Share

Bab 2. Andai saja

Author: Nelangsa
last update Last Updated: 2025-02-12 16:51:56

Rania terguncang oleh kata-kata Mama Asnah. Ia merasa tidak berdaya, seperti telah kehilangan semua harapan. Ia dinyatakan sulit memiliki bayi dalam waktu dekat. Jika saja ia lebih berhati-hati saat menuruni tangga, mungkin ia tidak akan terjatuh dan kehilangan bayinya.

Saat itu, Rania diminta Mama Asnah untuk berbelanja karena esok akan ada tamu yang berkunjung ke rumah. Rania tidak melihat genangan air di anak tangga, sehingga membuatnya terpeleset. Ia harus kehilangan bayinya dan juga akan diceraikan oleh Andi.

Airmata Rania mengalir terus, membuat kedua matanya sembab. Ia mengabaikan rasa sakit bekas operasi di perutnya. Wajahnya semakin pucat karena sejak siuman, Rania tidak menyentuh setetes air maupun makanan. 

Setelah mengatakan bahwa Rania akan sulit melahirkan, Mama Asnah langsung keluar dari ruangan, membiarkan Rania dengan perasaan porak poranda. Apalagi kata-kata terakhir Mama Asnah yang mengatakan bahwa tamu yang akan hadir esok adalah calon istri Andi.

"Aku harus berbicara lagi dengan Mas Andi. Aku yakin Mas Andi tidak mungkin menceraikan aku. Pasti tadi ia hanya sedang marah dan kecewa padaku saja," gumam Rania. Ia mencari keberadaan tas kecil yang berisi ponsel dan dompetnya, tapi tidak menemukannya di nakas, sepertinya tas itu ada di lemari.

Rania mencoba turun dari ranjang, tapi merasakan perih di sekitar perutnya. Ia pun mencoba menarik nafas secara perlahan,setelah dirasa sakitnya berkurang, Rania pun menurunkan kakinya perlahan ke lantai dan hendak berdiri sambil berpegangan pada tepi ranjang.

"Ibu... Ibu mau ngapain?" tanya perawat yang masuk ke ruangan Rania untuk mengecek kesehatannya. Perawat tersebut terkejut saat melihat Rania hendak turun dari ranjang.

"Saya mau mencari tas, Sus," jawab Rania. Perawat tersebut menghampiri Rania dan membantu Rania duduk kembali di ranjang. 

“Ibu duduk saja. Biar saya carikan.” kata perawat tersebut, lalu ia mencari tas yang Rania cari dan menemukannya. Perawat tersebut menunjukkan tas tersebut pada Rania.

"Ini yang Ibu cari," kata perawat tersebut. Rania tersenyum tipis saat perawat tersebut menemukan tas yang ia cari dan langsung memberikannya kepada Rania.

"Makasih ya, Sus," jawab Rania dan memegang tas tersebut dengan erat. "Saya cek dulu tensi darah Ibu, ya," kata perawat tersenyum lembut. Rania hanya mengangguk sambil menyerahkan lengannya untuk diperiksa.

"Ibu sudah berapa lama siuman? Kenapa tidak memberitahu Dokter kalau Ibu sudah sadar?" tanya perawat tersebut.

“Saya pikir, suami saya sudah beritahu Dokter.” kata Rania. Rania tidak tahu kalau saat ia selesai melahirkan sang suami dan mertuanya langsung membawa bayi mereka kerumah tanpa memperdulikan kondisi Rania. Dan kembali kerumah sakit hanya untuk menceraikan Rania saja.

Perawat tersebut kemudian memeriksa tensi darah Rania dan mencatat hasilnya. "Ibu harus banyak istirahat dan tidak boleh terlalu banyak bergerak," kata perawat tersebut. "Saya akan memberitahu Dokter bahwa Ibu sudah siuman."

Rania hanya mengangguk, “terima kasih, sus.” 

