Share

Pertemuan (Flash Back 1)

Mana mungkin kalau hidup ini akan terus mendapat batu ujian. Sesekali, seorang Karina merasa perlu bersyukur karena sedikit pilihan hidupnya bisa memberi jalan untuk tersenyum. Lihat saja, matahari ternyata masih sanggup menyingkirkan gumpalan awan hitam pembawa hujan. Membuatnya cerah, secerah hati Karina siang ini yang sudah dapat pekerjaan.

Itulah yang dirasakan Karina saat ini, selama dirinya mau berusaha. Pasti ada jalan untuk masalahnya. Terbukti hari ini adalah salah satu hari terbaik, dimana dirinya yang hanya lulusan SMP. Akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan. Meski itu hanya sebagai karyawan pabrik biasa.

‘Ternyata nggak selamanya hariku bakal diliputi awan gelap. Aku masih bisa dapat kerjaan, buat melanjutkan hidup. Makasih ya Allah, makasih!’ batin Karina berteriak.

Karina dan motornya sudah hampir sampai di rumah. Mulai mengurangi kecepatan motor dan masuk ke pekarangan yang hanya diberi pagar kayu sebagai pembatas halaman dengan jalan aspal. Ia tersenyum saat berhasil melepas helmnya. Karena terlihat si kecil Azka duduk di bangku teras. Ia memandang ibunya dengan bibir monyong sambil membawa sekuntum bunga.

“Azka, kok duduk disini. Kenapa nggak sama Nenek tidur siang?” tanya Karina yang langsung mendekat ke arah buah hatinya.

Azka memandang iba. Ia yang baru ditinggal beberapa jam oleh ibunya seketika sudah merasa rindu. Kegalauan menunggu ibunya pulang, bahkan lebih berat ketimbang tidak jajan seharian. “Ibu kenapa lama banget? Azka kan udah kangen?”

“Apa! Ibu kan cari kerjaan Sayang.”

“Oh! Jadi, ibu cari kerja buat punya uang bsar bisa pergi ke makam ayah ya! Azka nggak yau Bu! Tapi, Azka udah kangen aja sama ibu! Pengen peluk ibu!”

“Azka, ibu cari kerjaan bukan cuma buat bisa pergi ke makam ayah Nak. Tapi, buat mencukupi kebutuhan hidup kita sehari-hari.”

“Tapi Bu! Azka pengen ke makam ayah!”

“Azka cucu nenek paling ganteng. Makam ayah itu jauh Nak, kalau mau pergi kesana, uangnya ibu bakal habis dong!” Bu Raya muncul dari dalam rumah dan langsung menghampiri cucu dan anaknya.

“Ya udah deh!” jawab Azka pasrah.

Karina mulai mengusap kepala Azka dan menatap wajah lugu anak laki-laki itu. Ia pun mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah.

‘Apa ibu harus buatkan makam palsu Nak, untuk semakin menyempurnakan kebohongan yang ibu buat untuk kamu. Ya Allah! Kok jadi semakin begini aih?’ Ingin keluar saja air mata Karina. Kalau sudah begini, Karina hanya bisa diam. Sambil berharap Azka tidak akan menanyakan lagi perihal ayahnya.

***

Sementara itu, di PT, Internusa Sandira. Hanya ada Pak Wahyu yang sedang sibuk menjelaskan seluk beluk perusahaan yang akan dikelola oleh Jo itu. Penjelasannya detail sekali, terlebih lagi soal ekspor hasil perusahaan mereka ke beberapa negara seperti Britania, Jepang dan Australia.

"Yang belum, akan saya jelaskan lagi besok pak."

"Ehm … tapi saya ingin tau bagian kantor. Anda belum mengajak saya kesana!"

"Oh kantor, ada di lantai atas. Apa bapak tidak kelelahan."

"Tidak!"

Pak Wahyu melanjutkan langkah diikuti oleh Jonathan. Mereka berdua naik ke lantai atas, dimana kantor juga kantin terletak disana.

"Ini kantin untuk para karyawan. Anda bisa melihat keadaannya juga bersih sekali."

"Iya!"

"Lalu sebelah sini adalah kantornya. Kantor produksi ada di dalam, sedangkan bagian luar adalah HRD, payroll dan personalia."

Saat pak Wahyu asyik menjelaskan, seorang suruhan HRD sedang kerepotan membawa tumpukan dokumen yang akan dibawa ke bagian lain untuk didata namanya. Berkas itu cukup banyak hingga jatuh dan menarik perhatian Jonathan.

"Terimakasih Pak!"

"Iya sama-sama!" Jonathan mengambil map coklat yang tertera nama Karina Andini. Sejenak ia terdiam lagi dan kaget membaca nama itu.

‘Nggak mungkin!’ batin Jonathan.

Sepulang dari perusahan, Jonathan masih dibayangi oleh nama Karina dan sosok yang mirip dengan mantan istrinya itu. Banyak pertanyaan muncul dalam benak. Tapi, tidak ada satupun yang bisa dijawab.

Tiba-tiba dalam perjalan pulang itu, saat Jonathan duduk di bangku belakang. Ia merasakan kepalanya mulai diserang rasa sakit. Perlahan tangannya bergerak dan mulai meremas rambutnya sendiri.

Sang sopir segera menghentikan laju mobil dan menepi. “Pak Jo, pak Jo baik-baik saja. Apa kita perlu ke rumah sakit.”

“Nggak, ada obat di tasku. Lebih baik kita pulang saja ke rumah.”

