Share

Lelucon atau Jebakan

Karena setiap manusia yang terlahir di dunia ini sudah membawa takdir masing-masing. Percayalah, kalau semua sudah diatur apik oleh skenario Tuhan dengan seribu satu rahasia di dalamnya.

***

Kelelahan yang dirasakan oleh Karina harus segera disingkirkan. Kedua lutut yang terasa lemas di setiap persendian tidak bisa membuat tubuhnya untuk duduk sejenak. Tetap ada hal yang harus segera dilakukan.

Saat ini adalah jam istirahat. Karina berjalan menuju ruang ganti yang memiliki banyak lemari loker berukuran persegi. Difungsikan untuk menyimpan uang, dan ponsel, juga baju ganti yang dipakai untuk pulang.

Tapi, Karina hanya perlu mengambil uang juga ponsel. Lalu berencana membeli sebungkus makanan juga minuman di kantin atas.

Akan tetapi, itu pun kalau waktu mencukupi, sebab. Setelah ini, dirinya harus menemui Bu Riska di ruangannya.

Berjalan dengan banyak kemelut hati dan pertengkaran pendapat gara-gara memikirkan nama Jo yang didengarnya tadi. Untung, dirinya tidak sampai jatuh terpeleset saat berusaha naik lewat tangga ke lantai atas. Ia memutuskan untuk menepi dan cari pegangan saja.

‘Mana ya ruangannya bu Riska. Ya ampun aku kan masih baru!’ batin Karina. 

Terpaksa Karina bertanya pada seorang perempuan yang kebetulan sedang lewat. 

“Kamu masuk aja ke dalam pintu itu!” menunjuk sebuah pintu yang berbahan kaca. 

“Oh itu ya?”

“Iya abis itu kamu tanya aja lagi sama mbak-mbak penjaga fotokopi. Ada kok di sebelah kanan!”

“Ya mbak, kalau gitu makasih ya!”

“Iya, sama-sama!” 

Tidak mau menunggu lama. Karena jam istirahat hanya satu jam, dan waktu terus berjalan. Karina langsung saja berjalan masuk ke dalam pintu berdaun kaca yang ditunjukkan orang tadi.

Terbuka, dan masuk. Suhu dingin langsung menerjang kulit Karina. Ia berjalan dengan penasaran. Hatinya bertanya ruang apa ini. Apa yang ada di dalam sini. Hingga sepasang matanya menangkap pemandangan tatanan meja yang susunannya seperti di kelas TK. 

Terdiri dari empat meja dengan komputer masing-masing, diatur sedekat mungkin saling berhadapan. Lalu ada lagi susunan demikian yang jaraknya hampir satu setengah meter. 

‘Kayaknya itu tempat staff admin. Eh tapi, katanya ada mbak-mbak penjaga fotokopi,’ batin Karina berpikir. Lalu melihat dari jauh ada satu tempat terpencil di antara sekat ruangan tertutup. Ada sosok perempuan kurus tinggi sedang berdiri di samping mesin fotokopi yang menyala.

‘Ah itu dia!’

Karina berjalan cepat, rambutnya yang panjang terikat tinggi, bergerak ke kanan dan ke kiri, karena saking cepat cara berjalannya. 

“Permisi, mau tanya Mbak, ruangan Bu Riska mana ya?”

“Noh paling ujung! Jadi satu ruangannya sama kepala divisi lain. Cari aja pintu yang ada tulisannya kepala divisi. Disini pintunya ada tulisan semau kok,” jawabnya, terdengar cerewet dan seperti merasa terganggu.

Karina terpaksa meladeni saja. Toh dia yang butuh. “Iya, kalau gitu terima kasih!”

Karina kembali berjalan, dan memperhatikan setiap daun pintu. Memang disana ada keterangan nama pemilik ruangan. Tapi, tunggu dulu. Ruangan nomor tiga, ada nama Jonathan Algibran di daun pintunya. Kaki karina sejenak membeku di depan ruangan tersebut.

‘Yang bener aja?’ Kembali batin Karina bicara sendiri. 

Apa ada kebetulan yang begitu betulan terjadi di dunia ini. Jonathan Algibran, bukankah itu nama lengkap suaminya. Atau mungkin nama orang lain yang kebetulan dipakai oleh pimpinan disini.

“Heh, jangan melamun di depan pintunya bos baru! Banyak orang yang pakai jalan ini. Ganggu banget deh!” ucap mbak fotokopi yang di id cardnya tertulis Feni.

“Iya Mbak maaf.”

