Hati Rania sedikit terobati dengan kehadiran bayi tampan yang belum diberi nama oleh kedua orangtuanya, sepertinya mereka mengalami masalah, tampak dari tidak ada nya sang ibu kandung disisi bayi tersebut. Selesai menyusui bayi tampan tersebut, Rania kembali ke kamarnya setelah dipastikan bayi tersebut sudah kenyang dan tertidur lelap.
Rania pun memompa ASInya dan memberikan pada Mama Vina untuk diberikan pada bayi tersebut jika kembali rewel. Mama Vina tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih karena Rania membantu menenangkan cucunya yang rewel. Rania hendak beristirahat setelah selesai memompa ASInya yang melimpah, ia dikejutkan oleh kedatangan suaminya. Namun kali ini sang suami datang sendiri tanpa ditemani Mamanya. “Mas…!” seru Rania dengan dahi bertaut, “apa yang kamu bawa, Mas?” Rania bertanya pada Andi yang membawa koper besar di sampingnya. Andi meletakan koper tersebut di dekat lemari, “ini baju-baju kamu, semua sudah Mama masuki kedalam. Jadi kamu tidak perlu kembali kerumah, aku sudah melunasi semua biaya rumah sakit. Dan ini nafkah terakhir aku buat kamu.” Andi meletakan amplop coklat yang lumayan tebal, sudah di pastikan isinya sejumlah uang karena Andi berkata itu nafkah terakhirnya. Mata Rania membola, ia terkejut dengan ucapan yang dilontarkan Andi. “A-pa maksud semua ini, Mas?” tanya Rania dengan terbata-bata, matanya mulai berkaca-kaca, hatinya sakit seperti teriris pisau tajam. “Sepertinya aku sudah ucapkan semua dengan jelas.” jawab Andi tanpa mau menatap Rania yang mulai terisak. “Dan aku harap kamu segera tanda tangani surat ini,” lanjutnya sambil menyerahkan surat di hadapan Rania. Andi seakan tidak memberi Rania kesempatan untuk berbicara. Rania menatap surat tersebut, tetesan air matanya jatuh mengenai surat yang berlogokan departemen agama. Rania memejamkan mata sejenak, dadanya sangat sesak. Ingin rasanya ia merobek-robek surat yang ada di hadapannya. Namun ia tidak boleh lemah, mungkin ini sudah jalan hidupnya. Pernikahannya berakhir hanya karena ia gagal melahirkan keturunan bagi keluarga sang suami. Janji manis sang suami dulu ternyata hanya bualan semata, ia pikir Andi laki-laki yang akan tulus mencintainya sampai akhir hayat terlihat dari sikapnya yang rela meninggalkan jabatan di perusahaan keluarganya demi menikahinya. “Kamu…sudah yakin ingin kita bercerai, Mas.” Rania ingin menekankan kembali keputusan yang Anda ambil. “Ya. Kamu tahu kan, aku selalu di olok-olok para sepupu aku, hanya karena diriku yang belum memiliki anak dan cuma aku yang menjadi seorang karyawan biasa, padahal aku memiliki hak waris di perusahaan tersebut, tapi dengan mudahnya mereka mengambil apa yang aku punya. Aku lelah, hidup seperti ini Rania. Kalau saja anak itu selamat mungkin aku tidak akan menceraikan kamu dan…” “Cukup, Mas!” teriak Rania yang tidak sanggup mendengar kata-kata yang seakan semua itu dialah penyebabnya. Rania membuka lembaran kertas yang ia pegang dengan tangan gemetaran ia pun membubuhkan tanda tangannya. Lalu kertas tersebut ia hentakan ke arah Andi. “Ambil, Mas. Aku sudah tanda tangani sesuai keinginanmu. Dan ambil ini juga, aku tidak butuh apa-apa dari kamu.” Rania juga menyerahkan amplop yang berisi sejumlah uang pada Andi. Namun Andi hanya menerima surat gugatan cerai yang sudah di tanda tangani oleh Rania. Dan meletakan amplop tersebut di nakas. Rania hanya bisa menangis tanpa menoleh ke arah Andi. “Sa….” Andi hendak melontarkan kata sayang buat Rania namun buru-buru ia ralat. “Rania, terima kasih atas 3 tahun kebersamaan kita. Maaf, aku tidak bisa membahagiakan kamu.” ucap Andi dengan penuh penyesalan, lalu ia segera keluar dari ruangan, Rania hanya bisa menangis dengan histeris. Meratapi nasibnya yang ditinggal oleh sang suami saat ia membutuhkan sosok suami dengan kondisinya saat ini. “Salah apa aku selama