"Assalamualaikum!"Aku mengucap salam dengan pelan sambil masuk ke dalam rumah ibu yang di bangun sederhana karena kami bukanlah orang kaya. Isakan tangis masih melirih-lirih sejak tadi. Tetap saja, hati ini merasa hancur membayangkan rumah tangga yang telah terpecah belah."Waalaikum salam. Hanah?""Cucu nenek?"Ibu membalas salamku. Ia sedang duduk membereskan sesuatu. Tatapannya teralihkan pada kedatangan kami. Ia agak kaget dengan tatapan penyelidikan."Bu?" Aku berlari ke arah ibu untuk mengecup punggung tangannya. Rasanya batin ini tak mampu diam menyembunyikan kesedihan kala melihat wanita paroh baya yang selama ini mendidik dan membesarkanku dengan penuh semangat ada di hadapan."Nenek?" Pun Afni berlari memeluk neneknya dengan penuh kebahagiaan. Wajar saja, karena kami hanya datang dua bulan sekali. Itu pun bila Mas Jimy dan ibu mengizinkan."Afni, Cucu Nenek!" Ibu memeluk cucu semata wayangnya. Karena aku hanyalah anak tunggal. Jadi ibu tak punyai cucu lagi selain anak darik
"Han? Kamu di tampar Jimy?" Ibu bertanya dengan bola mata yang sudah berkaca-kaca. Ia seperti merasakan kesedihan. Aku tak bisa bicara apapun. Tangis kecil, hanya itulah yang mampu kuperlihatkan."Ya Gusti!" Ibu menangis.Padahal aku telah mengompres pipi saat itu juga dengan air dingin supaya memarnya tak terlihat. Tapi, Afni malah bicara pada ibu. Dia juga pasti sangat iba denganku sampai-sampai ia ikut bicara."Ibu gak nyangka suami kamu sekasar itu, Nak. Ibu gak nyangka." Kini air mata ibu mulai bercucuran. Dia pasti sangat sedih mendengar nasibku yang amat buruk ini.Afni berlari memeluk neneknya. Pun dia menangis. "Tolong Ibu jangan suruh Hanah kembali, Bu. Hanah tak mau kembali pada keluarga itu, Bu." Aku mengecup punggung tangan ibu sambil menangis."Ibu tidak akan ikut campur, Nak. Semuanya terserah kamu. Kamu yang menjalankan. Ibu hanya doakan yang terbaik untuk kalian. Jika kalian masih berjodoh, semoga Jimy berubah." Itulah kata-kata ibuku. Tidak ikut mengompori layaknya i
"Han, ini baju hasil design kamu. Gimana menurut kamu pas sudah jadi kayak gini?" Tak kusangka apa yang dikatakan Resti itu benar. Baju rancanganku sudah ada yang selesai di jahit. Keseluruhan lumayan bagus ternyata."Ini beneran?" "Boongan."Aku terkekeh kecil."Ya iyalah. Coba, menurut kamu gimana? Menurut aku sih ini sangat bagus untuk design awal kamu. Apalagi nanti kalau kamu sudah ahli dan lebih mendalami." Resti mulai memuji karyaku."Nah ini juga. Sengaja aku ingin lihat design baju kebaya kamu. Ini sih belum selesai. Masih tujuh puluh persen. Tapi ini udah oke banget, Han? Apalagi kalau udah seratus persen. Masih cuma kain saja ini udah cantik. Aku gak nyangka loh kamu bisa sefasih ini dalam mendesign pakaian."Aku masih mematung menatapi sebuah kebaya berwarna putih hasil rancanganku. Aslinya seindah ini? Memang ini sesuai imajinasiku. Sungguh cantik. Apa Resti berkata hanya untuk menyenangkanku atau memang ya ini bagus?"Han?" Ia mengagetkan. "Res? Ini beneran designku?"
