Rafa memandang bayinya dengan penuh cinta dan kasih sayang, yang saat ini sedang terlelap di inkubator. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika bayinya tidak bisa mendapatkan ASI eksklusif. Ia tahu bahwa ASI sangat penting untuk kesehatan dan perkembangan bayi.
Rafa memutuskan untuk berbicara dengan Marissa tentang hal ini. Ia ingin membujuknya agar mau memberikan ASI kepada bayi mereka. Rafa tahu bahwa Marissa telah memberikan syarat agar ia tidak menyusui anaknya, tapi ia berharap bahwa Marissa bisa memahami pentingnya ASI untuk bayi mereka. Rafa mendekati Marissa yang masih terbaring di tempat tidur. Ia memandangnya dengan penuh kasih sayang dan berbicara dengan lembut. "Sayang, aku tahu kamu masih lelah dan sakit, tapi aku ingin berbicara dengan kamu tentang sesuatu yang sangat penting," kata Rafa. Marissa membuka matanya dan memandang Rafa dengan sinis. "Apa itu?" tanyanya dengan nada yang tidak ramah. "Aku ingin berbicara tentang ASI," kata Rafa. "Aku tahu kamu telah memberikan syarat agar tidak menyusui anak kita, tapi aku ingin membujuk kamu agar mau memberikan ASI kepada bayi kita." Marissa menggelengkan kepala. "Aku tidak mau," katanya dengan tegas. Rafa tidak menyerah. Ia terus berbicara dengan Marissa, membujuknya agar mau memberikan ASI kepada bayi mereka. Ia berharap bahwa Marissa bisa memahami pentingnya ASI untuk bayi mereka dan mau mengubah keputusannya. “Tapi bayi kita saat ini sangat membutuhkan ASI kamu sayang. Apa kamu tega melihat tubuhnya seperti itu.” Marissa menatap Rafa dengan kesal, “Kamu bisa mencari ibu susu buat anak kamu atau susu formula, banyak susu formula yang mahal dan bagus-bagus.” “Dia anak kita, Marissa!” Ucap Rafa dengan suara agak meninggi, mata Marissa sontak membola saat Rafa membentaknya. Rafa sadar akan sikapnya pun menarik nafas dengan kasar dan mengusap wajahnya, nafasnya naik turun untuk meredakan emosinya. Ia tidak habis pikir Marissa tidak menganggap bayi itu anaknya. “Baiklah, kalau itu mau kamu. Aku akan mencari ibu susu untuk anakku. Aku harap kamu tidak menyesal dengan keputusan kamu itu.“ Rafa keluar dari ruangan Marissa setelah gagal membujuk Marissa untuk menyusui bayi mereka. Rafa perlu menenangkan pikiran karena tadinya ia sempat tersulut emosi saat Marissa bersikeras tidak mau menyusui bayinya. Saat Rafa berada di luar ruangan, tampak wanita paruh baya menghampiri Rafa. “Mama, kapan sampai?” tanya Rafa, saat Mama Vina sudah berada didekat Rafa. “Mama baru saja sampai, tapi Mama langsung keruangan bayi. Mama mau lihat cucu tampan Mama.” ujar Mama Vina dengan wajah berbinar. Rafa pun menyalami sang Mama dan memeluknya. Pelukan hangat sang Mama membuat beban yang sedang Rafa pikiran sedikit berkurang. Mama Vina seakan tahu sang anak sedang bersedih pun membalas pelukan sambil menepuk pelan punggung lebar Raka. “Anakku kecil banget ya, Ma!” seru Rafa saat Pelukan mereka terurai. “Tidak apa-apa, nak. Masih bisa kita rawat biar tumbuh sehat.” “Tapi…Ma. Marissa menolak untuk menyusui, bahkan meminta Rafa mencari ibu susu.” Mama Vina agak terkejut mendengar ucapan Rafa, namun Mama Vina mencoba untuk bersikap tenang. “Mungkin Marissa masih capek, biarkan Marissa beristirahat