Di kantor pusat Alexander.Max duduk di kursinya, memejamkan mata sembari memijat kepalanya, pemandangan itulah yang ditemukan Martin ketika masuk ke ruangan atasannya."Kamu baik-baik saja, Max?" tanya Martin khawatir.Max mendongak, mendapati sahabatnya menatapnya dengan cemas. Max menghela napas panjang sebelum menjawab.. "Aku.. baik-baik saja. Tapi aku akan hancur bila melihat Marigold kembali tersiksa. Bagaimana keadaannya? Apa Marigold sudah mendapatkan perawatan terbaik?""Minum ini dulu, Max. Kamu terlihat sangat kacau dan berantakan." Martin mengulurkan gelas pada Max. "Perihal Nyonya Marigold, serahkan saja padaku. Aku sudah meminta bantuan Nina untuk menjaganya."Max menghabiskan isi gelas dalam sekali teguk. "Nina? Siapa dia?" tanyanya dengan mengerutkan keningnya, tidak tahu siapa yang dimaksud Martin."Nina adalah sepupu Nyonya Marigold, dia sekaligus... istriku."Max memandang heran Martin, seolah pada kepala sahabatnya itu tumbuh dua tanduk aneh. "Is-istri?! Sejak kapa
PRANGGG..Gerakan Max yang sedang keluar dari mobil, sontak terhenti ketika mendengar suara benda pecah, disusul dengan suara teriakan bersahutan. Kepala Max menengadah memandang rumah mewah miliknya dengan kening berkerut, seolah baru pertama kali dirinya memperhatikan detail mansionnya. Sejak kapan, Edelweis mansion tidak lagi nyaman untuk ditinggali? Mansion ini adalah milik Tuan dan Nyonya Alexander, papa dan mama Max. Namun, sejak papa Max meninggal, mamanya tidak lagi mau tinggal sendirian di mansion mewah itu. Rumah itu terlalu besar, terlalu kosong, dan terlalu banyak kenangan, hingga membuat Nyonya Alexander memilih tinggal di apartemen mungil nan mewah daripada tinggal sendirian di Edelweis mansion."Tuan Max, untunglah anda segera datang." Seorang pria paruh baya berjalan cepat mendekati Max."Thomas, bunyi nyaring apa itu? Apa di dalam mansion sedang terjadi perang ufo?" tanya Max datar sembari menyerahkan jas beserta jaket panjangnya pada Thomas, kepala pelayan Edelweis
Max meninggalkan Orchid di rumah sakit untuk penanganan secara intensif, lalu kbali ke Edelweis mansion. Ada yang harus diselesaikan malam ini juga. Tadi Max sudah menelpon Thomas, kepala pelayan mansion, untuk menyuruh para istrinya berkumpul di ruang keluarga, satu jam lagi."Huft.."Max turun dari mobil lalu menarik napas panjang, merasakan hawa dinginnya malam menembus paru-parunya. Untuk kedua kalinya di malam itu, Max berdiri di depan teras Edelweis mansion. Sorot matanya menatap nanar seluruh bangunan mewah, peninggalan orang tuanya. Hati Max terasa pilu mengingat keputusan yang akan diambilnya malam ini. Cklek. Blam.Sepatu Max menggema ketika masuk ke dalam ruangan mansion. Alisnya terangkat ketika mendapati lima istrinya sedang duduk tanpa suara, bahkan tanpa menghidupkan lampu, seolah sedang dalam kondisi berkabung."Kenapa tidak menyalakan lampu?" tanya Max sembari menekan tombol saklar, membuat lima pasang mata itu mengerjap untuk menyesuaikan dengan lampu yang tiba-tiba
Sudah tiga hari sejak Marigold pingsan dan dibawa ke rumah sakit, Max sama sekali belum menjenguk istrinya itu. Max ingin membereskan semua urusan para istri sebelum menemui Marigold, istri kesayangannya itu. Setelah semua kerumitan rumah tangganya selama ini, Max berencana hanya ingin hidup berdua dengan Marigold, terlebih lagi saat ini istri kecilnya itu sedang mengandung bayinya. Anak yang selalu diinginkannya selama ini. Max tidak ingin hidupnya diperbudak lagi dengan ramalan konyol mengenai tujuh istri untuk meningkatkan perfoma perusahaannya. Huh, persetan dengan ramalan itu! Bukannya membuat dirinya fokus bekerja dan bahagia, tetapi malah menambah beban pikiran dan pusing tujuh keliling.Pagi ini, Martin sudah memberikan laporan tentang jawaban dari kelima istrinya. Chrysan, si kembar Lily dan Peony, dan Amarilis memutuskan untuk tetap berada dalam perlindungan Max. Hanya Lotus yang menginginkan perpisahan dengannya. Sangat disayangkan, karena Lotus adalah wanita yang pintar
