"Gimana jalan-jalannya, Sayang? Seru?" tanyaku pada Afni si gadis kecil yang mungil.
"Gak seru. Ibu gak ikut." Ia menjawab dengan ketus sembari menyilang lengan di bawah dada. Ya, karena Ibu dan Mas Jimy tak perbolehkan aku ikut karena rumah tidak ada yang jaga. Itu mungkin alasan mereka saja.
Kuelus rambut kepang duanya. "Sayang, Ibu tadi 'kan lagi masak. Ibu juga belum mandi. Terus Ibu masih banyak kerjaan. Lain kali kita bisa jalan bareng," jawabku manis. Ia menoleh dan netranya menatapku lamat-lamat. Seperti ada raut wajah iba atau apa itu?
"Afni, jangan contoh Ibu kamu ini. Dia kerjanya lelet. Jadi kemana-mana pasti di tinggal. Coba kalau dia tadi udah dandan. Udah selesai masak dan sebagainya. Pasti bisa ikut," celetuk ibu mertua ikut nimbrung.
Sejenak kuatur napas dan beristighfar.
"Ibu gak malas, Nek. Kasihan Ibu kerjain semua tugas rumah sendiri." Ya ampun, anakku ternyata selama ini melihat dan memperhatikan kalau aku memang kerjakan apapun sendiri.
Ibu seperti kaget mendengar kalimat dari Afni barusan. "Eh, kamu di ajari Ibu kamu bicara kayak gitu?" tembal ibu dengan wajah nanar. Aku mencoba meredakan suasana.
"Sayang, masuk ke kamar, ya. Minta maaf dulu sama Nenek," ucapku pada Afni yang meskipun masih duduk di bangku sekolah dasar, tapi dia sudah pintar menilai mana yang baik dan mana yang buruk.
"Kok minta maaf? Memangnya Afni ...."
Kutempel telunjuk ini di bibir tipisnya. "Shut. Minta maaf, ya?" pintaku dengan mensejajarkan tubuh ini hingga setara dengannya. Ia pun dengan terpaksa mengangguk. Aku kagum, Afni bisa menurut supaya masalah dengan neneknya tak jadi panjang.
"Maaf ya, Nek. Afni ke dalam dulu." Putri kecilku bicara dengan nada sendu. "Hem." Hanya itu saja jawaban dari ibu. Menggeram seperti seekor macan yang kehilangan mangsanya. Afni pun berlari ke arah kamar.
Aku berdiri lagi.
"Tuh, anak kamu udah mulai gak sopan. Dia mulai belain kamu, si wanita yang tidak berguna."
Teg!
Ucapan ibu menusuk ke dasar sanubari lagi. Dan ini makin menyakitkan. Netra ibu bicara kalau dia makin tak suka dengan kehadiranku.
"Apaan sih? Ribut?" Mas Jimy menghampiri kami yang sedang berdiri berdua. Ibu sejak tadi tak henti menyundut emosiku.
Kepala ini hanya bisa menunduk.
"Tuh istri kamu! Ajari anak yang gak bener. Dia melawan Ibu," celetuknya menuding.
"Bukan melawan, Mas. Afni hanya bicara apa adanya. Wajar kalau dia membela aku sebagai ibunya." Kujawab masih dalam keadaan menunduk.
"Memangnya kenapa?" tanya Mas Jimy seakan ingin mencari tahu masalah sepele tadi. Ibu selalu saja membesar-besarkan masalahku.
"Ah gak penting. Ibu pusing! Mau ke kamar!" Ibu seperti mengelak karena takut pada Mas Jimy. Suamiku nampak heran. Kedua alisnya saling bertaut.
Tok tok tok!
"Assalamualaikum!"
"Bu ... Jimy ... Hanah ...."
Tiba-tiba di pukul delapan malam terdengar suara orang yang mengetuk pintu dan mengucap salam. Nada suaranya tak asing di telinga. Mereka juga berteriak memanggil nama kami.
"Waalaikum salam?" jawabku juga Mas Jimy. Pun ibu hentikan langkah kakinya sebelum masuk ke dalam kamar.