“Tapi Pak, butuh waktu satu jam untuk sampai ke rumah.”

“Nggak papa, aku mau langsung ke rumah saja!”

***

Jonathan sudah tiba di dalam kamarnya. Ia berusaha berjalan kuat. Meski pikirannya berkecamuk mengenai Karina dan Karina.

Mama Kira menghampiri Jo di dalam kamar. Menyempatkan untuk bertanya bagaimana kondisi putranya tersebut. “Jo! Gimana keadaan kamu. Kata sopir kamu sempet ngerasa pusing?”

“Iya Ma, aku mau istirahat saja dulu!”

“Apa kamu nggak perlu sesuatu?”

“Nggak Ma, aku cuma mau tidur aja. Lagian udah minum obat kok!”

“Okey, kalau kamu baik-baik saja. Mama akan keluar dari kamar. Tapi, panggil mama kalau kamu butuh sesuatu!”

“Iya Ma!”

Malam itupun terlewati, keesokan pagi yang cerah dengan matahari yang bersinar sempurna. Jonathan sudah bersiap ke perusahan milik keluarganya. Namun, di tenagh perjalanan, ia menyuruh sopir untuk perg sebenatr ke sebuah tempat. Jo bahkan membeli bunga sebelum pergi ke tempat itu.

“Pak sudah sampai!” Mobil berhenti dan menepi di sebuah jalan yang begitu sunyi.

Jonathan pun turun dan melangkah masuk ke sebuah pekarangan yang hening. Hanya ada beberapa orang saja yang tampak melintas.

“Selamat pagi Istriku Sayang, Karina Andini. Aku datang bawa bunga mawar putih kesukaan kamu. Aku juga bawa bunga untuk Azka. Entah apa dia suka dengan bungaku ini!”

Jonathan meletakkan seikat bunga, masing-masing di dekat batu nisan milik Karina dan putra tunggalnya Azka. Rasanya baru kemarin mereka bertemu dan sejenak merasakan kebahagiaan. Namun, itu hanya terjadi beberapa saat.

“Apa kamu tenang dan bahagia disana karin. Aku sangat merindukanmu.” Jonathan bicara lagi, rasanya kalau tidak ingat dengan setelan jasnya yang sudah rapi untuk dipakai pergi ke kantor. Sudah pasti ia ingin memeluk batu nisan sang istri. Istri yang adalah cinta pertamanya saat SMA, mau memberikan apa saja pada Jo yang belia. Namun, takdir berkehendak lain.

“Kamu tau Sayang, ada perempuan yang mirip banget sama kamu. Nama kamu juga ada yang nyamain. Tau nggak? Rasanya dunia ini kayak sempit banget!” ucap Jonathan sendiri.

Pria itu lalu diam sesaat, ia masih sibuk memandang ke arah batu nisan istrinya. “Sayang, meski kamu menyuruhku untuk mencari penggantimu, tapi kayaknya aku nggak bisa. Aku cuma cinta sama kamu dan cuma mau kamu!”

Setelahnya, hanya ada suara angin yang terdengar sepanjang menit selanjutnya. Jonathan masih tertegun, sekilas dirinya jadi mengenang sosok Karina dan Azka. Andai mereka berdua masih hidup. Pasti sangat bahagia hidupnya saat ini.

“Kenapa sih dunia ini kejam! Kita udah lama berpisah, lalu bertemu dengan melihat Azka yang udah gede. Tapi, abis itu kita berpisah lagi. Kita cuma kalah karena takdir Karin!”

Gara-gara mengingat itu, bayangan masa lalu Karina dengan dirinya kembali muncul.

Flash Back on.

Putih abu-abu adalah masa yang menyenangkan. Segala kenakalan dan kebaikan seakan berlomba untuk mengisi hari-hari Jonathan selama sekolah.

Dia yang selalu jadi juara pertama dan Karina adalah juara kedua. Sering melakukan kegiatan sekolah bersama membuat keduanya jatuh cinta.

Manis percintaan membuat keduanya terjebak dalam kehangatan yang dilarang. Hasrat itu muncul saat mereka berdua saja di ruang OSIS usai rapat.

Karina sedang sibuk menutup jendela kaca yang ada di ruangan tersebut. Silau dari cahaya jingga matahari sore menerpa wajah halus Karina. Membuat wajah itu bercahaya indah dan menumbuhkan hasrat dalam diri Jonathan yang tengah merapikan buku di meja rapat yang telah kosong. Ia memandang takjub pada makhluk keturunan hawa tersebut.

Hatinya mulai berdebar, manakala mengingat Kirana juga bukan lain adalah kekasihnya. Ia mulai mendekati sambil memupuk rasa berdebar yang semakin menjadi.

“Karin!” panggil Jo yang tepat berdiri di belakangnya.

Karina berbalik, rambutnya yang panjang menjuntai membingkai wajahnya yang putih bersih dan menggemaskan. “Ada apa?”

“Aku, aku cuma mau bilang kalau aku sayang banget sama kamu!” Mulai diraba mahkota hitam Karina. Lalu merapikan helaian tersebut di belakang telinganya.

“Aku juga!” jawab Karina.

Perlahan ada detik yang berjalan membuat Jonathan memberanikan diri memangkas jarak wajah mereka berdua. Karina terjepit dengan keadaan itu. Tidak ada ruang untuk bergeser. Namun, ia merasa tahu apa yang akan dilakukan oleh Jonathan. Hingga segera mungkin wajahnya dialihkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status