ini, Ya Allah. Mengapa Engkau memberikan aku cobaan yang begitu berat. Untuk apa aku hidup kalau semua orang meninggalkan aku.” teriak Rania dengan frustasi. Rania terus menangis dengan histeris, meratapi nasibnya yang ditinggalkan oleh suaminya. Ia merasa seperti dunianya telah runtuh, dan tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Setelah beberapa jam menangis, Rania akhirnya merasa lelah dan tidak bisa menangis lagi. Ia terbaring di tempat tidur, merasa kosong dan tidak memiliki tujuan hidup lagi. Keesokan harinya, Rania bangun dengan perasaan yang masih sangat sedih. Ia tidak memiliki keinginan untuk melakukan apa pun, dan hanya ingin terbaring di tempat tidur sepanjang hari. Bunyi notifikasi di ponselnya membuat Rania bangkit dari tidur dan duduk bersandar sambil melihat pesan masuk di ponselnya. Matanya terbelalak saat melihat sebuah pesan gambar dari nomor yang tidak dikenal mengirim sebuah foto pernikahan dengan mempelai pria yang merupakan mantan suaminya. “Tega banget kamu, Mas. Padahal perceraian kita baru beberapa jam yang lalu.” gumam Rania dengan air mata mengalir deras di pipinya, tadinya ia berusaha untuk ikhlas dengan perceraiannya namun foto pernikahan suaminya membuat Rania kembali terpuruk, Rania menjadi gelap mata, pandangannya tertuju pada meja nakas yang berisi pisau dan amplop yang ditinggalkan Andi semalam. Ia tersenyum miris, lalu diambilnya pisau buah tersebut, dengan tangan bergetar ia mengiriskan ke pergelangan tangannya. Darah segar mulai mengalir di tangannya. “Hey…apa yang kamu lakukan?” Teriak seseorang yang tiba-tiba masuk keruangan Rania.Mobil Ben melaju pelan di jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu toko dan kendaraan memantul samar di kaca jendela, menyinari wajah Rania yang duduk tenang di kursi penumpang. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Ben yang mengemudi santai—satu tangan di setir, satu lagi menyetel musik jazz pelan dari radio mobil.“Tenang saja,” ujar Ben tiba-tiba, memecah keheningan. “Aku nggak akan bawa kamu ke tempat aneh kok.”Rania tersenyum tipis. “Saya percaya, kok.”Mereka tiba di sebuah restoran kecil di sudut kota. Tidak mewah, tapi hangat dan nyaman. Lampu-lampu temaram memancarkan cahaya lembut, sementara musik akustik mengalun pelan di latar belakang. Ben sudah memesannya lebih dulu, dan mereka langsung diarahkan ke meja di sudut ruangan yang tenang, agak tersembunyi.Setelah duduk, seorang pelayan datang membawa dua buku menu.“Silakan dipilih, Tuan, Nyonya,” ucapnya ramah.Ben membuka menu sambil melirik ke arah Rania. “Aku biasanya ambil pasta atau steak di sini. Tapi sop jamurnya ju
Rania menatap pantulan dirinya di cermin kecil di kamarnya. Ia merapikan bajunya dan mengecek ulang riasan tipis di wajahnya. Bukan berdandan berlebihan, hanya sedikit bedak dan lip balm agar tak terlihat terlalu pucat. Gaun polos berwarna biru muda itu ia pilih karena sopan namun tetap manis dilihat. Hatinya berdebar tak menentu.“Ini cuma makan malam,” gumamnya meyakinkan diri. Tapi entah kenapa, ia tetap merasa gugup.Langkahnya ringan menuju ruang tamu. Tapi baru saja hendak melewati lorong menuju pintu utama, suara berat itu menghentikannya.“Mau ke mana malam-malam begini, Mbak Rania?”Rafa berdiri di depan pintu ruang kerjanya, bersandar pada kusen sambil menyilangkan tangan. Matanya mengarah lurus padanya, tenang tapi menusuk.Rania langsung merapikan kerudungnya, canggung. “I-ini, Pak... saya... cuma makan malam. Sama Pak Ben.”Rafa mengangguk pelan, namun tak bergeming dari tempatnya. “Ben ya...”Nada itu datar, tapi membuat udara seketika jadi canggung. Rania menggenggam ta
