Sehari sebelumnya .... Raga baru saja tiba, saat ia melihat Fiona sudah menyambut di teras depan rumahnya. "Ngapain kamu diem di--" "Masih inget, nggak? Saat pertama kali kita bertiga ketemu secara nggak sengaja karena kamu dirundung habis-habisan sama temen-temen sekelasmu di minggu pertama sebagai anak SMA?" Raga mematung seketika, kala Fiona tiba-tiba membahas masa remaja mereka. Lembut dan halus cara perempuan itu bertutur kata, tapi entah kenapa mampu menusuk langsung ke dalam hatinya. "Pasti nggak gampang jadi anak orang berada, tapi dianggap di bawah standar orang biasa. Di-bully cuma gara-gara masih diantar-jemput Mamanya bahkan sulit beradaptasi dengan lingkungan barunya." Kedua tangan Raga terkepal. Mau tak mau dia mengingat kembali masa-masa sulit itu, apalagi di waktu yang sama dia masih harus mendampingi Melody dalam proses pemulihannya. "Masih ingat gimana cara aku dan Reyhan mengulurkan tangan? Menuntunmu untuk melangkah tanpa takut jatuh atau tersandung? Menghadap
Melody memeluk lutut sembari menggoyang-goyangkan tubuhnya di atas pembaringan. Berbagai kecamuk perasaan menyerbunya tanpa ampun. Bisikan-bisikan setan itu kembali datang memberinya pilihan antara pergi atau bertahan. Ditatapnya kembali yang koper tergeletak di tepi ranjang. Dilema hebat perempuan itu rasakan. Antara bingung dan kesal. Tak ada alasan untuk bertahan, tapi ke mana ia harus melarikan diri, bila memang Raga bukan tempat yang tepat untuknya tinggal? Tak mungkin juga bila ia harus kembali ke rumah ayahnya. Risikonya jelas jauh lebih besar. "I am done!" Setelah lama menentukan pilihan, akhirnya Melody mengambil keputusan besar. Pergi lebih baik daripada bertahan dalam hubungan yang toxic apalagi harus seatap dengan wanita yang begitu dia benci. Bagiamana pun keadaannya nanti, Melody tak yakin bisa menang melawan Fiona. Koper berwarna biru itu dia pindahkan ke tengah pembaringan, lalu bergegas mengemasi pakaian yang sekiranya dibutuhkan. Tak lama suara derap langkah te
Melody menatap Oktaf yang masih tertidur pulas di salah satu sofa yang bahkan tak cukup memuat kaki panjangnya. Dengkuran halus terdengar, sepertinya lelaki itu kelelahan setelah membantu dalam pelarian Melody semalam.Setelah melirik jam yang menunjukkan pukul 05.30 pagi, setelah selesai sholat dan mandi, bergegas Melody mengambil sapu dan kemoceng untuk membersihkan sarang laba-laba yang selalu mengganggu konsentrasinya saat membaca."Sial!" Melody meringis saat menyadari sebuah sarang laba-laba yang sudah menggumpal jatuh tepat mengenai wajah Oktaf. Lelaki itu mengernyit, kelopak matanya bergerak, lalu terbuka perlahan."Hatchim!" Oktaf tersentak karena suara bersinnya sendiri.Melody yang melihat itu hanya bisa tersenyum meringis, lalu menjaga jarak saat melihat lelaki itu menghadiahinya dengan tatapan kurang menyenangkan. "Lu ngapain, sih, Mel? Ini masih pagi!" sentaknya kemudian."Justru karena masih pagi, jadi aku inisiatif buat bersih-bersih. Kamu nyadar, nggak, sih? Tempat i
Sudah bukan rahasia umum bila ikatan persahabatan bisa retak bahkan putus hanya karena melibatkan cinta di dalamnya. Begitu juga yang dialami Oktaf, Jazz, dan Harpa.Bertahun-tahun menjalin persahabatan bahkan sampai mendirikan band bersama, semua hancur ketika cinta segitiga hadir di antara mereka. Oktaf yang lebih dulu menyimpan rasa harus dipatahkan sumpah Harpa kala perempuan itu berkomitmen untuk tak melibatkan cinta di antara mereka.Namun, tak ubahkan janji yang tertulis di atas air, Harpa justru melanggar janji yang dibuatnya sendiri dan mengaku terang-terangan menyukai Jazz. Perempuan itu bahkan menggoda Jazz hingga Oktaf memergoki keduanya tengah bercinta di studio mereka.Harpa hamil, lalu keguguran. Oktaf yang sadar bahwa Jazz tak memiliki sedikit pun rasa untuknya berusaha menyakinkan Harpa. Namun, Harpa yang keras kepala karena dibutakan cinta tak peduli akan semuanya dan memilih ikut dengan Jazz ke Jakarta, meskipun harus menerima fakta bahwa Jazz tak akan pernah benar-
