Share

BAB 3 Kedatangan Kakak Ipar

"Gimana jalan-jalannya, Sayang? Seru?" tanyaku pada Afni si gadis kecil yang mungil. 

"Gak seru. Ibu gak ikut." Ia menjawab dengan ketus sembari menyilang lengan di bawah dada. Ya, karena Ibu dan Mas Jimy tak perbolehkan aku ikut karena rumah tidak ada yang jaga. Itu mungkin alasan mereka saja.

Kuelus rambut kepang duanya. "Sayang, Ibu tadi 'kan lagi masak. Ibu juga belum mandi. Terus Ibu masih banyak kerjaan. Lain kali kita bisa jalan bareng," jawabku manis. Ia menoleh dan netranya menatapku lamat-lamat. Seperti ada raut wajah iba atau apa itu?

"Afni, jangan contoh Ibu kamu ini. Dia kerjanya lelet. Jadi kemana-mana pasti di tinggal. Coba kalau dia tadi udah dandan. Udah selesai masak dan sebagainya. Pasti bisa ikut," celetuk ibu mertua ikut nimbrung.

Sejenak kuatur napas dan beristighfar.

"Ibu gak malas, Nek. Kasihan Ibu kerjain semua tugas rumah sendiri." Ya ampun, anakku ternyata selama ini melihat dan memperhatikan kalau aku memang kerjakan apapun sendiri.

Ibu seperti kaget mendengar kalimat dari Afni barusan. "Eh, kamu di ajari Ibu kamu bicara kayak gitu?" tembal ibu dengan wajah nanar. Aku mencoba meredakan suasana.

"Sayang, masuk ke kamar, ya. Minta maaf dulu sama Nenek," ucapku pada Afni yang meskipun masih duduk di bangku sekolah dasar, tapi dia sudah pintar menilai mana yang baik dan mana yang buruk.

"Kok minta maaf? Memangnya Afni ...."

Kutempel telunjuk ini di bibir tipisnya. "Shut. Minta maaf, ya?" pintaku dengan mensejajarkan tubuh ini hingga setara dengannya. Ia pun dengan terpaksa mengangguk. Aku kagum, Afni bisa menurut supaya masalah dengan neneknya tak jadi panjang.

"Maaf ya, Nek. Afni ke dalam dulu." Putri kecilku bicara dengan nada sendu. "Hem." Hanya itu saja jawaban dari ibu. Menggeram seperti seekor macan yang kehilangan mangsanya. Afni pun berlari ke arah kamar.

Aku berdiri lagi.

"Tuh, anak kamu udah mulai gak sopan. Dia mulai belain kamu, si wanita yang tidak berguna."

Teg!

Ucapan ibu menusuk ke dasar sanubari lagi. Dan ini makin menyakitkan. Netra ibu bicara kalau dia makin tak suka dengan kehadiranku.

"Apaan sih? Ribut?" Mas Jimy menghampiri kami yang sedang berdiri berdua. Ibu sejak tadi tak henti menyundut emosiku.

Kepala ini hanya bisa menunduk.

"Tuh istri kamu! Ajari anak yang gak bener. Dia melawan Ibu," celetuknya menuding.

"Bukan melawan, Mas. Afni hanya bicara apa adanya. Wajar kalau dia membela aku sebagai ibunya." Kujawab masih dalam keadaan menunduk.

"Memangnya kenapa?" tanya Mas Jimy seakan ingin mencari tahu masalah sepele tadi. Ibu selalu saja membesar-besarkan masalahku.

"Ah gak penting. Ibu pusing! Mau ke kamar!" Ibu seperti mengelak karena takut pada Mas Jimy. Suamiku nampak heran. Kedua alisnya saling bertaut.

Tok tok tok!

"Assalamualaikum!"

"Bu ... Jimy ... Hanah ...."

Tiba-tiba di pukul delapan malam terdengar suara orang yang mengetuk pintu dan mengucap salam. Nada suaranya tak asing di telinga. Mereka juga berteriak memanggil nama kami.

"Waalaikum salam?" jawabku juga Mas Jimy. Pun ibu hentikan langkah kakinya sebelum masuk ke dalam kamar.

Suara yang tak asing namun kupikir bukan. Untuk apa pula malam-malam seperti ini bertamu? Tak ada angin tak ada hujan. Biasanya juga paling datang saat lebaran idul Fitri.

Kubuka pintu. Mas Jimy pun menunggu.

Krek!

Saat kubuka, "waalaikum salam. Mbak? Mas?" Aku kaget. Yang datang di malam-malam seperti ini adalah Mbak Anggi dan Mas Yanto. Mereka pula membawa kantong-kantong besar. Aku curiga sekali. Jangan-jangan?

"Kamu kok diem aja? Kami gak di suruh masuk?" kata Mbak Anggi dengan nada juteknya.

