Hanya Karena
Tak Berpendidikan Tinggi
Part 1
***
"Mas, Afni besok harus bayar uang sekolah. Dua ratus ribu lagi. Uang yang Mas kasih sama Hanah tidak cukup." Kuhampiri Mas Jimy setelah ia selesai makan dan duduk di kursi minimalis.
Ia menoleh. "Aku kasih uang sama kamu lima ratus ribu. Harusnya cukup untuk makan satu minggu plus bayaran sekolah." Pandangannya masih biasa.
Aku menunduk. "Iya, tapi 'kan bayaran uang sekolah Afni itu tiga ratus lima puluh ribu. Sisa uang makan cuma seratus lima puluh ribu, Mas. Kata kamu harus cukup satu minggu, kan?" jawabku lembut sambil menunduk.
"Ini, nih! Pendidikan kurang ya gini. Gak bisa memenej uang. Hambur terus!" celetuknya.
Deg!
Hambur?
Aku rasa uang segitu yang ia kasih plus untuk bayaran sekolah, apa iya cukup?
"Kok kamu bahas itu lagi sih, Mas? Kalau masalah uang, apa urusannya? Memang di jaman serba mahal ini, cukup uang makan seratus lima puluh ribu untuk kita berempat?" jawabku dengan nada pelan supaya ia tak tersinggung.
"Heh, Hanah! Dulu, Ibu di kasih uang belanja sama almarhumah bapak Jimy itu cuma seratus ribu. Cukup untuk makan dan beli alat-alat rumah tangga." Tiba-tiba ibu mertua datang dan ikut nimbrung.
Jelaslah, Bu, ibu hidup di jaman apa? Kalau dulu seratus ribu? Itu artinya sekarang harusnya sampai lima kali lipat.
Aku diam saja.
"Tahu, nih!" Mas Jimy nampak mendukung ucapan ibu. Lalu dia beranjak dari kursi.
"Jadi gimana, Mas?" tanyaku lagi setelah ia melangkahkan kaki.
"Itu urusan kamu. Potong saja uang makan minggu depan. Gak harus lunas sekarang, kan?" jawabnya tak ada itikad baik. Selalu saja uang belanja yang dicoceng.
"Tapi kamu pasti cuma kasih uang belanja dua ratus lima puluh ribu, Mas. Sedangkan bayaran Afni harus lunas bulan ini." Kujawab saja karena memang benar demikian.
"Gak tahu. Aku sudah kasih lebih minggu ini. Dan itu urusan kamu. Makanya sekolah yang tinggi, biar bisa kerja dan bantu suami!" celetuknya malah makin parah. Aku malas berdebat. Apalagi tatapan Ibu Mertua sudah tak enak. Kok kali ini Mas Jimy bahas soal aku yang tidak kerja?
Mas Jimy nyelonong ke arah teras depan. Lalu kudengar ia hidupkan mesin roda dua miliknya. Dia pergi.
"Jadi wanita harus pintar menej uang. Kayak Ibu," sungut ibu membanggakan dirinya dan seakan menyudutkanku.
"Tapi Ibu tak mengerti ...."
Ibu memotong. "Alah! Alasan! Bilang saja kamu mau pakek uangnya buat kredit baju di si Sari. Iya, kan?" sungut ibu lagi menuding tanpa bukti. Lalu ia pergi.
Ah sudahlah. Berdebat saja tak mungkin selesai. Selalu aku yang salah.
Namaku Hanah Sri Ningrum. Nama itu adalah nama pemberian dari kedua orang tuaku yang kini tinggal di kampung seberang. Mereka memang kurang mampu. Maka dari itu mereka hanya mampu menyekolahkanku sampai jenjang SMA. Ingin kuliah, tapi biayanya mahal. Walaupun saat itu aku bisa masuk dengan SNMPTN, tapi tetap saja, ada biaya lain yang cukup besar. Dan saat itu, berbarengan dengan bapak yang sakit-sakitan lalu di rawat. Membutuhkan biaya banyak hingga aku kerja serabutan tak memikirkan lagi pendidikan.
Sayang. Bapak sudah meninggal. Sakit yang ia derita mengalahkan semuanya. Hingga ia meninggal di usianya yang genap lima puluh tahun.
Aku di persunting oleh pria yang bernama Mas Jimy, ketika itu ia terpincut olehku kala aku selalu berdagang keliling sampai ke kampung ini. Entah bagaimana, kami bisa dekat, hingga tak lama setelah itu kami menikah. Dan kini kami sudah di karuniai buah hati seorang wanita yang bernama Afni Aprilia Yuswandari. Kami embeli dengan nama sebuah bulan, yaitu April, itu karena ia terlahir ke dunia tepat di tanggal satu bulan April. Dan kini usianya sudah genap tujuh setengah tahun.