Suara yang tak asing namun kupikir bukan. Untuk apa pula malam-malam seperti ini bertamu? Tak ada angin tak ada hujan. Biasanya juga paling datang saat lebaran idul Fitri.
Kubuka pintu. Mas Jimy pun menunggu.
Krek!
Saat kubuka, "waalaikum salam. Mbak? Mas?" Aku kaget. Yang datang di malam-malam seperti ini adalah Mbak Anggi dan Mas Yanto. Mereka pula membawa kantong-kantong besar. Aku curiga sekali. Jangan-jangan?
"Kamu kok diem aja? Kami gak di suruh masuk?" kata Mbak Anggi dengan nada juteknya.
"Anggi? Yanto?" Ibu menghampiri dan melihat kalau anak dan menantunyalah yang datang. Niatnya untuk pergi ke kamar dengan wajah ketus pun terurungkan. Kini raut ketus menjadi sumringah seratus delapan puluh derajat.
"Suruh masuk dong, Han!" titah Ibu padaku.
"Masuk, Mas, Mbak." Mas Yanto dan Mbak Anggi pun masuk. Pun mereka bawa tas besarnya itu.
"Mbak? Mas?" Mas Jimy menyambut kakaknya. Kami pun saling bersalaman.
"Bu, aku sama Mas Yanto mau tinggal di sini. Rumah kami kebakaran."
Teg!
"Apa kebakaran?" Kami bertiga kaget dan syok. Apalagi aku, selama ini aku tahu bagaimana sikap Mbak Anggi. Dan dia akan tinggal disini?
"Iya, dan semuanya habis." Mbak Anggi menjelaskan. Mas Yanto hanya diam dengan malu-malu. Sedari tadi wajahnya menunduk.
Mbak Anggi menangis. Mas Jimy kaget, begitupun dengan Ibu.
"Kok bisa?" Ibu makin panik.
"Ceritanya panjang, Bu. Nanti aku jelasin." Mbak Anggi masih bersedih. Ada tetesan air mata keluar dari kedua netranya.
"Jimy, Hanah, sementara, boleh 'kan Mbak dan Mas kamu tinggal di rumah ini. Sebelum kami punya rumah baru." Isak tangis Mbak Anggi. Kasihan juga mereka.
"Boleh, siapa yang larang? Kalian 'kan anak Ibu." Mertuaku menjawab dengan lugas sambil memeluk anak perempuannya. Ya, Mbak Anggi adalah kakak dari Mas Jimy, suamiku. Sedang Mas Yanto adalah suaminya.
Mereka tinggal di luar kota. Makanya aneh saja, malam-malam mereka datang. Dan katanya rumah mereka di luar kota kebakaran. Jadi mereka akan tinggal disini sementara.
"Jadi kami boleh tinggal disini?" tanya Mbak Anggi memastikan. "Boleh," jawab suamiku. Kami sudah duduk di kursi.
"Boleh dong, Sayang." Ibu pun mengimbuhkan. Aku mengangguk saja sambil menyemai senyuman.
"Hanah, siapain kamar buat mereka berdua. Untung ada kamar satu lagi yang kosong. Tapi pasti banyak debunya. Kamu bersihin, ya?" pinta ibu yang menyuruhku membersihkan kamar untuk mereka tiduri.
"Iya, Bu."
***
Tak lama setelah menyiapkan kamar untuk mereka berdua, aku kembali. Di ruang tamu sudah terdengar obrolan yang histeris membahas kebakaran rumah Mbak Anggi diluar kota.
"Iya, Bu. Kebakaran terjadi karena listrik tetangga korslet. Jadi rumah kami kena imbasnya." Mbak Anggi bercerita.
"Ya ampun." Ibu mengiba.
"Kemarin kami mau langsung kesini, tapi, kami pikir kami akan cari saja kontrakan disana. Eh, ternyata, kami baru sadar, uang kami habis, Bu. Jadi ... tadi sore kami putuskan untuk berangkat kesini. Ongkos juga pas-pasan."
Kembali Mbak Anggi menjelaskan. Aku duduk di samping Mas Jimy. Afni sudah tidur saat kulihat tadi. Mungkin dia lelah karena baru pulang jalan-jalan.
