Share

Kenyataan Itu Pahit

Karina baru saja mengusap pucuk kepala Azka. Ia kecup pipi halus putranya itu yang menggemaskan sekali, dan juga tampan. “Kamu di sekolah yang pinter ya, ibu mau cari kerjaan buat jajan kamu!”

Azka mengangkat satu alisnya. Ia tidak terima saja kalau sang ibu bilang bekerja untuk uang jajannya. Padahal dirinya paham, kemana uang ibunya selama ini. “Bu, jajanku cuma dikit. Paling ibu kerja buat cari uang buat bayar listrik sama beli beras. Iyakan!”

“Apa!” Karina tidak mengira dapat jawaban demikian realistis dari putranya.

“Ya, tapi nggak papa kok, kalau ibu mau cari kerjaan. Kalau dapat uang ‘kan, bisa dipakai buat pergi ke makam Ayah!”

Sekali lagi, Azka mengatakan itu. Hati ibu mana yang tidak sakit bagai dihujam belati bertubi-tubi. Sebab, kenyataannya makam sang ayah itu hanya fiksi. Ayahnya masih hidup sampai saat ini dan mungkin sedang ada di bumi sebelah lain. Karina sedikit membungkukkan tubuhnya agar sejajar dengan Azka. Ia coba ingin memberitahu sesuatu.

“Nak, untuk saat ini. Azka nggak usah mikirin makam ayah dulu ya!”

“Kenapa Bu? Azka kan kangen sama ayah!”

“Soalnya, Ayah mau Azka rajin sekolah dulu!” Karina berusaha tersenyum. Ia tahu kalau setelah ini, dirinya pasti harus membuat banyak drama lagi yang lain untuk membujuk Azka. Ya, membujuknya supaya melupakan saja tentang ayahnya.

“Iya Bu!” jawab Azka sambil mengangguk.

“Nah gitu, sekarang kamu masuk kelas, bunda guru udah nunggu tu!”

Azka tersenyum dan ia akhirnya mau menuju kelasnya yang sudah ramai dipenuhi oleh anak seusianya.

Karina menatap setiap langkah kaki Azka yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan. ‘Maafin ibu ya Nak, maafin ibu yang terus menerus bohongin kamu!’ hati Karina menjerit. Ia pun berusaha membangkitkan lagi semangatnya dan memulai segala rencana untuk hari ini. Dipacu kendaraan roda duanya. Ia merasa harus segera pulang.

Sampai di rumah terdengar suara penggorengan bertabuh dari arah dapur. Ternyata ibunya Karina, bu Riya, yang juga nenek dari Azka, sedang sibuk menggoreng telur. Karina pun mendekat dengan wajah letihnya.

Bu Riya menoleh pada sang anak. “Karina! Kok kamu udah lemes aja sih Nak, katanya mau ngelamar kerja?”

Karina memilih duduk di dekat meja makan di dapur tersebut. Ia meraih gelas kosong dan menuangkan air putih ke dalamnya. Meneguknya lalu menatap lagi pada Bu Riya. “Iya Bu, abis ini. Aku juga udah bikin surat lamaran kerjanya.”

“Terus?” tanya bu Riya. Ia menghentikan kegiatan memasak dan ikut serta duduk di dekat Karina.

“Azka Bu! Azka tanya terus tentang makam ayahnya.”

Bu Riya menghela nafas panjang. Matanya berkedip memikirkan hal yang memang akan selalu terjadi selagi Karina belum bisa mengajak Azka ke makam ayahnya. “Kita emang nggak bisa bohongi Azka terus Nak. Suatu saat nanti, pasti ada waktu yang tepat buat ngasih tau dia tentang ayahnya yang ternyata masih hidup.”

“Tapi, kapan itu Bu? Kapan? Karina udah nggak sanggup bohongin wajah tulusnya yang kangen banget sama Jonathan! Lagian, apa kita tega bilang jujur sama Azka.”

Karina mendadak kembali merasakan dirinya tengah berada di titik terendah dalam hidup. Berat sekali dan membuat air mata lolos begitu saja dari kedua netranya. Dirinya yang dewasa saja perlu waktu untuk membesarkan hati. Guna menerima kenyataan hidup yang sungguh sulit sekali untuk dilalui. Bagaimana nanti dengan Azka, apa dia sanggup.

“Udah Nak, jangan nangis terus. Ibu nggak mau lihat kamu buang air mata buat menyesali hidup, apalagi nangisin Jonathan yang bukan manusia itu.”

“Bu! Jangan marah sama Jo Bu. Dia itu nggak tau apa-apa.” Karina masih saja membela suaminya.

“Tetap aja dia patut disalahkan. Dia itu cuma boneka dalam keluarganya. Dia bukan pria dan ayah yang baik buat kamu juga Azka,” ucap bu Riya.

“Ya udahlah Bu, mending Karin berangkat buat ngelamar kerjaan. Daripada di rumah malah galau begini!”

“Iya, itu lebih baik. Biar nanti Azka ibu aja yang jemput di sekolahnya.”

***

Karina Andini, sudah berada di depan sebuah perusahaan berbasis makanan olahan yang berdampingan dengan pabrik produksinya. Ia memandang gedung perusahaan tersebut, besar sekali. Sebesar harapannya supaya bisa diterima bekerja di sana.