dulu. Mungkin saat ia melihat sendiri kondisi bayinya pasti ia mau menyusui.” Rafa hanya menarik nafas dengan berat, tidak mungkin Rafa bercerita kalau Marissa bahkan menolak melihat bayi yang baru dilahirkan. “Mama, mau menjenguk Marissa.” tanya Rafa mengalihkan pembahasan mengenai bayinya. Mama Vina mengangguk sambil tersenyum, “Mama Masuklah, Rafa mau keluar bentar.” “Baiklah, Mama masuk dulu ya.” Mama Vina pun masuk keruangan Marissa. Dengan langkah gontai, Rafa melangkah menjauhi ruangan Marissa. Namun pandangan Rafa tertuju ke arah para dokter dan perawat yang masuk ke dalam ruangan yang tak jauh dari ruangan Marissa, sepertinya ada kondisi darurat tampak dari wajah dokter yang panik. Sekilas Rafa melihat saat pintu ruangan terbuka, ada sosok wanita yang terbaring lemah sendirian di ruangannya. **** Dokter menarik nafas dengan lega saat memeriksa kondisi Rania. Rania yang dehidrasi dan kurangnya asupan makanan membuat dirinya pingsan. "Bagaimana keadaan, Ibu Rania? Ada keluhan?" tanya Dokter Anne saat melihat mata Rania mulai mengerjap perlahan. "Tidak, Dok. Saat ini saya jauh lebih baik," jawab Rania dengan tersenyum ramah. "Ibu harus banyak makan yang bergizi agar luka bekas operasi cepat sembuh," kata Dokter Anne. Rania hanya mengangguk. "Oya... Mana suami Ibu?" tanya Dokter Anne yang baru menyadari bahwa pasien berada sendiri di ruangannya. "Dari tadi keluarga pasien belum datang menjenguk, Dok," jawab perawat yang tadi memeriksa Rania. Rania tidak sanggup berbicara perihal suaminya yang saat ini seolah-olah meninggalkannya. "Baiklah, kalau begitu. Nanti kalau suami Ibu datang, tolong suruh temui saya, ya," kata Dokter Anne. "Baik, Dok," jawab Rania. Rania tidak yakin suaminya akan kembali ke rumah sakit. Namun, ia masih berharap Andi memiliki hati nurani untuk menjenguknya. Dokter Anne pun keluar dari ruangan setelah memeriksa Rania sudah lebih baik. Tinggalkan seorang perawat di ruangan Rania, ia membantu Rania meletakkan makanan yang disediakan oleh rumah sakit. "Ibu, makanlah dulu. Biar cepat pulih dan sehat," ucap perawat yang bernama Mona. "Makasih, Sus," jawab Rania. Rania pun menerima ransum yang diberikan oleh perawat Mona, lalu memakannya dengan perlahan. Walau tidak berselera, tapi Rania mencoba untuk memakannya. Ia ingin cepat sembuh agar segera keluar dari rumah sakit dan menata kembali hidupnya. Suapan demi suapan Rania lakukan sehingga makanan tersebut habis. Perawat Mona dengan setia menemani Rania menunggu sampai selesai makan. Perawat Mona tersenyum senang saat Rania menghabiskan makanannya. Pandangan Perawat Mona tertuju pada baju Rania yang basah. "Ibu... sepertinya ASI Ibu keluar," ucap Perawat Mona. Rania sontak melihat bajunya yang tampak basah. Air mata Rania langsung luruh. Ia sedih anaknya tidak bisa merasakan ASI-nya. Perawat Mona ikut merasakan kesedihan Rania. Ia tahu pasti Rania merindukan bayinya. "Yang sabar ya, Bu," ucap Perawat Mona dengan iba menatap Rania. "Sus, boleh saya minta tolong," kata Rania sambil menghapus air matanya. "Ya, Bu. Ibu butuh sesuatu?" tanya Perawat Mona. "Saya memerlukan pompa ASI, Sus. Saya akan memompa ASI saya. Siapa tahu ada bayi di sini yang membutuhkannya," ujar