“Sama-sama, Ibu. Saya permisi dulu, nanti saya akan kembali bersama Dokter.” jawab perawat. Setelah perawat tersebut keluar dari ruangan, Rania memutuskan untuk mencoba berbicara dengan Andi. Ia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Andi, tapi tidak ada jawaban.

“Tumben ponselnya tidak aktif, apa kehabisan daya.” gumam Rania, ia kembali menghubungi Andi namun tetap suara operator yang menjawab, “apa Mas Andi serius mau menceraikan aku? Tega sekali kamu, Mas.” lirih Rania dengan menahan rasa sesak di dadanya, memikirkan kalau ia akan dicampakkan oleh suami yang selama ini berjanji akan selalu melindunginya.

Rania pun menangis dalam diam, dan tak lama pandangan matanya mulai berkunang-kunang, sayup-sayup ia mendengar seseorang memanggil namanya namun ia tidak sanggup untuk menjawab dan berakhir tak sadarkan diri.

****

Di rumah sakit yang sama namun ruangan berbeda tampak seorang wanita menjerit-jerit kesakitan dan terus menyalahkan sang suami yang telah membuatnya hamil.

“Ini sakit sekali, Mas. Anak kamu sepertinya sengaja membuat aku tersiksa.” rintih Marissa.

Rafa mencoba membuat Marissa tenang dengan menggenggam tangannya,”Sayang, kamu sabar ya. Beginilah perjuangan seorang ibu untuk melahirkan anaknya. Dan kamu beruntung bisa merasakannya.”

“Tapi anak kamu jahat, Mas. Dia menyiksa aku. Aduh…mas….sakit banget.” rintih Marissa lagi, saat ia merasakan kontraksi semakin parah, “aku ingin operasi saja, Mas. Buruan bilang sama dokter, Mas.” pekik Marissa kembali yang tidak bisa menahan rasa sakit seperti seluruh tulangnya remuk.

Rafa hanya bisa bersikap sabar dan tenang menghadapi istrinya, Marissa, yang tidak mau melahirkan normal. Padahal, kondisi Marissa bagus dan pembukaan sudah hampir lengkap, sehingga dokter tidak bisa melakukan operasi. Dokter dan para perawat sudah bersiap untuk membantu Marissa melahirkan.

Mereka mengabaikan teriakan Marissa yang tidak mau melahirkan normal, padahal kepala bayi sudah mulai tampak. Rafa menjadi sasaran kuku-kuku panjang Marissa saat kontraksi terakhir dirasakan. Bayi tersebut akhirnya dilahirkan oleh Marissa dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Bayi laki-laki yang sangat tampan tersebut lahir dengan berat yang kurang. Sepertinya, saat mengandung, Marissa jarang makan makanan yang bergizi untuk kandungannya. Rafa menitikkan air mata saat bayi mungilnya telah lahir, lalu ia mengecup kening istrinya yang masih menangis karena rasa sakit yang ia derita.

"Makasih, sayang. Kamu berhasil melahirkan bayi kita yang sangat tampan. Kamu mau melihatnya?" ujar Rafa lembut. Rafa tahu Marissa marah padanya karena telah berbohong. Marissa menatap Rafa dengan sinis.

"Aku lelah, Mas. Aku mau tidur," jawabnya sambil memejamkan mata dan tidak memperdulikan seorang perawat yang sedang membawa bayi mereka untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Rafa hanya menghela nafas dengan kecewa, lalu meminta perawat tersebut untuk meletakkan bayinya ke dadanya saja.

