Share

BAB 8 Kurang Uang Oke, selingkuh no!

Aku sudah melintas jalan. Melihat arloji di tangan kepulangan Afni dari sekolah masih satu jam lagi. Mungkin aku akan sempatkan dulu untuk menguntit Mas Jimy.

Mereka berdua sudah masuk ke dalam sebuah kafe. Aku tak suudzon, siapa tahu mereka hanya rekan kerja biasa, tapi aku penasaran, karena tadi saat akan masuk, tangan mereka saling bertaut. Bergandengan.

Tidak! Apa suamiku memang selingkuh? Kalau benar, aku tidak akan tinggal diam.

Dari jarak beberapa meter, kulihat mereka berdua duduk di meja yang sama. Di kursi yang berdekatan.

Deg! Hati kecil mulai menduga.

Mas Jimy meraih lengan wanita itu dengan lembut dan mesra. Mereka berdua saling bertatapan dengan pandangan seperti sepasang kekasih.

Tenggorokan ini tercekak. Nafasku sesak. Apa begini selama ini kelakuan Mas Jimy di belakang? Dia kasar padaku, tapi dia lembut pada wanita yang jelas-jelas bukan mahramnya.

Ingin sekali mulut ini berteriak dan menjerit kalau aku benar-benar kecewa.

Tidak!

Langsung kusapu air mata yang sedikit sudah menerobos keluar ini dengan telapak tangan. Rasanya pria kasar dan tukang selingkuh macam dirinya tak perlu di tangisi. Mungkin ini adalah cara Tuhan supaya aku melihat semuanya.

Benar saja, mereka makin mesra.

Tubuh ini memang gemetar ingin merobek dan mencabik tubuh mereka. Apalagi Mas Jimy makin mengindahkan wanita itu dengan kemesraan. Sakiiiit. Ini lebih sakit dari tamparan semalam.

Tenang. Aku harus bersikap tenang. Walaupun aku hanya wanita lulusan SMA, tapi aku harus bisa mengolah emosi dan tak buat diri ini malu di hadapan mereka. Aku harus tunjukkan pada Mas Jimy kalau aku sama sekali tidak akan sedih dengan kelakuan bejadnya.

Kalau aku masuk dan melabraknya di dalam, pasti aku menjadi pusat perhatian. Jadi kuputuskan untuk menunggu mereka keluar. Itupun bila tak lama, kalau lama, lebih baik aku pulang dan bicarakan nanti di rumah.

Kemesraan mereka kuabadikan lewat tangkapan kamera. Biar dia tidak bisa mengelak di depan semuanya.

Jelas. Rabaan lembut. Kecupan bibir di tangan wanita itu, terekam di layar.

Akhirnya setelah beberapa menit mereka ternyata keluar juga. Pucuk di cinta ulam pun tiba.

Mereka sudah keluar dari kafe.

"Mas Jimy?" Aku pergoki mereka yang sedang saling berpegangan tangan. Seketika pria yang selama ini menjadi imamku melepas kasar tangan wanita itu.

"Hanah?" Mas Jimy kaget. Pun wanita itu hanya mematung tak mengerti. Alisnya saling bertaut.

Aku menyeringai. "Ngapain kamu disini, Mas? Sejak tadi aku perhatikan kalian di dalam mesra sekali? Jadi ini yang kamu bilang sedang kerja dan cari nafkah?" Aku masih mengatur emosi.

"Mas Jimy? Dia siapa?" tanya wanita itu kaget. Mas Jimy hanya diam sambil terus menerus menelan ludah. Aku melihat setiap detail ekspresinya.

"Oh, kenalkan, saya istri dari Mas Jimy. Istri sah. Bukan istri sirih." Kujawab lantang menahan rasa sakit di dada. Tubuh gemetar yang sejak tadi mengguncang pun sejenak kuredam. Alhasil aku mampu pura-pura tegar. Walaupun tenggorokan ini serasa perih tersayat silet tajam.

"Istri?" Wanita yang memakai baju kurang bahan dan ketat itu pun kaget.

"Hanah, Tika, aku bisa jelasin."

Ternyata wanita itu bernama Tika.

"Jelasin apa, Mas? Mau jelasin kalau kamu tukang selingkuh?" cecarku dengan nada sinis pelan. Wanita itu melotot.

"Jadi ini istri kamu, Mas?" sinis wanita yang bernama Tika itu. Dari gelagatnya ia nampak happy dan tak merasa bersalah.

Mas Jimy menggaruk kepala.

"Tika?" Mas Jimy menoleh wanita itu.

"Aku gak nyangka kalau kamu selain kasar, kamu juga tukang selingkuh, Mas. Aku sudah rekam kemesraan kamu sejak tadi di ponsel ini. Dan maaf, mungkin aku lebih baik mundur daripada harus di duakan."

Mas Jimy kaget. "Hanah!" Ia membentakku.

"Kenapa? Kamu fikir aku tidak akan berani bicara seperti ini?" Aku melawan.

"Kamu ...!"

"Mas, biarkan saja wanita kampungan ini pergi. Aku 'kan ada buat kamu. Lagian, apa sih yang kamu pertahankan dari wanita kuno, gayanya yang gak oke kayak dia!"

Astaghfirullah! Sungut wanita itu mulai bicara tajam. Aku fikir dia akan malu atau menyesal. Benar-benar tak tahu malu.

Air mata makin membendung, tapi aku terus berusaha mencegahnya supaya tak menetes.

"Hahrrkh! Kamu sekarang pulang! Pulang ke rumah!" Tiba-tiba Mas Jimy membentakku dengan nada tinggi. Aku kaget sekali. Bukannya dia malu, tapi malah seperti ini.

"Oke, aku akan pulang. Aku akan beresi semua bajuku juga baju Afni. Aku akan pulang ke rumah ibu!" Aku sudah berniat bulat.

"Hanah!" Mas Jimy meraih tanganku dengan kasar saat kaki ini baru melangkah.

Kukibaskan dengan cepat. "Apa? Kamu pilih aku atau wanita itu!" Kutunjuk wanita yang bernama Tika itu dengan nanar.

"Kamu jangan macam-macam! Aku ini suami kamu! Pulang ke rumah!" Mas Jimy naik pitam. Orang-orang yang ada di sekitar kami menjadikan perdebatan kami sebagai pusat perhatian.

"Jadi kamu pilih dia atau aku?" Aku pastikan sekali lagi.

"Diam!" Dia mengangkat lengannya berniat ingin menamparku. Tapi malah ia urungkan.

"Tampar saja, Mas! Dan itu artinya aku memang tak harus lagi pertahankan pria macam kamu!" Aku langsung pergi dan menyetop angkutan umum. Yang ada hanyalah angkutan berwarna biru berjenis sedan.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Cha Cha
cape baca nya tidak ada pengertian memberikan gratis baca sampai tuntas
goodnovel comment avatar
Ahmad Sadikin
kenapa bab terkonci
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status