Share

Ternyata Memang Jonathan Algibran

Mata ini terasa begitu sulit berkedip. Ingin terbuka saja tapi semilir angin kencang dari depan halaman yang mulai petang, menabrak membawa debu. Akhirnya sepasang netra Karina berkedip menahan perih dan kembali meyakinkan hatinya, kalau semua yang terjadi padanya saat ini bukan mimpi. Ini nyata.

Berjalan dengan daya yang sudah tidak penuh. Separuh lebih tenaganya terkuras untuk bekerja juga karena menahan diri agar tetap sadar. Ia begitu terkejut, karena pada akhirnya bisa mengetahui foto pak Jonathan dari teman kerjanya.

‘Kenapa dunia ini sempit banget!’ batin Karina sambil terus berjalan menuju parkiran motor.

Ia berharap setiap langkah yang diambil, tidak akan mendekat ke arah sang suami. Akan tetapi, takdir memang ingin bermain pada kehidupan yang sulit diprediksi. 

Karina bingung menilai kehidupan yang maunya seperti apa. Di satu sisi dirinya bahagia. Karena kalau dipikir, ternyata semesta masih ingin dirinya bertemu dengan Jo. Mungkin itu yang namanya jodoh, karena sejauh apapun pergi. Tetap saja akan bertemu.

Namun, di sisi lain. Ia harus menyingkir dari kehidupan sang suami. Menyingkir sejauh mungkin kalau bisa ke alam lain sekalipun. Karena keluarga Jo yang tidak akan pernah membuat kehidupan nyaman untuk dirinya dan sang anak, juga ibunya. 

‘Ibu! Beliau pasti akan marah kalau tahu aku kerja di pabrik yang dipimpin sama Jo. pasti nanti aku disuruh resign.’ Kembali hati Karina bicara sendiri. 

Sampai di parkiran, Karina lupa menaruh motornya dimana. Beberapa saat, dirinya bingung sendiri. 'Ah itu dia!' batin Karina yang telah menemukan dimana motornya berada. Ia pun berharap perjalanan pulangnya tidak terganggu dengan terus memikirkan Jonathan.

***

Akhirnya setelah memakan waktu sekitar 45 menit, motor matic Karina tiba juga di depan rumah. Sudah cukup sore, matahari hampir menenggelamkan dirinya. 

Karina dengan langkah yang sangat lelah, tiba-tiba dikejutkan oleh panggilan dari bocah kecil, Azka.

“Ibu! Ibu akhirnya pulang juga!” Dipeluk Karina begitu erat, seakan bocah laki-laki itu menahan segunung rindu karena sudah lama tidak bertemu. 

Karina membalasnya. Ia ikut memeluk pria kecil itu. Pria yang wajahnya sangat mirip dengan ayahnya, juga cara bicaranya. Ah, andai mereka bisa berkumpul layaknya keluarga. Sudah pasti akan menjadi hal yang paling membuat hati Karina bahagia. 

“Oh, Karina udah pulang, ibu kamu pasti kelelahan Azka. Biarkan dia mandi dan istirahat  sebentar. Baru abis itu kamu bisa main sama ibu lagi!”

Mendengar iru Azka melepas pelukan pada ibunya dengan wajah murung. 

“Ibu mandi dulu ya! Abis itu kita makan sama-sama. Biar ibu yang suapi. Kamu udah makan belum?”

Seketika mendengar ibunya yang akan menyuapi makan, sepasang mata Azka langsung berbinar semangat. “Aku belum makan Bu, kalau begitu ibu mandi sekarang. Aku biar siapin makan di meja makan!”

“Iya!” tersenyum melihat semangat Azka, dan senyumnya yang ceria. 

“Dia nggak tidur siang sama sekali, setiap ibu bujuk buat tidur. Dia terus bilang buat nungguin kamu!” ujar bu Riya. Ia mengatakan itu setelah melihat Azka masuk ke dalam rumah.

“Dia pasti belum terbiasa aku tinggal kerja seharian!” Karina merasa bersalah. Tapi, mau bagaimana lagi, hidup yang berat ini harus dilewati. 

Karina hanya butuh waktu beberapa menit saja untuk menyelesaikan aktivitas mandinya. Ia tidak mau buang-buang waktu, dan membuat bocah kecilnya menunggu lama di meja makan. 

Azka yang tengah menunggu di meja makan sedang memainkan kakinya. Terdengar suaranya yang lirih mendendangkan lagu anak-anak. 

Karina berjalan mendekat, ia melihat sepiring nasi yang sudah lengkap dengan ikan dan sayurnya. 

“Baca doa sebelum makan dong! Udah diajarin belum di sekolah!” ucap Karina. Ia mulai menyiapkan satu sendok makanan untuk disuapkan pada Azka. 

