Drrrt-drrrt-drrrt."Tuan Max, ponsel anda berbunyi."Max mengedikkan dagunya pada Martin. "Kamu saja yang angkat."Martin mengangguk patuh, lalu meraih ponsel itu. "Halo Nyonya Alexander," sapanya sopan."Jadikan mode load speaker," perintah Max seraya duduk lagi di kursi kerjanya. "Aku ingin dengar apa yang mama katakan."Sejurus kemudian terdengar suara mama tercinta.."Martin, dimana Max?" tanya Nyonya Alexander tanpa basa-basi. Dengan suara lantang, mama Max mencecar Martin, asisten pribadi putranya. "Kenapa kamu yang mengangkat ponselnya? Apa saat ini Max sedang meeting? Dia meeting di kantor atau di luar? Siang ini, aku ingin mengajaknya lunch bersama."Martin memandang Max untuk meminta jawaban. Max mengangguk lesu sambil memijat pangkal hidungnya."Nanti akan saya sampaikan, Nyonya Alexander," jawab Martin diplomatis."Satu lagi, Martin.""Ya Nyonya Alexander. Ada pesan apa lagi?""Suruh Max mengajak istri terbarunya. Aku ingin makan siang dengan mereka berdua. Oke, aku putus
"Martin, apa kamu sudah menghubungi pengawal yang mengawal Marigold?" tanya Max yang dengan cemas mencengkram tali sabuk pengaman yang melintang di dadanya. "Sudah. Dia sudah menunggu di lobi rumah sakit," jawab Martin sambil menginjak pedal gas mobil semakin dalam. "Lalu apa kamu juga sudah memberi kabar pada mamaku kalau aku tidak bisa datang untuk makan siang bersama?" Sambil mengusap tengkuknya, Martin menjawab, "Sudah." Max menoleh ke arah Martin saat mendengar nada jawaban asisten pribadinya yang ragu. "Mama bilang apa?" "Ck, kupingku sangat panas kena omel panjang lebar plus tinggi disertai volume," jawab Martin dengan menghela nafas panjang. "Untunglah mama tercintaku tak suka mengomeliku," imbuhnya tersenyum muram. Mama tercinta Martin sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Kemudian... Di lobi rumah sakit. Max membanting kasar pintu mobil ketika kendaraan yang dikemudikan Martin berhenti di depan lobi rumah sakit. Informasi tentang rumah sakit juga diperoleh dari pe
Srek.Manik mata Marigold refleks tertuju ke arah suara dari tirai hijau yang tersibak terbuka."Tuan Max? Sedang apa anda disini?" ucap Marigold gugup sambil menarik tangannya yang dibebat perban coklat dari genggaman tangan Nolan.Dua pria di depan Marigold memperhatikan sikapnya yang meremas kedua tangan di dada, dengan pose seolah sedang berdoa. Max merasa cemburu dengan pria lain yang menyentuh Marigold, sedangkan Nolan merasa kecewa karena Marigold cepat-cepat menarik tangannya akibat kepergok orang lain."Aku datang untuk menjemput istriku," jawab Max sedikit ketus sambil berjalan lalu berdiri di sisi Marigold yang kosong. Tangan Max langsung bertengger di bahu Marigold, istri ketujuhnya itu."Aku sudah selesai kok. Nina mungkin sudah selesai administrasi nya," jawab Marigold sedikit gugup karena merasa dirinya kepergok selingkuh dengan si mantan terindah."Marigold, apa kamu tidak mau mengenalkan kami berdua?" desak Nolan lembut seolah sedang menenangkan Marigold pada situasi
"Gi-gigolo?!" pekik Marigold tertahan dengan menutup mulutnya."Benar Marigold. Mantan kekasihmu ini adalah seorang gigolo, simpanan tante-tante kaya. Aku sudah menyelidikinya. Tidak mungkin salah," ucap Max sambil meremas kedua bahu Marigold untuk menenangkan istrinya dari serangan syok akibat pemberitahuan itu.Marigold menggeleng-gelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Max. "Gigolo?! Benarkah itu, Nolan? Benarkah kamu simpanan tante-tante? Aku..""Jangan dengarkan dia, Marigold," protes Nolan sambil berjalan mendekati Marigold, mengulurkan tangan untuk menyentuhnya."Berhenti! Jangan sentuh Marigold dengan tangan kotormu itu!" hardik Max geram dengan menangkis tangan pejantan lain yang ingin menyentuh miliknya.Nolan memandang Marigold dengan pandangan memelas. "Percayalah padaku, Marigold. Aku ini pria baik-baik, mana mungkin aku seorang gigolo? Kamu juga mengenalku dengan baik.""Aku tidak tau, Nolan. Aku tidak tau apakah aku mengenalmu dengan baik atau tidak,"
