Share

BAB 2 Sangkut Paut Mobil Baru

Tidn! Tidn!

Terdengar suara klakson mobil mendekat dan memarkir di halaman rumah kami. Tepat di pukul sepuluh siang.

"Aduh, pasti itu mobil baru Jimy. Lihat, ah!" Ibu tiba-tiba nyelonong melewatiku yang sedang menyapu lantai. Jadi Mas Jimy jadi beli mobil? Maksudnya, nyicil mobil?

Penasaran langkah kaki ini pun melaju dengan tangan kosong. Karena sapu ijuk sejenak kusimpan dengan cara di senderkan ke dinding.

Setelah aku keluar. Benar saja. Mas Jimy keluar dari mobil berwarna putih dengan sumringah. Di susul ibunya menghampiri.

"Ini mobil barunya?" ujar Ibu dengan bola mata menghijau ibarat menaburkan uang lembaran. Ia juga nampak sumringah dan keteteran dengan rasa bahagianya.

"Mobil baru, Bu?" sapa seseorang dari kejauhan. Tetangga kami.

"Iya, Bu, ini baru beli," jawab Ibu dengan cental-centil. "Anak saya 'kan sekarang kerja di kantor. Jadi dia harus pakai mobil," imbuh ibu terkagum-kagum. Aku hanya memperhatikan dari balik tirai.

"Wah, selamat ya, Bu. Semoga berkah," do'a Bu Ika tetangga sebelah terhalang tiga rumah.

"Iya, makasih loh, Bu." Ibu menjawab. Bu Ika pun pergi setelah menyemai senyuman diiringi anggukkan.

Lanjut kuperhatikan Mas Jimy dan Ibu. Mereka berdua nampak sumringah dengan mobil baru yang masih harus di cicil sekitar tiga tahunan itu, pun bila kami mampu membayar. Tapi semoga saja Mas Jimy bisa lancar bayar cicilannya. Terutama tak mengorek kembali uang belanjaku yang hanya dua ratus ribu sampai dua ratus lima puluh ribu per Minggu. Itu plus dengan uang jajan Afni, untuk makan berempat pula.

"Hanah mana, Bu?" Mas Jimy menanyakanku pada ibu. Netranya celangak-celinguk. Aku pura-pura tak tahu saja. Padahal sejak tadi aku memperhatikan mereka.

"Ada di dalam. Lagi nyapu." Ibu menjawab.

"Kebiasaan, suami pulang bukannya di sambut malah diem saja." Mas Jimy bicara. Dan telingaku mendengarnya. Pun aku memutuskan untuk menghampiri mereka berdua yang masih terlihat mengagumi mobil baru itu.

"Mas?" sapaku setelah dekat.

"Lihat, ini mobil baru kita. Bagus, kan?" ujarnya terkagum-kagum. Aku menyemai senyuman dan mengangguk-angguk.

"Bagus tidak?" Ia nampak kesal denganku yang hanya tersenyum tanpa mengeluarkan suara.

"Bagus, Mas."

"Nah, gitu dong!" Ia ketus lalu tersenyum sambil memuji-muji mobil berwarna putih itu. Tak henti jemarinya pun meraba-raba permukaan mobil yang masih sangat mengkilap. Sebuah mobil bermerek Honda jazz.

"Kamu ajak Ibu jalan-jalan, dong," pinta ibu.

"Nanti lah, Bu. Sekarang aku harus ke kantor dulu. Ini udah jam sepuluh. Aku dapat izin sampai jam sekarang. Jadi Jimy berangkat dulu ya, Bu." Mas Jimy pamit kembali ke kantor.

"Hemh, ya sudah, hati-hati. Semoga kamu segera naik jabatan," doa ibu pada anaknya. Aku hanya diam dan mengaminkan dalam hati.

"Iya, amin."

"Hanah, aku berangkat ke kantor lagi. Nanti kamu masakin makanan yang enak. Ini uangnya. Itung-itung ngerayain kita punya mobil baru." Mas Jimy memberikanku dua lembar uang berwarna biru tua. "Iya, Mas." Aku menyanggupi. Tak lama Mas Jimy pun mulai masuk ke dalam mobil dan meninggalkan kami untuk melanjutkan pencarian nafkahnya.