“Udah dong!” Azka kemudian membaca doa akan makan. Lalu dengan bahagia membuka mulutnya untuk menerima suapan penuh cinta dari ibunya.

Karina merasa lega sekali, kelelahan yang dialami hari ini, seketika luruh melihat Azka yang semangat. Ditambah lagi senyumnya setiap sepasang mata mereka saling bertatapan. Ya, meski senyum itu juga mengingatkan pada senyum Jonathan. 

“Makannya udah selesai, ibu cuci piring kamu dulu ya!” Karina bangun dan bergerak mendekat ke tempat cuci piring.

Azka diam saja, ia malah melihat terus-menerus ke arah Karina. 

“Azka, kamu nggak ke kamar aja, atau nonton tv?”

Azka menggelengkan kepala. “Azka mau temenin ibu sampe selesai.”

“Ya udah terserah kamu!”

Sebenarnya yang ingin dicuci oleh Karina tidak hanya piring bekas Azka makan saja. Tapi, ada beberapa perabotan dapur yang juga masih kotor. Mungkin ibunya tadi tidak sempat mencuci karena terlalu sibuk menjaga Azka. 

Hingga benda terakhir selesai dicuci Karina. Ia pun menoleh ke arah meja makan sambil mengibaskan tangannya yang basah, lalu mengeringkannya dengan handuk kecil yang tersedia disitu. “Dia sampe ketiduran!” ucap Karina melihat Azka ketiduran di meja makan. 

Semenjak saat itu, hari-hari Karina berlalu dengan begitu berat. Melihat wajah Azka yang murung setiap pulang kerja. Juga harus bersembunyi saat dirinya hampir ketahuan Jonathan. Karena Jonathan sendiri sering melakukan sidak dadakan ke bagian divisinya, dan malam ini.

Sudah seminggu lebih, Karina merasa rambut hitamnya ini menarik perhatian Jonathan. Pernah mereka berdua berpapasan. Tapi, Karina segera berpaling. Yang mengejutkan, saat itu Jonathan malah mengejar. 

Karina coba mengelabui Jonathan dengan susah payah. Menampakkan poni berantakan hingga menutupi mata. Lalu pura-pura bersin, agar Jonathan tidak memindai wajahnya. 

“Ah, maaf sudah mengganggu waktu pulang Anda. Saya hanya merasa Anda mirip sekali dengan mendiang istri saya,” ucap Jonathan sambil sesekali melirik tajam ke arah Karina.

Waktu itu, Karina tidak bicara sedikitpun. Ia hanya berharap bisa segera menghilang dari hadapan Jonathan.

Tidak hanya itu, pernah juga Karina merasa diikuti oleh Jonathan. Namun, lagi-lagi berhasil menghilang. Ia jadi berpikir, mungkin rambut panjangnya ini memang membuat Jonathan penasaran padanya.

Saat di rumah, di hari minggu yang cukup santai. Ada waktu untuk Karina berpikir sendiri. Sementara Azka sedang lelap dalam tidur siangnya. 

Ia sedang memperhatikan diri di depan cermin, ada mahkota hitam legam yang dulu sangat dipuji oleh Jonathan, yang masih menghias di wajahnya.

“Andai kita masih bersama, mungkin aku nggak akan kepikiran untuk memotong rambut ini.”

Karina tiba-tiba merasa gemetar. Ada gejolak rindu tersimpan apik di hatinya dan kadang kala ingin meledak. Seperti sekarang ini. 

Sambil terus melihat di cermin. Karina ingat betul bagaimana belai lembut sang suami setiap mereka berdua memiliki kesempatan bersama. Tawa mesra dan cumbu hangat mewarnai hari-hari yang sempat dilewati meski hanya sebentar. Lalu sekarang, ingatan tentang momen itu tampaknya harus dilenyapkan. 

Melesat mengambil kunci motor. Karina merasa siang ini, ia harus pergi untuk memotong rambutnya. Selagi Azka sedang tidur. Ia akan pergi ke salon terdekat. 

“Karin! Kamu mau kemana?” tanya Bu Riya yang melihat putrinya akan pergi.

“Aku mau potong rambut Bu!”

“Apa, buat apa? Bukannya kamu suka rambut panjang!”

“Ehm … itu Bu! Ribet aja kalau rambutku panjang. Jadi, mau aku potong. Biar lebih ringan, dan nggak ribet kalau kerja.”

“Yakin, cuma itu alasannya?” 

“Iya Bu!”

Bu Riya memang merasa seperti ada yang disembunyikan oleh Karina. Terlebih akhir-akhir ini Karina juga lebih banyak diam. 

“Kalau begitu, Karina pergi dulu ya Bu! Azka masih tidur di kamarnya!”

“Iya! Biar ibu yang jaga!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status