Share

BAB 3 Kedatangan Kakak Ipar

Author: Kom Komala
last update Last Updated: 2022-08-20 17:00:42

"Gimana jalan-jalannya, Sayang? Seru?" tanyaku pada Afni si gadis kecil yang mungil. 

"Gak seru. Ibu gak ikut." Ia menjawab dengan ketus sembari menyilang lengan di bawah dada. Ya, karena Ibu dan Mas Jimy tak perbolehkan aku ikut karena rumah tidak ada yang jaga. Itu mungkin alasan mereka saja.

Kuelus rambut kepang duanya. "Sayang, Ibu tadi 'kan lagi masak. Ibu juga belum mandi. Terus Ibu masih banyak kerjaan. Lain kali kita bisa jalan bareng," jawabku manis. Ia menoleh dan netranya menatapku lamat-lamat. Seperti ada raut wajah iba atau apa itu?

"Afni, jangan contoh Ibu kamu ini. Dia kerjanya lelet. Jadi kemana-mana pasti di tinggal. Coba kalau dia tadi udah dandan. Udah selesai masak dan sebagainya. Pasti bisa ikut," celetuk ibu mertua ikut nimbrung.

Sejenak kuatur napas dan beristighfar.

"Ibu gak malas, Nek. Kasihan Ibu kerjain semua tugas rumah sendiri." Ya ampun, anakku ternyata selama ini melihat dan memperhatikan kalau aku memang kerjakan apapun sendiri.

Ibu seperti kaget mendengar kalimat dari Afni barusan. "Eh, kamu di ajari Ibu kamu bicara kayak gitu?" tembal ibu dengan wajah nanar. Aku mencoba meredakan suasana.

"Sayang, masuk ke kamar, ya. Minta maaf dulu sama Nenek," ucapku pada Afni yang meskipun masih duduk di bangku sekolah dasar, tapi dia sudah pintar menilai mana yang baik dan mana yang buruk.

"Kok minta maaf? Memangnya Afni ...."

Kutempel telunjuk ini di bibir tipisnya. "Shut. Minta maaf, ya?" pintaku dengan mensejajarkan tubuh ini hingga setara dengannya. Ia pun dengan terpaksa mengangguk. Aku kagum, Afni bisa menurut supaya masalah dengan neneknya tak jadi panjang.

"Maaf ya, Nek. Afni ke dalam dulu." Putri kecilku bicara dengan nada sendu. "Hem." Hanya itu saja jawaban dari ibu. Menggeram seperti seekor macan yang kehilangan mangsanya. Afni pun berlari ke arah kamar.

Aku berdiri lagi.

"Tuh, anak kamu udah mulai gak sopan. Dia mulai belain kamu, si wanita yang tidak berguna."

Teg!

Ucapan ibu menusuk ke dasar sanubari lagi. Dan ini makin menyakitkan. Netra ibu bicara kalau dia makin tak suka dengan kehadiranku.

"Apaan sih? Ribut?" Mas Jimy menghampiri kami yang sedang berdiri berdua. Ibu sejak tadi tak henti menyundut emosiku.

Kepala ini hanya bisa menunduk.

"Tuh istri kamu! Ajari anak yang gak bener. Dia melawan Ibu," celetuknya menuding.

"Bukan melawan, Mas. Afni hanya bicara apa adanya. Wajar kalau dia membela aku sebagai ibunya." Kujawab masih dalam keadaan menunduk.

"Memangnya kenapa?" tanya Mas Jimy seakan ingin mencari tahu masalah sepele tadi. Ibu selalu saja membesar-besarkan masalahku.

"Ah gak penting. Ibu pusing! Mau ke kamar!" Ibu seperti mengelak karena takut pada Mas Jimy. Suamiku nampak heran. Kedua alisnya saling bertaut.

Tok tok tok!

"Assalamualaikum!"

"Bu ... Jimy ... Hanah ...."

Tiba-tiba di pukul delapan malam terdengar suara orang yang mengetuk pintu dan mengucap salam. Nada suaranya tak asing di telinga. Mereka juga berteriak memanggil nama kami.

"Waalaikum salam?" jawabku juga Mas Jimy. Pun ibu hentikan langkah kakinya sebelum masuk ke dalam kamar.

Suara yang tak asing namun kupikir bukan. Untuk apa pula malam-malam seperti ini bertamu? Tak ada angin tak ada hujan. Biasanya juga paling datang saat lebaran idul Fitri.

Kubuka pintu. Mas Jimy pun menunggu.

Krek!

Saat kubuka, "waalaikum salam. Mbak? Mas?" Aku kaget. Yang datang di malam-malam seperti ini adalah Mbak Anggi dan Mas Yanto. Mereka pula membawa kantong-kantong besar. Aku curiga sekali. Jangan-jangan?

"Kamu kok diem aja? Kami gak di suruh masuk?" kata Mbak Anggi dengan nada juteknya.

"Anggi? Yanto?" Ibu menghampiri dan melihat kalau anak dan menantunyalah yang datang. Niatnya untuk pergi ke kamar dengan wajah ketus pun terurungkan. Kini raut ketus menjadi sumringah seratus delapan puluh derajat.

"Suruh masuk dong, Han!" titah Ibu padaku.

"Masuk, Mas, Mbak." Mas Yanto dan Mbak Anggi pun masuk. Pun mereka bawa tas besarnya itu.

"Mbak? Mas?" Mas Jimy menyambut kakaknya. Kami pun saling bersalaman.

"Bu, aku sama Mas Yanto mau tinggal di sini. Rumah kami kebakaran."

Teg!

"Apa kebakaran?" Kami bertiga kaget dan syok. Apalagi aku, selama ini aku tahu bagaimana sikap Mbak Anggi. Dan dia akan tinggal disini?

"Iya, dan semuanya habis." Mbak Anggi menjelaskan. Mas Yanto hanya diam dengan malu-malu. Sedari tadi wajahnya menunduk. 

Mbak Anggi menangis. Mas Jimy kaget, begitupun dengan Ibu.

"Kok bisa?" Ibu makin panik.

"Ceritanya panjang, Bu. Nanti aku jelasin." Mbak Anggi masih bersedih. Ada tetesan air mata keluar dari kedua netranya.

"Jimy, Hanah, sementara, boleh 'kan Mbak dan Mas kamu tinggal di rumah ini. Sebelum kami punya rumah baru." Isak tangis Mbak Anggi. Kasihan juga mereka.

"Boleh, siapa yang larang? Kalian 'kan anak Ibu." Mertuaku menjawab dengan lugas sambil memeluk anak perempuannya. Ya, Mbak Anggi adalah kakak dari Mas Jimy, suamiku. Sedang Mas Yanto adalah suaminya.

Mereka tinggal di luar kota. Makanya aneh saja, malam-malam mereka datang. Dan katanya rumah mereka di luar kota kebakaran. Jadi mereka akan tinggal disini sementara.

"Jadi kami boleh tinggal disini?" tanya Mbak Anggi memastikan. "Boleh," jawab suamiku. Kami sudah duduk di kursi.

"Boleh dong, Sayang." Ibu pun mengimbuhkan. Aku mengangguk saja sambil menyemai senyuman.

"Hanah, siapain kamar buat mereka berdua. Untung ada kamar satu lagi yang kosong. Tapi pasti banyak debunya. Kamu bersihin, ya?" pinta ibu yang menyuruhku membersihkan kamar untuk mereka tiduri.

"Iya, Bu."

***

Tak lama setelah menyiapkan kamar untuk mereka berdua, aku kembali. Di ruang tamu sudah terdengar obrolan yang histeris membahas kebakaran rumah Mbak Anggi diluar kota.

