Menjelang siang aku sudah mulai beristirahat dan sedikit tenang karena Azfar panasnya mulai reda. Ia juga tertidur lelap setelah minum obat.
Semalam aku dan Mas Bambang menggendong Azfar ke rumah Mang Asep—tukang ojeg. Kami terpaksa mengetuk pintu rumahnya malam-malam untuk minta diantar ke dokter yang buka praktek di kota. Beruntung Mang Asep mau membantu. Aku dan Azfar akhirnya naik ojeg ke rumah dokter, sementara Mas Bambang pulang lagi ke rumah.
Kalau diingat kejadian semalam itu rasanya aku ingin menangis lagi. Apalagi hingga saat ini aku dan Mas Bambang masih belum bertegur sapa. Dia menyuruhku untuk minta maaf ke Citra karena sudah mengganggu tidurnya tadi malam. Kalau aku tak mau minta maaf, suamiku itu mengancam tak akan bicara padaku lagi. Dan sampai sekarang aku belum mau minta maaf pada adik iparku itu, hatiku masih sakit karena dia tega mengabaikan permintaan tolongku tadi malam.
Sekarang Mas Bambang sedang ikut mencangkul di ladang Kirno. Selain membeli rumah gedong, Kirno juga membeli ladang untuk ditanami singkong dan ubi. Mereka berdua tengah bekerja di sana sekarang.
Sementara di rumah kayu ini, aku tengah mengiris sayuran yang semalam kubersihkan. Karena sibuk mengurus Azfar, aku baru sempat mengolah sayuran ini sekarang. Rencananya, aku akan memasak capcay kuah untuk makan siang Azfar dan Mas Bambang. Menu itu adalah kesukaan mereka.
Tiba-tiba kudengar suara mobil melintas di depan rumahku. Aku yang sedang berada di lantai tengah sambil memotong sayuran, melihat keluar lewat jendela. Itu mobil sedan milik mertuaku. Kupikir mereka akan berhenti di depan rumahku, ternyata mereka hanya melintas saja dan parkir di depan rumah Citra. Seperti biasa, hanya rumahku yang selalu dilewati. Mereka lebih memilih berkunjung ke rumah Citra.
Dulu, sebelum Citra menikah dan pindah ke sini, tak ada satu pun keluarga suami yang mau berkunjung ke kampung ini. Baru kali inilah, itu pun karena ada Citra dan selalu rumah Citra yang mereka kunjungi. Rumahku dilewat, padahal sebelahan, hanya berjarak lima langkah.
Aku terus mengintip dari jendela. Kulihat Ibu Mertua mengeluarkan banyak oleh-oleh dari bagasi. Citra menyusul mertuaku ke luar rumah dan dia tampak senang melihat oleh-oleh yang dibawa Ibu Mertua.
“Wah … Mama bawa oleh-oleh banyak banget, Ma. Ini buat aku, kan, Ma?” seru Citra dengan nada girang.
“Tentu saja, sayang. Buat siapa lagi memangnya?” jawab Ibu Mertua sambil memeluk dan menciumi pipi Citra.
Ayah Mertua pun demikian, apalagi dia amat sayang terhadap anak perempuannya itu. Citra diperlakukan layaknya Tuan Putri oleh orangtuanya. Kadang aku iri sama dia.
Mereka masuk ke dalam rumah dengan penuh kegembiraan. Jangankan berkunjung ke rumahku, sekedar melirik ke rumahku aja enggak!
Aku berhenti mengintip mereka saat mereka sudah masuk ke dalam rumah Citra. Dan aku melanjutkan aktivitasku.
Tiba-tiba handphone-ku berbunyi, nada deringnya kian lama kian nyaring. Aku segera mengambil ponselku yang tergeletak di meja samping tempat tidur Azfar. Aku harus segera mengambilnya sebelum dering telepon itu membangunkan tidur lelap anakku.
Sebuah handphone jadul yang hanya berfungsi untuk telepon dan SMS. Tak ada kamera, tak ada internet. Hanya sebuah handphone jadul pemberian temannya Mas Bambang.
Kupencet tombol bergambar gagang telepon warna hijau. Telepon dari mertuaku.
“Halo, Assalamualaikum.”
“Dewi, tadi Subuh Bambang nelepon Mama, katanya Azfar sakit, ya?” tanya Ibu Mertua di ujung telepon.
“Iya, Ma,” jawabku.
“Mama datang ke sini untuk menengok Azfar. Mama lagi di rumah Citra sekarang. Kamu ke sini, ajak Azfar. Mama ingin nengok dia!” titah Ibu Mertua.
Ya Alloh, kalau tujuannya untuk menengok anakku, kenapa dia tidak langsung datang ke rumahku saja? Azfar kan tinggal di sini, bukan di rumah Citra. Apa mertuaku itu gengsi dan malu dilihat tetangga jika menginjakan kaki di rumahku?
Air mataku menetes. Dadaku panas, begitu pula darahku. Mendidih. Di mana pikiran Ibu Mertua, apa dia tidak punya perasaan anak lagi sakit disuruh jalan kaki ke luar rumah? Untuk duduk saja anakku sangat lemas!
“Dewi!” suara Ibu Mertua yang keras membuatku tersentak. “Kamu ini, Mama nyuruh kamu datang ke rumah Citra, ajak Azfar, Mama ingin nengok cucuku yang lagi sakit!”
“Azfar sedang tidur, Ma. Sepertinya, Azfar gak kuat kalau harus berjalan ke sana, kondisinya lemas. Dia hanya bisa berbaring,” jawabku.
“Gimana dong ini? Mama sama Ayah mau ketemu Azfar. Jangan mempersulit kami untuk bertemu cucu kami, Dewi! Jangan pelit-pelit, deh. Azfar itu kan cucuku juga!” ucap Ibu Mertua sinis.
“Bukan begitu maksudku, Ma—”
Ucapanku terhenti saat samar-samar kudengar suara Citra di seberang sana bicara pada Ayah Mertua.
“Mulai lagi deh itu Kakak Ipar drama banget, tinggal datang ke sini aja sih apa susahnya! Di sini kan banyak oleh-oleh, dia bisa dapat jatah kalau mau datang ke sini. Ini malah jual mahal banget! Miskin aja sombong, gimana kalau kaya!” celetuk Citra. Mungkin dia tak sadar ucapannya itu terekam di sambungan telepon dan terdengar olehku.
“Ha … ha … ha!” Kudengar mereka bertiga menertawakanku.
Dari seberang telepon sana, mereka mengolok-olokku, terdengar puas menertawakanku.“Dewi, kami punya oleh-oleh untuk Azfar. Cepat sini!”“Maaf, Bu. Aku gak bisa. Azfar lagi tidur, aku gak mungkin ninggalin Azfar sendiri di rumah,” jawabku.“Gak apa-apa, sebentar aja. Mama mau ngasih oleh-oleh buat Azfar,” paksa Ibu Mertua, langsung memutus sambungan telepon.Itu artinya dia gak mau tahu, aku harus menuruti perintahnya. Jika tidak, Ibu Mertua akan marah dan mengadu pada Mas Bambang kalau aku melawan. Kemudian Mas Bambang akan mendiamkanku berminggu-minggu. Aku tak mau kalau sampai itu terjadi, karena tak enak rasanya bermusuhan dengan suami. Akhirnya aku berangkat juga menuju rumah Citra.Terpaksa kutinggalkan anakku yang tengah tertidur dalam keadaan sakit. Tak mungkin aku membangunkan Azfar dan mengajaknya ke rumah Citra. Akan lebih baik jika aku membiarkannya tidur, lagipula rumahku dan Citra sebelahan, dan aku tak berniat lama-lama di sana. Aku akan langsung pulang setelah menyalam
Aku sangat keberatan menuruti perintah Ibu Mertua yang satu itu, jelas aku tak mau minta maaf pada Citra. Aku tidak salah.“Ya sudah, Bu. Jangan dipaksa, kasihan,” kata Citra sambil melirikku. “Kalau memang Kak Dewi gak mau minta maaf, gak apa-apa kok. Aku sudah maafkan Kak Dewi walau tak diminta,” lanjutnya sambil menggandeng tanganku. Membuatku mual saja mendengar kata-katanya.“Ya ampun, Citra … hatimu sungguh mulia sekali. Kamu memang anak Mama dan Ayah yang paling baik. Pasti Ibu Mertuamu senang punya menantu seperti kamu, dan pasti dia sayang sama kamu.” Ibu mertua memuji Citra.Aku menahan kegeraman dalam dada ini. Haduh, rasanya ingin pecah gendang telingaku mendengar omong kosong itu!Tak tahan lama-lama berada di antara mereka, aku pun segera pamit.“Kalau begitu saya pulang dulu ya, takut Azfar bangun dan nyariin saya,” ucapku.Saat aku hendak berdiri, Ayah Mertua cepat-cepat memberiku sebuah paperbag besar, entah apa isinya. Mungkin oleh-oleh. Namun, Ibu Mertua segera mene
Untuk menghindari ribut dengan Mas Bambang, aku mengajak Azfar ke ruang tengah. Kunyalakan TV tabung berukuran 14 inch pemberian ibuku di kampung, agar anakku mendapat sedikit hiburan. Keningnya mengeluarkan keringat kecil, panasnya juga mereda, hanya sisa hangat ketika menyentuh keningnya dengan punggung tangan. “Aku lapar, Bu,” keluh Azfar. Aku segera membuatkannya capcay kuah. Irisan sayur dan bumbu yang tadi sudah kuolah tinggal dimasukkan saja dalam wajan dan diberi bumbu tambahan seperti garam, gula, dan penyedap rasa. Kutambahkan juga sebutir telur untuk menambah gizi anakku. Sambil mengungkab wajan agar capcayku cepat matang dan empuk, aku menyapu dapur agar terlihat lebih bersih, kubuka pintu belakang lebar-lebar agar asap dari tungku menuju keluar rumah. Memasak pakai kayu bakar memang harus hati-hati, jangan sampai asapnya terhirup kalau tak ingin saluran pernapasan kita terganggu. Sementara itu, Mas Bambang mengambilkanku kayu bakar dan kalari (daun kelapa kering), ia
“Sekali lagi kamu ngomong jelek tentang Citra dan orangtuaku, aku gak akan segan menamparmu! Inilah caraku mendidikmu, kamu tidak boleh jadi menantu dan kakak ipar yang durhaka seperti kebanyakan orang! Kamu istriku, kamu harus bersikap baik pada keluargaku!” tegas Mas Bambang. Dia menghakimiku tanpa mau mendengarkan ceritaku terlebih dulu. Ya Alloh, Gusti Nu Maha Suci. Semoga Engkau membukakan mata dan hati suamiku, agar ia dapat melihat dan menyadari siapa yang salah dan siapa yang benar. Engkau tahu aku tak punya hati jahat pada semua orang, apalagi pada keluarga suamiku. Aku sangat menyayangi dan menghormati mereka, hanya saja Engkau tahu sendiri Ya Alloh, mereka yang memperlakukanku tidak baik sehingga membuatku kesal. Aku hanya bisa mengadu pada Yang Maha Kuasa. Hanya Dia yang mau mendengar keluh kesahku. Dengan perasaan sakit dan bercucuran air mata, aku berlari ke kamar. Kutinggalkan Mas Bambang dengan kemarahannya sendiri. Aku lebih tenang bersama anakku sekarang, berbarin
Aku menyikut suamiku, berharap dia segera menarik kembali kata-kata itu. Tak sudi aku dititipi adik ipar macam Citra. Mending kalau dia tahu berterimakasih, yang ada dia akan membalas keringatku dengan menghina. Mas Bambang menepis tanganku. Dia semakin menunduk patuh pada ibunya.“Ya sudah, kami berangkat dulu ya,” Kata Ibu Mertua seraya masuk ke dalam mobil. Ayah mertua menyetir, aku tak sempat mengucapkan rasa terimakasihku padanya. Namun sepertinya Ayah Mertua dapat mengerti maksud hatiku, ia melempar senyum dan mengangguk padaku dari dalam mobil. “Mas, aku minta sayurannya, ya. Tiba-tiba aku ingin makan sama tumis kangkung dan terong balado,” kata Citra pada Mas Bambang setelah mobil mertua menjauh. “Beli, Mas,” ucap Kirno meralat perkataan istrinya. “Sama kakak sendiri masa beli sih, Mas? Lagian kan sayuran itu dibeli Kak Bambang dari uang Papa,” bantah Citra, yang direspon Kirno dengan geleng-geleng kepala. Pasti Kirno kewalahan mendidik Citra. “Iya, nanti Kakak pisahin p