"Anggi? Yanto?" Ibu menghampiri dan melihat kalau anak dan menantunyalah yang datang. Niatnya untuk pergi ke kamar dengan wajah ketus pun terurungkan. Kini raut ketus menjadi sumringah seratus delapan puluh derajat.

"Suruh masuk dong, Han!" titah Ibu padaku.

"Masuk, Mas, Mbak." Mas Yanto dan Mbak Anggi pun masuk. Pun mereka bawa tas besarnya itu.

"Mbak? Mas?" Mas Jimy menyambut kakaknya. Kami pun saling bersalaman.

"Bu, aku sama Mas Yanto mau tinggal di sini. Rumah kami kebakaran."

Teg!

"Apa kebakaran?" Kami bertiga kaget dan syok. Apalagi aku, selama ini aku tahu bagaimana sikap Mbak Anggi. Dan dia akan tinggal disini?

"Iya, dan semuanya habis." Mbak Anggi menjelaskan. Mas Yanto hanya diam dengan malu-malu. Sedari tadi wajahnya menunduk. 

Mbak Anggi menangis. Mas Jimy kaget, begitupun dengan Ibu.

"Kok bisa?" Ibu makin panik.

"Ceritanya panjang, Bu. Nanti aku jelasin." Mbak Anggi masih bersedih. Ada tetesan air mata keluar dari kedua netranya.

"Jimy, Hanah, sementara, boleh 'kan Mbak dan Mas kamu tinggal di rumah ini. Sebelum kami punya rumah baru." Isak tangis Mbak Anggi. Kasihan juga mereka.

"Boleh, siapa yang larang? Kalian 'kan anak Ibu." Mertuaku menjawab dengan lugas sambil memeluk anak perempuannya. Ya, Mbak Anggi adalah kakak dari Mas Jimy, suamiku. Sedang Mas Yanto adalah suaminya.

Mereka tinggal di luar kota. Makanya aneh saja, malam-malam mereka datang. Dan katanya rumah mereka di luar kota kebakaran. Jadi mereka akan tinggal disini sementara.

"Jadi kami boleh tinggal disini?" tanya Mbak Anggi memastikan. "Boleh," jawab suamiku. Kami sudah duduk di kursi.

"Boleh dong, Sayang." Ibu pun mengimbuhkan. Aku mengangguk saja sambil menyemai senyuman.

"Hanah, siapain kamar buat mereka berdua. Untung ada kamar satu lagi yang kosong. Tapi pasti banyak debunya. Kamu bersihin, ya?" pinta ibu yang menyuruhku membersihkan kamar untuk mereka tiduri.

"Iya, Bu."

***

Tak lama setelah menyiapkan kamar untuk mereka berdua, aku kembali. Di ruang tamu sudah terdengar obrolan yang histeris membahas kebakaran rumah Mbak Anggi diluar kota.

"Iya, Bu. Kebakaran terjadi karena listrik tetangga korslet. Jadi rumah kami kena imbasnya." Mbak Anggi bercerita.

"Ya ampun." Ibu mengiba.

"Kemarin kami mau langsung kesini, tapi, kami pikir kami akan cari saja kontrakan disana. Eh, ternyata, kami baru sadar, uang kami habis, Bu. Jadi ... tadi sore kami putuskan untuk berangkat kesini. Ongkos juga pas-pasan."

Kembali Mbak Anggi menjelaskan. Aku duduk di samping Mas Jimy. Afni sudah tidur saat kulihat tadi. Mungkin dia lelah karena baru pulang jalan-jalan.

"Hanah turut prihatin ya, Mbak. Semoga Mbak dan Mas bisa kembali bangkit. Segera punya rumah lagi." Aku mendoakan mereka setulus hati. Namun entah mengapa ibu seperti tak suka.

"Eh, kok kamu kok bilang mereka cepat punya rumah lagi? Memangnya kalau mereka disini lama kenapa? Gak boleh?" Tiba-tiba sungut Ibu bicara. Apa masalahnya?

"Loh, Bu, Hanah itu cuma doain Mbak Anggi sama Mas Yanto. Semoga mereka diberi ketabahan dan bangkit kembali," jelasku karena ibu sudah salah paham.

"Hemh, bilang aja kamu ingin cepat-cepat kedua kakak kamu ini pergi. Iya, kan?" celetuk ibu mertuaku lagi. Keterlaluan. Pikiran ibu selalu saja buruk tentangku.

"Ahhh, sudah! Kamu sama Ibu kayak kucing sama Anjing saja. Gak akur!" Mas Jimy kesal.

"Istri kamu tuh!" tuduh ibu. Netranya mendelik tajam. Aku harus tetap sabar.

