Hendra nampak berjalan mondar-mandir di kamar menunggu kedatangan istrinya. Matahari telah berwarna jingga keemasan, namun yang dinantinya tak kunjung pulang.
Lelaki paruh baya itu melirik jam dinding berwarna merah muda yang tampak anggun menempel di tembok.
"Dia pergi kemana?." Gumam Hendra cemas. Tak biasanya Della pulang telat. Sekarang bahkan sudah dua jam lebih dari waktu jam pulang kantor.
Hendra melangkah gusar menuju nakas disamping tempat tidurnya. Ia meraih ponselnya yang tergeletak diatasnya.
"Semoga saja sudah ada kabar." Ucap Hendra penuh harap. Ia menggeser layar ponselnya ke atas membuka kunci.
Hendra menghela nafas kecewa saat melihat tak ada pesan chat atau panggilan suara apapun dari Della. Ia duduk lemas di tepi ranjang, berharap cemas kedatangan Della. Hendra meletakan kembali ponselnya ke tempat semula.
Pyarrr
"Astaga."
Hendra terlonjak kaget saat sebuah figura foto yang tadi berada di atas meja menghantam lantai karena tersenggol lengannya. Ia hati-hati memungut selembar foto dari pecahan beling kaca yang berserekan. Tangan tuanya mengelus lembut potret foto seorang wanita yang seumuran dengannya yang tengah berpose di depan menara eiffel.
"Bu, yang tenang ya disana. Ayah, selalu mendoakan ibu dari sini." Bisik Hendra sembari mencium foto di tangannya. Air matanya perlahan mengalir menuruni kulit pipinya yang mulai keriput.
Secercah kerinduan membuncah di hatinya. Biasanya disaat sore menjelang magrib seperti ini, mereka berdua pasti sedang duduk-duduk di balkon. Menikmati matahari tenggelam ditemani secangkir teh hangat dan saling melempar gurauan mesra. Dipeluk eratnya foto dengan sejuta kenangan indah di dada bidangnya.
"Ayah kangen Bu." Lirih Hendra meratap sendu dikesunyian kamarnya. Ia tak sadar jika ada seseorang yang sedang cemburu mengamati tingkahnya dari luar.
"Ahem ... " bunyi suara deheman, membuat Hendra meletakkan kembali foto yang tadi dia peluk.
Hendra mencari sumber suara itu, dilihatnya gadis manis yang sudah dirawatnya hingga berumur 25 tahun.
"Audy."
Audy mendekati Hendra, memeluknya dengan manja. "Ayah, merindukannya?"
"Iya, ayah merindukannya."
"Kita doakan, semoga dia juga ikut bahagia saat melihat kita bahagia, Yah."
Mereka berdua saling memejamkan mata mereka, Mendokan wanita yang sangat berarti dalam hidup mereka.
Setelah selesai Audy kembali membuka suara. "Ayah, mencintai Bunda Della?"
"Kamu tahukan jika ayah lebih mencintainya dibandingkan dengan kamu," jawab Hendra.
"Ayah ... Itu aku tahu, bahkan Ayah membela dia mati-matian saat aku sedang berebut barang dengannya."
"Lalu, Ayah harus menjawab pertanyaan yang mana?"
Audy mengerucutkan bibirnya dan melepaskan pelukannya. Membuat Hendra jengah dengan kelakuan anak semata wayangnya itu. "Ayah tidak tahu, sebagian hati Ayah masih dibawa Ibumu. Tapi, sebagai lagi sudah dengannya, apa Ayah egois?"
"Ayah, Audy berharap Ayah akan selalu bahagia dan apa pun yang sekarang Ayah lakukan Audy akan mendukungnya, termasuk Audy mempunyai adik."
"Kamu gadis kecil, apa yang kamu tahu tentang itu." Ucap Hendra sambil menarik hidung mungil milik Audy.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁Della baru tiba di rumah keluarga Gunawan, setelah perdebatan panjang bersama dengan Gerald. Kini hatinya sudah mantap dengan Hendra, dia yakin apa yang sudah dipilihnya sekarang.
Kaki mungil itu melangkah masuk kedalam rumah, tanpa sengaja netranya menatap suami yang sudah satu tahun ini bersamanya sedang memeluk erat foto yang membuatnya terbakar api cemburu."Aku tidak pernah keberatan jika kamu masih menyimpan foto itu, bahkan memajangnya disetiap sudut rumah ini. Aku sadar juga, aku hanyalah orang yang dijual orang tuaku. Tapi, tidak bisakah kamu mengerti tentang perasaanku?" batin Della lirih melihat suaminya masih mengenang sang istri.
Saat dia ingin menghampiri Hendra, dari kejauhan dia melihat Audy yang juga ingin menghampiri Hendra. Akhirnya Della memiliki untuk bersembunyi di balik dinding.
Ayah dan anak itu terlibat percakapan. Della yang melihat pemandangan itu merasa iri, selama ini dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ayah seperti Audy. Justru ayahnya malah menjual dia sebagai penebus hutang.