"Hanah turut prihatin ya, Mbak. Semoga Mbak dan Mas bisa kembali bangkit. Segera punya rumah lagi." Aku mendoakan mereka setulus hati. Namun entah mengapa ibu seperti tak suka.
"Eh, kok kamu kok bilang mereka cepat punya rumah lagi? Memangnya kalau mereka disini lama kenapa? Gak boleh?" Tiba-tiba sungut Ibu bicara. Apa masalahnya?
"Loh, Bu, Hanah itu cuma doain Mbak Anggi sama Mas Yanto. Semoga mereka diberi ketabahan dan bangkit kembali," jelasku karena ibu sudah salah paham.
"Hemh, bilang aja kamu ingin cepat-cepat kedua kakak kamu ini pergi. Iya, kan?" celetuk ibu mertuaku lagi. Keterlaluan. Pikiran ibu selalu saja buruk tentangku.
"Ahhh, sudah! Kamu sama Ibu kayak kucing sama Anjing saja. Gak akur!" Mas Jimy kesal.
"Istri kamu tuh!" tuduh ibu. Netranya mendelik tajam. Aku harus tetap sabar.
"Oh ya, di depan mobil kamu, Jim? Kamu udah punya mobil?" tanya Mbak Anggi beralih tema.
"Iya, Mbak. Aku udah kerja di kantor. Dan mobil itu baru aku beli tadi pagi." Mas Jimy menjelaskan.
"Aduh, selamat ya, Jim. Kamu bawa dong Mas Yanto kerja disana. Mas kamu ini juga 'kan seorang sarjana akuntansi." Mbak Anggi menawarkan Mas Yanto.
"Loh, memangnya Mas Yanto udah resign dari kantor lama?" tanya Mas Jimy. Mas Yanto dan Mbak Anggi nampak kaget. "Em, iya, aku resign. Kan mau pindah kesini dulu." Mas Yanto yang menjawab.
"Sayang dong, Mas?" Mas Jimy menanggapi. Keduanya pun hanya diam saja.
"Ah, gak usah di pikirin. Kalau lulusan sarjana, cari kerja gak bakalan susah." Ibu bicara dengan bola mata mendelik. Pasti karena pendidikanku hanya SMA, sedang Mbak Anggi pula adalah seorang wanita lulusan D3. Jurusan akuntansi. Tapi Mbak Anggi tidak bekerja. Sama sepertiku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga.
"Iya, nanti aku coba tanyakan loker di kantor. Biar kita bisa kerja bareng, Mas," kata Mas Jimy manis.
"Makasih ya, Jim." Mbak Anggi berterima kasih.
***
Malam-malam sekitar pukul sebelas malam, aku hendak menuju dapur mengambil air karena persediaan air minum habis.
Untuk berjalan ke dapur, memang melewati kamar Mbak Anggi dan Mas Yanto.
"Untung aja mereka gak curiga." Terdengar suara obrolan dari kamar mereka mengeluarkan kalimat barusan. Curiga? Tentang apa?
Afni sudah tidur pulas, sedangkan aku dan Mas Jimy baru akan tidur. Namun sejenak aku ke dapur untuk hal tadi. Membawa air minum.
"Kamu sampai bilang rumah kebakar. Jujur saja kalau kita bangkrut dan di usir warga."
Deg!
Kalimat itu nyeleneh di telinga. Aku yang sudah memenuhi poci dengan air putih pun kaget. Pasti mereka mengobrol dan berfikir kami sudah tidur.
Apa yang kudengar takutnya salah. Dengan demikian aku memutuskan untuk menguping. Astaghfirullah! Memang ini tidak baik, tapi, aku takut kalau mereka memang berbohong saja.
"Ah, tengsin, Mas. Pokoknya, ibu, Jimy dan Hanah jangan sampai tahu. Aku malu!" kata Mbak Anggi. Kebetulan sekali pintu kamar mereka tidak di tutup rapat. Jadi aku bisa mendengar percakapan mereka dengan baik.
