Share

BAB 7 Suami Dengan Wanita Lain

"Itu Bu Resti, Mbak." Seorang wanita tadi menunjukkan. "Iya, Mbak. Makasih."

"Res?" Kami saling sapa sambil cipika cipiki. Untuk datang ke boutique Resti, sengaja kugunakan baju yang lumayan bagus bekas lebaran tahun kemarin.

"Ajeng, saya ada urusan. Kamu hendel dulu butik, ya? Saya ada di ruangan, kok." Resti berpesan pada karyawannya. "Baik, Bu."

Resti mengajakku masuk ke dalam ruangan khusus yang ada di boutique miliknya. Ruangan yang tak begitu besar namun di design sangat simple dan kekinian. Di cat warna kuning sesuai warna paforitnya. Aku masih ingat.

"Han? Jadi gimana? Aku seneng loh kamu datang kesini. Kamu kesini buat kasih aku gambar-gambar oke kamu itu, kan?" Baru saja duduk Resti sudah memberiku beberapa pertanyaan.

Aku tersenyum. "Res, aku yang sangat terhormat bisa datang ke butik mewah kamu ini. Ini sih bukan butik kecil. Ini mewah banget." Memang ya, tempat usaha milik Resti lebih bagus dari apa yang ia utarakan. Resti memang bukan tipikal wanita yang sombong. Sama seperti dulu.

"Han, gak penting bahas tentang butik aku. Lalu mana karya kamu yang akan kamu pajang di toko aku ini?" Resti tak sabar melihat hasil karyaku.

Aku malah tak percaya diri. "Resti, rasanya, desain aku ini akan buat butik kamu yang udah bagus ini jadi jelek, deh." Aku meringis malu.

"Jangan insecure gitu. Oh ya, kalau kamu memang mau serius, aku akan kenalin kamu sama perancang busana terkenal. Aku memang berencana temuin kalian supaya kamu bisa belajar. Kamu itu orang baik, Han. Waktu sekolah, kamu sering bantu aku."

Teg!

Resti bilang dia akan temukan aku dengan perancang busana terkenal? Ah ini seperti mimpi.

"Maksudnya?"

"Aku tahu kamu ngefans banget sama salah satu perancang busana di negeri ini. Hayoh, masih ingat?" Ia bicara sampai memutar memoriku beberapa tahun yang lalu.

Alisku bertaut. "Kamu jangan bercanda."

"Ah sudahlah. Akan aku atur. Coba aku lihat karya kamu? Ayok?" Ia menyodorkan tangannya untuk melihat karyaku.

"Tapi ...."

"Jangan gak percaya diri gitu."

"Oh ya? Gimana suami kamu? Tahu kamu mau kesini? Dan soal gambar kamu ini?" Resti kembali bicara.

"Ya, aku udah izin sama mas Jimy buat ketemu kamu. Dia gak bicara banyak. Dan soal gambar ini ... dia tidak tahu. Selama ini dia tidak pernah ingin tahu hobiku. Dia sibuk." Kujawab apa adanya. Memang tadi pagi aku juga sudah izin pada Mas Jimy. Dia mengizinkan dan tak bertanya Resti siapa. Lebih ke cuek. Dan pasti ia fikir Resti kampung seberang tetangga kami dulu. Dia memang dekat denganku.

"Ya baguslah kalau kamu gak ngumpet-ngumpet kesini."

"Jadi mana?" Kembali ia tanyakan hasil karyaku. Dengan kurang percaya diri aku pun mengeluarkan sebuah lembaran kertas tebal berisikan design-design bajuku.

Resti menampannya.

Ia melihat satu persatu. Aku pikir gambarku masih kuno. Belum ada ide yang brilian untuk menggambar sesuatu yang lebih bagus.

"Ya ampun, ini bagus banget, Han. Aku suka." Resti memuji. Entah itu hanya untuk membesarkan hatiku atau memang kenyataan.

"Oke. Aku akan tampilkan karya kamu ini di launching boutique aku dua bulan lagi. Aku akan suruh penjahit yang paling oke untuk kerjakan design kamu ini. Sepertinya mendesak sih. Tapi mereka pasti bisa."

Apa?

Aku benar-benar kaget.

"Resti, kamu gak usah bercanda. Gambar aku itu gak sebagus karya-karya mereka." Aku masih tak percaya.

"Kata siapa? Nih kamu lihat? Ini, ini, ini juga. Ini bagus banget. Semuanya di balut kesan simpel nan elegan." Resti menunjukkan satu persatu. Pun aku memperhatikannya. Apa iya?