“Kamu masih mau ke ruangannya bu Riska kan! Ini aku kasih ini, mana tangan kamu?”

Karina menunjukkan kedua tangannya. Lalu dengan cepat tumpukan kertas yang hangat seperti baru keluar dari mesin fotokopi tertumpuk rapi di tangan Karina.

“Kamu bawa ini ke ruangannya bu Riska, dan kasih ke Bu Riska. Atau siapa aja yang masih ada disana. Bilang kalau ini dari saya, mbak Feni!”

“Iya mbak,” jawab Karina pasrah. 

Feni segera berlalu dengan terburu-buru, sepertinya dia juga lumayan sibuk. Sedangkan Karina menghela nafas, karena nasibnya hari ini.

‘Berat tapi harus dijalani!'

Karina lekas berjalan, menuju ruangan bu Riska degan segepok kertas di kedua tangannya. Bahkan untuk membuka pintu saja Karina kebingungan.

Jonathan ternyata sudah keluar dari ruangannya, hendak ke ruang rapat yang dijadwalkan lima menit lagi. Ia ingin tahu siapa saja yang berangkatnya lebih awal dan paling belakang. Dari sana dirinya bisa menilai performa sesungguhnya dari para manager produksi dan kantor.

Dengan langkah cepat dan lebar, karena Jonathan adalah pria dengan tinggi yang buan main-main. Tentu lebar sekali panjang langkah kakinya. 

Ia berjalan dengan sejuta pesona yang menancap, membuat para staff yang sedang ada di dalam ruangan, khususnya para wanita. Melihat tanpa bisa berkedip, sejuta pesona itu kalau bisa mereka makan dengan lahap. 

Hingga sampai kaki Jonathan melangkah di ujung koridor, ada Karina yang masih kesulitan untuk membuka pintu. 

Gadis itu mengira, pintunya tinggal di dorong seperti pintu utama yang dirinya gunakan tadi. Namun ternyata pintu tersebut harus digeser, dan itu menyulitkan. Mana bisa menggeser dengan tangan penuh tumpukan kertas.

Jonathan sedikit iba. Ia pun menghentikan langkah dan menoleh ke arah Karina yang membelakanginya.

"Anda mau masuk ke ruangan ini?" tanya Jo.

Karina terkesiap, ia merasa suara ini tidak asing. Seperti suara yang pernah menegurnya. Menelan Saliva karena tenggorokan terasa tercekik, sulit bicara dan menarik nafas. Ia berharap suara ini bukan Jo. 

Sesaat akan menoleh, tapi melihat pantulan bayangan. Karina merasa bayangannya memang tidak asing. Tidak memiliki cukup keberanian untuk menoleh ke belakang.

"Jadi, gimana, apa pintunya perlu saya bukakan?" tanya Jonathan lagi. Tapi masih saja hening, Karina gagu mengeluarkan suara. Hingga terpaksa Jonathan berdehem. "Saya tidak punya banyak waktu!"

Karina segera menyadarkan diri. Meyakinkan diri kalau deheman tersebut memang milik suaminya. Ia langsung menggigit bibir bawah agar tidak bersuara. Terpaksa hanya anggukan cepat yang dirinya tunjukkan.

Jonathan menghela nafas. Kesal saja sejak tadi,lawan bicaranya hanya diam saja. Ia pun membantu menggeser pintu kaca tersebut. 

Karina menepi, spontan memberikan jalan sambil menunjuk. Bahkan ia berusaha mengangkat sedikit tumpukan kertasnya agar wajahnya jadi tertutup.

Sedikit mengintip Karina. Melihat punggung dan bahu lebar yang pernah didekap ada di depannya sedang menggeser pintu. Sudah pasti ingatan kuat bisa memastikan kalau kemungkinan besar, bahu itu milik suaminya. 

'Mustahil, lelucon atau jebakan. Nggak! Mungkin aku harus memastikan semua ini. Bukankah, yang jadi karyawan pabrik ini nggak cuma aku. Tentu karyawan lain banyak tau tentang pimpinannya.'

"Sudah saya buka. Apa Anda tidak ingin mengatakan terima kasih!" ucap Jonathan.

"Teremakasyih!" ucap Karina dengan sedikit mengubah suara. Ia sedikit menunduk dan segera masuk.

Jonathan sedikit merasa aneh. Melihat rambut panjang yang begitu hitam legam milik karyawannya, membuat dirinya ingat pada mendiang istri. Andai saja, Jonathan tahu yang barusan memang istrinya. Pasti sudah dipeluk Karina sampai sesak. 