"Mas Jimy?"Aku kaget. Ternyata mobil yang membunyikan nada nyaring itu adalah milik Mas Jimy. Aku mengatur nafas dan beristighfar. Untuk apa dia kemari? Apa dia akan ambil paksa Afni? Tidak akan. Aku tidak akan membiarkan dia merebut anakku. Iya kalau kelakuan mereka baik pada Afni, bagaimana kalau tidak?"Hanah? Lagi ngapain? Panas ini! Gak bawa kendaraan?" Astaghfirullah. Sejak kapan Mas Jimy jadi tukang mengejek."Kamu jangan ejek aku, Mas. Kamu tahu sendiri aku tidak punya kendaraan." Kujawab santai. Ada ibu-ibu yang lain pun bersamaku. Mereka sama-sama menunggu anaknya. Karena anak kami masih duduk di bangku kelas satu, jadi kami masih antar jemput dan menunggu mereka. Khawatir.Mas Jimy turun dari mobil. Pun ternyata dia bersama wanita selingkuhannya. Hemh, dasar tak tahu malu."Siapa, Mbak?" tanya seorang ibu yang memang sudah kenal denganku sejak kami menunggu anak-anak."Ehm. Suami saya, Bu, tapi sebentar lagi juga jadi mantan," jawabku pelan. "Oh." Ia hanya mengangguk tak m
[ Mas, mana surat cerainya? Sudah satu Minggu kok belum datang?] Aku mengirimi pesan untuk Mas Jimy. Menunggu surat dari pengadilan untuk panggilan sidang pertama kami.Kukirim langsung.Centang dua. Masih warna abu. Sudah sepuluh menit menunggu baru ada balasan. Sejenak sambil menunggu aku memotong sayuran untuk di masak sore ini. Afni sedang bermain di luar sambil menemani neneknya.[ Aku gak ke pengadilan. Aku akan menikah dengan Tika satu Minggu lagi. Aku akan gantung kamu. Biar kamu tahu rasa. Hahahaha.]Jleb.Emosi ini teraduk mendengar balasan darinya. Benar-benar lelaki kurang ajar. Mau enaknya sendiri.Langsung kubalas.[ Oke, kalau begitu aku saja yang ke pengadilan. Berarti kamu tidak punya harga diri. Aku yang akan bayar uang pendaftaran perceraian kita.]Kubalas cepat dengan syaraf melonta-lonta memaksa mulut untuk berteriak melupakan amarah.Tak lama muncul balasan. [ Terserah. Aku akan gantung kamu. Biar kamu tahu diri. Dasar wanita angkuh.]Melihat balasan darinya, i
"Tapi ... aku bukan orang yang pintar teknologi."Resti tersenyum. "Aku percaya sama kamu. Jangan khawatir, aku akan siap bantu kamu. Segera mulailah dari awal, Han. Aku yakin kamu bisa."Kami pun saling memeluk. Hingga pada akhirnya perjumpaan kami berakhir. Tak lupa kudoakan pula kemajuan boutique Resti. Begitupun dengan acara launching boutique miliknya yang akan di laksanakan dua bulan mendatang.Tak kusangka, aku seorang wanita berdaster bisa menghasilkan uang sebanyak ini. Apa reaksi ibu kalau dia tahu? Dia pasti bahagia. Dan aku harus lebih belajar lagi supaya ilmuku makin bertambah. Juga mulai sekarang, aku harus hati-hati. Kata Resti, mungkin kelak akan banyak orang yang datang untuk membeli design kita dan mengklaim sebagai design mereka. Tak kusangka Resti sahabatku bisa sebaik ini. Tak aneh bila dia dapatkan pria yang mencintai dan menyayanginya kini. Hingga ia pun di belikan sebuah tempat untuk usaha.Akhirnya, aku bisa menabungkan sebagian uang ini untuk masa depan Afni
"Bu, tadi aku di kelas di kasih hadiah coklat ini. Aku jawab sepuluh pertanyaan dengan benar." Anakku kegirangan di jalan. Sambil menunggu angkutan umum, aku dan Afni berjalan kaki terlebih dahulu."Oh ya?" Aku menggandeng tangannya sejak tadi. Ia berjalan di samping kiri. Supaya terlindungi."Iya." Ia girang. Pantas saja dia membawa sebuah coklat Silverqueen dua bungkus. Aku pikir di kasih temannya."Memangnya pertanyaannya apa?" tanyaku padanya."Tambah-tambahan sama kurang-kurangan, Bu." Ia histeris sekali."Alhamdulillah, Ibu seneng banget kalau Afni mampu jawab pertanyaan ibu guru. Itu artinya Afni sudah belajar dengan baik." Aku memujinya."Oh ya, Bu. Sebentar lagi 'kan ada ulangan akhir semester. Satu Minggu lagi. Kata kak Helen, aku di suruh belajar ke rumahnya. Kalau kak Helen di suruh ke rumah kita kasihan. Takutnya kurang nyaman." Anakku mengutarakan ajakan dari kakak kelasnya Helen."Hem. Tapi rumah kita 'kan udah jauh, Sayang. Ibu khawatir juga ayah kamu nanti bawa kamu d
"Oh ya, Bu. Hanah ada sesuatu buat Ibu." Aku meraih tangan ibu. Lalu membawa tubuhnya berjalan ke teras dan duduk di kursi bambu."Ada apa?" Nampak ibu penasaran sekali."Sebentar."Aku masuk ke dalam untuk mengambil uang hasil karya design pakaianku. Ibu sudah tahu hobiku menggambar sejak dulu. Bahkan ia pun tahu perihal aku yang iseng-iseng gambar pakaian. Tapi mungkin kini ia sudah lupa."Ini buat Ibu." Aku memberikan sebuah amplop berisikan uang yang jumlahnya tidak begitu banyak, tapi kupersembahkan untuk ibu."Apa ini?" "Di buka saja." Terlihat ibu makin penasaran. Ia mulai membukanya. "Uang?" Ibu kaget. Pandangannya saling mengunci dengan pandanganku."Ini uang apa? Darimana?" tanyanya menyelidik. "Ini kamu pinjam?" Ibu kembali menduga. Namun dugaannya salah."Bu, itu uang hasil karyaku. Ibu tahu sendiri hobiku, kan? Nah, teman aku ada yang adopsi design aku untuk dia tampilkan di butiknya. Intinya, itu sebagian bayarannya. Maaf ya, Bu, tadi aku langsung simpan uangnya. Aku j