"Lihat, tuh, Jimy kurang apa coba? Dia ganteng, baik dan bisa bahagiain kamu." Ibu bicara sambil jalan masuk ke dalam rumah. Aku menyusul.

"Kamu harus pintar irit uang belanja. Jimy juga nabung sudah dapat mobil. Kamu? Nabung juga enggak?" kata Ibu sambil terus berjalan namun sejenak menoleh.

"Insyaallah kedepannya, Bu. Kalau sekarang, kebutuhan dapur dan uang belanja itu pas-pasan sekali. Gak ngutang aja aku masih bersyukur, Bu. Aku cukup-cukupin saja." Kujawab sambil kembali meraih gagang sapu.

"Itu namanya istri gak bisa ngirit. Harusnya, kamu bisa selipin uang dari suami. Jangan di habisin. Itu pemborosan." Kembali ibu bicara sambil duduk menyilang kaki.

"Aku gak boros kok, Bu. Ibu tahu 'kan belanjaan sekarang pada mahal. Apalagi aku harus irit uang segitu untuk makan kita semua," uajrku dengan penuh rasa sabar.

"Kamu nyalahin Ibu karena numpang?" Ia suudzon. Matanya mendelik hingga membuat hati ini teriris tajam.

"Hanah gak bilang gitu, Bu. Memang ya Hanah gak boroos, kok. Tapi Alhamdulillah, uang yang di kasih Mas Jimy pas." Tak ingin memperpanjang masalah.

"Pasti lah, pas. Bahkan mungkin lebih," celetuknya sinis. Apa Ibu tidak tahu berapa uang yang anaknya kasih untuk memenuhi hidup kami semua? Bahkan, sesekali aku ingin memberi uang untuk Ibu pun susah. Kasihan ibu yang hidup menjanda sendiri, tapi untungnya Ibu sekarang sehat dan bisa jualan kecil-kecilan di depan rumah.

"Hanah ke kamar dulu, Bu," pamitku berusaha menghindar.

***

Setelah usai shalat Dzuhur.

"Neni?"

Terdengar ibu menyapa Neni tetangga kami. Dia seorang wanita karir dan dengar-dengar dia bekerja di perusahaan tekstil kota seberang. Suaminya juga kerja di bengkel.

"Wah, kamu udah bawa mobil?" Kedengarannya ibu memuji Neni yang sudah mampu bawa mobil sendiri. Aku melihat dari dekat pintu. Memang Neni memakai sebuah mobil bermerek Avanza berwarna silver.

"Iya, ini mobil hasil jerih payah saya, Bu," jawab Neni yang masih duduk di dalam mobil memegangi setir. Ia pun seperti melihatku yang memperhatikan dekat pintu sambil memegangi gagang sapu.

"Wah, kamu memang hebat. Gak salah. Kamu 'kan lulusan sarjana. Hebat! Gak kayak menantu saya. Diam aja, ngerepotin suami," sungut Ibu.

Deg!

Sakit sekali hati ini di bicarakan seperti itu oleh orang yang selama ini aku hormati. Mulut ibu ternyata sadis sekali diluar. Aku pikir tidak sampai seperti itu.

Neni menoleh ke arahku dengan pandangan tak enak. Pun ibu ikut menoleh. "Eh, Hanah?" ujar ibu kaget. "Kalau gitu saya permisi, Bu," kata Neni pada ibu. "Mari, Hanah!" Ia juga menyapaku sebelum pergi. Kusemai senyuman padanya. Walaupun hati ini amat kesal terhadap ibu.

Terlihat Ibu menghembuskan nafas kasar diiringi lenggokkan kepala. Ia kembali dan berjalan ke arahku yang masih berdiri. Ingin sekali berkata mengapa ibu berkata seperti barusan, tapi aku malas debat.

"Tuh lihat si Neni, dia bisa beli mobil hasil dari kerjanya." Ibu mulai menyundut emosiku. Ingin berkata sesuatu untuk membalas kata-kata ibu, tapi aku harus menunggu waktu yang tepat.