Rania, ia berniat ingin menyumbangkan ASI nya. "Baik, Bu. Akan saya bawakan," kata Perawat Mona dengan tatapan iba. Perawat Mona pun segera keluar dari ruangan Rania untuk mencari pompa ASI. Sambil menunggu perawat Mona, Rania mencoba untuk kembali beristirahat, namun sayup-sayup Rania mendengar tangisan bayi yang sangat nyaring. Hatinya terenyuh. Ia membayangkan bayinya yang menangis karena kehausan. Rania pun turun dari ranjang, sambil mendorong tiang infus. Rania mencari sumber suara tangisan bayi tersebut yang semakin jelas di telinganya.Mobil Ben melaju pelan di jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu toko dan kendaraan memantul samar di kaca jendela, menyinari wajah Rania yang duduk tenang di kursi penumpang. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Ben yang mengemudi santai—satu tangan di setir, satu lagi menyetel musik jazz pelan dari radio mobil.“Tenang saja,” ujar Ben tiba-tiba, memecah keheningan. “Aku nggak akan bawa kamu ke tempat aneh kok.”Rania tersenyum tipis. “Saya percaya, kok.”Mereka tiba di sebuah restoran kecil di sudut kota. Tidak mewah, tapi hangat dan nyaman. Lampu-lampu temaram memancarkan cahaya lembut, sementara musik akustik mengalun pelan di latar belakang. Ben sudah memesannya lebih dulu, dan mereka langsung diarahkan ke meja di sudut ruangan yang tenang, agak tersembunyi.Setelah duduk, seorang pelayan datang membawa dua buku menu.“Silakan dipilih, Tuan, Nyonya,” ucapnya ramah.Ben membuka menu sambil melirik ke arah Rania. “Aku biasanya ambil pasta atau steak di sini. Tapi sop jamurnya ju
Rania menatap pantulan dirinya di cermin kecil di kamarnya. Ia merapikan bajunya dan mengecek ulang riasan tipis di wajahnya. Bukan berdandan berlebihan, hanya sedikit bedak dan lip balm agar tak terlihat terlalu pucat. Gaun polos berwarna biru muda itu ia pilih karena sopan namun tetap manis dilihat. Hatinya berdebar tak menentu.“Ini cuma makan malam,” gumamnya meyakinkan diri. Tapi entah kenapa, ia tetap merasa gugup.Langkahnya ringan menuju ruang tamu. Tapi baru saja hendak melewati lorong menuju pintu utama, suara berat itu menghentikannya.“Mau ke mana malam-malam begini, Mbak Rania?”Rafa berdiri di depan pintu ruang kerjanya, bersandar pada kusen sambil menyilangkan tangan. Matanya mengarah lurus padanya, tenang tapi menusuk.Rania langsung merapikan kerudungnya, canggung. “I-ini, Pak... saya... cuma makan malam. Sama Pak Ben.”Rafa mengangguk pelan, namun tak bergeming dari tempatnya. “Ben ya...”Nada itu datar, tapi membuat udara seketika jadi canggung. Rania menggenggam ta
Saat ini, Rafa tengah duduk di sofa tunggal di ruangannya. Tatapannya tajam mengarah pada sosok yang duduk di hadapannya — sosok yang baru saja melontarkan permintaan mengejutkan. Ben, rekan kerjanya sekaligus teman lamanya, tanpa malu-malu mengungkapkan niat untuk mengenal lebih dekat Rania, pengasuh kecil Farrel. “Ayolah, Raf. Izinkan aku mengajaknya keluar malam ini,” pinta Ben sambil sedikit merengek, berusaha meluluhkan hati Rafa. Sejak pertama kali bertemu Rania, Ben sudah terpesona oleh kelembutan sikap wanita itu. Namun, kesibukan yang tiada habisnya selalu menghalanginya untuk mendekat. Kini, setelah semua pekerjaannya rampung, dia melihat ini sebagai kesempatan emas — asal Rafa memberi izin. Rafa menghela nafas pelan, ekspresinya tetap datar, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa simpati pada keinginan Ben. "Dia sudah capek seharian jagain Farrel. Malam hari itu waktunya dia istirahat," jawab Rafa singkat, suaranya dingin. Ben mengerucutkan bibir, tak menyerah begitu saj
