Gerald menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru supermarket. Kaki jenjangnya melangkah tergesa saat matanya telah menemukan sosok yang dicarinya.
"Entah sampai kapan kau akan membuang penyakit pikun mu itu." Cibir Gerald melipat kedua tangannya ke dada.
Della yang sedang memilah cemilan di salah satu rak, tersentak kaget saat sebuah suara bariton yang tak asing menyapa gendang telingannya.
Ada desiran aneh di dadanya saat Ia takut-takut memutar tubuhnya kebelangkang.
"Ka ... u?." Desis Della lirih.
Gerald menyorot tajam kedua manik milik Della. Berbagai macam pertanyaan yang menjejali otaknya sejak semalam, kini semakin kuat berputaran di benaknya.
"Lepaskan aku." Pekik Della saat tangan kekar Gerald tanpa permisi menariknya paksa menuju kasir.
"Diam." Bentak Gerald tak peduli pada tatapan mata pengunjung lain yang menatap penuh tanya kearah mereka.
Della menelan salivanya susah payah. Matanya berkaca-kaca mendengar nada tinggi yang keluar dari mulut Gerald. Sekian tahun menjalin asmara dengan Gerald, tak pernah sekali pun pria di depannya berkata kasar.
Mungkinkah cinta bisa membutakan seseorang sehingga membuatnya bertindak brutal?.
Della menggenggam tangan Gerald dengan tangan kirinya saat cengkraman di pergelangan tangan kanannya semakin menusuk.
"Lepaskan aku Ger, ini sakit."
Gerald tak menggubris ocehan Della. Ia tak ingin buronannya sampai lolos.
"Shit." Umpat Gerald saat antrian di depan kasir masih tersisa dua orang. Mulutnya sudah gatal ingin menginterogasi kepergian Della satu tahun lalu. Sebuah decakan tipis lolos dari bibir Gerald.
"Sepertinya aku harus membuka usaha baru." rutuknya sinis.
Disaat situasi genting seperti ini dia malah terjebak diantrian yang sangat membosankan.
"Kau mau membawaku kemana?." Tanya Della memberanikan diri membuka suara.
Tidak ada jawaban dari Gerald, hanya senyum defil keluar dari bibirnya.
"Ger, aku mohon berhentilah!"
Gerald mengangkat dagu Della dengan tangan satunya.
"Tidak akan ada hal yang patut di pertanyakan jika saja kau yang menjadi bunda untuk anak ku, bukan pak tua itu."
Della menundukkan wajahnya. Ia tak kuasa menatap mata Gerald. Rasa bersalah memenuhi rongga dadanya.
"Ya Tuhan, apa yang harus ku lakukan? dan kenapa dia bisa tiba-tiba disini, kemana Audy?" batin Della lemah.
"Apa kau mau menginap sampai subuh disini?" cerca Gerald yang melihat Della tak bergeming di tempatnya. Kini giliran Della untuk membayar belanjaannya.
"Kau yang membawaku ke kasir, aku sedang menunggu anakku," ucap Della.
"Dia tidak akan datang."
"Bagaimana aku membayar belanjaan ini?"
"Aku yang akan membayar, kau belum berubah dari kebiasaan burukmu itu. Dasar pelupa," cibir Gerald
"Bisakah kalian lebih cepat, antrian sudah panjang." Teriak seseorang yang mengantri dibelakang.
Sontak Della mengangkat kepalanya. Ia tersenyum kikuk menyerahkan belanjaan bulanannya pada sang kasir."Aku berharap perasaanmu juga tak pernah berubah Del." Sambung Gerald sembari menyerahkan atmnya.Della tak menyahut. Dia bersikap acuh mengambil atm milik Gerald dan memberikan pada petugas kasir.
Beberapa menit kemudian. Transaksi yang dilakukan telah selesai. Masih dengan posisi posesifnya yang menggandeng Della erat, Gerald memandu langkah mereka menuju mobilnya.
"Kau mau membawaku kemana?"
Gerald mendorong kasar punggung Della agar masuk di kursi samping kemudi.
"Ger, kau sudah gila ya!" cecar Della memberontak. Ia takut akan hal yang tak senonoh yang mungkin saja dilakukan Gerald nantinya.
"Jangan salahkan aku jika bertindak kasar apabila kamu tak mau menurut."
Gerald menutup pintu mobilnya dengan kencang. Jantung Della seperti memompa dengan kekuatan ekstra, setiap detakannya yang diciptakan terasa lebih cepat dua kali lipat.
"Apa yang ingin kamu lakukan?"
"Nanti kau juga akan tau. Nikmati saja perjalanan ini. Sudah lama kita tak bersama bukan?" Gerald mengusap punggung tangan Della lembut.
Della menepis tangan Gerald. Namun dalam hatinya dia mengiyakan ucapan Gerald.
"Tidak seharusnya kamu melakukan ini Ger." Sinis Della membuang muka.
"Kenapa? apa ada yang salah?" tanya Gerald memasang wajah polos.