"Kan Hanah gak kerja, Bu. Dan anak Ibu Mas Jimy pun maunya punya istri di rumah saja. Gak ada masalah kok, Bu," ujarku menyusuri langkah ibu.

"Iya, sih. Tapi, kalau kamu bekerja, itu lebih baik. Bisa bantuin ekonomi keluarga," jawabnya lenggak-lenggok sambil duduk menyilang kaki di kursi minimalis.

Napas ini coba kuatur supaya tenang dan tak terpancing emosi oleh perkataan ibu. "Ah, tapi kamu cuma lulusan SMA, mana bisa kerja. Perusahaan mana pula yang mau terima kamu. Jimy saja yang sarjana mati-matian nyari kerja," sinisnya. Membuat lubuk hati ini makin pedih. Kenapa bisa ibu bicara seperti barusan? Bukannya Ibu juga hanya lulusan SMP, dan ibu tidak bekerja? Hanya menjadi seorang ibu rumah tangga?

"Memang Hanah bukan lulusan sarjana, Bu, tapi kalau memang Hanah harus kerja, Hanah juga bisa coba, kok. Yang penting mau berusaha," jawabku menenangkan hati yang sudah makin emosi. Andai ibuku sendiri mendengar penghinaan ini, pasti dia akan sakit hati sekali.

Ibu mertua beranjak. "Ah gak usah. Tipe-tipe wanita seperti kamu itu melunjak kalau bekerja. Bisa-bisa gak bisa urus rumah lagi, suami terbengkalai, anak juga. Ibu gak mau bersih-bersih rumah sendiri. Apalagi masak," cetusnya sambil pergi.

Kuusap dada beberapa kali melihat tingkah Ibu yang egois. Apa sih yang ia inginkan?

Sejak awal aku menikah, Ibu tidak pernah bersikap sangat baik. Ia seperti benci padaku, padahal aku selalu berikan apa yang ia mau. Termasuk memijatnya semalaman kalau dia inginkan.

Seringkali ucapan Ibu membuatku merasa terpojokkan, tapi, tadi, soal ibu merendahkanku di hadapan wanita lain, di hadapan Neni, itu baru kudengar. Apa dari dulu juga seperti itu? Kalau ya, Ibu sangat keterlaluan. Karena dari awal bukan aku yang memaksa ingin dinikahi anaknya. Tapi Mas Jimy lah yang datang memintaku pada Ibu.

***

Tidn!

Tidn!

Klakson mobil terdengar nyaring, setelah kutengok, ternyata itu adalah mobil suamiku. Pukul empat sore pas dia sudah pulang.

Pintu kubuka untuk menyambutnya.

"Mas?" sapaku setelah ia mendekat.

"Assalamualaikum?" salamnya, membuat hati ini sejuk karena ia masih ingat dengan salam yang seharusnya di ucapkan oleh seorang muslim.

"Waalaikum salam," jawabku sambil mengecup punggung tangannya takzim.

"Jimy? Ibu udah nunggu mau jalan-jalan. Ayok pergi!" Tiba-tiba ibu datang menghampiri kami yang masih berdiri di teras.

"Iya, Bu, aku ganti baju dulu." Mas Jimy menjawab.

"Aku juga ganti baju dulu ya, Mas. Afni juga baru saja mandi," ujarku.

"Ha gak usah. Yang jalan-jalan cuma Ibu sama Jimy, sama Afni. Kamu gak usah ikut. Rumah gak ada yang jaga."

Deg!

Ibu kebangetan sekali. Maksudnya dia tidak ingin aku pergi? Dan tadi siang? Bukannya Mas Jimy suruh aku masak?

Mas Jimy tak berkata apapun. Dia malah pergi nyelonong seakan menyetujui keinginan ibu.

"Ya, kamu di rumah aja. Biar besok-besok lagi aja kita jalan. Kamu di rumah aja." Akhirnya kata-kata yang tidak mengenakan keluar dari mulut Mas Jimy.

Napas ini sesak sekali. Dadaku memanas mendengar kalimat dari suamiku itu. Ini menyakitkan. Mereka pikir aku hanya asisten rumah tangga yang harus di tinggal?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status