"Kok nggak ditutup lagi sih pintunya. Ah dia kan bawa banyak kertas." Jonathan memang masih berdiri ke arah Karina pergi. Ia tanpa pikir panjang, menggeser lagi pintu kaca itu. Menutupnya tanpa ada lagi kecurigaan.

Karina sudah masuk di ruang kepala divisi. Ruangannya sangat luas. Ada beberapa orang disana yang bisa dipastikan salah satunya pasti Bu Riska. Tapi, Karina menoleh dulu pada lantai tempat orang yang dianggap Jonathan berdiri.

'Ternyata sudah ditutup. Hah … lega rasanya!' batin Karina. Sudah cukup dirinya berusaha menyembunyikan wajah.

Karina lekas mencari meja milik bu Riska. Tampaknya yang bersangkutan tahu kalau yang datang saat ini adalah salah satu karyawan bagiannya. 

Bu Riska melempar senyum, membuat Karina bergerak mendekat.

"Itu kertas kopian dari Mbak Feni ya, kamu taru dulu di meja saya sini, nggak papa!”

Karina tersenyum. “Terimakasih Bu!” 

"Jadi, apa yang jadi masalah kamu kerja disini? Kenapa sampai ketahuan pak Abran lagi istirahat. Jelaskan!" pinta Bu Riska.

***

Ada rasa yang nyaman tercipta dan kelegaan di hati Karina. Bagaimana tidak lega. Kekhawatiran karena takut dipecat hanya sekedar ketakutan yang tidak jadi nyata.

Wanita itu mampu berjalan santai menuju loker untuk pulang. Ia akan berganti baju seragam, memakai baju biasa untuk pulang ke rumah memang salah satu aturan perusahaan.

Sementara itu, mengenai Jonathan Algibran. Pria kharismanya itu menjadi perbincangan paling hangat saat ini di perusahaan Internusa. Hampir 75 persen perusahaan tersebut memang dihuni oleh wanita. Terlebih lagi di bagian produksinya. Hingga seantero jagat Internusa Sandira mengidolakan pimpinan baru mereka.

Sama-samar, namun kalau mau diperjelas. Kemungkinan besar, Karina bisa mendengar apa yang tengah diperbincangkan teman-temannya sepulang kerja itu. 

Di dalam ruang loker yang difungsikan juga sebagai ruang ganti. Karina mendengar nama itu disebut lagi. 

“Panggil saja Pak Jo, alias Jonathan Algibran, nama yang indah. Seindah paras orangnya. Lebih-lebih lagi, dia juga seorang duda. Pasti sudah banyak pengalaman dalam urusan perempuan,” ucap salah seorang dari mereka. Ya, mereka yang bukan lain adalah teman Karina di dalam proses.

Karina penasaran dan ingin bertanya. Tapi, antara dirinya dan mereka belum kenal lebih jauh. Namun, hati terlanjur penasaran. Ia ingin tahu Jonathan Algibran itu orang lain atau memang suaminya. Bagaimana juga dirinya harus memastikan, meski hati bilang memang Jo itu adalah suaminya. Terlebih lagi saat sempat mendengar suaranya sewaktu menemui bu Riska.

‘Kalau nggak bertanya, dan memastikan itu beneran Jo atau bukan. Selamanya aku akan penasaran,’ batin Karina. Ia pun menatap ke sekelompok orang yang sedang berdiri sejajar dan telah mengganti baju mereka untuk pulang. 

Dengan langkah yang diyakini adalah langkah yang tepat. Karina berusaha berani. Ini penting demi hati agar bisa lebih tenang. "Mbak, aku boleh ikut tanya sesuatu?" 

Sekelompok orang itu langsung memandang ke arah Karina. Ada mata tidak suka. Mungkin karena merasa terganggu, obrolan yang menyenangkan ini harus terhenti.

"Tanya apa?" sahutnya pada Karina.

"Itu, Mbak lagi ngomongin Pak Jo ya. Emang seganteng apa sih. Aku jadi penasaran."

"Oh dia mah ganteng banget."

"Nggak cuma ganteng banget, tapi keren, kece, hot Dady, penuh kharisma dan populer! Iyakan say?"

"Yayalah!"

Tidak tahunya mereka kembali bersemangat. Bahkan salah satunya, menunjuk layar ponsel yang menyala pada Karina. 

"Ini lho pak Jo! Gimana? Ganteng selangit kan?

Karina berusaha melihat dan hanya membelalakkan mata tidak percaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status