Share

PRINCESS CITRA

Dari seberang telepon sana, mereka mengolok-olokku, terdengar puas menertawakanku.

“Dewi, kami punya oleh-oleh untuk Azfar. Cepat sini!”

“Maaf, Bu. Aku gak bisa. Azfar lagi tidur, aku gak mungkin ninggalin Azfar sendiri di rumah,” jawabku.

“Gak apa-apa, sebentar aja. Mama mau ngasih oleh-oleh buat Azfar,” paksa Ibu Mertua, langsung memutus sambungan telepon.

Itu artinya dia gak mau tahu, aku harus menuruti perintahnya. Jika tidak, Ibu Mertua akan marah dan mengadu pada Mas Bambang kalau aku melawan. Kemudian Mas Bambang akan mendiamkanku berminggu-minggu. Aku tak mau kalau sampai itu terjadi, karena tak enak rasanya bermusuhan dengan suami. Akhirnya aku berangkat juga menuju rumah Citra.

Terpaksa kutinggalkan anakku yang tengah tertidur dalam keadaan sakit. Tak mungkin aku membangunkan Azfar dan mengajaknya ke rumah Citra. Akan lebih baik jika aku membiarkannya tidur, lagipula rumahku dan Citra sebelahan, dan aku tak berniat lama-lama di sana. Aku akan langsung pulang setelah menyalami mertuaku.

Sayuran dan bumbu yang tadi kuiris juga kutinggalkan. Semoga aku keburu memasaknya sebelum suamiku pulang dari ladang. Jika tidak, tentu ia akan marah-marah lagi. Akhir-akhir ini Mas Bambang sangat sensitif, tepatnya sejak jualan sayurannya sepi. Mungkin karena faktor banyak pikiran juga, apalagi tahun ini kami gagal memasukkan Azfar ke sekolah TK karena kekurangan biaya. Baik aku maupun Mas Bambang merasa sangat gagal menjadi orangtua.

Aku telah sampai di depan rumah Citra. Seumur-umur, aku hanya pernah masuk ke dalam rumahnya sekali saja yaitu pada saat pertama dia pindah ke sini. Dan sekarang adalah yang kedua kalinya aku menginjakkan kaki di rumah gedong ini.

“Masuk, Kak!”

Citra menyambutku dengan senyum manis, dia bahkan membukakan pintu untukku. Sikapnya berbanding terbalik dengan yang kudengar di telepon tadi.

Dengan menggandeng tanganku, Citra mengajakku masuk.

Kubuka alas kaki, lantai ini rasanya dingin di telapak kakiku. Mungkin karena terbiasa menginjak lantai kayu, makanya sekarang kakiku kaget saat menginjak lantai keramik.

Aku berjalan sambil menggigit bibir karena rasa dingin di telapak kaki ini cukup membuat syarafku terkejut. Ketika sampai di ruang tamu tempat di mana mertuaku berada, Citra menyadari gelagatku yang kedinginan.

“Tenang, Kak. Nanti juga terbiasa. Kebiasaan nginjek lantai kayu sih, pas nginjek lantai keramik di rumahku ini jadi kaget gitu!” celetuk Citra.

“Ha … ha … ha.” Mereka bertiga menertawakanku.

“Ups, maaf, Kak. Aku keceplosan,” ucap Citra. Kemudian menyuruhku duduk di sofa empuk dekat mertuaku. “Jangan kaget lagi ya, Kak. Sekarang Kakak duduk di sofa empuk, bukan lantai kayu beralaskan karpet plastik lecet. Jadi Kakak akan merasakan sensasi berbeda dari biasanya saat duduk di sofaku yang empuk ini,” lanjutnya sambil menahan tawa.

Aku melihat mertuaku pun sampai memerah wajahnya karena sekuat mungkin menahan tawa.

“Apa kabar, Ma, Yah?” tanyaku seraya menyalami kedua mertuaku itu. Mereka mengulurkan tangan tapi cepat-cepat menariknya kembali. Aku menunduk menerima perlakuan mereka yang seolah jijik padaku. Jujur, aku merasa rendah diri.

“Bagaimana keadaan Bambang dan Azfar?” tanya Ibu Mertua. Ia tak menjawab pertanyaanku malah menanyakan kabar suami dan anakku, tanpa bertanya kabarku.

“Mas Bambang baik. Hanya saja dia belum bisa berjualan lagi, kami kehabisan modal. Sekarang Mas Bambang sedang berladang sama Kirno. Kalau Azfar … dia sedang tidur, semalam sempat kejang dan aku langsung membawanya ke puskesmas, beruntung pagi tadi Azfar sudah diperbolehkan pulang,” jawabku.

“Kamu harus pandai merawat anak dan cucuku. Jangan sampai mereka sakit dan kelaparan. Sebagai istri dan ibu, kamu harus pinter. Jangan bisanya cuma nangis aja,” ucap Ibu Mertua.

Mendengarnya terasa nyelekit di ulu hati. Anak perempuannya alias Citra, malah lebih cengeng dan tak becus mengerjakan apapun daripada aku. Harusnya kata-kata itu diucapkan pada Citra, bukan padaku!

“Oh iya, Kak. Semalam Kak Bambang ngetuk pintu rumahku pas jam sepuluh malem, katanya mau minjem motor. Tapi aku ngantuk banget, malas bangun,” kata Citra dengan ekspresi manjanya.

Ibu Mertua yang mendengar, langsung mengernyitkan dahi dan menginterogasiku. “Benar begitu, Dewi?”

Aku mengangguk.

“Pasti kamu kan yang nyuruh Bambang untuk mengetuk pintu rumah Citra?”

Aku mengangguk lagi.

“Lain kali jangan dilakukan, ya! Citra harus banyak istirahat. Dia gak boleh kelelahan. Dia lagi program hamil, Mama sangat menantikan anak dari Citra. Calon cucu kesayangan Mama dan Ayah. Jadi, Citra harus tidur cukup, tidak boleh terganggu!” ucap Ibu Mertua bernada jengkel dan memarahiku.

Hatiku panas dan ingin meledak rasanya! Di saat mendengar anakku lagi sakit, Ibu Mertua malah bicara tentang anak Citra yang akan jadi cucu kesayangannya!

“Jawab, dong. Kalau orangtua bicara itu harus direspon,” lanjutnya lagi.

“Iya, Ma,” jawabku.

“Bagus. Sekarang kamu minta maaf sama Citra!” titahnya. Meski kali ini nada bicaranya terdengar membujukku namun tetap terasa menusuk jantung!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status