Rania menutup pintu kamar perlahan, memastikan suara deritnya tak membangunkan Farrel. Di dalam, suasana hening. Bayi kecil itu masih terlelap, wajahnya damai di balik selimut lembut berwarna biru muda. Rania duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya gemetar meski udara malam tak begitu dingin. Pandangannya kosong menatap dinding, namun pikirannya penuh dengan suara-suara.Kata-kata Marissa terus terngiang. "Tolong batasi interaksi dengan suami saya." Kalimat itu menusuk, dingin, dan membuat Rania merasa dihukum atas sesuatu yang tak pernah ia lakukan. Ia hanya menjaga Farrel dengan sepenuh hati—mengisi ruang yang selama ini terasa kosong dari sentuhan ibu. Ia hanya ingin anak itu merasa dicintai.Tangannya terangkat, mengusap wajah, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah. Ia tak ingin menangis. Bukan di hadapan Farrel. Tapi hatinya sakit. Ia merasa seperti sedang diadili hanya karena keberadaannya. Karena ia berada di tempat yang sebenarnya bukan miliknya.Ketukan pelan di pintu membu
Sepulang dari taman, suasana hati Rania terasa tak menentu. Langkah kakinya pelan saat mendorong stroller memasuki halaman rumah keluarga besar tempat ia bekerja. Rafa memberi kode Rania untuk segera masuk kedalam, karena ia sedang menerima panggilan telepon dari temannya. Farrel masih tertidur di stroller, di dalam rumah, suasana tampak biasa saja. Beberapa ART lainnya sedang menyapu halaman belakang, dan suara TV dari ruang keluarga terdengar samar. Kemudian Rania memindahkan Farrel ke dalam gendongan, dan meletakkan stroller tersebut di samping tangga. Rania menaiki tangga menuju kamarnya dengan hati-hati agar Farrel tidak terbangun. Setelah menidurkan Farrel di kamar, Rania duduk sebentar di ujung ranjang bayi, memandangi wajah mungil itu. Ia menunduk, menyandarkan dagunya di kedua tangannya. Pikiran berkecamuk tentang tatapan ibu-ibu di taman tadi. Saat di taman, Rania sempat bertemu tatap dengan ibu-ibu tersebut. Tatapan Ibu tersebut membuat Rania tidak nyaman dan risih
Dengan penuh perhatian, Rania memastikan Farrel menghabiskan susunya, botol susu langsung habis diminum Farrel, lalu Rania mengambil botol kosong dan menyimpannya ke dalam tas. Rania menatap, tangan Farrel menggosok-gosok matanya dengan punggung tangan, tanda Farrel mulai merasa mengantuk. Rania tersenyum melihat ekspresi lucu Farrel dan langsung mengambil tindakan untuk membersihkan wajah Farrel dengan lembut. "Sudah kenyang ya, sayang?" tanya Rania dengan suara yang lembut, sambil membelai rambut Farrel dengan penuh kasih sayang. Bayi menggemaskan itu cuma tersenyum dan tak lama matanya sudah mulai terpejam-pejam. Rafa duduk di dekat gerobak makanan, memesan bubur ayam sambil mengamati Rania yang sedang bersama Farrel. Wajahnya berseri-seri melihat pemandangan itu, hatinya menghangat melihat sosok keibuan Rania yang penuh kasih sayang terhadap anak kecil. Rafa begitu asyik menatap Rania sehingga tidak menyadari penjual bubur memanggilnya. "Pak... pesan berapa piring?" tanya pe