Air mata Della menetes begitu saja, dia akui bersama Hendra dia bisa mendapatkan kasih sayang seperti seorang anak tapi, tidak dengan sebagai istrinya.
Dari luar rumah tangga yang dia jalani seperti bunga yang sedang bersemi tetapi, jika dari dalam rumah tangganya seperti bunga yang tidak pernah mendapatkan perawatan hingga membuat dia layu dan berguguran.
Dari balik dinding Della terus menahan sesak dalam hatinya, dia mengingat kembali ucapan Gerald yang menyatakan bila dirinya tidak bahagia dan tidak mencintai Hendra. "Apa benar apa yang aku rasakan ini bukan cinta pada Hendra?"
Dengan mengusap air matanya Della melangkahkan kakinya menuju ruangan dimana anak dan ayah itu sedang berbicara.
"Bunda," teriak Audy. Seperti anak kecil yang baru bertemu ibunya setelah ditinggal pergi.
"Audy, kamu kayak anak kecil saja seperti itu!"
"Iya, soalnya ada ayah, coba kalau gak ada, aku sudah berteriak memanggil namanya Della...," ucap Audy sambil menjulurkan lidahnya. Lalu berlari menuju kamarnya.
Hendra menggelengkan kepalanya melihat tingkah anaknya yang masih kayak bocah, sedangkan Della kini mendekati suaminya dan mencium telapak tangannya.
"Maaf Yah, aku pulang kesorean."
"Memangnya kamu dari mana? kenapa pergi gak bawa supir." Hendra mulai marah.
Della hanya diam mendengarkan ucapan Hendra. "Maaf, aku hanya mencemaskanmu karena kamu gak ngasih kabar," ucap Hendra sambil membelai rambut panjang milik Della. Lalu mendapat anggukan dari Della.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Sementara di dalam kamar, Audy tersenyum sambil melihat handphone miliknya dan mengucek matanya menyadarkan dirinya apa sedang bermimpi atau tidak, karena baru kali ini Gerald mengirimkan pesan terlebih dahulu.Biasanya dia yang selalu mengirim pesan dengan hal hal yang mungkin dianggap tidak penting karena Gerald tidak pernah membalasnya. Terkadang jika ditelepon Gerald, hanya mengobrol tidak lebih dari 1 menit atau bahkan tidak diangkat.
-Gerald love-Bersiaplah besok pagi aku akan menjemputmu.
"Oh tuhan, apa ini mimpi dia mau menjemputku?" Audy berguling kesana kemari hingga lupa membalas pesan dari Gerald lalu tertidur.
Pagi menjelang Gerald sudah berada di depan pintu rumah Audy, sebenarnya dia ingin melihat Della karena semenjak pertemuan kemarin, dia tidak bisa melupakan perkataan Della yang menginginkan untuk melupakannya.
Ketika dia ingin masuk kerumah kebetulan yang membuka pintu Della, seperti mood booster untuk Gerald matanya berbinar binar, hampir lima menit mereka saling menatap hingga suara cempreng Audy membuyarkan tatapan itu.
"Hai ... Ger, kamu sudah sampai?"
"Iya."
"Bun, boleh ya Gerald ikut sarapan bersama kita, dia itu jarang sarapan di rumah Bun, kadang dia sampai kena magh karena ngurus tesisnya dan perusahaan milik orang tuanya," jelas Audy.
Della mengangguk kepalanya lalu mempersilahkan Gerald untuk masuk dan ikut sarapan bersama.
Sinar mentari yang menerobos masuk lewat kisi-kisi jendela membangunkan Della dari mimpi indahnya. Ia menggeliat sejenak, lantas mengelus perutnya yang mulai membuncit.Hawa dingin yang menyergapnya membuat dirinya enggan beranjak. Dia segera menarik kembali selimut yang ia kenakan hingga menutupi seluruh tubuhnya."Sayang, kau sudah bangun?" ujar Hendra yang baru saja selesai membersihkan diri."Hmmm." Della bergumam pendek. Malas menanggapi pertanyaan retoris Hendra. Entah mengapa sejak kemarin moodnya belum juga membaik.Belum lagi benaknya yang mendadak memikirkan Gerald, cinta pertamanya yang semakin membuatnya lesu."Kau kenapa? Apa kau merasa tidak enak badan?" Hendra yang cepat menyelesaikan ikatan dasi di lehernya, beranjak mendekati Della."Aku tidak papa," elak Della saat tangan kekar itu ingin meraih dahinya."Tapi Bunda terlihat lesu. Apa Bunda menginginkan sesuatu?" tawar Hendra."Tidak, Yah. Bunda han
Gerald memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di halaman rumahnya. Lantas melepas seatbelt yang Audy kenakan. "Ckkk. Seperti anak kecil saja," Ujar Audy. Namun, ia membiarkan Gerald melakukan hal itu untuknya. "Tapi kau suka kan?" Goda Gerald. Kemudian membuka seatbelt yang dikenakannya sendiri. "Dasar bucin," Cibir Audy bersiap turun sebelum Gerald melempar gombalan lebay nya. "Biar aku saja," Cegah Gerald menahan lengan Audy. "Aku bisa sendiri, Ger. Tak perlu berlebihan," Sahut Audy lalu membuka pintu mobil. "Dasar tak bisa diajak romantis," Desis Gerald. Perlahan ia melangkahkan kakinya ikut turun. Audy mengabaikan kekesalan Gerald. Ia dengan santai melangkah masuk ke dalam rumah mereka. Melangkah terus hingga ke kamar. Lalu membaringkan diri di atas ranjang sebelum Gerald menyuruhnya.