Saat ini, Rafa tengah duduk di sofa tunggal di ruangannya. Tatapannya tajam mengarah pada sosok yang duduk di hadapannya — sosok yang baru saja melontarkan permintaan mengejutkan. Ben, rekan kerjanya sekaligus teman lamanya, tanpa malu-malu mengungkapkan niat untuk mengenal lebih dekat Rania, pengasuh kecil Farrel. “Ayolah, Raf. Izinkan aku mengajaknya keluar malam ini,” pinta Ben sambil sedikit merengek, berusaha meluluhkan hati Rafa. Sejak pertama kali bertemu Rania, Ben sudah terpesona oleh kelembutan sikap wanita itu. Namun, kesibukan yang tiada habisnya selalu menghalanginya untuk mendekat. Kini, setelah semua pekerjaannya rampung, dia melihat ini sebagai kesempatan emas — asal Rafa memberi izin. Rafa menghela nafas pelan, ekspresinya tetap datar, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa simpati pada keinginan Ben. "Dia sudah capek seharian jagain Farrel. Malam hari itu waktunya dia istirahat," jawab Rafa singkat, suaranya dingin. Ben mengerucutkan bibir, tak menyerah begitu saj
Rania menutup pintu kamar perlahan, memastikan suara deritnya tak membangunkan Farrel. Di dalam, suasana hening. Bayi kecil itu masih terlelap, wajahnya damai di balik selimut lembut berwarna biru muda. Rania duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya gemetar meski udara malam tak begitu dingin. Pandangannya kosong menatap dinding, namun pikirannya penuh dengan suara-suara.Kata-kata Marissa terus terngiang. "Tolong batasi interaksi dengan suami saya." Kalimat itu menusuk, dingin, dan membuat Rania merasa dihukum atas sesuatu yang tak pernah ia lakukan. Ia hanya menjaga Farrel dengan sepenuh hati—mengisi ruang yang selama ini terasa kosong dari sentuhan ibu. Ia hanya ingin anak itu merasa dicintai.Tangannya terangkat, mengusap wajah, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah. Ia tak ingin menangis. Bukan di hadapan Farrel. Tapi hatinya sakit. Ia merasa seperti sedang diadili hanya karena keberadaannya. Karena ia berada di tempat yang sebenarnya bukan miliknya.Ketukan pelan di pintu membu
Sepulang dari taman, suasana hati Rania terasa tak menentu. Langkah kakinya pelan saat mendorong stroller memasuki halaman rumah keluarga besar tempat ia bekerja. Rafa memberi kode Rania untuk segera masuk kedalam, karena ia sedang menerima panggilan telepon dari temannya. Farrel masih tertidur di stroller, di dalam rumah, suasana tampak biasa saja. Beberapa ART lainnya sedang menyapu halaman belakang, dan suara TV dari ruang keluarga terdengar samar. Kemudian Rania memindahkan Farrel ke dalam gendongan, dan meletakkan stroller tersebut di samping tangga. Rania menaiki tangga menuju kamarnya dengan hati-hati agar Farrel tidak terbangun. Setelah menidurkan Farrel di kamar, Rania duduk sebentar di ujung ranjang bayi, memandangi wajah mungil itu. Ia menunduk, menyandarkan dagunya di kedua tangannya. Pikiran berkecamuk tentang tatapan ibu-ibu di taman tadi. Saat di taman, Rania sempat bertemu tatap dengan ibu-ibu tersebut. Tatapan Ibu tersebut membuat Rania tidak nyaman dan risih
Dengan penuh perhatian, Rania memastikan Farrel menghabiskan susunya, botol susu langsung habis diminum Farrel, lalu Rania mengambil botol kosong dan menyimpannya ke dalam tas. Rania menatap, tangan Farrel menggosok-gosok matanya dengan punggung tangan, tanda Farrel mulai merasa mengantuk. Rania tersenyum melihat ekspresi lucu Farrel dan langsung mengambil tindakan untuk membersihkan wajah Farrel dengan lembut. "Sudah kenyang ya, sayang?" tanya Rania dengan suara yang lembut, sambil membelai rambut Farrel dengan penuh kasih sayang. Bayi menggemaskan itu cuma tersenyum dan tak lama matanya sudah mulai terpejam-pejam. Rafa duduk di dekat gerobak makanan, memesan bubur ayam sambil mengamati Rania yang sedang bersama Farrel. Wajahnya berseri-seri melihat pemandangan itu, hatinya menghangat melihat sosok keibuan Rania yang penuh kasih sayang terhadap anak kecil. Rafa begitu asyik menatap Rania sehingga tidak menyadari penjual bubur memanggilnya. "Pak... pesan berapa piring?" tanya pe