"Iya, Bu. Kebakaran terjadi karena listrik tetangga korslet. Jadi rumah kami kena imbasnya." Mbak Anggi bercerita.

"Ya ampun." Ibu mengiba.

"Kemarin kami mau langsung kesini, tapi, kami pikir kami akan cari saja kontrakan disana. Eh, ternyata, kami baru sadar, uang kami habis, Bu. Jadi ... tadi sore kami putuskan untuk berangkat kesini. Ongkos juga pas-pasan."

Kembali Mbak Anggi menjelaskan. Aku duduk di samping Mas Jimy. Afni sudah tidur saat kulihat tadi. Mungkin dia lelah karena baru pulang jalan-jalan.

"Hanah turut prihatin ya, Mbak. Semoga Mbak dan Mas bisa kembali bangkit. Segera punya rumah lagi." Aku mendoakan mereka setulus hati. Namun entah mengapa ibu seperti tak suka.

"Eh, kok kamu kok bilang mereka cepat punya rumah lagi? Memangnya kalau mereka disini lama kenapa? Gak boleh?" Tiba-tiba sungut Ibu bicara. Apa masalahnya?

"Loh, Bu, Hanah itu cuma doain Mbak Anggi sama Mas Yanto. Semoga mereka diberi ketabahan dan bangkit kembali," jelasku karena ibu sudah salah paham.

"Hemh, bilang aja kamu ingin cepat-cepat kedua kakak kamu ini pergi. Iya, kan?" celetuk ibu mertuaku lagi. Keterlaluan. Pikiran ibu selalu saja buruk tentangku.

"Ahhh, sudah! Kamu sama Ibu kayak kucing sama Anjing saja. Gak akur!" Mas Jimy kesal.

"Istri kamu tuh!" tuduh ibu. Netranya mendelik tajam. Aku harus tetap sabar.

"Oh ya, di depan mobil kamu, Jim? Kamu udah punya mobil?" tanya Mbak Anggi beralih tema.

"Iya, Mbak. Aku udah kerja di kantor. Dan mobil itu baru aku beli tadi pagi." Mas Jimy menjelaskan.

"Aduh, selamat ya, Jim. Kamu bawa dong Mas Yanto kerja disana. Mas kamu ini juga 'kan seorang sarjana akuntansi." Mbak Anggi menawarkan Mas Yanto.

"Loh, memangnya Mas Yanto udah resign dari kantor lama?" tanya Mas Jimy. Mas Yanto dan Mbak Anggi nampak kaget. "Em, iya, aku resign. Kan mau pindah kesini dulu." Mas Yanto yang menjawab.

"Sayang dong, Mas?" Mas Jimy menanggapi. Keduanya pun hanya diam saja.

"Ah, gak usah di pikirin. Kalau lulusan sarjana, cari kerja gak bakalan susah." Ibu bicara dengan bola mata mendelik. Pasti karena pendidikanku hanya SMA, sedang Mbak Anggi pula adalah seorang wanita lulusan D3. Jurusan akuntansi. Tapi Mbak Anggi tidak bekerja. Sama sepertiku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga.

"Iya, nanti aku coba tanyakan loker di kantor. Biar kita bisa kerja bareng, Mas," kata Mas Jimy manis.

"Makasih ya, Jim." Mbak Anggi berterima kasih.

***

Malam-malam sekitar pukul sebelas malam, aku hendak menuju dapur mengambil air karena persediaan air minum habis.

Untuk berjalan ke dapur, memang melewati kamar Mbak Anggi dan Mas Yanto.

"Untung aja mereka gak curiga." Terdengar suara obrolan dari kamar mereka mengeluarkan kalimat barusan. Curiga? Tentang apa?

Afni sudah tidur pulas, sedangkan aku dan Mas Jimy baru akan tidur. Namun sejenak aku ke dapur untuk hal tadi. Membawa air minum.

