Share

Bisa karena Terbiasa

Tak terasa, sepuluh hari berselang sejak perubahan statusnya. Melody masih menjalani kehidupan seperti biasa. Bangun pagi, mengerjakan desain, mengontrol butik, sesekali mampir ke lapak Oktaf. Di samping itu, dia juga masih terus berusaha menjadi istri yang baik untuk Raga, meski kehadirannya kadang tak dianggap ada. Dan dia dibutuhkan hanya untuk pelampiasan lelaki itu saja.

Walaupun begitu, dia masih terlihat seceria biasanya. Hanya sesekali perempuan itu menangis untuk meluapkan perasaan sebak di dadanya. Sudah lebih dari sepekan berjalan, sepertinya Melody mulai terbiasa dengan kehidupan barunya.

Tumbuh sebagai satu-satunya harapan orang tua, membuat dia mampu berdiri tegak di tengah berbagai tekanan yang ada. Seberapa berat pun beban yang ditangguhkan di pundak kecil itu. Melody tetap mampu menahannnya.

"Ini bukan kamu yang bikin, kan?" Raga bertanya seraya menarik salah satu kursi di meja makan. Lelaki dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter itu terlihat baru selesai olahraga di akhir pekan yang cerah ini.

Melody yang berada tepat di seberang, hanya mengedikkan bahu seraya menggigit roti isi selai blueberry kesukaannnya.

"Bukan. Aku mana bisa bikin pancake," jawab perempuan berambut sebahu itu sekenanya.

"Syukurlah, jangan sampe." Raga mulai menyelipkan serbet di kerah baju agar tak mengotori kaus putih yang dikenakannya, lalu mengambil dua lembar pancake yang bertumpuk di tengah meja untuk diletakkan di atas piringnya.

"Kenapa emang?" tanya Melody penasaran. Dia baru saja selesai menyuap sisa roti terakhir ke dalam mulut kecilnya.

"Masakanmu, kan rasanya mengerikan."

Melody memutar bola mata. Memang bukan rahasia bila lelaki ini selalu terus terang tentang segalanya. Berbohong pun nyaris tak pernah, meski bertujuan untuk menyenangkannya.

"Aku duluan!" Melody mendorong kursinya dan beranjak bangkit.

"Rencananya hari ini kamu mau ke mana?" Pertanyaan Raga menghentikan langkah Melody hanya beberapa meter setelahnya.

"Nggak ke mana-mana. Paling ngerjain desain yang udah lama terbengkalai."

"Oh." Hanya itu tanggapan Raga.

"Udah, gitu doang?" cibirnya, "kirain mau ajak ke luar atau jalan-jalan ke mana gitu."

"Aku ada janji sama Raka, jadi mau pergi ke Taman Mini bareng Fiona."

Melody terdiam sesaat. Raka adalah anak Fiona yang baru berusia tiga setengah tahun. Setahu Melody, bocah itu ditinggalkan ayahnya sejak masih dalam kandungan.

"Oh." Kini, giliran Melody yang asal bunyi menanggapinya.

"Jangan ke mana-mana, mungkin aku pulang sebelum jam lima. Nanti kita nonton bareng di kamar."

"Nonton bareng atau 'maen bareng'? Kalau lagi pengen nggak usah basa-basilah, Kak. Aku tahu beberapa hari belakangan Kakak sibuk banget di kantor, belum kekasih tercintamu yang minta kelon dua malem."

Raga memejamkan mata, kuat cengkeraman di pisau dan garpu yang digenggamannya.

"Beberapa hari lalu Raka sakit, aku nggak bisa biarin Fiona nanganin dia sendirian."

"Mau emak atau anak, apa bedanya? Toh, mereka sama-sama prioritasmu dibanding aku yang cuma pelampiasan--"

Prang!

Suara alat makan yang beradu dengan piring terdengar. Raga mendorong kursi yang semula dia duduki hingga terjungkal. Setelahnya lelaki itu mencengkeram tangan Melody dan menarik perempuan itu menuju kamar.

Selalu, setiap kali Melody memulai perdebatan dia bukan hanya memancing emosi Raga, tapi juga hasratnya.

