"Sial, tumben dia pulang cepet?" Melody melotot panik saat Mobil Tesla yang sering digunakan Raga sudah terparkir di pelataran rumah mereka.
Perempuan itu linglung sendiri, lalu mondar-mandir beberapa kali sampai akhirnya melihat asisten rumah tangga mereka keluar dari dalam rumah."Bi Tuti!" Melody memanggil wanita paruh baya itu."Eh, Non Mel! Kenapa nggak masuk?""Ng, itu, anu ... dari kapan Kak Raga pulang, Bi?" Dia malah balik bertanya."Kalau nggak salah Bapak pulang dari sejam yang lalu.""Mampus!" Melody menepuk dahi. Dia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Curhat dengan Oktaf membuatnya benar-benar tak ingat waktu. "Padahal baru jam lima," gumamnya."Lagi ngapain dia, Bi?" tanya Melody lagi."Tadi, sih bibi liat lagi telponan di kamar.""Oh, aman berarti. Aku masuk sekarang kalau gitu." Melody berlari kecil setelah pamit pada Bi Tuti yang hendak membuang sampah di bak depan pagar.Melihat kondisi rumah yang sepi, Melody mengusap dada lega, lalu buru-buru menaiki tangga.Namun, sebelum sampai tangannya menukik handle pintu, suara berat itu terdengar menginterupsi."Dari mana aja kamu?!"Sial. Melody membatin.Perlahan dia memutar tubuh, lalu nyengir ke arah Raga yang berpangku tangan sudah dengan pakaian santai. "Keluar bentar, Kak.""Bi Tuti bilang kamu pergi dari siang."Melody hanya menggaruk rambut menanggapinya."Aku, kan udah bilang pagi tadi kalau kita harus bicara!" sentak Raga dengan nada suara yang lebih rendah dari sebelumnya."Aku kira Kakak masih di rumah si Jan-- eh Mbak Fiona." Takut-takut Melody tak berani menatap mata tajam Raga."Ngapain kamu nyamperin Fiona?"Melody menggeleng kuat. "Silaturahmi doang, kok!" cetusnya tak sepenuhnya salah."Silaturahmi tapi pake acara ngancem segala?""Ngancem apa? Kita ngobrol baik-baik, kok. Aku cuma minta dia sadar sama posisinya.""Emang posisi Fiona gimana?" pancing Raga yang membuat Melody mencicit dibuatnya."Ummm, itu ....""Lain kali nggak usah usik dia lagi, apalagi iming-imingin uang. Udah cukup Mama yang terus-terusan neken Fiona, jangan kamu juga. Udah aku bilang kita fokus sama hidup masing-masing!"Melody tertunduk."O-oke. Aku becanda doang, Kak. Dibanding Mama Harmoni yang beneran. Lagian aku nggak punya banyak uang, yang punya, kan Ayah!"Raga menghela napas panjang, dia menekan pelipis sebelum berakhir mengusap kasar wajahnya."Ya udah, mandi sana! Setelah dinner aku 'mampir'." Mata Raga lekat menatap Melody dari atas ke bawah setelah mengatakannya."I-iya." Sekali lagi, ada getir yang coba disembunyikan di balik getar suaranya.***Malamnya, Raga menghampiri Melody ke kamar. Perempuan dalam balutan gaun tidur tipis itu terlihat sedang menonton TV digital yang menayangkan film Superhero yang entah sudah berapa puluh kali dia rewatch ditemani camilan di meja."Avengers lagi, kayak yang nggak ada tontonan lain aja," cibirnya sembari mendaratkan bokong di ranjang dengan laptop di pangkuan."Terserah akulah, emangnya kalau aku nonton Avengers atau film Marvel yang lain ratusan kali, bikin saldo ATM Kakak berkurang?"Raga memejamkan mata, sebelum mulai membuka laptopnya."Nggak!""Ya udah!" Melody mengedikkan bahu, mengubah posisi dari duduk, menjadi selonjoran, kemudian melanjutkan ngemil dan nontonnya."Bisa diem nggak?" sungut Raga.Baru saja laptop dibuka, dia sudah tak fokus dengan kehadiran Melody. Suara yang ditimbulkan, serta paha putih mulus yang terpampang tepat di hadapannya."Aku dari tadi diem nggak ke mana-mana, Kak!" sahut Melody dengan santainya."Mulut kamu yang nggak bisa diem, ngunyah terus dari tadi, aku lagi kerja!""Ya, kalau ngerasa keganggu, kan bisa pindah ke kamar atau ruang kerja! Ngapain di kamarku?""Biar gampang.""Gampang apa?""Masih nanya?" Habis kesabaran Raga tutup kasar laptopnya, bahkan sebelum mulai mengerjakan tugas kantornya. Lelaki