"Oh ya, di depan mobil kamu, Jim? Kamu udah punya mobil?" tanya Mbak Anggi beralih tema.

"Iya, Mbak. Aku udah kerja di kantor. Dan mobil itu baru aku beli tadi pagi." Mas Jimy menjelaskan.

"Aduh, selamat ya, Jim. Kamu bawa dong Mas Yanto kerja disana. Mas kamu ini juga 'kan seorang sarjana akuntansi." Mbak Anggi menawarkan Mas Yanto.

"Loh, memangnya Mas Yanto udah resign dari kantor lama?" tanya Mas Jimy. Mas Yanto dan Mbak Anggi nampak kaget. "Em, iya, aku resign. Kan mau pindah kesini dulu." Mas Yanto yang menjawab.

"Sayang dong, Mas?" Mas Jimy menanggapi. Keduanya pun hanya diam saja.

"Ah, gak usah di pikirin. Kalau lulusan sarjana, cari kerja gak bakalan susah." Ibu bicara dengan bola mata mendelik. Pasti karena pendidikanku hanya SMA, sedang Mbak Anggi pula adalah seorang wanita lulusan D3. Jurusan akuntansi. Tapi Mbak Anggi tidak bekerja. Sama sepertiku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga.

"Iya, nanti aku coba tanyakan loker di kantor. Biar kita bisa kerja bareng, Mas," kata Mas Jimy manis.

"Makasih ya, Jim." Mbak Anggi berterima kasih.

***

Malam-malam sekitar pukul sebelas malam, aku hendak menuju dapur mengambil air karena persediaan air minum habis.

Untuk berjalan ke dapur, memang melewati kamar Mbak Anggi dan Mas Yanto.

"Untung aja mereka gak curiga." Terdengar suara obrolan dari kamar mereka mengeluarkan kalimat barusan. Curiga? Tentang apa?

Afni sudah tidur pulas, sedangkan aku dan Mas Jimy baru akan tidur. Namun sejenak aku ke dapur untuk hal tadi. Membawa air minum.

"Kamu sampai bilang rumah kebakar. Jujur saja kalau kita bangkrut dan di usir warga."

Deg!

Kalimat itu nyeleneh di telinga. Aku yang sudah memenuhi poci dengan air putih pun kaget. Pasti mereka mengobrol dan berfikir kami sudah tidur.

Apa yang kudengar takutnya salah. Dengan demikian aku memutuskan untuk menguping. Astaghfirullah! Memang ini tidak baik, tapi, aku takut kalau mereka memang berbohong saja.

"Ah, tengsin, Mas. Pokoknya, ibu, Jimy dan Hanah jangan sampai tahu. Aku malu!" kata Mbak Anggi. Kebetulan sekali pintu kamar mereka tidak di tutup rapat. Jadi aku bisa mendengar percakapan mereka dengan baik.

Terkejut sekali diri ini. Jadi mereka bangkrut? Pantas saja mereka malah datang kemari. Apa yang menyebabkan mereka bangkrut? Hutang? Hutang kemana?

"Aku ke toilet dulu, Mas."

Tiba-tiba terdengar suara Mbak Anggi yang akan ke toilet. Aku segera pergi saja karena takut ketahuan. Bisa-bisa Mbak Anggi ngoceh. Terdengar oleh Ibu, aku lagi yang di salahkan.

Masuk ke dalam kamar.

Mas Jimy sudah tidur, pun Afni, dia sudah tidur di kamar sebelah. Kamar yang kecil dan pas untuknya.

Apa yang tadi kudengar itu betulan? Mereka berbohong. Jadi Mas Yanto bangkrut? Bagaimana kalau ibu mertua tahu? Apa dia akan marah?

"Han? Kok berdiri aja?" Mas Jimy terbangun dan membuatku kaget.

"I-iya. Aku lihat tadi ada kecoak, Mas. Kamu mau minum?" tawarku mengalihkan perhatian.

"Iya, boleh." Mas Jimy beranjak dan sejenak menyender di headboard spring bed kami. Aku memberinya segelas air putih.

Apa aku cerita soal ini sama Mas Jimy? Tapi, aku takut di salahkan. Bisa-bisa Mbak Anggi ngamuk.

Ah biarlah. Nanti, lama kelamaan pasti bangkai mereka akan tercium. Semoga saja tak ada keburukan lain pada diri mereka. Mungkin Mas Yanto bangkrut karena kantornya gulung tikar. Bukan karena ada masalah lainnya.

Aku tahu bagaimana keangkuhan Mbak Anggi dan Mas Yanto, jadi mereka pasti tak ingin kuketahui masalah pribadinya. Bisa-bisa ia malu.

"Ayok tidur." Mas Jimy mengajakku untuk tidur bersama. "Hem." Kepala mengangguk dengan senyuman menyemai dari bibir. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status