MasukNadira menutup pintu kamar dengan hati-hati, tapi detakan pintu itu terasa lebih keras di telinganya sendiri. Kamar yang biasanya menjadi tempatnya merasa aman, malam itu justru seolah mengurung seluruh emosi yang menumpuk di dadanya.Ia meletakkan tas kerja di meja kecil, lalu langsung menuju kamar mandi. Air dingin menyentuh kulitnya begitu pancuran dibuka, membuat sebagian ketegangan di lehernya mereda. Ia memejamkan mata lama, membiarkan denting air menenggelamkan suara-suara di ruang makan tadi.Ketika ia keluar, rambutnya masih basah dan wajahnya sedikit memerah karena air dingin. Nadira duduk di tepian ranjang, menarik napas panjang sebelum mengambil ponsel. Jari-jarinya baru sempat menyentuh layar saat suara langkah mendekat terdengar dari luar.Pintu terbuka.Aryan masuk dengan raut yang masih sama seperti di depan tadi—keras, canggung, dan tidak mau kalah. Tatapannya tertuju singkat pada ponsel di tangan Nadira, cukup lama untuk meninggalkan kesan menghakimi.Seolah Nadira d
Nadira berdiri di teras, menatap punggung Paula yang menjauh bersama suara motornya. Tatapan itu ia tahan beberapa detik lebih lama dari seharusnya, seakan ia ingin menarik kembali rasa aman yang ikut pergi bersama sahabatnya itu.Begitu motor menghilang di tikungan, keheningan jalan kompleks itu terasa menekan. Nadira menarik napas pelan, memijit dada yang terasa sesak. Ia bersiap melangkah masuk ketika suara mesin mobil mendekat cepat dari ujung gang.Mobil Aryan, suaminya.Lampu depannya menyapu pagar rumah sebelum akhirnya berhenti mendadak di depan teras. Pintu terbuka terburu-buru, dan Aryan keluar dalam keadaan napas terengah, wajah kembang-kempis seperti baru saja berlari maraton dari parkiran sampai ke rumah.Nadira sempat merasa lega. Leganya muncul begitu saja, refleks, karena ia tidak perlu menghadapi ibu mertuanya sendirian. Tapi rasa lega itu menguap tepat saat Aryan membuka mulut.“Aku dengar Paula nganterin kamu pulang sampai berdebat sama Ibu, ya? Paula di mana sekaran
Paula menurunkan kecepatan ketika motor memasuki gang rumah Nadira. Lampu-lampu teras dari rumah tetangga sudah mulai menyala, tapi rumah Nadira tampak paling terang di antara semuanya. Terlalu terang dari biasanya.Motor berhenti tepat di depan pagar. Nadira turun lebih dulu, melepas helm dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia berdiri di samping motor, menyodorkan helm kembali pada Paula, tapi pandangannya tidak pernah lepas dari pintu rumahnya yang terbuka setengah. Cahaya lampu ruang tamu tumpah sampai ke teras, membuat rumahnya terasa asing baginya.Paula mengamati wajah Nadira yang memucat. Ia mengikuti arah tatapannya, lalu menghembuskan napas pelan. “Sepertinya mereka masih di dalam,” gumamnya, pelan tapi tegas.Nadira menelan ludah. “La, kamu nggak perlu ikut masuk. Ini masalah rumah tanggaku. Aku nggak mau kamu ikut terseret.”Paula mematikan mesin motor dan turun dengan gerakan mantap, seperti orang yang sudah mengambil keputusan sejak awal. Ia menepuk lengan Nadira, cukup k
Sejak tiba di kantor, langkah Nadira tidak pernah benar-benar stabil. Pikirannya masih tertinggal di teras rumahnya, tepat di titik ketika ia melihat ibu mertuanya dan Erlina berdiri sambil membawa koper besar. Suara keyboard, lalu-lalang karyawan, bahkan laporan yang menunggu dicek terasa jauh di belakang kepalanya.Sesekali ia mengecek ponsel, berharap ada chat dari Aryan yang menjelaskan semuanya. Tapi layar ponselnya tetap sepi, tanpa kabar dan tanpa kepastian. Saat jam istirahat tiba, ia menyeret langkah keluar ruangan. Memilih duduk di deretan meja pojok, menatap nampan makanannya tanpa benar-benar punya selera untuk melahapnya.Paula yang baru masuk pun langsung duduk di seberang meja Nadira, membawa nampan makannya sambil memasang wajah penasaran yang gagal ia sembunyikan. Tak lama, Raka ikut bergabung. Dengan santai ia memutuskan duduk di sebelah Paula. Posisi duduk seperti itu saja sudah bisa membuat Paula kelabakan. Namun ia berusaha untuk tetap fokus tertuju pada sahabatny
Saat malam turun dan lampu-lampu kecil dinyalakan di sekitar area, mereka akhirnya membereskan barang-barang. Udara benar-benar dingin, namun wajah mereka hangat oleh tawa dan kepuasan.“Aku seneng banget hari ini,” ucap Paula sambil membuka pintu mobil.Nadira tersenyum. “Aku juga sama.”Raka melirik Paula dengan tatapan tenang, bahkan ada seulas senyum tipis singgah di bibirnya. “Terima kasih karena kalian mengajakku. Aku pun merasakan hal yang sama. Beban kerjaan terasa makin ringan setelah healing di puncak ini bersama kalian,” kekehnya lalu menatap ke arah Aryan dan Nadira secara bergantian dengan senyum kecilnya.Semua mengangguk setuju. Mobil pun meluncur turun dari puncak, meninggalkan angin dingin di belakang. Tapi justru dalam perjalanan pulang itu hati mereka terasa hangat.*****Begitu mobil berhenti di depan rumah Nadira dan Aryan, lampu teras menyala lembut membuat halaman tampak teduh meski udara masih menusuk.“Akhirnya sampai juga. Sumpah aku udah ngantuk banget,” kel
Langit mulai berubah warna saat mereka sampai di area camping puncak, yaitu biru pucat dengan kabut putih yang bergerak pelan seolah menari di antara pepohonan. Udara dingin langsung menyergap begitu keempatnya turun dari mobil, jauh lebih dingin daripada yang mereka duga. Tapi suasananya begitu tenang hingga rasa dingin itu terasa seperti bagian dari sambutan.“Aduh, dingin banget ternyata,” ujar Paula sambil menggosok kedua lengannya.Raka yang berjalan di belakang hanya menahan senyum kecil. “Makanya pakai jaket yang tebal. Kalau perlu berlapis-lapis biar mirip kepompong,” sahutnya sambil bergurau.“Aku pikir udaranya hanya sejuk saja, bukan dingin menusuk begini, Pak,” elak Paula sambil meringis.Nadira tertawa kecil. “Santai aja, La. Nanti kamu juga terbiasa. Makanya, jangan suka rebahan mulu di rumah, sekali-kali keluar ke alam buat hirup udara segar begini.”Paula mendengus mendengar sahabatnya itu malah ikut mengejeknya. Ia yang tak terima pun sedikit mencubit gemas pinggang N







