Aku sudah melintas jalan. Melihat arloji di tangan kepulangan Afni dari sekolah masih satu jam lagi. Mungkin aku akan sempatkan dulu untuk menguntit Mas Jimy.
Mereka berdua sudah masuk ke dalam sebuah kafe. Aku tak suudzon, siapa tahu mereka hanya rekan kerja biasa, tapi aku penasaran, karena tadi saat akan masuk, tangan mereka saling bertaut. Bergandengan.
Tidak! Apa suamiku memang selingkuh? Kalau benar, aku tidak akan tinggal diam.
Dari jarak beberapa meter, kulihat mereka berdua duduk di meja yang sama. Di kursi yang berdekatan.
Deg! Hati kecil mulai menduga.
Mas Jimy meraih lengan wanita itu dengan lembut dan mesra. Mereka berdua saling bertatapan dengan pandangan seperti sepasang kekasih.
Tenggorokan ini tercekak. Nafasku sesak. Apa begini selama ini kelakuan Mas Jimy di belakang? Dia kasar padaku, tapi dia lembut pada wanita yang jelas-jelas bukan mahramnya.
Ingin sekali mulut ini berteriak dan menjerit kalau aku benar-benar kecewa.
Tidak!
Langsung kusapu air mata yang sedikit sudah menerobos keluar ini dengan telapak tangan. Rasanya pria kasar dan tukang selingkuh macam dirinya tak perlu di tangisi. Mungkin ini adalah cara Tuhan supaya aku melihat semuanya.
Benar saja, mereka makin mesra.
Tubuh ini memang gemetar ingin merobek dan mencabik tubuh mereka. Apalagi Mas Jimy makin mengindahkan wanita itu dengan kemesraan. Sakiiiit. Ini lebih sakit dari tamparan semalam.
Tenang. Aku harus bersikap tenang. Walaupun aku hanya wanita lulusan SMA, tapi aku harus bisa mengolah emosi dan tak buat diri ini malu di hadapan mereka. Aku harus tunjukkan pada Mas Jimy kalau aku sama sekali tidak akan sedih dengan kelakuan bejadnya.
Kalau aku masuk dan melabraknya di dalam, pasti aku menjadi pusat perhatian. Jadi kuputuskan untuk menunggu mereka keluar. Itupun bila tak lama, kalau lama, lebih baik aku pulang dan bicarakan nanti di rumah.
Kemesraan mereka kuabadikan lewat tangkapan kamera. Biar dia tidak bisa mengelak di depan semuanya.
Jelas. Rabaan lembut. Kecupan bibir di tangan wanita itu, terekam di layar.
Akhirnya setelah beberapa menit mereka ternyata keluar juga. Pucuk di cinta ulam pun tiba.
Mereka sudah keluar dari kafe.
"Mas Jimy?" Aku pergoki mereka yang sedang saling berpegangan tangan. Seketika pria yang selama ini menjadi imamku melepas kasar tangan wanita itu.
"Hanah?" Mas Jimy kaget. Pun wanita itu hanya mematung tak mengerti. Alisnya saling bertaut.
Aku menyeringai. "Ngapain kamu disini, Mas? Sejak tadi aku perhatikan kalian di dalam mesra sekali? Jadi ini yang kamu bilang sedang kerja dan cari nafkah?" Aku masih mengatur emosi.
"Mas Jimy? Dia siapa?" tanya wanita itu kaget. Mas Jimy hanya diam sambil terus menerus menelan ludah. Aku melihat setiap detail ekspresinya.
"Oh, kenalkan, saya istri dari Mas Jimy. Istri sah. Bukan istri sirih." Kujawab lantang menahan rasa sakit di dada. Tubuh gemetar yang sejak tadi mengguncang pun sejenak kuredam. Alhasil aku mampu pura-pura tegar. Walaupun tenggorokan ini serasa perih tersayat silet tajam.
"Istri?" Wanita yang memakai baju kurang bahan dan ketat itu pun kaget.
"Hanah, Tika, aku bisa jelasin."
Ternyata wanita itu bernama Tika.
"Jelasin apa, Mas? Mau jelasin kalau kamu tukang selingkuh?" cecarku dengan nada sinis pelan. Wanita itu melotot.
"Jadi ini istri kamu, Mas?" sinis wanita yang bernama Tika itu. Dari gelagatnya ia nampak happy dan tak merasa bersalah.
Mas Jimy menggaruk kepala.
"Tika?" Mas Jimy menoleh wanita itu.
"Aku gak nyangka kalau kamu selain kasar, kamu juga tukang selingkuh, Mas. Aku sudah rekam kemesraan kamu sejak tadi di ponsel ini. Dan maaf, mungkin aku lebih baik mundur daripada harus di duakan."
Mas Jimy kaget. "Hanah!" Ia membentakku.
"Kenapa? Kamu fikir aku tidak akan berani bicara seperti ini?" Aku melawan.
"Kamu ...!"
"Mas, biarkan saja wanita kampungan ini pergi. Aku 'kan ada buat kamu. Lagian, apa sih yang kamu pertahankan dari wanita kuno, gayanya yang gak oke kayak dia!"
Astaghfirullah! Sungut wanita itu mulai bicara tajam. Aku fikir dia akan malu atau menyesal. Benar-benar tak tahu malu.
Air mata makin membendung, tapi aku terus berusaha mencegahnya supaya tak menetes.
"Hahrrkh! Kamu sekarang pulang! Pulang ke rumah!" Tiba-tiba Mas Jimy membentakku dengan nada tinggi. Aku kaget sekali. Bukannya dia malu, tapi malah seperti ini.
"Oke, aku akan pulang. Aku akan beresi semua bajuku juga baju Afni. Aku akan pulang ke rumah ibu!" Aku sudah berniat bulat.
"Hanah!" Mas Jimy meraih tanganku dengan kasar saat kaki ini baru melangkah.
Kukibaskan dengan cepat. "Apa? Kamu pilih aku atau wanita itu!" Kutunjuk wanita yang bernama Tika itu dengan nanar.
"Kamu jangan macam-macam! Aku ini suami kamu! Pulang ke rumah!" Mas Jimy naik pitam. Orang-orang yang ada di sekitar kami menjadikan perdebatan kami sebagai pusat perhatian.
"Jadi kamu pilih dia atau aku?" Aku pastikan sekali lagi.
"Diam!" Dia mengangkat lengannya berniat ingin menamparku. Tapi malah ia urungkan.
"Tampar saja, Mas! Dan itu artinya aku memang tak harus lagi pertahankan pria macam kamu!" Aku langsung pergi dan menyetop angkutan umum. Yang ada hanyalah angkutan berwarna biru berjenis sedan.
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa