Share

KEDATANGAN MERTUA

Penulis: Widanish
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-25 09:02:56

Menjelang siang aku sudah mulai beristirahat dan sedikit tenang karena Azfar panasnya mulai reda. Ia juga tertidur lelap setelah minum obat.

Semalam aku dan Mas Bambang menggendong Azfar ke rumah Mang Asep—tukang ojeg. Kami terpaksa mengetuk pintu rumahnya malam-malam untuk minta diantar ke dokter yang buka praktek di kota. Beruntung Mang Asep mau membantu. Aku dan Azfar akhirnya naik ojeg ke rumah dokter, sementara Mas Bambang pulang lagi ke rumah.

Kalau diingat kejadian semalam itu rasanya aku ingin menangis lagi. Apalagi hingga saat ini aku dan Mas Bambang masih belum bertegur sapa. Dia menyuruhku untuk minta maaf ke Citra karena sudah mengganggu tidurnya tadi malam. Kalau aku tak mau minta maaf, suamiku itu mengancam tak akan bicara padaku lagi. Dan sampai sekarang aku belum mau minta maaf pada adik iparku itu, hatiku masih sakit karena dia tega mengabaikan permintaan tolongku tadi malam.

Sekarang Mas Bambang sedang ikut mencangkul di ladang Kirno. Selain membeli rumah gedong, Kirno juga membeli ladang untuk ditanami singkong dan ubi. Mereka berdua tengah bekerja di sana sekarang.

Sementara di rumah kayu ini, aku tengah mengiris sayuran yang semalam kubersihkan. Karena sibuk mengurus Azfar, aku baru sempat mengolah sayuran ini sekarang. Rencananya, aku akan memasak capcay kuah untuk makan siang Azfar dan Mas Bambang. Menu itu adalah kesukaan mereka.

Tiba-tiba kudengar suara mobil melintas di depan rumahku. Aku yang sedang berada di lantai tengah sambil memotong sayuran, melihat keluar lewat jendela. Itu mobil sedan milik mertuaku. Kupikir mereka akan berhenti di depan rumahku, ternyata mereka hanya melintas saja dan parkir di depan rumah Citra. Seperti biasa, hanya rumahku yang selalu dilewati. Mereka lebih memilih berkunjung ke rumah Citra.

Dulu, sebelum Citra menikah dan pindah ke sini, tak ada satu pun keluarga suami yang mau berkunjung ke kampung ini. Baru kali inilah, itu pun karena ada Citra dan selalu rumah Citra yang mereka kunjungi. Rumahku dilewat, padahal sebelahan, hanya berjarak lima langkah.

Aku terus mengintip dari jendela. Kulihat Ibu Mertua mengeluarkan banyak oleh-oleh dari bagasi. Citra menyusul mertuaku ke luar rumah dan dia tampak senang melihat oleh-oleh yang dibawa Ibu Mertua.

“Wah … Mama bawa oleh-oleh banyak banget, Ma. Ini buat aku, kan, Ma?” seru Citra dengan nada girang.

“Tentu saja, sayang. Buat siapa lagi memangnya?” jawab Ibu Mertua sambil memeluk dan menciumi pipi Citra.

Ayah Mertua pun demikian, apalagi dia amat sayang terhadap anak perempuannya itu. Citra diperlakukan layaknya Tuan Putri oleh orangtuanya. Kadang aku iri sama dia.

Mereka masuk ke dalam rumah dengan penuh kegembiraan. Jangankan berkunjung ke rumahku, sekedar melirik ke rumahku aja enggak!

Aku berhenti mengintip mereka saat mereka sudah masuk ke dalam rumah Citra. Dan aku melanjutkan aktivitasku.

Tiba-tiba handphone-ku berbunyi, nada deringnya kian lama kian nyaring. Aku segera mengambil ponselku yang tergeletak di meja samping tempat tidur Azfar. Aku harus segera mengambilnya sebelum dering telepon itu membangunkan tidur lelap anakku.

Sebuah handphone jadul yang hanya berfungsi untuk telepon dan SMS. Tak ada kamera, tak ada internet. Hanya sebuah handphone jadul pemberian temannya Mas Bambang.

Kupencet tombol bergambar gagang telepon warna hijau. Telepon dari mertuaku.

“Halo, Assalamualaikum.”

“Dewi, tadi Subuh Bambang nelepon Mama, katanya Azfar sakit, ya?” tanya Ibu Mertua di ujung telepon.

“Iya, Ma,” jawabku.

“Mama datang ke sini untuk menengok Azfar. Mama lagi di rumah Citra sekarang. Kamu ke sini, ajak Azfar. Mama ingin nengok dia!” titah Ibu Mertua.

Ya Alloh, kalau tujuannya untuk menengok anakku, kenapa dia tidak langsung datang ke rumahku saja? Azfar kan tinggal di sini, bukan di rumah Citra. Apa mertuaku itu gengsi dan malu dilihat tetangga jika menginjakan kaki di rumahku?

Air mataku menetes. Dadaku panas, begitu pula darahku. Mendidih. Di mana pikiran Ibu Mertua, apa dia tidak punya perasaan anak lagi sakit disuruh jalan kaki ke luar rumah? Untuk duduk saja anakku sangat lemas!

“Dewi!” suara Ibu Mertua yang keras membuatku tersentak. “Kamu ini, Mama nyuruh kamu datang ke rumah Citra, ajak Azfar, Mama ingin nengok cucuku yang lagi sakit!”

“Azfar sedang tidur, Ma. Sepertinya, Azfar gak kuat kalau harus berjalan ke sana, kondisinya lemas. Dia hanya bisa berbaring,” jawabku.

“Gimana dong ini? Mama sama Ayah mau ketemu Azfar. Jangan mempersulit kami untuk bertemu cucu kami, Dewi! Jangan pelit-pelit, deh. Azfar itu kan cucuku juga!” ucap Ibu Mertua sinis.

“Bukan begitu maksudku, Ma—”

Ucapanku terhenti saat samar-samar kudengar suara Citra di seberang sana bicara pada Ayah Mertua.

“Mulai lagi deh itu Kakak Ipar drama banget, tinggal datang ke sini aja sih apa susahnya! Di sini kan banyak oleh-oleh, dia bisa dapat jatah kalau mau datang ke sini. Ini malah jual mahal banget! Miskin aja sombong, gimana kalau kaya!” celetuk Citra. Mungkin dia tak sadar ucapannya itu terekam di sambungan telepon dan terdengar olehku.

“Ha … ha … ha!” Kudengar mereka bertiga menertawakanku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Terbongkar Semua

    Ayah Mertua tentu kaget Haji Sadeli tiba-tiba menagih utang."Utang apa, Pak Haji?" tanya Ayah Mertua."Bekas bangun rumah anak ente ini!" jawab Haji Sadeli sambil menunjuk rumah gedong Citra.Aku sudah tidak kaget lagi mendengarnya. Berbeda dengan Mas Bambang dan Ayah Mertua, mereka sangat terkejut dan tak percaya."Gak mungkin! Waktu bikin rumah ini, aku sudah berikan sejumlah uang yang sangat banyak pada istriku itu untuk membeli cash bahan bangunan darimu!" bela Ayah Mertua.Aku dan Mas Bambang memilih diam tak ikut campur.Haji Sadeli mengeluarkan buku catatan utang dari dalam tas nya lalu menunjukkan pada Ayah Mertua. "Ini lihat saja kalau ente kagak percaya! Utang mereka seratusjuta, ada tanda tangan istri ente juga di sini!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk pada buku utang.Ayah Mertua mengembuskan napas kasar. Sekarang, baru dia percaya bahwa istrinya banyak utang. "Ternyata benar. Ya sudah, aku minta maaf. Akan aku lunasi tapi nanti setelah aku bertemu dengan istriku. Sekaran

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Kedatangan Haji Sadeli

    Mas Bambang langsung menyembunyikan balok kayu ke belakang punggung. Aku berusaha menghalangi pandangan Ayah Mertua pada gerak-gerik Mas Bambang yang mencurigakan.Ayah Mertua mengernyit. "Apa yang kau sembunyikan, Bambang?" tanyanya."Bu—bukan apa-apa, Yah," jawab Mas Bambang.Ayah Mertua tidak percaya begitu saja. Dia bertanya padaku. "Ada apa ini, Dewi?"Bibirku gatal ingin mengungkap semuanya, melaporkan perbuatan Kirno yang di kuar batas. Namun, Mas Bambang menatapku tajak, memberi kode agar aku tak mengatakan apapun."Ayah, kami sedang membangun ruko," jawabku."Terus kenapa kalian lari-larian seperti saling mengejar?"Bibirku gatal sekali ingin bicara, lagi-lagi Mas Bambang menahanku."Kenapa Dewi?" tanya Ayah Mertua lagi, saat aku hanya diam saja."Ayah, ayo lihat pembangunan ruko kami. Hari ini hari pertama pembangunan, para tukang baru membuat pondasinya, tolong lihat apa saja yang kurang. Biar jadi masukan untuk para pekerja. Ayah kan berpengalaman jadi kepala proyek dan me

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Diobrak-abrik

    “Tepat sekali.” Mas Bambang menjawab.“Terus kenapa Mas gak ngasih tahu aku, Mas?“Karena Mas gak mau kamu dan Kirno jadi bermasalah. Mas sudah membayangkan, kalau Mas ngasih tahu kamu , kamu pasti akan langsung marah sama Kirno dan akhirnya bertengkar,” jelas Mas Bambang. Dia mencoba menenangkanku yang tersulut emosi.“Tapi sama saja, Mas. Sekarang juga pada akhirnya aku dan Kirno harus bertengkar. Bahkan, dengan adik dan mamamu juga. Coba kalau Mas bilang sejak awal kalau Kirno lah yang menyimpan buhul itu, aku gak akan langsung menuduh Mama dan Citra,” kataku agak kesal.Mas Bambang tampak berpikir keras, berulang kali ia mengatur napas hingga terlihat rasa bersalah atas situasi ini. Aku tak ingin membuatnya bertambah kepikiran, jadi aku pun mengalihkan pembicaraan.“Ya sudah, Mas, semua sudah terlanjur terjadi. Lalu, bagaimana awal mulanya Mas bermasalah dengan Kirno?” lanjutku bertanya.Suamiku itu menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Semua berawal ketika Mas jual tanah Jura

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Dituduh Lagi

    "Astaghfirulloh, menaruh racun di adonan bakwan? Mana mungkin aku melakukannya, Ma! Jangan sembarangan menuduh!" ucapku."Siapa yang sembarangan menuduh? Kan kamu lagi bikin ruko buat usaha salon, bisa jadi kamu menumbalkan suamimu sendiri, Dewi!" tuduh Ibu Mertua dengan begitu kejamnya.Aku menekan dada sekuat tenaga, sesak rasanya. Jengkel dan marah bercampur jadi satu, entah bagaimana jadinya jika emosi itu tidak kutahan. Mungkin mulut Citra dan Ibu Mertua sudah babak belur."Benar atau tidak, Kak? Karena jaman sekarang itu lagi musim tumbal-tumbalan. Di depan sana pernah kejadian tumbal warung soto yang baru saja di bangun, setiap anak kecil yang lewat di depannya akan ketabrak mobil. Ada juga yang menumbalkan suaminya sendiri untuk melancarakan usahanya. Itu semua fakta lho, Kak. Lagian, Kakak kan dapat uang banyak secara mendadak ya, bisa jadi itu semua didapatkan dengan ilmu hitam yang menuntut tumbal! Dan Kakak memilih Mas Bambang sebagai tumbalnya. Wajar kan kalau kami menyan

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Dituduh Lagi

    "Kirno!" Kuberanikan diri memanggil orang itu. Seketika dia terperanjat hingga botol yang dipeganginya terjatuh dan seluruh isinya tumpah. Aku mendekat sambil terus memperhatikan wajahnya yang tidak terlihat jelas di bawah gelapnya langit dini hari dan remang lampu depan rumah kayuku. Semakin kuperhatikan, semakin membuatku terkejut. Karena yang kupergoki itu benar Kirno! Dia gemetaran dan mundur perlahan-lahan, hendak kabur saat aku mendekatinya."Kirno! Apa yang kamu lakukan?" "A—anu, Kak—" jawabnya terbata. Dia tak mampu menjawab."Apa, Kirno? Sedang apa kamu menyirami air ke sekeliling rumah kayuku? Untuk apa, hah?" tanyaku memburu.Kirno semakin gemetaran. Dia sangat ketakutan sekaligus kebingungan menjawab pertanyaanku, terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. Kini aku berhadapan dengannya, sehingga aku bisa melihat wajah Kirno dengan sangat jelas."Kak, anu—" jawabnya, masih terbata."Una-anu una-anu ... jawab yang bener! Kamu pasti niat jahat kan sama keluargaku? Astaghfirullo

  • Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati   Sebotol Air

    Astaghfirulloh, rupanya karena hal itu mereka usil terhadap pembangunan rukoku? Dari mulai aku membeli tanah, membeli barang pesanan, hingga kini pembangunan ruko sudah dimulai mereka selalu memantau. Itu semua karena mereka kecewa aku tidak mempekerjakan Kirno? Ya Alloh, ampuni aku. Aku tidak bermaksud buruk atas semua ini."Tapi, Ma. Setahuku kan Kirno sedang ada proyek pembangunan kelapa sawit di kampung sebelah. Aku tidak tahu kalau proyeknya akan berkahir bertepatan dengan pembangunan rukoku, karena itulah aku memutuskan untuk menyewa tukang dari Haji Sadeli saja," jawabku menjelaskan.Ibu Mertua melipat tangan di dada, dia mendelik sinis sambil berkata, "kenapa kamu gak tanya-tanya dulu sama Citra, kapan Kirno pulang, bisa gak Kirno kerja bangun ruko kamu. Basa basi kek, apa kek, ini mah enggak ada, malah main selonong aja tau-tau kami lihat sudah ramai orang bekerja di lahanmu. Kamu juga beli tanah dan bangun rukomu itu tanpa izin dulu ke Bambang kan? Kenapa sih, Dewi kamu apa-

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status