Terkejut sekali diri ini. Jadi mereka bangkrut? Pantas saja mereka malah datang kemari. Apa yang menyebabkan mereka bangkrut? Hutang? Hutang kemana?
"Aku ke toilet dulu, Mas."
Tiba-tiba terdengar suara Mbak Anggi yang akan ke toilet. Aku segera pergi saja karena takut ketahuan. Bisa-bisa Mbak Anggi ngoceh. Terdengar oleh Ibu, aku lagi yang di salahkan.
Masuk ke dalam kamar.
Mas Jimy sudah tidur, pun Afni, dia sudah tidur di kamar sebelah. Kamar yang kecil dan pas untuknya.
Apa yang tadi kudengar itu betulan? Mereka berbohong. Jadi Mas Yanto bangkrut? Bagaimana kalau ibu mertua tahu? Apa dia akan marah?
"Han? Kok berdiri aja?" Mas Jimy terbangun dan membuatku kaget.
"I-iya. Aku lihat tadi ada kecoak, Mas. Kamu mau minum?" tawarku mengalihkan perhatian.
"Iya, boleh." Mas Jimy beranjak dan sejenak menyender di headboard spring bed kami. Aku memberinya segelas air putih.
Apa aku cerita soal ini sama Mas Jimy? Tapi, aku takut di salahkan. Bisa-bisa Mbak Anggi ngamuk.
Ah biarlah. Nanti, lama kelamaan pasti bangkai mereka akan tercium. Semoga saja tak ada keburukan lain pada diri mereka. Mungkin Mas Yanto bangkrut karena kantornya gulung tikar. Bukan karena ada masalah lainnya.
Aku tahu bagaimana keangkuhan Mbak Anggi dan Mas Yanto, jadi mereka pasti tak ingin kuketahui masalah pribadinya. Bisa-bisa ia malu.
"Ayok tidur." Mas Jimy mengajakku untuk tidur bersama. "Hem." Kepala mengangguk dengan senyuman menyemai dari bibir.
***
"Gimana, Mbak, Mas? Nyenyak tidurnya?" tanya Mas Jimy pada kedua kakaknya. Kini kami sudah duduk berenam di kursi meja makan. Pas. Karena kursinya hanya enam.Aku menuangkan air hangat ke gelas satu persatu untuk mereka."Ya, lumayan, nyenyak. Maaf ya kalau kami merepotkan," kata Mbak Anggi."Gak apa-apa. Kita 'kan keluarga. Kamu juga gak usah sungkan, To," timpal Ibu meminta Mas Yanto, menantunya supaya tak sungkan."Iya, Bu." Jawaban Mas Yanto."Iya, Mbak, Mas, kalian anggap saja rumah ini seperti rumah kalian sendiri. Kalau butuh apa-apa jangan ragu," ujarku sambil duduk untuk memulai sarapan."Iya, kalau kalian butuh apapun, dan gak bisa sendiri, panggil saja Hanah." Tiba-tiba ibu bicara seperti barusan. Ia seperti menginginkanku untuk jadi dayang anak dan menantunya."Oke. Makasih Bu, Hanah," kata Mbak Anggi.Kami pun mulai sarapan. Di meja sudah terhidang nasi, ikan mas, tempe dan juga semangkuk tumis kangkung. Kemarin Mas Jimy memberiku uang tambahan seratus ribu setelah membel
Tok tok tok tok!Pintu diketuk dengan keras beberapa kali. Entah oleh siapa."Hanah? Ngapain kamu di kamar?" Ternyata dari suaranya adalah Mbak Anggi.Astaghfirullah! Apa dia pikir aku ...Tok tok tok!"Hanah?"Aku segera membuka pintu."Ya, Mbak? Ada apa?" jawabku setelah pintu membuka."Afni mana?" tanyanya nanar."Afni lagi di rumah temannya, Mbak. Ada apa?" tanyaku gugup karena masih menahan rasa takut. Apalagi Mas Yanto masih ada di dini, di dekat Mbak Anggi."Tuh kan, Mas! Kalian berduaan di rumah. Jangan-jangan kalian tadi berbuat aneh-aneh. Kok kamu ada di depan kamar si Hanah?" cungur Mbak Anggi menuduh."Astaghfirullah, Mbak!" Aku kaget."Mbak jangan bicara macam-macam. Kami memang berdua di rumah. Tapi kami masing-masing." Aku membela diri. Karena itulah kebenarannya."Anggi, kamu jangan main tuduh saja." Mas Yanto angkat bicara. Ibu masih berdiri di dekat kursi menyaksikan."Lalu kamu kok berdiri di depan pintu kamar ini, Hah?" cecar Mbak Anggi pada suami gilanya. Dia mema
Semoga berkenan tinggalkan komentarnya meskipun cuma 'next' ya🙏🙏♥️***Tega-teganya Mas Jimy menamparku. Ini adalah kali pertamanya tangan kasarnya melayang di kedua pipi. Gara-gara tuduhan ibu dan Mbak Anggi.Aku selalu sabar dengan uang minim yang ia berikan meskipun aku tahu gajinya lebih dari empat juta rupiah. Dan harusnya ia bisa berikan uang yang layak untuk kebutuhan kami. Sampai-sampai untuk beli baju saja aku harus memohon-mohon. Lalu ia berikan sepeser supaya aku beri baju obralan. Pun untuk Afni dan dirinya. Hanya kemeja dia saja yang harganya lumayan mahal, ia beli sendiri tanpa bantuanku. Mungkin takut uangnya di selip."Awas ya kalau kalian berduaan lagi di rumah? Aku aduin kamu sama Jimy supaya kamu kena hukuman lagi." Mbak Anggi mengancam saat setelah aku keluar dari kamar membawa tas Afni. Anakku sudah menunggu diluar. Mas Jimy sudah pergi."Maaf ya, Mbak. Sama sekali tuduhan Mbak itu tak ada benarnya. Dan Mbak tak perlu mengadu tanpa bukti.""Lihat saja. Kalau kam
"Itu Bu Resti, Mbak." Seorang wanita tadi menunjukkan. "Iya, Mbak. Makasih.""Res?" Kami saling sapa sambil cipika cipiki. Untuk datang ke boutique Resti, sengaja kugunakan baju yang lumayan bagus bekas lebaran tahun kemarin."Ajeng, saya ada urusan. Kamu hendel dulu butik, ya? Saya ada di ruangan, kok." Resti berpesan pada karyawannya. "Baik, Bu."Resti mengajakku masuk ke dalam ruangan khusus yang ada di boutique miliknya. Ruangan yang tak begitu besar namun di design sangat simple dan kekinian. Di cat warna kuning sesuai warna paforitnya. Aku masih ingat."Han? Jadi gimana? Aku seneng loh kamu datang kesini. Kamu kesini buat kasih aku gambar-gambar oke kamu itu, kan?" Baru saja duduk Resti sudah memberiku beberapa pertanyaan.Aku tersenyum. "Res, aku yang sangat terhormat bisa datang ke butik mewah kamu ini. Ini sih bukan butik kecil. Ini mewah banget." Memang ya, tempat usaha milik Resti lebih bagus dari apa yang ia utarakan. Resti memang bukan tipikal wanita yang sombong. Sama se
Aku sudah melintas jalan. Melihat arloji di tangan kepulangan Afni dari sekolah masih satu jam lagi. Mungkin aku akan sempatkan dulu untuk menguntit Mas Jimy.Mereka berdua sudah masuk ke dalam sebuah kafe. Aku tak suudzon, siapa tahu mereka hanya rekan kerja biasa, tapi aku penasaran, karena tadi saat akan masuk, tangan mereka saling bertaut. Bergandengan.Tidak! Apa suamiku memang selingkuh? Kalau benar, aku tidak akan tinggal diam.Dari jarak beberapa meter, kulihat mereka berdua duduk di meja yang sama. Di kursi yang berdekatan.Deg! Hati kecil mulai menduga.Mas Jimy meraih lengan wanita itu dengan lembut dan mesra. Mereka berdua saling bertatapan dengan pandangan seperti sepasang kekasih.Tenggorokan ini tercekak. Nafasku sesak. Apa begini selama ini kelakuan Mas Jimy di belakang? Dia kasar padaku, tapi dia lembut pada wanita yang jelas-jelas bukan mahramnya.Ingin sekali mulut ini berteriak dan menjerit kalau aku benar-benar kecewa.Tidak!Langsung kusapu air mata yang sedikit