Rafa duduk di ruangan ibu menyusui dan mendekap erat bayi mungilnya. Rafa berharap bayinya bisa merasakan kehangatan dari tubuhnya. Tubuh yang mungil membuat hati Rafa teriris. Ia harus mencari cara agar bayinya bisa mendapatkan ASI eksklusif. Ia akan membujuk Marissa agar mau memberinya ASI, walau sejak dinyatakan hamil, Marissa sudah memberikan syarat agar ia tidak menyusui anaknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Alfa
kasian bngt rania harus menerima kenyataan bayinya meninggal.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hanya Sebatas Ibu Susu   Bab 29

    Mobil Ben melaju pelan di jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu toko dan kendaraan memantul samar di kaca jendela, menyinari wajah Rania yang duduk tenang di kursi penumpang. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Ben yang mengemudi santai—satu tangan di setir, satu lagi menyetel musik jazz pelan dari radio mobil.“Tenang saja,” ujar Ben tiba-tiba, memecah keheningan. “Aku nggak akan bawa kamu ke tempat aneh kok.”Rania tersenyum tipis. “Saya percaya, kok.”Mereka tiba di sebuah restoran kecil di sudut kota. Tidak mewah, tapi hangat dan nyaman. Lampu-lampu temaram memancarkan cahaya lembut, sementara musik akustik mengalun pelan di latar belakang. Ben sudah memesannya lebih dulu, dan mereka langsung diarahkan ke meja di sudut ruangan yang tenang, agak tersembunyi.Setelah duduk, seorang pelayan datang membawa dua buku menu.“Silakan dipilih, Tuan, Nyonya,” ucapnya ramah.Ben membuka menu sambil melirik ke arah Rania. “Aku biasanya ambil pasta atau steak di sini. Tapi sop jamurnya ju

  • Hanya Sebatas Ibu Susu   Bab 28

    Rania menatap pantulan dirinya di cermin kecil di kamarnya. Ia merapikan bajunya dan mengecek ulang riasan tipis di wajahnya. Bukan berdandan berlebihan, hanya sedikit bedak dan lip balm agar tak terlihat terlalu pucat. Gaun polos berwarna biru muda itu ia pilih karena sopan namun tetap manis dilihat. Hatinya berdebar tak menentu.“Ini cuma makan malam,” gumamnya meyakinkan diri. Tapi entah kenapa, ia tetap merasa gugup.Langkahnya ringan menuju ruang tamu. Tapi baru saja hendak melewati lorong menuju pintu utama, suara berat itu menghentikannya.“Mau ke mana malam-malam begini, Mbak Rania?”Rafa berdiri di depan pintu ruang kerjanya, bersandar pada kusen sambil menyilangkan tangan. Matanya mengarah lurus padanya, tenang tapi menusuk.Rania langsung merapikan kerudungnya, canggung. “I-ini, Pak... saya... cuma makan malam. Sama Pak Ben.”Rafa mengangguk pelan, namun tak bergeming dari tempatnya. “Ben ya...”Nada itu datar, tapi membuat udara seketika jadi canggung. Rania menggenggam ta

  • Hanya Sebatas Ibu Susu   Bab 27. Rasa tak rela

    Saat ini, Rafa tengah duduk di sofa tunggal di ruangannya. Tatapannya tajam mengarah pada sosok yang duduk di hadapannya — sosok yang baru saja melontarkan permintaan mengejutkan. Ben, rekan kerjanya sekaligus teman lamanya, tanpa malu-malu mengungkapkan niat untuk mengenal lebih dekat Rania, pengasuh kecil Farrel. “Ayolah, Raf. Izinkan aku mengajaknya keluar malam ini,” pinta Ben sambil sedikit merengek, berusaha meluluhkan hati Rafa. Sejak pertama kali bertemu Rania, Ben sudah terpesona oleh kelembutan sikap wanita itu. Namun, kesibukan yang tiada habisnya selalu menghalanginya untuk mendekat. Kini, setelah semua pekerjaannya rampung, dia melihat ini sebagai kesempatan emas — asal Rafa memberi izin. Rafa menghela nafas pelan, ekspresinya tetap datar, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa simpati pada keinginan Ben. "Dia sudah capek seharian jagain Farrel. Malam hari itu waktunya dia istirahat," jawab Rafa singkat, suaranya dingin. Ben mengerucutkan bibir, tak menyerah begitu saj

