"Em ... apa ya?" Pura-pura brrfikir."Buat Nayla hamidun, pasti dapat restu, ha ha ha," ucap Aldi sambil bangun dari posisi tiduran, lalu langsung loncat dari tempat tidur dan buru-buru lari ke luar kamar.
Dimas terbengong mendengar ucapan Aldi barusan. Dia sedikit bingung dengan kata "hamidun" otaknya mendadak ngeblank mendengar kata itu.
"Hei Al! Ngomong apa barusan! Jangan lari!" Teriak Dimas setelah mengerti maksud ucapan Aldi. Buru-buru ia turun dan berlari menyusul.
"Hei bocah! Kenapa pintunya dikunci? Buka woi!" Teriak Dimas dari dalam kamar.
Mendengar teriakan dari dalam, Aldi justru semakin tersenyum puas. Ucapannya yang asal barusan, tanpa sengaja sudah membuat Dimas seperrtinya marah, tapi menurutnya tidak masalah karena niatnya ingin menghibur, walupun caranya salah. Pikirnya yang penting kakaknya bisa sedikit lupa dengan masalah yang sedang dialami.
"Buka Al! Awas kamu ya!" Berkacak pinggang sembari menginga
Kira-kira Nayla menerima vc dari Dimas ataukah tidak? Cari tau ya dibab selanjutnya.
"Lha, malah masih di sini, ditungguin dari tadi ndak keluar-keluar," ucap Aldi dengan menyembulkan kepala di pintu kamar Dimas. Dimas menoleh, tapi tidak berniat menyahuti perkataan adiknya. Kembali terdiam, melanjutkan kegiatannya yang sempat terjeda yaitu termenung. "Sebentar lagi mau pukul satu lho Kak, jadi ke rumah camer nggak?" tanya Aldi sembari berjalan masuk. "Mau ngapain Al?" balik tanya. "Ciee ... pasti sudah pernah berharap jadi anak mantu ya?" Goda Aldi,"Tadi kan disuruh sama Mas yang nemenin Nay ke sana Kak." Ikut duduk di dekat Dimas. Dimas diam, hatinya semakin entahlah saat mendengar perkataan Aldi. Ia menghembuskan nafas pelan, ini memang berat untuk dijalani, apalagi dirinya memang masih sangat mencintai Nayla. Meski hatinya ingin menolak, berontak, belum rela, tapi niat dihatinya yang akan tetap mencoba untuk ikhlas serta berusaha merelakan gadis yang masih dicintai untuk melanjutkan keputusan
Selama perjalanan pulang tak henti-hentinya Agus tersenyum, hatinya senang dan berbunga-bunga, cinta untuk gadis ayu yang beberapa menit lalu menerimanya bergelora dalam dada. Beruntungnya dia, tadi diberi kesempatan untuk berbincang berdua walau sebentar dengan gadis ayu pilihan orang tuanya dan mengutarakan tujuan utama kedatangan keluarganya ke kedianan pak Supri. Awalnya dia hanya ingin menuruti permintaan kedua orang tuanya, terutama ibu. Sudah dari beberapa bulan yang lalu, tapi dengan anak gadis yang lain. Sedangkan semingggu ini keduanya sangat ngotot ingin menjodohkan dengan putri sulung pak Supri, orang yang pernah tidak sengaja ditabrak Roni, adiknya. Memang benar perkataan ibunya waktu itu, kalau dirinya pasti langsung suka setelah bertemu langsung dengan cah ayu. Ternyata benar adanya, dia memang langsung suka yang dalam arti jatuh cinta pada pandangan pertama pada gadis pilihan orang tuanya itu. Gadis ayu yang dia perkirakan seum
Disaat Dimas tergugu, di luar kamar Bu Rofikoh pun ikut menitihkan air mata, hatinya ikut sedih melihat putra sulungnya bersedih. Mendoakan yang terbaik, semoga putranya bisa melewati masa-masa sulit dalam perjalanan cintanya yang bisa dilakukannya. Memang sangat sulit untuk dijalani, tapi setiap perjalanan cinta sudah pasti ada lakon yang seperti itu. Sebagai seorang ibu, dia sangat mengerti dengan suasana hati putranya. Sangat jelas terlihat dari ekspresi maupun tingkah lakunya, Dimas begitu sangat mencintai seseorang yang sudah mengisi hari-harinya selama ini, tapi kini sedang meminta jauh dari putranya karena suatu hal yang tidak mungkin bisa ditolak. Dia sangat paham dengan keadaan yang sangat sulit ini, baik putranya maupun seseorang yang ada di sana pasti sama-sama terpuruk karena perpisahan yang diputuskan. "Ibuk ngapain?" tanya Aldi dengan menepuk pelan pundak bu Rofikoh. "Astagfirullahaladzim ... Nan