Entah sudah berapa kali, pertengkaran mereka selalu berakhir di ranjang.

***

"Ayah kamu ada menghubungi?" Raga bertanya pada Melody yang baru saja merapikan pakaian dan tempat tidurnya setelah 'permainan' mereka kurang lebih setengah jam lalu.

Semudah percikan api membakar tisu di genggaman, semudah itu pula Raga membalikan keadaan. Semua masalah selesai dalam sebuah penyatuan yang meleburkan dua insan. Lelaki itu seolah tak peduli, meski kenikmatan yang berkali-kali dia rasakan justru mengantarkan perih yang tak berkesudahan bagi Melody yang juga ambil bagian.

Sejak Raga memperlakukannya tak ubah boneka pelampiasan, sejak itu pula Melody merasa bahwa dirinya tak lagi berharga.

"Ada. Dia cuma tanya kabar sama minta kalau aku butuh uang tinggal bilang." Datar, Melody menjawab tanpa menoleh sama sekali pada lawan bicara.

"Sekarang kamu tanggung jawabku, bilang sama Ayahmu buat nggak usah lagi kasih-kasih uang!"

"Oke." Melody menjawab, masih dengan kesibukannya merapikan ranjang yang sebenarnya sudah tertata sempurna.

"Mel!" Raga menarik pergelangan tangan Melody hingga mereka kini berhadapan. Dia tatap istrinya yang masih terbalut jubah mandi dengan rambut basah yang bahkan belum sempat dirapikan.

Raga menghela napas panjang saat dia menatap bibir atas Melody yang sedikit bengkak dan agak memar.

"Maaf, kalau aku terlalu kasar." Dia usap bibir tipis itu, yang langsung Melody tepis.

"Nggak apa-apa. Selama Kakak puas, nggak masalah kalau aku tewas."

"Mel!" Raga mulai merasa sedikit bersalah dengan tindakannya kala diliputi nafsu dan amarah.

"Udah, ah. Berangkat sana! Udah jam sepuluh, kasian kalau Mbak Jan--eh Mbak Fiona nunggu kelamaan."

Raga mengusap wajah, kemudian berlalu tanpa kata.

Tak apa, lama-lama Melody akan mulai terbiasa dengan rasa sakitnya.

***

Dari balik balkon kamar, Melody menatap mobil Raga meninggalkan pelataran. Perempuan itu hanya menatap datar sebelum beralih pada sketsa desain pakaian pesanan salah seorang konsumen.

Ting!

Satu notifikasi pesan masuk dari ponselnya.

Mg. Kania

[ Mbak, ini, kan desain bulan lalu? Kok, digambar ulang! ]

Melody mengernyitkan dahi. Kemudian menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Lama berpikir dan menimbang-nimbang, panggilan dari manager butiknya itu tertera. Tanpa basa-basi Melody langsung mengangkatnya.

"Halo."

"Halo, Mbak. Jadi, gimana?"

"Kamu udah pastiin lagi?"

"Udah aku cek berkali-kali, Mbak. Ini plek-ketiplek sama. Beda di detail ekor gaunnya aja."

"Kok, bisa, ya?" Sekali lagi Melody menggaruk rambut.

"Mbak kurang fokus kali. Masih pengantin baru juga, jadi pikirannya ke mana-mana, hehe. Kania tunggu sampe lusa, ya! Project ini harus buru-buru dikerjain. Yang mau wedding anak kolega Ayah Mbak Mel soalnya."

"Eh, ini pesenan kolega Ayah?"

"Yaelah, masa Mbak lupa?" Suara di seberang sana terdengar jengah.

"Waduh, ya udah. Aku usahain kelar lusa, ya!"

"Siap, Mbak. Ditunggu pokoknya!"

"Iy--"

Prang!

Melody terlonjak saat dia mendengar suara sebuah benda yang pecah dari arah kamarnya.

Masih dengan ponsel yang menempel di daun telinga, Melody mulai memeriksa dari balik kaca yang menyekat balkon dan ruang kamar.

"Udah dulu, ya, Kania. Nanti saya hubungi lagi." Melody memilih menyudahi panggilan untuk memastikan apa yang baru saja dia dengar dan saksikan bukan hanya sekadar halusinasinya.