  • Hanya Sebatas Ibu Susu   Bab 26. Perasaan Nyaman

    Rania menutup pintu kamar perlahan, memastikan suara deritnya tak membangunkan Farrel. Di dalam, suasana hening. Bayi kecil itu masih terlelap, wajahnya damai di balik selimut lembut berwarna biru muda. Rania duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya gemetar meski udara malam tak begitu dingin. Pandangannya kosong menatap dinding, namun pikirannya penuh dengan suara-suara.Kata-kata Marissa terus terngiang. "Tolong batasi interaksi dengan suami saya." Kalimat itu menusuk, dingin, dan membuat Rania merasa dihukum atas sesuatu yang tak pernah ia lakukan. Ia hanya menjaga Farrel dengan sepenuh hati—mengisi ruang yang selama ini terasa kosong dari sentuhan ibu. Ia hanya ingin anak itu merasa dicintai.Tangannya terangkat, mengusap wajah, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah. Ia tak ingin menangis. Bukan di hadapan Farrel. Tapi hatinya sakit. Ia merasa seperti sedang diadili hanya karena keberadaannya. Karena ia berada di tempat yang sebenarnya bukan miliknya.Ketukan pelan di pintu membu

  • Hanya Sebatas Ibu Susu   Bab 25. Mulai Curiga

    Sepulang dari taman, suasana hati Rania terasa tak menentu. Langkah kakinya pelan saat mendorong stroller memasuki halaman rumah keluarga besar tempat ia bekerja. Rafa memberi kode Rania untuk segera masuk kedalam, karena ia sedang menerima panggilan telepon dari temannya. Farrel masih tertidur di stroller, di dalam rumah, suasana tampak biasa saja. Beberapa ART lainnya sedang menyapu halaman belakang, dan suara TV dari ruang keluarga terdengar samar. Kemudian Rania memindahkan Farrel ke dalam gendongan, dan meletakkan stroller tersebut di samping tangga. Rania menaiki tangga menuju kamarnya dengan hati-hati agar Farrel tidak terbangun. Setelah menidurkan Farrel di kamar, Rania duduk sebentar di ujung ranjang bayi, memandangi wajah mungil itu. Ia menunduk, menyandarkan dagunya di kedua tangannya. Pikiran berkecamuk tentang tatapan ibu-ibu di taman tadi. Saat di taman, Rania sempat bertemu tatap dengan ibu-ibu tersebut. Tatapan Ibu tersebut membuat Rania tidak nyaman dan risih

  • Hanya Sebatas Ibu Susu   Bab 24. Bau-bau pelakor

    Dengan penuh perhatian, Rania memastikan Farrel menghabiskan susunya, botol susu langsung habis diminum Farrel, lalu Rania mengambil botol kosong dan menyimpannya ke dalam tas. Rania menatap, tangan Farrel menggosok-gosok matanya dengan punggung tangan, tanda Farrel mulai merasa mengantuk. Rania tersenyum melihat ekspresi lucu Farrel dan langsung mengambil tindakan untuk membersihkan wajah Farrel dengan lembut. "Sudah kenyang ya, sayang?" tanya Rania dengan suara yang lembut, sambil membelai rambut Farrel dengan penuh kasih sayang. Bayi menggemaskan itu cuma tersenyum dan tak lama matanya sudah mulai terpejam-pejam. Rafa duduk di dekat gerobak makanan, memesan bubur ayam sambil mengamati Rania yang sedang bersama Farrel. Wajahnya berseri-seri melihat pemandangan itu, hatinya menghangat melihat sosok keibuan Rania yang penuh kasih sayang terhadap anak kecil. Rafa begitu asyik menatap Rania sehingga tidak menyadari penjual bubur memanggilnya. "Pak... pesan berapa piring?" tanya pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status