tampan itu beranjak dari ranjang, lalu menghampiri Melody di sofa. "Cuci tangan sana!""Mau ngapain?" Melody sengaja memancing padahal tahu maksudnya."Mel!" Suara Raga meninggi tanda memeringati."Iya, iya." Dengan terpaksa, dia beranjak dari tempatnya."Jangan lupa diminum pil KB-nya! Aku nggak mau jadi bapak."Melody menghentikan langkah, lantas bertanya."Beneran nggak mau jadi Bapak atau cuma nggak mau jadi bapak dari anakku?"Lelaki itu terdiam."Bisa tutup mulutmu nggak?"Melody mengedikkan bahu, dan benar-benar pergi menuju wastafel di samping kamar mandi.Dia muncul beberapa saat kemudian, tapi kembali ke tempat semula untuk mencuci tangan lagi. Hal itu diulanginya lebih dari tiga kali."Mel!" Raga yang kesal menyusulnya, lalu menarik tangan Melody untuk kembali ke ruang kamar."Bentar, Kak!""Kamu udah cuci tangan lebih dari tiga kali!""Eh, iyakah?"Raga kembali menghela napas panjang, lalu mengacak rambut frustrasi."Udah, ya! Aku nggak ada waktu buat terus-terusan memperbaiki keteledoranmu!""Maaf." Melody tertuduk lagi."Ck, udahlah. Mau aku yang buka atau kamu yang buka?" tanyanya sembari berlalu menuju saklar lampu."Aku cuma mau lampunya nyala aja. Kakak, kan tahu aku nggak suka gelap." Raga menghentikan gerakannya, sebelum tangan kekar itu sempat menyentuh saklar lampu."Emangnya nggak apa-apa? Siapa tahu kamu nggak suka liat aku kalau--" Suara Raga seperti tersendat di tenggorokannya."Nggak apa-apa. Dengan begitu aku bisa memastikan kalau aku cukup pantas, buat bikin Kakak puas!"Raga mengepalkan kedua tangannya. Rahang tegas itu mengeras."Setidaknya aku--" Belum sempat menyelesaikan kalimat, Raga sudah lebih dulu membungkam mulutnya.***Saat melihat Raga berpakaian dengan posisi memunggunginya, Melody yang masih terjaga dengan selimut yang melilit tubuh polosnya, tiba-tiba bertanya."Apa kakak bakal nikahin Mbak Fiona? Dan bikin aku jadi janda demi janda?""Apaan, sih pertanyaanmu?" Raga melirik ketus."Kakak tahu nggak? Semenjak Bunda pergi aku udah nggak punya siapa-siapa. Sejak Simbok resign aku juga sendiri. Ayah masih sibuk terus, apalagi setelah ada Tante Clara sama Bang Jazz. Cuma Kakak sama Mama Harmoni yang masih peduli.""Umur kamu berapa, sih, Mel? Nggak usah kekanakan, kamu, tuh wanita dewasa yang mapan. Kenapa masih khawatir tentang masa depan?"Melody terdiam. Alih-alih yakin dengan ucapan suaminya, dia malah mengajukan pertanyaan lain"Kakak cape, ya?"Raga terdiam cukup lama, celana yang hendak dia kenakan masih bertumpu di lututnya."Iya. Jadi tutup mulutmu, mandi, terus tidur sana!"Bukannya menurut, Melody justru melanjutkan."Kakak cape dari dulu jagain aku, karena amanat orang tua kita?"Raga menghentikan gerakannya mengancing piama."Ya, dari dulu sampai sekarang kamu itu beban. Ke manapun aku pergi, kamu selalu mengekor di belakang. Jadi, nggak salah, kan kalau aku minta kebebasan agar kita bisa melanjutkan kehidupan masing-masing tanpa ikatan sialan?"Melody menunduk, dia menatap kedua tangannya yang bertaut."Tunggu sebentar lagi, ya, Kak! Sampai aku bisa bener-bener mandiri. Setelah itu Kakak boleh pergi sama Mbak Fiona."Raga mematung, batinnya bergejolak tak tega, tapi di satu sisi dia harus melakukannya demi kebaikan bersama.Setelah lama hanyut dalam dilema, akhirnya Raga bangkit dan menjawab singkat, sebelum meninggalkan Melody dalam kesendiriannya, lagi."Oke."