putus aja lu manggil aku-kamuNadiar GP : waktu masih pacaran, lu sering banget nistain gueBaga$kara : dihBaga$kara : lu emang nista, kaliBaga$kara : jadi, kita putus nih, yang?😘😘😘Nadiar GP : itu tolong panggilan dan emotnya di kondisikanNadiar GP : yaiyalah, kita putusNadiar GP : mana tahan gue pacaran ama loNadiar GP : ini adalah awal menuju kebahagiaanNadiar GP : BUAHAHAHAHHABaga$kara : kamu emang mantan teranjingBaga$kara : mantan ternista
Basah, dan berat. Nadiar merasa tidak mampu membuka matanya. Ia merasa dirinya sudah bangun dari tidur, namun matanya sulit untuk di buka. Perlahan, Nadiar membuka kelopak matanya sedikit, lalu kembali menutup matanya saat cahaya menyerobot masuk memenuhi penglihatannya. Sekali lagi, Nadiar berusaha membuka matanya saat ada panggilan dari sana sini. Nadiar penasaran, suara siapa dan berapa banyak orang yang memanggilnya. Mengapa terdengar banyak? Ada berapa kira-kira?Mata Nadiar akhirnya sepenuhnya terbuka. Awalnya, penglihatan Nadiar buram, namun setelah berkedip beberapa kali dan melihat siluet yang menutupi cahaya, pandangan Nadiar menjadi jelas dan ia dapat melihat wajah khawatir Bundanya yang berlinang air mata."Nadiar! Syukurlah ..." ucap sang Bunda, lalu memeluk Nadiar dengan erat, hingga Nadiar merasa tubuh bagian atasnya sedikit terangkat. Bunda lalu melepaskan pelukannya, kemudian mengelus pipi Nadiar penuh haru. "Kamu tidak apa-