Kutarik tali itu, berat sekali. Aku penasaran apa isi paperbag ini. Setelah berhasil menarik paperbag dari bawah rak piring, aku segera menggunting ujungnya yang dilem. Jantungku deg-degan, sepertinya aku punya firasat buruk. Aku jadi teringat saat pertama menikah dengan Mas Bambang, di malam pertamaku tinggal bersama mereka, Citra dan ibu mertua memberiku kado pernikahan dalam sebuah dus besar yang terasa berat sekali. Kukira isinya istimewa dan barang berharga, ternyata setelah kubuka isinya hanya daun-daun kering dan bongkahan batu. Aku sangat tak menyangka dan terkejut sekali saat itu, karena aku disambut oleh adik ipar dan mertuaku dengan cara yang tidak menyenangkan. Sampai saat ini rasanya aku tak percaya ada orang yang seperti itu di dunia ini, dan aku juga rasanya tak percaya mengalami hal di luar logika itu. Ibu Mertua dan Citra tak menyukaiku karena aku bukanlah pilihan mereka. Sebelumnya mereka menjodohkan Mas Bambang dengan seorang janda kaya. Namun Ayah Mertua tak s
*Pukul delapan malam, Aku dan Mas Bambang menemui Uwak Murni di rumah Citra. “Kalian kok baru datang?” tanya Uwak. “Tadi ngurus rumah dulu, Wak,” jawabku seraya duduk di sampingnya. “Kami datang dari jam satu siang lho. Kamu emang ngurus rumahnya seharian ya? Gak ada waktu istirahat, gitu?” tanya Uwak Murni. Sepertinya ia kecewa karena aku terlambat menemuinya. “Rumahmu segitu doang, masa ngurusnya seharian.”“Tadi siang aku tidur, bangun Ashar langsung sholat, terus masak, bebenah, ngurus anak suami dulu,” jelasku. “Nengok Uwak ke sini cuma bentar kok, gak akan nyita waktu kamu,” balasnya. Aku diam tak menanggapi. Jadi orang miskin di tengah-tengah keluarga kaya raya memang selalu disalahkan. “Aku tahu, Wi. Kamu tersinggung karena kami gak mampir rumahmu, kan? Jangan baper begitu, aku ini bawa anggota keluarga banyak, kalau kami datangnya ke rumahmu, kasihan ntar kamu kerepotan, rumahmu gak cukup nampung kami. Coba aja lihat, kami ada lima belas orang. Jadi realistis aja, buka
“Mas gak punya musuh, Wi. Siapa yang mengerjai Mas tanpa alasan?” Ia balik bertanya.Aku mengembus napas kasar. Sudah tahu jawabannya. Tak salah lagi. Pasti ibunya sendiri yang mengerjai Mas Bambang. “Balsem ini gak ngaruh, Wi!” keluh suamiku. “Ya sudah, pakai lagi bajunya. Lanjut tidur aja,” kataku. “Mas tidur di ruang tengah ini aja ya, Wi. Berat jalan ke kamar,” pintanya. “Iya. Aku tidur di kamar ya, gordennya aku buka kok, biar kalau Mas kenapa-napa aku bisa langsung lihat. Berdoa dulu, Mas.”*Seperti biasa, aku bangun jam tiga pagi untuk menyiapkan dagangan suamiku. Aku membungkus seperempat kilo wortel dalam plastik yang semalam belum sempat terselesaikan. Hingga ketika sudah dapat kira-kira sepuluh bungkus wortel, aku berhenti dulu untuk melihat keadaan Mas Bambang yang semalam sempat mengeluh punggungnya berat. Alhamdulillah, dia tidur nyenyak. Tiba-tiba aku mendengar suara mesin mobil dinyalakan dari arah rumah Citra. Juga suara Uwak Murni dan Citra yang sedang berbicar