Saat Queen keluar dari kamarnya, ia melihat William sudah tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Perempuan itu membolakan matanya kemudian berlari menghampiri lelaki itu."William? William bangun, hey!" Queen terus menepuk-nepuk pipi William agar bangun dari pingsannya itu.Namun, semuanya sia-sia karena lelaki itu tidak juga bangun. Wajahnya sangat pucat hingga membuat Queen panik dibuatnya.Ia pun keluar dari kamarnya mencari bantuan agar membawa William ke rumah sakit. Namun, yang ia temui malah polisi."Masa bodoh! Aku tidak mengenalinya juga." Queen memanggil polisi tersebut. "Pak. Cari orang ini, kan? Tiba-tiba dia masuk ke dalam kamar saya dan sekarang malah pingsan."Polisi segera masuk ke dalam dan membangunkan William. "Hei! Bangun! Jangan pura-pura seperti ini. Bangun!" ucap polisi tersebut menepuk-nepuk pipi William."Bawa ke rumah sakit. Wajahnya memang terlihat pucat. Tidak mungkin dia pura-pura pingsan seperti ini," ucap salah satu anggota kepolisian yang lain.Keempat
Setelah setengah jam lamanya menunggu, James akhirnya datang setelah dihubungi oleh pihak rumah sakit.Hans menyapa lelaki itu dengan mengulas senyumnya. "Selamat siang, Pak."James mengangguk dan membalas senyum itu. "Selamat siang. Di mana William dirawat? Ada apa dengan anak itu?" tanyanya kemudian.Hans menelan salivanya. "Jantung William mengalami pembengkakan karena terlalu banyak minum alkohol. Dan kini harus dirawat di ruang ICU karena kondisinya kritis."James memejamkan matanya setelah mendengar diagnosa yang dialami oleh William. Ia tak menyangka bila anaknya akan mengalami hal ini."Dokter juga mengatakan bila William memiliki riwayat jantung yang diturunkan dari maminya," ucap Hans memberi tahu lagi.James menoleh ke arah Hans dengan pelan. "Dari Rani? Jadi, William mengalami riwayat penyakit yang sama, dengan maminya?" tanyanya kemudian.Hans mengangguk. "Seperti yang dikatakan oleh dr. Umar tadi. Lebih jelasnya, bisa tanyakan langsung pada beliau."James menganggukkan k
Thania menelan salivanya dengan pelan lalu menatap wajah Hans. "Baiklah. Aku akan menemuinya besok."Hans menerbitkan senyumnya dan mengusapi lengan perempuan itu dengan lembut. "Oke. Nanti aku akan antar. Kamu harus menemuinya dan melihat kondisinya. Agar tidak menyesal, andai nanti umurnya sudah tidak ada."Thania menelan salivanya lagi. "Kondisinya benar-benar buruk?" tanyanya kemudian.Hans mengendikan bahunya. "Namanya jantung bengkak, suatu hari nanti bica bocor. Kalau sudah bocor, sulit disembuhkan. Penanganan dokter saja tidak cukup. Juga, harus segera diganti dalam waktu dekat."Thania manggut-manggut dengan pelan. "Penyebab utamanya karena alkohol?""Ya. Karena terlalu banyak minum alkohol."Thania menghela napasnya. "Ya sudahlah, mau gimana lagi. Dia sudah terlanjur sakit dan kini harus dirawat di rumah sakit. Andai pun dia divonis hukuman mati, ajalnya tetap akan tiba."Andai memang dia harus pergi di ruang ICU, bukan di persidangan, takdirnya memang hanya sampai di sana.