"Pastikan kunci pintu kamar dan jendelanya. Jangan sampai dia kabur."Manik mata Marigold mendelik tidak percaya ke arah suaminya. "Dasar penjahat! Sekarang anda mengurungku di istana penyihir itu?! Keterlaluan sekali."Max menghela nafas panjang mendengar Marigold yang uring-uringan di sebelahnya. Kepala Max selalu sakit jika harus berdebat panjang lebar dengan para istrinya.Sambil memijat keningnya, Max berkata dengan lembut, "Aku hanya tidak ingin kamu membuat ulah dengan menemui si mantan luknut itu, Marigold. Statusmu adalah istriku, jadi aku menginginkan kerjasamamu untuk jadi istri yang penurut. Aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu terkurung dan menderita di istanaku.""Penurut?! Baiklah, aku akan jadi istri penurut!" sembur Marigold kesal dengan mengibaskan tangannya yang diperban coklat. "Tapi anda tidak boleh mengurungku! Aku tidak akan betah terus-terusan berada di dalam kamar. Meskipun semua fasilitas yang anda sediakan itu sangat mewah, semuanya itu tidak berarti ba
"Martin?"Martin dan Nina menoleh ke arah datangnya panggilan itu. Seorang wanita cantik berdiri di dekat meja keduanya.Nina melirik pada Martin yang wajahnya perlahan berubah. "Dasar playboy, mata keranjang. Lihat bening sedikit, langsung jelalatan," omelnya sambil memperhatikan Martin yang tersenyum hangat pada wanita cantik itu. Senyum mempesona itu pun membuat Nina tertegun dan terpukau. Martin terlihat dua kali lebih tampan saat tersenyum."Halo Helen," sapa Martin seraya berdiri dari kursinya. Lalu manik matanya yang berbinar segera bergerak ke atas dan bawah untuk mengamati penampilan wanita bernama Helen itu dengan tatapan memuja. "Kamu terlihat sangat cantik, Helen," pujinya tulus, karena penampilan Helen memang sangat sempurna dan menawan malam ini. Gaun seksi berwarna coklat muda itu menempel indah bagaikan kulit kedua di tubuh Helen. Mata Martin bersinar melihat penampilan Helen yang nyaris seperti telanjang."Helen? Hmm.." bisik Nina seraya berpikir keras. Nama itu seper
Setelah Nina pergi ke toilet, Martin duduk menjauh dari Helen. Sikap tubuhnya yang merayu perlahan memudar, berubah menjadi dingin. Martin juga melepaskan genggaman tangannya dari Helen, lalu mengambil gelas anggur dan menyesapnya perlahan."Bagaimana Martin? Apa kamu mau pulang bersamaku?" tanya Helen sekali lagi. Ada perasaan kecewa ketika sikap Martin yang tiba-tiba berubah dalam sekejap, setelah gadis udik itu pergi dari meja makan. Apakah itu artinya dirinya sedang dimanfaatkan Martin hanya untuk membuat cemburu gadis itu? Sialan!Tuk."Maafkan aku, Helen sayang. Malam ini, aku tidak bisa memenuhi tawaran menggiurkan darimu," ucap Martin kalem dengan tersenyum dingin. "Mungkin lain hari. Kita bisa mencocokkan jadwal di lain waktu."Helen melirik ke arah perginya si gadis udik. Dengan memaksakan senyum, Helen bertanya, "Malam ini kamu dinner mewah dengan gadis itu. Apa.. kamu serius dengannya?""Bisa iya. Bisa tidak. Dan maaf, aku tidak mau membicarakan hal itu denganmu, Helen," j
Brak."Martha, apa yang terjadi?"Martin dan papanya menerjang masuk ke toilet wanita, takut terjadi sesuatu dengan Martha. Dan saat di dalam toilet itu, papa Martin segera menghampiri Martha untuk memastikan istrinya baik-baik saja, sedangkan Martin diam tertegun saat melihat Nina sedang berdiri berhadapan dengan Martha."Nina? Sedang apa kamu disini?" tanya Martin yang bergegas mendekati Nina yang tidak karuan ekspresinya. "Hei, kamu.. terlihat kurang sehat.""Aku baik-baik saja.""Martha, siapa dia? Kata pelayan, kamu bertengkar dengan gadis ini. Memangnya siapa dia?" cecar papa Martin bingung."Anu permisi," sela kikuk si pelayan wanita. "Bagaimana kalau permasalahan anda semua diselesaikan di luar toilet? Ada beberapa tamu yang ingin menggunakan toilet nya.""Oh maaf," ucap papa Martin dengan mengangguk sopan. "Baiklah, kami akan segera keluar. Ayo, Martha kita pergi.""Terima kasih untuk kerjasamanya," ucap pelayan itu sambil menundukkan kepalanya."Martin, sebaiknya aku pulang,