"Kakak beneran sudah tidak apa-apa?" tanya Aldi, masih meragukan keputusan Dimas yang akqn kembali ke Semarang sore ini. Dimas hanya mengangguk. "Kalau masih belum enakan mending jangan balik dulu deh Kak." Kelihatan sangat khawatir. 'Kalau aku nggak balik, yang ada aku keinget Nayang terus Al,' batinnya. "Kan Aku punya tanggung jawab Al, tadi pagi udah bolos dan nanti malam ada jadwal siaran," jelasnya sembari memakai helm."Buruan naik!" Aldi nurut, naik di jok belakang, tidak lagi berkata apapun. Setelah Aldi naik, Dimas pun memutar kontak, lalu menstater motor dan mengendarai kendaraan roda dua itu menuju terminal. "Tapi Kakak janji jangan sedih terus ya! Jangan ngelamunin Nayang mulu, kan Kakak sendiri yang sudah putuskan unt …." "Aku tahu Al, ndak usah selebay itu. Aku masih waras." Memotong perkataan Aldi ketika keduanya sudah tiba di termina
Semenjak kata putus terucap dari bibir mungil Nayla, Dimas terlihat lebih sering diam, sudah pendiam ditambah punya masalah jadinya bertambah. Tapi, diamnya masih dalam katergori wajar bukan yang berlebihan tanpa ingat apapun yang ada disekitarnya. Dia masih ingat semua tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, penyiar, rekan kerja dan yang paling penting kewajiban sebagai seseorang yang sudah akhil balig, tidak pernah terlewat. Terkadang kan ada yang baru putus hubungan kebawa setres dan punya pemikiran yang pendek. Dimas tidak seperti itu, hatinya memang sedih, tapi tidak sampai berbuat aneh yang bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain. Selalu berkeluh kesah kepada Yang Kuasa dengan menangis dan menangis yang dilakukan disaat rasa sedihnya datang dan tahu nggak kesedihannya itu datang menghampiri disaat dia lagi sendiri. Semua yang tengah Dimas lakukan entah di kampus maupun, kost maupun tempat kerja sambilan selalu dip
[Pagi Manis bagaimana kabarmu?] [Aku mau telfon, angkat ya] Ada dua pesan masuk dari nomor baru saat Nayla membuka aplikasi pesan. Dia bergeming, tidak tahu dari siapa. Jika melihat foto profil si pengirim sepertinya pernah melihat, tapi lupa dimana-nya dan siapa. Ketika baru selesai membaca, nomor baru yang sudah satu jam lalu kirim pesan tiba-tiba melakukan panggilan vidio. Meski belum tahu siapa orang di seberang sana, Nayla tetap mengangkat panggilan itu. "Assalamu'alaikum, Manisnya Dimas," sapa seseorang itu. "W*'alaikumsalam." Menyerngit, merasa kenal, tapi lupa siapa perempuan yang sedang melakukan panggilan vidio dengannya. 'Siapa orang ini? Kok mengatakan aku manisnya Dimas?' batinnya menerka-nerka. "Ngapain aja sih Say di rumah?" tanya Mita penasaran. Nayla hanya sedikit
Agus melambatkan laju motornya, lalu detik berikutnya menepi,"mampir ke Sunn Mall dulu mau ndak?" tanyanya sembari menoleh belakang. Yang ditanya hanya tersenyum, "manut (ikut) Mas saja." 'Yes,' sorak Agus dalam hati. Sejuk rasanya hati Agus, melihat senyum manis Nayla dari jarak sedekat ini. Pikirannya dipenuhi rasa ingin segera memiliki gadis ayu yang ada dalam boncengannya. Agus hari ini sedang tidak ada kerjaan alis libur dari rutinitas kesehariannya sebagai seorang supir. Dari semalam sudah berencana ingin mengunjungi calon istri serta mengajak ke rumah orang tuanya, tapi di tengah perjalanan muncul ide dadakan untuk mengajak Nayla mampir ke Sunn Mall, pusat tempat belanja terbesar di kota kelahira Nayla, sekedar untuk jalan-jalan sembari melakukan pendekatan. Setelah mendapat jawaban dari calon istri, Agus kembali melanjutkan perjalan ke Sunn Mall yan
Hatinya terasa berbunga-bunga,senyum pun senantiasa merekah disepanjang perjalanan. Keinginan untuk berdua dengan gadis ayu nan manis yang sudah empat hari terakhir ini terus saja membayangi pikirannya hingga sulit untuk memejamkan mata telah kesampain l. Pagi ini, dia mendapatkan izin dari calon mertua untuk membawa calon istri manisnya ke rumah dengan alasan orang tuanya kangen ingin jumpa, padahal dirinya yang sudah sangat rindu ingin terus berdekatan serta memandang wajah ayu itu. Tin ... tin ... tin ... Bunyi klakson motor yang Agus kendarai mewakili sapaannya kepada segerombolan pemuda yang sebagian adalah teman-temannya sedang nongkrong di warung kopi pinggir jalan sebelah kiri sebelum pertigaan menuju ke rumah orang tuanya. Kompak segerombolan pemuda yang tengah duduk di luar warung ditemani segelas kopi hitam menoleh ke asal suara motor yang sedang lewat. "Agus?" ucap mereka serempak.