Aku menikah dengan Mas Jimy. Meninggalkan ibu karena niat untuk berbakti padanya. Namun, Mas Jimy belum punya rumah, jadi terpaksa kami tinggal di rumah ibu. Tapi itu dulu. Dan sekarang, setelah menikah Mas Jimy bekerja, ia bisa belikan rumah untukku walaupun terbilang sederhana. Namun lebih bagus dari rumah sebelumnya yang sudah Ibu jual dengan alasan, usang. Tak bisa di pakai lagi. Kalau di diamkan, nanti makin rusak.
Jadi, kini kembali aku tinggal bersama ibu mertua. Satu rumah ada aku, Afni, Mas Jimy dan ibu mertua. Yang keseringan telinga ini pengap dengan ocehannya. Apalagi ketika ia bahas pendidikanku yang rendah sekali. Tak seperti Mas Jimy, anaknya yang memiliki gelar sarjana ekonomi.
Sejak awal mereka tahu tentang jati diriku sebenarnya, tapi, setelah menikah, bila kekesalan datang, tetap saja masalah pendidikanku selalu di kait-kaitkan. Apalagi dalam masalah keuangan, yang sejak awal sampai sekarang, selama delapan tahun lebih, dia selalu perhitungan. Selalu suruh aku buat tulis pengeluaran, lah, karena jika ia meminjam, lalu aku tagih untuk uang belanja kembali, dia lupa. Entah pura-pura lupa. Maka dari itu supaya di kembalikan, aku harus mencatatnya. Itupun kadang ia mengelak.
Huwh ... seringkali aku pusing dan menyerah, tapi, demi anakku, demi rumah tanggaku, terutama ibu yang mungkin akan sedih bila aku mundur, aku selalu tabah. Yang terpenting suamiku tak main gila dengan wanita. Kalau masalah memanage uang, biarlah, toh selama ini aku bisa. Walaupun pada akhirnya di maki karena teman nasi makin kesini makin sederhana. Tapi itu sudah biasa.
***
Satu bulan kemudian.
"Han, gaji aku bulan ini mau buat depe mobil. Aku mau beli mobil." Tiba-tiba Mas Jimy mengutarakan niatnya. Depe mobil?
"Tapi, Mas ...."
"Ah, gak ada tapi-tapian. Aku 'kan udah kerja di kantor. Kalau gak pakek mobil itu malu. Uangnya udah ada tiga puluh juta buat depe. Jadi minggu ini kamu aku kasih uang belanja seratus ribu saja, ya? Kurang dikit entar aku kasih." Dia kembali menyemangati niatnya karena gengsi.
Aku benar kaget dengan ucapannya yang jujur memiliki uang sebesar tiga puluh juta, tapi ketika aku meminta bayaran uang sekolah Afni, harus di cicil beberapa kali. Bahkan mengambil uang belanja yang pas-pasan.
"Kamu yakin? Gak sayang dulu uangnya? Nanti, kalau kamu kerjanya bagus, sudah naik jabatan, pasti kamu juga dapat inventaris, Mas," komentarku.
Dia malah marah. "Jangan sok tahu! Kamu gak ada pengetahuan tentang perkantoran. Jangan sok ngajari. Aku lebih mengerti. Dan kalau aku malu, kamu juga akan kena malu!"
Seperti biasa, ketika dia menaikan nada sampai beberapa oktaf, aku lebih memilih diam dan mencari kesibukan lain. Toh niatnya pasti akan tetap dia laksanakan.
"Besok aku mau cari mobilnya. Kamu gak usah ikut." Dia bicara sambil pergi.
Astaghfirullah!