...Bersambung.Tak terasa, sepuluh hari berselang sejak perubahan statusnya. Melody masih menjalani kehidupan seperti biasa. Bangun pagi, mengerjakan desain, mengontrol butik, sesekali mampir ke lapak Oktaf. Di samping itu, dia juga masih terus berusaha menjadi istri yang baik untuk Raga, meski kehadirannya kadang tak dianggap ada. Dan dia dibutuhkan hanya untuk pelampiasan lelaki itu saja.Walaupun begitu, dia masih terlihat seceria biasanya. Hanya sesekali perempuan itu menangis untuk meluapkan perasaan sebak di dadanya. Sudah lebih dari sepekan berjalan, sepertinya Melody mulai terbiasa dengan kehidupan barunya.Tumbuh sebagai satu-satunya harapan orang tua, membuat dia mampu berdiri tegak di tengah berbagai tekanan yang ada. Seberapa berat pun beban yang ditangguhkan di pundak kecil itu. Melody tetap mampu menahannnya."Ini bukan kamu yang bikin, kan?" Raga bertanya seraya menarik salah satu kursi di meja makan. Lelaki dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter itu terlihat baru selesai olah
Malam tak pernah terasa amat mencekam, sejak pernikahannya dengan Raga. Untuk pertama kalinya sejak sepuluh hari pernikahan, Melody merasa gelisah di kamarnya padahal jam masih menunjukkan pukul 19.01 WIB.Hantu anak kecil itu sudah mengikutinya sejak umur sepuluh tahun. Dulu perempuan itu menganggapnya tak ubahnya teman, karena Melody memang kesulitan beradaptasi dengan lingkungan hingga menyebabkannya mengalami banyak ketertinggalan.Ayahnya sudah pernah membawa Melody berobat ke orang pintar atau melakukan metode 'pembersihan' yang seringkali disebut dengan Rukyah. Namun, tak ada hasil yang signifikan. Sampai sekarang dia masih belum bisa lepas dari bayang hantu anak lelaki yang sudah mengikutinya sejak kecil. Hanya bersama Raga, hantu itu tak berani menunjukkan wujudnya.Sebenarnya wujud hantu itu tak semenyeramkan seperti yang tampak di film-film horor. Wajahnya bahkan bisa dibilang tampan. Namun, tetap saja, saat hantu itu bersikeras ingin membawa Melody pergi entah ke mana, dia
"Kak ....""Kak Raga.""Bangun, Kak! Udah subuh."Melody mengguncang tubuh Raga yang masih terbaring lelap di ranjang, masih dengan mukena yang melekat di tubuh mungilnya.Alis tebal Raga bertaut, perlahan dia membuka mata mencoba menyesuaikan cahaya yang ada, kemudian mengucek mata dan berdecak menatap istrinya."Iya, iya!" Dengan enggan Raga beranjak dari ranjang nyamannya."Ambil wudu, terus sholat dulu!" ingat Melody saat melihat suaminya berlalu begitu aja menuju kamar mandi."Udah mau siang ini, mana sempet?" dalih Raga masih dengan tubuh sempoyongan, karena nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya."Lebih baik telat daripada nggak sama sekali. Makin banyak yang ibadah di rumah ini, makin setan takut buat mampir. Lagian ini baru jam lima lebih sepuluh menit. Buruan, Kak! Mandinya habis sholat aja, lagian semalem kita nggak ngapa-ngapain," desak Melody."Iya, iya, bawel!" Raga mendengkus, lalu berjalan menuju keran yang ada di samping bilik mandi.Beberapa saat kemudian, dia kembali
"Sejauh ini gimana pernikahan kalian?" Pertanyaan Hendrix Alejandro, Ayah Melody membuka percakapan kelima orang yang berkumpul di ruang tamu.Pertemuan tak terencana antara dia serta anak dan menantunya, membuat Raga sempat kesal karena seharusnya saat ini dia tak beranjak dari ranjang dengan Melody dalam rengkuhan."Baik, Yah. Seperti pengantin baru kebanyakan, masih hangat-hangatnya." Raga mengatakannya sembari melirik Melody yang berada tepat di sebelahnya."Kayaknya pertanyaan itu lebih tepat diajukan setelah satu-dua bulan atau bahkan setahun pernikahan," sahut Melody. "Nggak usah basa-basi, kalau nggak ada hal yang penting nggak mungkin Ayah yang super sibuk nyempetin dateng ke sini!""Mel ...." Raga mengingatkan, dia remas jemari istrinya yang terkepal di atas paha."Nggak apa-apa, Ga." Pria paruh baya berdarah Meksiko itu tersenyum. "Bisa tolong tinggalkan kami berdua?" pintanya kemudian.Raga mengangguk, dia bangkit lebih dulu diikuti ibu dan kakak tiri Melody."Ayah tahu pe