Tak sulit bagi Raga untuk menemukan keberadaan Melody, setelah 2 x 24 jam mencari. Dari CCTV jalan, serta keterangan beberapa orang yang sering melihat sang istri, membuatnya berhasil menemukannya di Warmindo dan perpustakaan mini ini.Sedikit perasaan tak menyenangkan dia rasakan. Kala sadar bahwa tempat ini bahkan hanya berjarak 150 meter dari kediaman Fiona yang sering dia kunjungi.Apakah Melody sering mampir ke sini hanya untuk memata-matai? Pertanyaan itu masih menggelayuti bahkan saat lelaki itu berhadapan dengan Oktaf setelah susah payah Melody meluruskan kesalahpahaman yang terjadi."Gue tegaskan sekali lagi. Gue nggak pernah ada niat nyulik bini, lu. Nggak pernah sama sekali!" sungut Oktaf menunjuk wajah lelaki yang ada di hadapannya saat ini. Rupanya Oktaf masih tak terima dengan tuduhan Raga apalagi wajahnya jadi korban pukulan."Tapi lo bantu pelarian dia, jadi apa bedanya, Sialan?" sahut Raga tak kalah lantang. Mereka beradu pandang dengan tatapan sama tajam."Ya, jelas
"Si Raga ke mana, sih, Bi? Katanya mau cari Melody, tapi udah sampe tengah malam begini masih belum juga balik." Harmoni mondar-mandir di ruang keluarga rumah Raga. Sudah berjam-jam sejak dia menunggu putranya kembali."Bibi nggak tahu, Bu." Bi Tuti pun tampak panik sendiri. Setelah keributan yang terjadi, wanita paruh baya itu cukup tertekan dan terus merasa tak enak hati."Dia nggak akan pulang sebelum bawa Melody." Harmoni dan Bi Tati menoleh pada Fiona yang keluar dari kamar tiba-tiba menimpali."Kita nggak tanya pendapat kamu," cetus Harmoni ketus, "dasar perempuan nggak tahu diri!""Mau sampai kapan Tante begini?" Harmoni mengernyitkan dahi."Apa maksud kamu?""Saya kenal anak Tante udah cukup lama, loh. Raga juga sering cerita tentang kedekatan antara keluarga Tante sama keluarga Melody yang dirasa janggal selama ini."Pupil mata Harmoni melebar. "Nggak usah sok tahu, ya, Fiona! Siapa kamu, hah?""Saya emang bukan siapa-siapa.Tapi, asal Tante Harmoni tahu, ada satu alasan ken
Oktaf terpaku di tempat menatap tubuh Melody yang mulai kejang-kejang mirip orang kesurupan. Banyak kalimat yang keluar dari mulut perempuan itu, tetapi tak ada satu pun yang mampu Oktaf mengerti.Dia tahu bila seseorang dengan gangguan skizofrenia terkadang bisa tak terkendali, tapi baru pertama kali Oktaf berhadapan dengan salah satu dari penderita yang bisa dibilang orang terdekatnya sendiri. Ada rasa prihatin dan iba di waktu yang bersamaan. Dia seolah masih tak percaya bahwa semua cerita Melody tentang kondisi kesehatan mentalnya itu benar perempuan itu alami."Taf, bantu pegangin!" Panggilan Raga menyentak segala lamunannya tentang ketidakpercayaan Oktaf bahwa sosok sehangat dan seceria Melody bisa menderita penyakit semacam ini. Raga yang sejak tadi sibuk sendiri tampak susah-payah memegangi tubuh sang istri sementara di tangannya terdapat sebuah suntikan obat.Oktaf yang seolah tersadarkan, buru-buru mengambil langkah lebar, lalu mengukung Melody dengan posisi membungkuk di at
"Oktaf ...."Raga dan Oktaf terperanjat begitu mendengar panggilan Melody. Keduanya bangkit dari posisi berbaring hanya beralaskan karpet setelah terjaga hampir semalaman."Y-ya? Kenapa, Mel?" Raga lebih cepat mengambil langkah, dia duduk di tepi ranjang menatap sang istri yang masih mencoba mengumpulkan nyawa."Kak Raga kenapa belum pulang?" tanyanya begitu sadar sepenuhnya."Aku nggak akan pulang sebelum kamu ikut." Bersikeras Raga mencoba menyakinkan Melody."Ya, bener. Dia nggak boleh pulang sebelum lu ikut," serobot Oktaf. Lelaki gondrong itu bangkit setelah sebelumnya memijit pelipis berkali-kali.Melody mengerutkan kening menatap Oktaf yang kini memihak, sebenarnya apa yang terjadi saat ia tak sadarkan diri?"Kok, kamu jadi belain dia, sih?" protesnya."Ng, itu, anu ...." Oktaf menggaruk rambut yang tak gatal. Setelah melihat kondisi Melody semalam, dia tak yakin bisa menanganinya sendiri. Jadi, kehadiran Raga di sini sebenarnya cukup membantu. Bahkan hanya dalam waktu semalam