Selesai sarapan, Gerald masih terus memberika perhatian pada Audy. Ia pun mengambilkan segelas air putih untuknya."Terima kasih. " Lidah Audy terasa kelu. Tidak terbiasa dengan sikap Gerald. Perhatian kecil dari laki-laki itu sukses membuatnya salah tingkah.Gerald tersenyum manis. Menatap Audy yang semakin terlihat cantik dengan sedikit rona merah di pipinya."Biar aku saja," tawar Gerald saat Audy hendak meletakan gelas itu kembali."Apa kau tidak pergi bekerja Ger?" Ujar Audy. Bila ditaksir mungkin sekarang sudah pukul tujuh lebih."Tidak. Aku akan menemanimu di sini.""Aku baik-baik saja," ucap Audy. Walau dalam hatinya ia berharap agar Gerald terus di sisinya.'Bodoh kau Audy. Apa sekarang kau mulai berharap padanya? Ap kau lupa bagaimana mudahnya dia mencampakkanmu?' Batin Audy mendadak dilema.
Perlahan Gerald membantu membaringkan Audy di atas ranjang. Dengan tangan kanan menahan punggung Audy agar tidak langsung Gerak pun sedikit membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan Audy.Sekilas tatapan mereka bertemu, Audy cukup lama menatap Gerald. Ia masih tak menyangka bila suaminya kini telah berubah menjadi malaikat yang super lembut.Begitu pula dengan Gerald, Laki-laki itu balas menatap wajah cantik Audy. Dalam hatinya ia berjanji, tak akan menyia-nyiakan istrinya lagi."Permisi. " Suara seorang pramusaji membuat Gerald dan Audy sontak mengalihkan tatapannya. Gerald lekas menarik tangannya yang tertindih punggung Audy. Lantas, membaringkan Audy dengan hati-hati.Wajah Audy sedikit memerah saat melihat pramusaji itu tersenyum canggung."Masuk saja, Sus," Ucap Audy sadar bila bila sosok yang berdiri di depan pintu tampak ragu. Mungkin saja
Gerald mendudukan pantatnya di sofa sembari menunggu Audy keluar. Sesekali ia melirik pintu kamar mandi, agar bisa bergerak sigap jika gadis itu akan keluar. 'Maafkan aku, karena keegoisanku kamu menjadi terluka. Tapi aku berjanji, aku akan melupakan masa laluku dan memulai hidup bersamamu.'Gerald larut dalam pikirannya. Perasaan bersalah kembali menggeleyutinya. Ia beruntung semesta menyadarkan dirinya dengan cepat sehingga gadis itu belum terlepas darinya.Suara deringan ponsel terdengar nyaring, membuat lamunan Gerald buyar. Diliriknya ponsel Audy yang berada di atas nakas.Gerald menatap ke arah pintu toilet, sepertinya Audy belum selesai dengan urusannya."Apa aku saja yang mengangkatnya ya?" Gumam Gerald menimbang sebentar.Deringan itu masih terus berbunyi, Gerald menunggu sebentar lagi berharap Audy cepat keluar."Baiklah, biar aku saja yang mengangkatnya. Siapa tahu saja itu telepin penting," pungkas Gerald segera mende
Sinar mentari menembus kaca jendela ruangan, di mana Audy sedang dirawat. Sinarnya sedikit menyilaukan, membuat Audy terbangun dari tidur panjangnya. Perlahan-lahan mata Audy mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menatap sekelilingnya, infus yang terpasang di tangannya membuat ia susah bergerak."Auhh ...." Audy mengaduh kesakitan. Satu hal yang sangat ia benci, saat ia ingin tumbuh menjadi mandiri saat itu juga ia membenci saat dia sakit dan terbaring lemah tak berdaya.Gerald yang masih terlelap kini bangun saat mendengar suara Audy. Ia pun beranjak dari sofa menuju ke ranjang Audy."Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sembari mengucek matanya agar terbuka dengan sempurna"Iya, aku baik-baik saja." Audy berusaha bangkit dari ranjang saat merasa ingin buang air kecil. Ia meringis kecil, kepala yerasa pening saat ia menggerakan tubuhnya."Apa yang ingin kau lakukan?" Heran Gerald dengab sigap memegangi tubuh Audy."Aku ingin ke ka