Besoknya, Raga celingukan saat turun ke ruang makan. Tak dia temukan sang istri yang biasanya lebih dulu sampai."Melody ke mana, Bi?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar setelah sekian lama pandangannya berkejaran."Non Mel udah pergi beberapa saat lalu, Pak!" sahut Bi Tuti menghampiri."Kok, dia nggak bilang saya, ya?" Raga bingung sendiri. Kalaupun memang ada urusan mendesak, biasanya Melody menunggu Raga pergi lebih dulu."Duh, kalau itu Bibi kurang tahu." Bi Tuti menggaruk rambutnya yang dicepol rapi.Raga menghela napas gusar sembari memeriksa ponsel di genggaman."Ck, mana nombernya nggak aktif lagi." Dia mulai khawatir ada yang terjadi, sebab apa yang baru kemarin Melody alami.Terdesak keadaan, dia memang langsung mengabarkan pada sang mertua saat Bi Tuti laporan kalau istrinya tiba-tiba teriak di kamar. Malamnya Raga juga diam-diam memerhatikan bagaimana istrinya ketakutan hingga meminta tidur bersama, belum lagi sosok 'dia' yang kembali diceritakan setelah cukup lama Raga tak
Lekat Oktaf menatap perempuan cantik yang tengah menyeruput es cappucino extra cream di hadapannya. Dari pagi sampai siang mengamati, bahkan setelah singgah di kedai kopi ini, dia masih belum juga menemukan letak 'kesalahan' dalam diri Melody. Kira-kira apa yang membuat seseorang yang terlihat senormal ini dikatakan 'sakit' hingga pernah ditangani rumah sakit jiwa?"Oktaf suka Americano?" Pertanyaan Melody yang tiba-tiba membuat Oktaf terhenyak dari lamunan yang menghanyutkan. Tanpa sadar dia menggeleng kemudian mengangguk secara beriringan."Jadi, suka atau enggak?" tanya Melody dengan alis yang bertautan."Sebenarnya cuma asal pilih aja, lagian ini yang paling murah, kan?" jawab Oktaf sekenanya."Kenapa pesen yang paling murah? Kan, aku yang bayar," protes Melody setelahnya."Bukan masalah lu yang bayar, kebetulan aja gue emang lumayan suka kopi pait, apalagi buat temen rokok. Keduanya kombinasi yang pas untuk melengkapi idup gue yang nggak kalah pait.""Emang hidup kamu pahit? Kena
"Dari mana aja kamu?" cetus Raga begitu Melody tiba. "Sejak kapan Kakak peduli?" Tak kalah ketus ia balik bertanya.Sejenak Raga memejamkan mata, lalu bangkit dari posisi duduk di sofa."Sekarang kamu tanggungjawabku, Mel. Wajar kalau aku bertanya istriku dari mana aja seharian ini?""Istri?" Melody tersenyum mencibir."Melody ...." Suara Raga merendah tanda memeringati. "Aku udah minta maaf tentang apa yang terjadi kemarin. Kuhubungi ayahmu karena memang khawatir. Nggak ada maksud lain!""Khawatir?" Sekali lagi Melody tersenyum mencibir. "Kakak tahu pasti apa yang pernah kualami. Diikat di ranjang tiga hari tiga malam, disuntik obat penenang dengan dosis tinggi, terus dikurung berhari-hari di ruang isolasi. Kakak tahu betapa menyakitkannya semua itu?"Raga terbungkam."Pernikahan ini adalah pelarian agar aku bisa lepas dari belenggu Ayah. Kalau memang ingin mendepakku dari sini, bukan begitu caranya, Kak! Kita bisa berkompromi tentang perpisahan yang baiknya terjadi."Raga menghela
Ada berbagai jenis depresi yang dialami seseorang dengan tekanan hidup yang tak terkendali. Mulai dari yang ringan sampai berat semua tergantung kemampuan diri.Tujuh belas tahun lalu Melody mengalami penculikan yang membuatnya menghilang selama dua pekan. Berbagai jenis penyiksaan selama penyekapan dia dapatkan hingga mengganggu kondisi psikisnya yang rentan di usia delapan tahunan.Ternyata tragedi tersebut bukan hanya mengganggu mental Melody, tapi ibunya juga. Nada Insani. Selama dua pekan, gadis biasa yang dinikahi anggota keluarga konglomerat berdarah Meksiko itu ditekan oleh berbagai pihak, khususnya keluarga sang suami. Dia disalahkan dan diremehkan, juga dinilai lalai menjadi istri sekaligus ibu hingga penculikan tersebut luput dari pengawasannya yang pada saat itu memang ditugaskan untuk mengantar jemput Melody.Bahkan setelah putrinya kembali, Nada tetap tak bisa sepenuhnya memulihkan diri, harta dan fasilitas yang dia dapatkan selama menjadi istri Hendrix bahkan tak pernah