***
Tidn! Tidn!Terdengar suara klakson mobil mendekat dan memarkir di halaman rumah kami. Tepat di pukul sepuluh siang."Aduh, pasti itu mobil baru Jimy. Lihat, ah!" Ibu tiba-tiba nyelonong melewatiku yang sedang menyapu lantai. Jadi Mas Jimy jadi beli mobil? Maksudnya, nyicil mobil?Penasaran langkah kaki ini pun melaju dengan tangan kosong. Karena sapu ijuk sejenak kusimpan dengan cara di senderkan ke dinding.Setelah aku keluar. Benar saja. Mas Jimy keluar dari mobil berwarna putih dengan sumringah. Di susul ibunya menghampiri."Ini mobil barunya?" ujar Ibu dengan bola mata menghijau ibarat menaburkan uang lembaran. Ia juga nampak sumringah dan keteteran dengan rasa bahagianya."Mobil baru, Bu?" sapa seseorang dari kejauhan. Tetangga kami."Iya, Bu, ini baru beli," jawab Ibu dengan cental-centil. "Anak saya 'kan sekarang kerja di kantor. Jadi dia harus pakai mobil," imbuh ibu terkagum-kagum. Aku hanya memperhatikan dari balik tirai."Wah, selamat ya, Bu. Semoga berkah," do'a Bu Ika te
"Gimana jalan-jalannya, Sayang? Seru?" tanyaku pada Afni si gadis kecil yang mungil. "Gak seru. Ibu gak ikut." Ia menjawab dengan ketus sembari menyilang lengan di bawah dada. Ya, karena Ibu dan Mas Jimy tak perbolehkan aku ikut karena rumah tidak ada yang jaga. Itu mungkin alasan mereka saja.Kuelus rambut kepang duanya. "Sayang, Ibu tadi 'kan lagi masak. Ibu juga belum mandi. Terus Ibu masih banyak kerjaan. Lain kali kita bisa jalan bareng," jawabku manis. Ia menoleh dan netranya menatapku lamat-lamat. Seperti ada raut wajah iba atau apa itu?"Afni, jangan contoh Ibu kamu ini. Dia kerjanya lelet. Jadi kemana-mana pasti di tinggal. Coba kalau dia tadi udah dandan. Udah selesai masak dan sebagainya. Pasti bisa ikut," celetuk ibu mertua ikut nimbrung.Sejenak kuatur napas dan beristighfar."Ibu gak malas, Nek. Kasihan Ibu kerjain semua tugas rumah sendiri." Ya ampun, anakku ternyata selama ini melihat dan memperhatikan kalau aku memang kerjakan apapun sendiri.Ibu seperti kaget menden
"Gimana, Mbak, Mas? Nyenyak tidurnya?" tanya Mas Jimy pada kedua kakaknya. Kini kami sudah duduk berenam di kursi meja makan. Pas. Karena kursinya hanya enam.Aku menuangkan air hangat ke gelas satu persatu untuk mereka."Ya, lumayan, nyenyak. Maaf ya kalau kami merepotkan," kata Mbak Anggi."Gak apa-apa. Kita 'kan keluarga. Kamu juga gak usah sungkan, To," timpal Ibu meminta Mas Yanto, menantunya supaya tak sungkan."Iya, Bu." Jawaban Mas Yanto."Iya, Mbak, Mas, kalian anggap saja rumah ini seperti rumah kalian sendiri. Kalau butuh apa-apa jangan ragu," ujarku sambil duduk untuk memulai sarapan."Iya, kalau kalian butuh apapun, dan gak bisa sendiri, panggil saja Hanah." Tiba-tiba ibu bicara seperti barusan. Ia seperti menginginkanku untuk jadi dayang anak dan menantunya."Oke. Makasih Bu, Hanah," kata Mbak Anggi.Kami pun mulai sarapan. Di meja sudah terhidang nasi, ikan mas, tempe dan juga semangkuk tumis kangkung. Kemarin Mas Jimy memberiku uang tambahan seratus ribu setelah membel
Tok tok tok tok!Pintu diketuk dengan keras beberapa kali. Entah oleh siapa."Hanah? Ngapain kamu di kamar?" Ternyata dari suaranya adalah Mbak Anggi.Astaghfirullah! Apa dia pikir aku ...Tok tok tok!"Hanah?"Aku segera membuka pintu."Ya, Mbak? Ada apa?" jawabku setelah pintu membuka."Afni mana?" tanyanya nanar."Afni lagi di rumah temannya, Mbak. Ada apa?" tanyaku gugup karena masih menahan rasa takut. Apalagi Mas Yanto masih ada di dini, di dekat Mbak Anggi."Tuh kan, Mas! Kalian berduaan di rumah. Jangan-jangan kalian tadi berbuat aneh-aneh. Kok kamu ada di depan kamar si Hanah?" cungur Mbak Anggi menuduh."Astaghfirullah, Mbak!" Aku kaget."Mbak jangan bicara macam-macam. Kami memang berdua di rumah. Tapi kami masing-masing." Aku membela diri. Karena itulah kebenarannya."Anggi, kamu jangan main tuduh saja." Mas Yanto angkat bicara. Ibu masih berdiri di dekat kursi menyaksikan."Lalu kamu kok berdiri di depan pintu kamar ini, Hah?" cecar Mbak Anggi pada suami gilanya. Dia mema