"Jangan munafik."
"Apa salahnya jika sepasang kekasih berpegangan tangan? bukankah itu hal yang lumrah?"
"Kekasih? kau itu kekasih anakku, bukan kekasihku lagi."
Gerald tersenyum getir.
"Kau milikku, selamanya akan tetap menjadi milikku."
Della terpaku dengan ucapan Gerald, laki-laki pujaannya yang dulu menemaninya dalam suka dan duka. Hati kecilnya sangat merindukan laki-laki itu, namun semua sudah berubah tidak seperti dulu lagi. "Aku tak ingin menyakiti mu, jadi aku rasa tak ada lagi yang perlu diperjelas.""Bagaimana bisa kau semudah itu mengatakan hal ini?"
"Segala yang sudah terjadi tak bisa diputar kembali. Aku mohon lupakan aku."
"Andaikan kamu yang diposisiku. Aku yakin kau tak akan mampu mengucapkan kalimat laknat itu."
Gerald terdiam beberapa saat memberikan jeda pada kalimatnya agar Della, mencerna ucapannnya baik-baik.
"Bahkan bisa ku pastikan, bahwa kau akan bersujud di kaki ku dan memohon pada ku agar aku tak melepaskan mu." Imbuh Gerald semakin menyudutkan Della.
Della menitikan air matanya membenarkan Semua perkataan Gerald. Dengan spontan dia melontarkan kata yang sedari tadi membuat hatinya bergemuruh.
"Asal kau tau. Tidak hanya kau yang terluka aku pun merasa sakit Ger."
"Oh ya?".
Della mengehela nafas menenangkan kecambuk batinnya.
"Aku menikah karena terpaksa. Orang tuaku menjodohkanku dengan Hendra Ayah Audy."
"Apa kau berubah menjadi bisu sehingga tak bisa menolak perjodohan konyol itu?"
Della memandang Gerald tajam.
"Aku bahkan sampai terbaring di rumah sakit karena bunuh diri."
"Mengapa kau tak menceritakannya padaku? seharusnya kau memberitahuku Del, bukan malah menjauhiku lalu menghilang bagai butiran debu."
"Aku minta maaf. Tapi aku tak bisa. ini masalah privasi keluargaku."
"Aku kekasihmu Del. Aku berhak tahu."
Della menggeleng tegas. Mana mungkin dia mengatakan yang sebenarnya jika pernikahannya terjadi karena hutang piutang antara keluarganya dengan keluarga Gunawan.
Apa yang akan dikatakan Gerald untuknya? wanita murahan atau jalang?.
"Maafkan Aku Ger."
"Aku menginginkanmu Del. Bukan kata-kata tak bermutu itu."
Della terdiam, dia sadar memang tak mudah untuk menerima kenyataan pahit ini.
"Apa kau mencintainya?"
"Aku gadis normal Ger, satu tahun sudah aku bersamanya, aku mencintainya meski umur kita berbeda jauh."
"Apakah ucapamu bisa dipercaya? mengapa aku melihat sesuatu yang sebaliknya?" cecar Gerald
"Ini sudan menjadi takdirku. Aku hanya tinggal menjalaninya saja. Jadi, aku mohon lupakan aku," pinta Della.
Gerald terdiam mendengar ucapan yang sama untuk kedua kalinya yang dilontarkan Della, ada rasa tak terima untuk melepaskannya, tiga tahun menjalin hubungan dengan Della, wanita pertama yang membuat hatinya merasakan kehangatan. "Aku akan mendapatkan kamu kembali Della, itu sumpahku," batin Gerald.Sinar mentari yang menerobos masuk lewat kisi-kisi jendela membangunkan Della dari mimpi indahnya. Ia menggeliat sejenak, lantas mengelus perutnya yang mulai membuncit.Hawa dingin yang menyergapnya membuat dirinya enggan beranjak. Dia segera menarik kembali selimut yang ia kenakan hingga menutupi seluruh tubuhnya."Sayang, kau sudah bangun?" ujar Hendra yang baru saja selesai membersihkan diri."Hmmm." Della bergumam pendek. Malas menanggapi pertanyaan retoris Hendra. Entah mengapa sejak kemarin moodnya belum juga membaik.Belum lagi benaknya yang mendadak memikirkan Gerald, cinta pertamanya yang semakin membuatnya lesu."Kau kenapa? Apa kau merasa tidak enak badan?" Hendra yang cepat menyelesaikan ikatan dasi di lehernya, beranjak mendekati Della."Aku tidak papa," elak Della saat tangan kekar itu ingin meraih dahinya."Tapi Bunda terlihat lesu. Apa Bunda menginginkan sesuatu?" tawar Hendra."Tidak, Yah. Bunda han
Gerald memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di halaman rumahnya. Lantas melepas seatbelt yang Audy kenakan. "Ckkk. Seperti anak kecil saja," Ujar Audy. Namun, ia membiarkan Gerald melakukan hal itu untuknya. "Tapi kau suka kan?" Goda Gerald. Kemudian membuka seatbelt yang dikenakannya sendiri. "Dasar bucin," Cibir Audy bersiap turun sebelum Gerald melempar gombalan lebay nya. "Biar aku saja," Cegah Gerald menahan lengan Audy. "Aku bisa sendiri, Ger. Tak perlu berlebihan," Sahut Audy lalu membuka pintu mobil. "Dasar tak bisa diajak romantis," Desis Gerald. Perlahan ia melangkahkan kakinya ikut turun. Audy mengabaikan kekesalan Gerald. Ia dengan santai melangkah masuk ke dalam rumah mereka. Melangkah terus hingga ke kamar. Lalu membaringkan diri di atas ranjang sebelum Gerald menyuruhnya.