"Siap, siap, Mbak. Semangat, ya!"

"Iya. Makasih."

Panggilan pun terputus. Melody meletakkan ponsel di atas buku sketsanya. Mengendap-endap perempuan itu masuk ke dalam kamar.

Sebuah vas bunga terlihat sudah jatuh berserak di lantai. Melody tertegun, lalu menyapu pandangan ke sekeliling ruang, sampai sayup-sayup sebuah panggilan terdengar.

"Mel ...."

"Melody ...."

"Ayo, main!"

Deg!

Melody mundur beberapa langkah ke belakang saat suara-suara itu semakin jelas terdengar bersama dengan bayangan anak kecil yang berlarian di luar kamar.

Dia mengenali suara itu. Suara yang tak pernah berubah bahkan sejak lima belas tahun lalu.

"Bi Tuti!" Melody mulai berteriak memanggil penghuni rumah yang lain. Kuat genggamannya mencengkeram rok 3/4 yang dikenakan.

"Mang Tarjo!" Perempuan itu semakin panik saat bayangan anak kecil itu semakin dekat dan jelas.

Pucat, dingin, serta membawa aura mencekam kala dia sadar mereka berada di dua dimensi yang berbeda.

"Pergi! Jangan ganggu!" pekik Melody begitu bayangan anak itu berubah menjadi sosok nyata bocah lelaki berumur delapan tahunan. Rambutnya lurus panjang melewati telinga. Menggunakan celana dan kaus yang sama kotornya. "Aku udah nggak sendiri lagi, aku udah nggak kesepian lagi! Waktu itu kamu janji nggak akan ngikutin lagi. Aku punya Kak Raga sekarang," yakin Melody lebih pada dirinya sendiri.

"Jangan bohongin diri kamu sendiri, Mel. Sampai kapan pun kamu akan selalu sendirian!" Dalam. Suara itu sudah seperti mimpi buruk yang selalu berputar-putar di kepalanya.

"Nggak, nggak ...! Aku punya Kak Raga. Aku nggak sendirian. Cuma sama dia kamu nggak pernah berani datang! Pergi, pergi!" Melody menjerit histeris. Dia tutup wajahnya dengan kedua tangan sembari berusaha mengusir anak itu dengan menendang-nendang udara.

"Non!"

"Pergi!"

"Non!"

"Kumohon pergi!"

"Non Melody ini Bibi!" Guncangan keras diikuti hentakkan tangan, seketika membuat Melody tersadar.

Perempuan itu mengedarkan pandangan, mencari sosok anak kecil barusan, tetapi tak dia temukan. Untuk sejenak, akhirnya Melody mampu bernapas lega.

"Kenapa?" tanya Bi Tuti khawatir.

Melody menyeka keringat yang berguguran dari pelipisnya. Lalu menggeleng pelan.

"Nggak apa-apa, Bi. Ada kecoa tadi," dustanya masih dengan getar suara yang sama lirihnya.

"Ya, ampun Bibi kira kenapa. Lagi di jamban tadi, karena panik langsung buru-buru ke sini. Untung sempet cebok."

Melody mengusap tengkuk, lalu membungkuk. "Maaf, ya, Bi. Bikin panik."

"Nggak apa-apa, Non. Santai aja. Kalau ada kecoa lagi nanti bilang aja, biar langsung Bibi timpuk."

Melody mengangguk, meski kikuk. Dia terpaksa berbohong daripada dianggap berkhayal tentang sesuatu yang tak semua orang saksikan. Sebab, sejak dulu sampai kini, tak akan ada yang percaya, begitu juga ayah kandungnya. Bahwa sudah lama sekali dia diikuti seorang hantu anak kecil yang selalu ingin mengajaknya main.

Sialnya, hantu itu justru tak pernah menunjukkan wujudnya hanya saat dia bersama Raga.

Jadi, sampai detik ini Melody masih percaya bahwa hanya Raga satu-satunya orang yang bisa melindunginya. Meski dia sendiri tahu, risiko untuk menanggung  banyak sekali rasa sakit itu justru jauh lebih mengerikan dibanding wujud hantu yang selalu mengikutinya.

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status