"Kamu sampai bilang rumah kebakar. Jujur saja kalau kita bangkrut dan di usir warga."

Deg!

Kalimat itu nyeleneh di telinga. Aku yang sudah memenuhi poci dengan air putih pun kaget. Pasti mereka mengobrol dan berfikir kami sudah tidur.

Apa yang kudengar takutnya salah. Dengan demikian aku memutuskan untuk menguping. Astaghfirullah! Memang ini tidak baik, tapi, aku takut kalau mereka memang berbohong saja.

"Ah, tengsin, Mas. Pokoknya, ibu, Jimy dan Hanah jangan sampai tahu. Aku malu!" kata Mbak Anggi. Kebetulan sekali pintu kamar mereka tidak di tutup rapat. Jadi aku bisa mendengar percakapan mereka dengan baik.

Terkejut sekali diri ini. Jadi mereka bangkrut? Pantas saja mereka malah datang kemari. Apa yang menyebabkan mereka bangkrut? Hutang? Hutang kemana?

"Aku ke toilet dulu, Mas."

Tiba-tiba terdengar suara Mbak Anggi yang akan ke toilet. Aku segera pergi saja karena takut ketahuan. Bisa-bisa Mbak Anggi ngoceh. Terdengar oleh Ibu, aku lagi yang di salahkan.

Masuk ke dalam kamar.

Mas Jimy sudah tidur, pun Afni, dia sudah tidur di kamar sebelah. Kamar yang kecil dan pas untuknya.

Apa yang tadi kudengar itu betulan? Mereka berbohong. Jadi Mas Yanto bangkrut? Bagaimana kalau ibu mertua tahu? Apa dia akan marah?

"Han? Kok berdiri aja?" Mas Jimy terbangun dan membuatku kaget.

"I-iya. Aku lihat tadi ada kecoak, Mas. Kamu mau minum?" tawarku mengalihkan perhatian.

"Iya, boleh." Mas Jimy beranjak dan sejenak menyender di headboard spring bed kami. Aku memberinya segelas air putih.

Apa aku cerita soal ini sama Mas Jimy? Tapi, aku takut di salahkan. Bisa-bisa Mbak Anggi ngamuk.

Ah biarlah. Nanti, lama kelamaan pasti bangkai mereka akan tercium. Semoga saja tak ada keburukan lain pada diri mereka. Mungkin Mas Yanto bangkrut karena kantornya gulung tikar. Bukan karena ada masalah lainnya.

Aku tahu bagaimana keangkuhan Mbak Anggi dan Mas Yanto, jadi mereka pasti tak ingin kuketahui masalah pribadinya. Bisa-bisa ia malu.

"Ayok tidur." Mas Jimy mengajakku untuk tidur bersama. "Hem." Kepala mengangguk dengan senyuman menyemai dari bibir. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hanya Karena Tak Berpendidikan Tinggi   Season 2 BAB 55

    PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,

  • Hanya Karena Tak Berpendidikan Tinggi   Season 2 BAB 54 Lombok

    PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam

  • Hanya Karena Tak Berpendidikan Tinggi   Season 2 BAB 53 Persis Sama

    PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.

  • Hanya Karena Tak Berpendidikan Tinggi   Season 2 BAB 52 Celana Kolor

    "Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me

  • Hanya Karena Tak Berpendidikan Tinggi   Season 2 BAB 51 Acara 4 Bulanan

    Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan

  • Hanya Karena Tak Berpendidikan Tinggi   Season 2 BAB 50

    Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa

  • Hanya Karena Tak Berpendidikan Tinggi   Season 2 BAB 49 Salah Sergap

    "Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a

  • Hanya Karena Tak Berpendidikan Tinggi   SEASON 2 BAB 48 Rasakan Hentakkan Suamiku

    Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria

  • Hanya Karena Tak Berpendidikan Tinggi   SEASON 2 BAB 47 Dihadang Ke rumah

    "Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status