"Masak sih?" Aku masih tak bisa bilang kalau karyaku sebagus pujian Resti.

"Aku gak nyangka kamu bisa gambar sebagus ini. Detailnya juga. Semuanya udah kamu tuliskan. Ini perfect banget. Kamu bilang gak kuliah, tapi ini sama dengan mereka yang udah duduk di bangku tata busana, Han. Bahkan lebih." Resti malah makin memuji.

"Kamu berlebihan." Aku malu.

"Jadi gimana? Apa boleh karya kamu aku pakai untuk launching boutique aku nanti? Semua ini akan ada hak ciptanya, loh. Semoga saja nanti mereka bisa mengenal kamu lewat design awal kamu ini."

Aku masih diam tak mengerti. Aku masih tak percaya.

"Han, design kamu ini akan di kenal orang. Dan lewat butik aku, mereka bisa lihat karya seorang Hanah Sri Ningrum."

Aku tersenyum ragu. "Kamu terlalu berlebihan, Res."

"Jadi kamu setuju, kan?" tanyanya. Jadi Resti tidak bercanda?

"Kamu beneran?"

"Enggak, aku bercanda."

"Ya iya, lah. Karya kamu ini harus di perlihatkan pada mereka. Semua ini akan di pampang di butik aku, tapi tetap ini design milik kamu. Aku bukan berniat ambil karya kamu untuk aku klaim, ya? Nah jadi gimana?"

Resti makin membuatku tak percaya.

"Kalau kamu diam, artinya kamu mau. Kalau gitu kamu baca dulu semua ini. Ini adalah surat kerjasama kita." Ia malah benar-benar memberikanku sebuah surat kerjasama.

"Aku gak kontrak kamu. Ini hanyalah sebuah surat dimana semua design ini adalah milik kamu. Aku hanya sebagai wadah atas karya kamu." Resti kembali jelaskan.

Apa Mas Jimy akan mengizinkanku? Tapi ini impianku. Setidaknya aku bisa melihat salah satu karyaku di lihat dan di pakai orang-orang.

"Tapi, apa ini semua gak bakalan bikin kamu malu?" ujarku pelan.

"Malu? Ya ampun, Hanah. Aku serius, ya. Sekarang kamu baca dulu semuanya. Aku akan senang kalau kamu juga bisa berkarya. Selama ini bakat kamu ini terpendam, Han. Aku mau kamu bisa kembali. Kamu buktikan, meskipun kamu tak sekolah tinggi, tapi kamu bisa berkarya dengan baik."

***

Setelah kupikir ulang, akhirnya aku menyetujui niat Resti untuk menampilkan karyaku di launching boutique-nya nanti. Aku tidak tahu ini keputusan yang bagus atau tidak? Tapi, setidaknya, meskipun jelek, karyaku bisa di lihat orang banyak.

Aku tidak terlalu pikirkan soal Resti yang akan pertemukan aku dengan salah satu designer terkenal yang kudambakan semua karyanya. Ah mana mungkin juga, siapa aku? Resti pasti hanya menyenangkan hatiku saja.

Dan soal ini, maaf kalau aku tidak kasih tahu dulu kamu, Mas, Bu, Mbak. Aku pikir kalian tidak akan suka. Semoga saja kelak aku bisa buktikan kalau aku yang selalu di rendahkan karena tidak berpendidikan tinggi, bisa bangkit dan bisa berkarya.

***

Sambil menunggu angkutan umum tiba, aku duduk di sebuah kursi yang terbuat dari besi di cat warna putih. Letaknya lumayan sudah jauh dari boutique Resti karena tadi aku jalan kaki.

Entah aku salah lihat atau bagaimana? Dari kejauhan aku melihat sosok lelaki tak asing keluar dari mobil yang tak asing pula.

Mas Jimy?

Mataku terbelalak. Ia berjalan ke depan mobil lalu membukakan pintu. Yang keluar adalah seorang wanita berambut pendek memakai baju kurang bahan.

Deg!

Nampak mereka berpegangan mesra dan masuk ke sebuah kafe.

Astaghfirullah!

Aku tak salah lihat. Plat nomor mobilnya benar-benar kuingat. Itu adalah mobil baru Mas Jimy? Siapa wanita itu?

Dada ini bergemuruh kesal. Aku masih bisa maafkan kalau hanya masalah uang belanja dan makian. Tapi, kalau dia selingkuh?

Tanpa menunggu lama langsung saja kedua tumpuan ini berjalan untuk membuntuti Mas Jimy. Untuk apa di pukul sepuluh siang dia menggandeng wanita? Bukannya bosnya juga seorang pria?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status