"Hanah!" Mas Jimy meraih tanganku dengan kasar saat kaki ini baru melangkah.Kukibaskan dengan cepat. "Apa? Kamu pilih aku atau wanita itu!" Kutunjuk wanita yang bernama Tika itu dengan nanar."Kamu jangan macam-macam! Aku ini suami kamu! Pulang ke rumah!" Mas Jimy naik pitam. Orang-orang yang ada di sekitar kami menjadikan perdebatan kami sebagai pusat perhatian."Jadi kamu pilih dia atau aku?" Aku pastikan sekali lagi."Diam!" Dia mengangkat lengannya berniat ingin menamparku. Tapi malah ia urungkan."Tampar saja, Mas! Dan itu artinya aku memang tak harus lagi pertahankan pria macam kamu!" Aku langsung pergi dan menyetop angkutan umum. Yang ada hanyalah angkutan berwarna biru berjenis sedan."Hanah!" Mas Jimy berteriak. Aku sudah masuk taksi. Ah biarlah, untung aku masih punya uang untuk bayar taksi sampai ke rumah. Yang penting aku segera pergi dari pria itu.Tes.Akhirnya air mata ini menetes juga. Sakit sekali sejak tadi aku menahannya. Kenapa? Kenapa Mas Jimy malah berselingkuh?
"Assalamualaikum!"Aku mengucap salam dengan pelan sambil masuk ke dalam rumah ibu yang di bangun sederhana karena kami bukanlah orang kaya. Isakan tangis masih melirih-lirih sejak tadi. Tetap saja, hati ini merasa hancur membayangkan rumah tangga yang telah terpecah belah."Waalaikum salam. Hanah?""Cucu nenek?"Ibu membalas salamku. Ia sedang duduk membereskan sesuatu. Tatapannya teralihkan pada kedatangan kami. Ia agak kaget dengan tatapan penyelidikan."Bu?" Aku berlari ke arah ibu untuk mengecup punggung tangannya. Rasanya batin ini tak mampu diam menyembunyikan kesedihan kala melihat wanita paroh baya yang selama ini mendidik dan membesarkanku dengan penuh semangat ada di hadapan."Nenek?" Pun Afni berlari memeluk neneknya dengan penuh kebahagiaan. Wajar saja, karena kami hanya datang dua bulan sekali. Itu pun bila Mas Jimy dan ibu mengizinkan."Afni, Cucu Nenek!" Ibu memeluk cucu semata wayangnya. Karena aku hanyalah anak tunggal. Jadi ibu tak punyai cucu lagi selain anak darik
"Han? Kamu di tampar Jimy?" Ibu bertanya dengan bola mata yang sudah berkaca-kaca. Ia seperti merasakan kesedihan. Aku tak bisa bicara apapun. Tangis kecil, hanya itulah yang mampu kuperlihatkan."Ya Gusti!" Ibu menangis.Padahal aku telah mengompres pipi saat itu juga dengan air dingin supaya memarnya tak terlihat. Tapi, Afni malah bicara pada ibu. Dia juga pasti sangat iba denganku sampai-sampai ia ikut bicara."Ibu gak nyangka suami kamu sekasar itu, Nak. Ibu gak nyangka." Kini air mata ibu mulai bercucuran. Dia pasti sangat sedih mendengar nasibku yang amat buruk ini.Afni berlari memeluk neneknya. Pun dia menangis. "Tolong Ibu jangan suruh Hanah kembali, Bu. Hanah tak mau kembali pada keluarga itu, Bu." Aku mengecup punggung tangan ibu sambil menangis."Ibu tidak akan ikut campur, Nak. Semuanya terserah kamu. Kamu yang menjalankan. Ibu hanya doakan yang terbaik untuk kalian. Jika kalian masih berjodoh, semoga Jimy berubah." Itulah kata-kata ibuku. Tidak ikut mengompori layaknya i