Beberapa hari berlalu, semenjak Farrel pulang dari rumah, Rania sangat ekstra menjadi bayi mungil tersebut yang semakin hari semakin banyak akal, bayi 3 bulan lebih tersebut sudah mulai pandai membalik badannya, mungkin benar apa kata orang kalau sakit yang diderita Farrel karena sakit mau tambah akal. Selama 3 bulan itu pula, Marissa selaku ibu kandungnya tidak pernah memberikan perhatian pada Farrel, Marissa terlihat cuek, bahkan ia seakan tidak senang kalau Farrel menangis atau berceloteh di saat Marissa sedang beristirahat siang. Kalau ada Marissa dirumah, Rania terpaksa membawa Farrel duduk di taman atau sekedar berjalan-jalan di sekitar komplek menggunakan stroller. Seperti saat ini, udara pagi hari sangat menyejukkan, cahaya matahari bersinar dengan cerah, konon sinar matahari sangat baik untuk kesehatan. Sehingga Rania membawa Farrel berkeliling komplek untuk menikmati udara pagi yang cerah. Rania mendorong stroller dengan perlahan, namun sekali-kali ia bercanda dengan Farre
“Tuan, Maaf. Karena saya Den Farrel sakit, jangan pecat saya Tuan. Saya akan lebih ekstra menjaga Den Farrel. Tapi, tolong jangan pecat saya, beri saya kesempatan lagi.” Ucap Rania sambil menunduk ia tidak berani menatap wajah tuannya yang menurutnya pasti menyeramkan. Rafa hanya diam, mendengar permohonan Rania tadi membuat hatinya tersentuh. Padahal tidak ada niat Rafa untuk memecat Rania. “Hentikan tangis kamu, ini sudah malam nanti Farrel bangun.” “Ta-tapi…Tuan gak pecat saya kan.” Lirih Rania dengan menahan suara tangisnya lalu menghapus air matanya. “Saya akan pecat kamu, kalau kamu tidak berhenti menangis,” jawab Rafa kesal, Rafa paling tidak suka melihat wanita menangis. Itu lah kelemahannya. Makanya Marissa bisa selalu bekerja setelah mengeluarkan tangisannya dan membuat Rafa tidak tega. Tapi kali ini tangisan Marissa tidak membuat Rafa lemah lagi, karena semua itu buat kebaikan rumah tangganya. Kata-kata Rafa tadi spontan membuat tangisan Rania berhenti. “Say
Rania mengetuk pintu kamar Rafa dengan keras, ia semakin takut dan cemas saat melihat Farrel yang lemah. Pintu masih belum terbuka padahal Rania mengetuknya dengan kuat, mustahil tidak didengar oleh mereka yang di dalam kamar.Mata Rania mulai berkaca-kaca, ia hampir menangis karena takut terjadi sesuatu dengan Farrel. Ia juga tidak berani melakukan sesuatu ke Farrel dengan membawanya sendiri ke rumah sakit karena Farrel memiliki orang tua.Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekati lorong kamar, Rania mendapatkan Mbok Sri berjalan ke arahnya dengan membawa sapu, sekop, dan ember berisi air serta kain pel. Mbok Sri yang hendak membersihkan kamar Tuannya menatap Rania dengan bingung, untuk apa Rania berdiri di depan kamar."Rania, ada apa?" tanya Mbok Sri. Rania menjawab dengan nada panik dan cemas terhadap Farrel, "Mbok... Bagaimana ini Mbok? Den Farrel demam, mbok. Aku coba memberitahu Tuan dan Nyonya tapi mereka tidak keluar juga dari kamar."Mbok Sri meletakkan peralatan yan