Semoga berkenan tinggalkan komentarnya meskipun cuma 'next' ya🙏🙏♥️***Tega-teganya Mas Jimy menamparku. Ini adalah kali pertamanya tangan kasarnya melayang di kedua pipi. Gara-gara tuduhan ibu dan Mbak Anggi.Aku selalu sabar dengan uang minim yang ia berikan meskipun aku tahu gajinya lebih dari empat juta rupiah. Dan harusnya ia bisa berikan uang yang layak untuk kebutuhan kami. Sampai-sampai untuk beli baju saja aku harus memohon-mohon. Lalu ia berikan sepeser supaya aku beri baju obralan. Pun untuk Afni dan dirinya. Hanya kemeja dia saja yang harganya lumayan mahal, ia beli sendiri tanpa bantuanku. Mungkin takut uangnya di selip."Awas ya kalau kalian berduaan lagi di rumah? Aku aduin kamu sama Jimy supaya kamu kena hukuman lagi." Mbak Anggi mengancam saat setelah aku keluar dari kamar membawa tas Afni. Anakku sudah menunggu diluar. Mas Jimy sudah pergi."Maaf ya, Mbak. Sama sekali tuduhan Mbak itu tak ada benarnya. Dan Mbak tak perlu mengadu tanpa bukti.""Lihat saja. Kalau kam
"Itu Bu Resti, Mbak." Seorang wanita tadi menunjukkan. "Iya, Mbak. Makasih.""Res?" Kami saling sapa sambil cipika cipiki. Untuk datang ke boutique Resti, sengaja kugunakan baju yang lumayan bagus bekas lebaran tahun kemarin."Ajeng, saya ada urusan. Kamu hendel dulu butik, ya? Saya ada di ruangan, kok." Resti berpesan pada karyawannya. "Baik, Bu."Resti mengajakku masuk ke dalam ruangan khusus yang ada di boutique miliknya. Ruangan yang tak begitu besar namun di design sangat simple dan kekinian. Di cat warna kuning sesuai warna paforitnya. Aku masih ingat."Han? Jadi gimana? Aku seneng loh kamu datang kesini. Kamu kesini buat kasih aku gambar-gambar oke kamu itu, kan?" Baru saja duduk Resti sudah memberiku beberapa pertanyaan.Aku tersenyum. "Res, aku yang sangat terhormat bisa datang ke butik mewah kamu ini. Ini sih bukan butik kecil. Ini mewah banget." Memang ya, tempat usaha milik Resti lebih bagus dari apa yang ia utarakan. Resti memang bukan tipikal wanita yang sombong. Sama se
Aku sudah melintas jalan. Melihat arloji di tangan kepulangan Afni dari sekolah masih satu jam lagi. Mungkin aku akan sempatkan dulu untuk menguntit Mas Jimy.Mereka berdua sudah masuk ke dalam sebuah kafe. Aku tak suudzon, siapa tahu mereka hanya rekan kerja biasa, tapi aku penasaran, karena tadi saat akan masuk, tangan mereka saling bertaut. Bergandengan.Tidak! Apa suamiku memang selingkuh? Kalau benar, aku tidak akan tinggal diam.Dari jarak beberapa meter, kulihat mereka berdua duduk di meja yang sama. Di kursi yang berdekatan.Deg! Hati kecil mulai menduga.Mas Jimy meraih lengan wanita itu dengan lembut dan mesra. Mereka berdua saling bertatapan dengan pandangan seperti sepasang kekasih.Tenggorokan ini tercekak. Nafasku sesak. Apa begini selama ini kelakuan Mas Jimy di belakang? Dia kasar padaku, tapi dia lembut pada wanita yang jelas-jelas bukan mahramnya.Ingin sekali mulut ini berteriak dan menjerit kalau aku benar-benar kecewa.Tidak!Langsung kusapu air mata yang sedikit
"Hanah!" Mas Jimy meraih tanganku dengan kasar saat kaki ini baru melangkah.Kukibaskan dengan cepat. "Apa? Kamu pilih aku atau wanita itu!" Kutunjuk wanita yang bernama Tika itu dengan nanar."Kamu jangan macam-macam! Aku ini suami kamu! Pulang ke rumah!" Mas Jimy naik pitam. Orang-orang yang ada di sekitar kami menjadikan perdebatan kami sebagai pusat perhatian."Jadi kamu pilih dia atau aku?" Aku pastikan sekali lagi."Diam!" Dia mengangkat lengannya berniat ingin menamparku. Tapi malah ia urungkan."Tampar saja, Mas! Dan itu artinya aku memang tak harus lagi pertahankan pria macam kamu!" Aku langsung pergi dan menyetop angkutan umum. Yang ada hanyalah angkutan berwarna biru berjenis sedan."Hanah!" Mas Jimy berteriak. Aku sudah masuk taksi. Ah biarlah, untung aku masih punya uang untuk bayar taksi sampai ke rumah. Yang penting aku segera pergi dari pria itu.Tes.Akhirnya air mata ini menetes juga. Sakit sekali sejak tadi aku menahannya. Kenapa? Kenapa Mas Jimy malah berselingkuh?