Satu jam sebelumnya. Di rumah sakit."Bagaimana perasaanmu, Marigold? Sudah merasa lebih baik? Punggungmu masih sakit kah? Semoga saja luka mengerikan itu tidak meninggalkan bekas," ucap Nina sepupunya, sembari mendorong kursi roda dari kamar VIP menuju ke taman rumah sakit. "Dan aku harap, ini adalah bobok terakhirmu di rumah sakit ya. Aku tidak habis pikir, sejak kamu menikah dengan si milyader ini, sudah tidak terhitung lagi berapa kali kamu masuk keluar rumah sakit. Padahal dulu saat masih gadis, batuk pilek saja ogah mampir mendekatimu karena tubuhmu terlalu sehat dan kuat bagai anak kerbau lepas kandang.""Nyinyir saja terus sampai dunia kiamat," gerutu Marigold yang melirik sebal pada Nina yang sedang memposisikan kursi roda yang ditumpanginya, di bawah pohon rindang. Nina mengabaikan omelan Marigold. Nina duduk, menengadahkan wajahnya ke langit biru, dan menarik napas panjang untuk menikmati udara. "Ah segarnya.." "Ck, segar apaan. Ini sudah hampir jam sebelas siang, Nina g
Tiba-tiba.. Seseorang muncul di pintu kamar. Gerakannya yang cepat, menyambar tangan Nina yang sedang dicengkram Gerry.Bugh-bugh-bugh..Gerry yang terkejut dengan serangan itu, tidak bisa berkutik, hanya bisa pasrah menerima dua bogem mentah yang mendarat keras di wajahnya."Jangan sentuh istriku," gertak Martin yang memberikan tinjunya sekali lagi hingga Gerry terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak sofa."Martin." Nina langsung memeluk suaminya dengan erat, sekaligus mencegah Martin ditangkap gegara memukuli orang. "Untung kamu segera datang. Aku takut."Martin memeluk Nina erat, dengan mata memicing tajam membalas tatapan Gerry yang marah akibat pukulannya. Dan permusuhan pun terbit hanya dalam hitungan detik.Sedangkan Max menerobos masuk dan langsung menerjang Archie. Dicengkramnya kaos berkerah sepupunya, lalu mendesaknya ke dinding. "Dasar brengsek! Sudah berapa kali kuperingatkan, jauhkan tanganmu dari Marigold! Dan satu lagi, jangan umbar mulut berbisamu di telinga istri
Gerry membuka pintu apartemen, terseok-seok masuk sembari memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Brak. Pintu apartemen terbanting tertutup dengan dorongan kakinya. Gerry juga membanting kunci, dompet, serta ponsel ke atas meja dekat pintu masuk."Akh, dasar wanita sialan!" rutuk Gerry kesal. "Uhuk-uhuk.. Aduh, dadaku sakit."Gerry melepas kaos hitamnya dan melemparkannya sembarangan. Diperiksanya dada bidang miliknya yang nyeri karena lebam, pada cermin besar. Gerry meraba memar-memar yang mulai membiru."Brengsek!" umpat Gerry mengusap hidungnya yang nyeri dan terus mengeluarkan darah. Siku wanita itu menghantam telak pada tulang hidungnya yang pernah patah saat remaja dulu.Gerry mengambil kotak obat di dapur, juga es batu di kulkas, lalu membanting pantatnya di sofa depan televisi layar datar miliknya."Sial! Dia merusak penampilanku. Auch, sakit."Ketika Gerry sedang mengobati lukanya, tiba-tiba pintu apartemen terbanting terbuka. Seseorang menerobos masuk dengan penuh amarah."
Marigold membuka matanya. Langit-langit yang dilihat Marigold bukanlah plafon putih kamar VIP yang beberapa hari ini menjadi tempatnya bernaung. Warna biru serta awan putih yang tergambar di langit-langit, perlahan membuat Marigold memahami kalau saat ini dirinya sedang berada di kamar apartemen Max, suaminya.Marigold menoleh ke samping, mendapati seseorang sedang berbaring di sebelahnya, memeluknya dengan posesif."Max..""Hmmm, sudah bangun?" Suara Max terdengar serak, khas orang baru bangun tidur. "Jam berapa sekarang? Setengah delapan," ucapnya sembari melihat jam digital di nakas samping ranjang."Max, aku haus.""Aku akan mengambilkan air," jawab Max sambil mengecup dahi Marigold, lalu mendekap tubuh mungil istrinya. "Tapi sebelumnya, aku ingin memelukmu sekali lagi. Aku harus menyakinkan diriku, bahwa dirimu aman dalam dekapanku. Akhir-akhir ini, kamu terlalu sering terluka. Jadi jika tidak melihatmu sedetik saja, aku takut akan kehilanganmu. Hmm, aku sudah menemukan posisi t