Selesai sarapan, Gerald masih terus memberika perhatian pada Audy. Ia pun mengambilkan segelas air putih untuknya."Terima kasih. " Lidah Audy terasa kelu. Tidak terbiasa dengan sikap Gerald. Perhatian kecil dari laki-laki itu sukses membuatnya salah tingkah.Gerald tersenyum manis. Menatap Audy yang semakin terlihat cantik dengan sedikit rona merah di pipinya."Biar aku saja," tawar Gerald saat Audy hendak meletakan gelas itu kembali."Apa kau tidak pergi bekerja Ger?" Ujar Audy. Bila ditaksir mungkin sekarang sudah pukul tujuh lebih."Tidak. Aku akan menemanimu di sini.""Aku baik-baik saja," ucap Audy. Walau dalam hatinya ia berharap agar Gerald terus di sisinya.'Bodoh kau Audy. Apa sekarang kau mulai berharap padanya? Ap kau lupa bagaimana mudahnya dia mencampakkanmu?' Batin Audy mendadak dilema.
Perlahan Gerald membantu membaringkan Audy di atas ranjang. Dengan tangan kanan menahan punggung Audy agar tidak langsung Gerak pun sedikit membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan Audy.Sekilas tatapan mereka bertemu, Audy cukup lama menatap Gerald. Ia masih tak menyangka bila suaminya kini telah berubah menjadi malaikat yang super lembut.Begitu pula dengan Gerald, Laki-laki itu balas menatap wajah cantik Audy. Dalam hatinya ia berjanji, tak akan menyia-nyiakan istrinya lagi."Permisi. " Suara seorang pramusaji membuat Gerald dan Audy sontak mengalihkan tatapannya. Gerald lekas menarik tangannya yang tertindih punggung Audy. Lantas, membaringkan Audy dengan hati-hati.Wajah Audy sedikit memerah saat melihat pramusaji itu tersenyum canggung."Masuk saja, Sus," Ucap Audy sadar bila bila sosok yang berdiri di depan pintu tampak ragu. Mungkin saja
Gerald mendudukan pantatnya di sofa sembari menunggu Audy keluar. Sesekali ia melirik pintu kamar mandi, agar bisa bergerak sigap jika gadis itu akan keluar. 'Maafkan aku, karena keegoisanku kamu menjadi terluka. Tapi aku berjanji, aku akan melupakan masa laluku dan memulai hidup bersamamu.'Gerald larut dalam pikirannya. Perasaan bersalah kembali menggeleyutinya. Ia beruntung semesta menyadarkan dirinya dengan cepat sehingga gadis itu belum terlepas darinya.Suara deringan ponsel terdengar nyaring, membuat lamunan Gerald buyar. Diliriknya ponsel Audy yang berada di atas nakas.Gerald menatap ke arah pintu toilet, sepertinya Audy belum selesai dengan urusannya."Apa aku saja yang mengangkatnya ya?" Gumam Gerald menimbang sebentar.Deringan itu masih terus berbunyi, Gerald menunggu sebentar lagi berharap Audy cepat keluar."Baiklah, biar aku saja yang mengangkatnya. Siapa tahu saja itu telepin penting," pungkas Gerald segera mende
Sinar mentari menembus kaca jendela ruangan, di mana Audy sedang dirawat. Sinarnya sedikit menyilaukan, membuat Audy terbangun dari tidur panjangnya. Perlahan-lahan mata Audy mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menatap sekelilingnya, infus yang terpasang di tangannya membuat ia susah bergerak."Auhh ...." Audy mengaduh kesakitan. Satu hal yang sangat ia benci, saat ia ingin tumbuh menjadi mandiri saat itu juga ia membenci saat dia sakit dan terbaring lemah tak berdaya.Gerald yang masih terlelap kini bangun saat mendengar suara Audy. Ia pun beranjak dari sofa menuju ke ranjang Audy."Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sembari mengucek matanya agar terbuka dengan sempurna"Iya, aku baik-baik saja." Audy berusaha bangkit dari ranjang saat merasa ingin buang air kecil. Ia meringis kecil, kepala yerasa pening saat ia menggerakan tubuhnya."Apa yang ingin kau lakukan?" Heran Gerald dengab sigap memegangi tubuh Audy."Aku ingin ke ka