Sidang cerai Thania dan William akan dilangsungkan hari ini. Thania dan Hans sudah berada di pengadilan untuk menyaksikan secara langsung sidang tersebut.Thania menghela napasnya dengan panjang kemudian duduk di kursi depan bersama dengan kuasa hukum William sebagai saksi atas sidang tersebut."Baik. Sidang akan dimulai sekarang," ucap hakim kemudian membacakan surat permohonan yang diajukan oleh Thania kepada pengadilan."Apakah benar, Saudara William telah melakukan hubungan badan dengan wanita lain selain Anda, Saudari Thania?" tanya hakim kepada Thania.Perempuan itu mengangguk. "Benar, Yang Mulia. Bahkan perempuan itu sengaja mengirimkan video itu kepada saya.""Baik. Sesuai dengan bukti yang sudah kuasa hukum Anda berikan kepada kami."Thania menghela napas kembali lalu menoleh pada Hans yang dengan setia menunggunya di sana."Pengajuan penggugatan cerai oleh Saudari Thania kepada Saudara William didasari karena terjadinya perselingkuhan di dalam rumah tangga itu. Maka, hakim m
William sudah dibawa ke rumah duka setelah dokter menyatakan dia telah meninggal dunia. Thania dan Hans pun ikut mengantarkan jenazah William ke sana.Banyak anggota keluarga William berbondong-bondong mendatangi rumah duka tersebut untuk melihat William yang terakhir kalinya."Turut berduka cita ya, Mas. Semoga William diberikan ketenangan di sana," ucap salah satu anggota keluarga William kepada James yang tengah berdiri di samping peti mati anaknya.James menoleh dan menganggukkan kepalanya. "Ya. Terima kasih," ucapnya dengan pelan.Satu persatu orang menghampiri James dan juga kedua anaknya yang ada di sana. Thania dan Hans duduk di kursi yang sudah disediakan di sana menunggu upacara kematian dilangsungkan."Kamu bicara apa saja ke William sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya?" tanya Hans ingin tahu.Thania menghela napasnya. "Bahwa aku memaafkan semua kesalahan yang dia perbuat meskipun dia tidak akan pernah mengatakan hal itu. Setelah itu, dia langsung menitikan air matan
Hari ini Hans akan pergi ke Bandung untuk menemui kedua orang tuanya hendak memberi tahu bahwa Olivia bukanlah pembunuh Erald."Aku pergi dulu, ya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku aja," ucap Hans pada Thania.Wanita itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Hans. Kamu hati-hati di jalan. Kalau udah sampai Bandung, jangan lupa kabarin aku."Hans mengangguk lalu mengecup kening perempuan itu. Tak lupa juga mengusap perut buncit Thania."Aku berangat." Hans melambaikan tangannya pada Thania lalu beranjak pergi dari apartemen.Ia harus segera memberi tahu hal ini kepada Maria tentang kematian Erald yang mana lelaki itu bukan dibunuh oleh istrinya sendiri.Melainkan oleh William karena menginginkan proyek bernilai triliunan itu jatuh ke tangannya. Dengan cara yang sangat licik hingga meregang nyawa dua orang sekaligus."Halo, Pi. Aku di jalan, menuju ke Bandung. Papi ada di rumah, kan?" tanya Hans menghubungi sang papa."Iya, Nak. Papi ada di rumah. Ada mami kamu juga di sini.""Kondisi Ma
Di sebuah tempat yang begitu luas, hanya cahaya putih yang ada di sana. Maria menoleh ke arah kanan dan kiri, atas dan bawah. Tidak ada satu orang pun yang ada di sana, hanya dirinya."Di mana ini? Aku ada di mana?" gumamnya sembari memutar badannya mencari pintu keluar dan pergi dari sana."Kenapa aku tersesat di tempat seperti ini? Tempat apa ini? Aku tidak pernah ke sini sebelumnya," ucapnya lagi kemudian mengedarkan matanya kembali."Mami?"Maria menoleh cepat ke belakang. Mulutnya menganga menatap Erald yang tengah menggenggam tangan Olive."Erald?" ucapnya dengan pelan.Erald menerbitkan senyum kepada maminya itu. "Mi. Berhenti menangisi kepergianku. Jangan buat Hans dan Cyntia sedih karena kondisi Mami. Olive bukan pembunuh, dia juga korban."Selama ini Hans selalu mencari bukti tentang kematianku yang sebenarnya. Apa yang disampaikan oleh Hans itu benar. Mami harus sembuh, biarkan mereka bahagia. Hans ingin menikah, dia sudah dewasa."Olive tidak salah. Dia tidak pernah membun
Usia kandungan Thania sudah memasuki sembilan bulan. Perkiraan lahiran pun sudah disampaikan oleh dokter kandungan."Kami akan segera menjadwalkan operasinya," ucap dr. Lisa memberi tahu.Thania menghela napasnya dan menoleh pada Hans. Lelaki itu kemudian menggenggam tangan Thania, menguatkan perempuan itu seraya mengulas senyumnya."Jangan takut. Aku akan menemani kamu saat lahiran nanti. Aku akan ikut masuk ke dalam dan memastikan kalau semuanya akan baik-baik saja," ucap Hans kemudian menghela napasnya.Thania dibawa ke ruang rawat sebelum nanti dibawa ke ruang operasi setelah sudah jadwalnya. Ia tidak bisa melahirkan secara normal sebab kondisinya yang tidak memungkinkan untuk lahiran secara normal."Hans. Jangan ke mana-mana. Ayah dan Ibu juga. Aku mohon, kalian temani aku," mohon Thania.Hans mengusapi lembut punggung tangan wanita itu dan mengangguk. "I'm here, Thania. Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja."Thania mengulas senyumnya kepada lelaki itu. Ia lalu menoleh ke a