Ia mulai melangkah mendekat ke arah security dan langsung mendapat sambutan yang ramah. Segera ditunjukkan jalan menuju ke ruang HRD untuk meletakkan lamaran pekerjaan.

Di luar dugaan, ternyata perusahaan tersebut benar-benar sedang membutuhkan banyak tenaga produksi. Karina hanya melalui beberapa tes dan langsung dinyatakan lolos sebagai karyawan magang.

“Selamat ya Karin, kamu besok sudah bisa langsung bekerja. Dan kalau kinerja kamu sangat baik, maka dalam waktu satu bulan kamu bisa langsung tanda tangan kontrak pekerjaan kamu selama satu tahun ke depan,” jelas HRD yang menguji kemampuan Karina.

“Iya Bu! Terimakasih.”

“Kalau begitu! Selamat bergabung ya, saya tunggu bukti loyalitas kamu ke perusahaan ini, PT Internusa Sandira.” HRD itu mengajak Karina berjabat tangan.

Karina bangun dan menerima jabat tangan tersebut. Ia merasa senang dan mungkin keberuntungan sudah mulai hadir dalam hidupnya. “Terimakasih atas kepercayaannya ya bu! Saya akan bekerja dengan rajin dan penuh loyalitas.”

“Iya!”

Tentu Karina merasa senang atas diterima dirinya untuk bekerja, meski hanya sebagai tenaga produksi. Mengingat dirinya hanya memiliki ijazah SMP. Karina pikir apapun yang saat ini bisa menghasilkan uang akan dilakukan, asal itu adalah rezeki yang halal.

“Kalau begitu, saya permisi Bu!”

“Iya silahkan. Jangan lupa besok, usahakan tidak terlambat untuk masuk kerja!”

“Baik Bu!”

Karina akhirnya keluar dari ruang HRD dengan hati gembira. Ia merasa beruntung akhirnya bisa mendapat pekerjaan. Melangkah dengan santai menuju pintu keluar, ia harus melewati ruangan luas yang difungsikan untuk kantin para karyawan pabrik.

“Pabriknya gede banget!” Karina menatap sekitar yang dilewati.

Bersamaan dengan itu, Jonathan baru datang di gerbang depan PT. Internusa Sandira. Ia mulai dibukakan pintu mobil oleh sopir pribadinya untuk turun.

Dengan setelan jas hitam, juga celana formalnya. Jonathan menatap sekeliling. Sudah ada beberapa orang penting yang dipercaya untuk menyambut kedatangan Jonathan.

“Siang Pak Jo! Selamat datang di perusahaan makanan yang sedang berkembang pesat ini. PT. Internusa Sandira,” ucap pak Wahyu, selaku manager produksi perusahaan tersebut.

“Iya, terima kasih. Bisa saya langsung masuk aja!”

“Iya, sangat bisa. Mari, biar saya ajak Anda untuk berkeliling perusahaan dan juga pabrik pengolahannya yang sangat higienis.”

“Tentu, itu harus karena ini adalah pabrik makanan,” ucap Jonathan sambil mengikuti langkah kaki pak Wahyu. Ia juga mengedarkan pandangan matanya menyeluruh ke setiap jalan yang dilewatinya.

Tanpa disangka saat itu, sepasang matanya yang tertutup oleh kacamata hitam keluaran merk ternama. Menangkap seseorang yang postur tubuhnya seperti sangat dikenal.

Langkah kaki Jonathan tiba-tiba berhenti. Ia memandang terus mengikuti kemana sosok yang menarik perhatiannya barusan.

‘Karina!’ batin Jonathan menyebut nama istrinya. Tapi, sosok yang membuat hatinya mendadak berdebar itu hilang seiring banyaknya karyawan yang ikut berjalan bersama dengan Karina. ‘Karina, mungkinkah itu kamu!’ Jonathan tanpa sadar justru berjalan ke arah Kirana pergi.

“Pak Jo! Pak Jo mau kemana?”

Jonathan seperti kehilangan kewarasan. Ia merasa harus mencari siapa sosok yang sangat mirip dengan istrinya tadi.

‘Nggak mungkin kan kalau Karina masih hidup. Tapi, kalau bukan Karina. Yang tadi itu siapa?’ batin Jonathan yang masih sibuk dengan rasa penasarannya.

Namun, meski sudah berusaha mengejar dan membuat pak Wahyu bingung. Jonathan tetap tidak bisa menemukan sosok Kirana. Dirinya sudah kehilangan jejak.

“Pak Jo!” panggil pak Wahyu selalu menager produksi yang tepat berada di belakang sosok calon pemimpin tertinggi perusahaan tersebut.

Jonathan berbalik, dan ia masih diliputi kebingungan. Hingga panggilan dari pak Wahyu barusan masih belum bisa menyadarkan dirinya dari kebingungan itu.

“Ada apa Pak?”

“Ehm .. nggak ada apa-apa kok Pak.” Sebisa mungkin Jonathan membalas perkataan pak Wahyu. “Maaf saya tadi, seperti melihat teman lama. Tapi, sepertinya nggak mungkin dia ada disini. Lebih baik, kita lanjutkan saja keliling perusahaannya.”

“Oh iya! Mari!” ajak Pak Wahyu, dan mereka mulai melanjutkan langkah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status