"Dua kali?! Apa.. maksudmu?" tanya Marigold sambil menyingkirkan kedua tangan Max yang menjepit wajahnya. "Kamu pernah menolongku... dua kali?"Max mengangguk. "Benar. Dua kali.""Oya?" Marigold memiringkan kepalanya, bingung. "Tapi aku tidak ingat pertolonganmu. Dimana lagi kamu pernah menolongku, selain datang sebagai pangeran untuk menyelamatkan si princess kodok di acara reuni mendadak tadi?"Dengan tergelak geli, Max kembali ke posisinya di kursi pengemudi. Mendengar Marigold mengumpamakan dirinya sebagai princess kodok. Dasar! Aneh-aneh saja."Apa masih ingat saat kamu berkelahi dengan pencuri di jalanan, lalu jatuh dan tidak sadarkan diri?" tanya Max sambil melipat tangan di dada.Hanya perlu sedetik untuk mengingat kejadian menyebalkan itu. Saat itu, Marigold ingat bahwa dirinya berusaha keras mempertahankan tas berharganya dari dua pencuri brengsek. Dan sialnya, tidak ada warga yang tergerak untuk menolongnya."Hm-hm. Tapi yang menolongku saat itu adalah Pak Umar, sopirmu kan
Kemudian.. Setelah percintaan panas berjilid-jilid serta mencoba berbagai gaya hingga seluruh tulang terasa remuk, sebuah dering ponsel membangunkan Max dan Marigold yang sedang terlelap karena kehabisan tenaga. Drrrt-drrrt-drrrt.. "Ponsel siapa itu?" tanya Max dengan suara serak, sambil menyalakan lampu di nakas ranjang hotel. Max melihat waktu di jam tangan Rolex yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sekarang hampir setengah dua belas malam. Max meregangkan tubuhnya dengan nikmat. Belum pernah dirinya merasa senyaman ini. Setelah menjalani hari panjang yang intim dan memuaskan itu, Max dan Marigold tertidur pulas di ranjang. Max tidak bisa menjauhkan tangannya dari tubuh lembut Marigold. Memeluk istri kecilnya ini serasa seperti pulang ke rumah, rasanya begitu nyaman dan enggan untuk beranjak menjauh. "Tak tahu," jawab Marigold menggumam pelan dengan mata tetap terpejam. Kepalanya semakin melesak ke bantal dan bergumam nyaman. "Kamu cepat angkat ponsel berisik itu. Hoam.
Keesokan harinya..."Marigold, apa suamimu akan baik-baik saja ditinggal di rumah bersama mama?" tanya papa Marigold sambil memarkirkan motornya di lahan parkir di pasar yang khusus menjual aneka bunga dan tanaman. "Papa kok jadi sedikit khawatir ya."Dengan acuh, Marigold mengibaskan tangannya. "Max perlu latihan mental supaya tahan banting. Jadi papaku sayang, sebaiknya anda jangan terlalu mencemaskan Max. Oke?" jawabnya enteng."Tapi..""Sudahlah, pa. Jangan bicarakan Max lagi. Sudah lama kita tidak berkencan. Ayo cepat. Kita perlu berburu bibit baru untuk kebun papa," ajak Marigold yang terlalu bersemangat sambil menggandeng lengan papanya memasuki gapura pasar bunga."Kamu yakin?" tanya papanya ragu. "Kamu kan tau sendiri kalau mamamu itu keras kepala, suka memaksa, dan banyak maunya. Tekadnya sekeras suaranya yang menggelegar. Papa takut terjadi sesuatu pada suamimu..""Pa," ucap Marigold seraya berdiri di depan papanya. "Max akan baik-baik saja. Jadi papa tenang saja. Max pasti
"Kami pulang," sapa Marigold yang langsung terdiam saat melihat suaminya dikelilingi para tante yang kepo."Oh kalian sudah pulang?" sapa mama Marigold yang segera berdiri, lalu menggandeng putrinya untuk duduk menempel pada Max, menantunya. "Duduk disini.""Apa disini.. sedang ada acara?" tanya Marigold bingung sambil memandang satu per satu wajah para tante, teman satu geng mamanya."Ah, bukan acara spesial, cuma acara kumpul-kumpul biasa," jawab enteng mamanya seraya mengibaskan tangannya. "Mereka bilang pingin ketemu sama menantu mama yang kaya dan tampan, makanya mereka minta kumpul-kumpulnya di rumah kita.""Apa?" Marigold terkejut mendengar pengakuan vulgar dari mamanya. "Kenapa mama tidak bilang padaku?" gerutunya sebal melihat kerumunan mendadak yang meresahkan ini. Ulah usil mama tercintanya ini pasti bertujuan untuk memamerkan menantu spesialnya pada grup arisannya. Ck, dasar!"Ck, kalau mama bilang dulu, kamu pasti tidak akan setuju," protes mamanya sambil memberikan cubit
Sementara itu di tempat lain.. Hatsyii-hastsyii-hastyii.. "Astaga, makin parah saja flu ku," keluh Martin sambil menggosok hidungnya yang tertutup masker hijau. "Ini pak obatnya," kata kasir di sebuah apotik mini di lantai dasar apartemen. "Totalnya sekian, pak." "Ini uangnya. Terima kasih." Martin membayar, lalu meraih dua tablet obat flu. Hatsyii-hastsyii-hastyii.. "Sialan! Sebenarnya siapa sih yang membicarakan aku? Kenapa aku bisa tiba-tiba flu dan sakit kepala?" omel sebal Martin sambil berjalan dengan langkah terseret-seret, kembali ke unit apartemennya. Itu hanya kekesalan Martin yang terus menerus bersin tanpa henti. Martin berpikir pasti ada orang yang sedang membicarakan dirinya di belakangnya. Haaah... sebenarnya bersin dan hidung tersumbat ini adalah salahnya sendiri yang bekerja lembur beberapa hari terakhir, tanpa istirahat dan makan yang cukup. Alhasil kondisi Martin kini drop. Dimulai dari hidung tersumbat, kepala semakin berat, dan badan pun meriang panas dingi
"Kamu.. sebenarnya ada urusan apa mencariku?""Eng itu.." Tiba-tiba Nina menjadi gugup. Jemarinya terlihat gemetar saat menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. "Aku datang kemari karena..""Ya? Karena apa?" tanya Martin sambil mengambil segelas air di atas meja."Apa.. apa boleh aku tinggal disini untuk beberapa waktu?" tanya Nina dengan suara mencicit."Uhuk-uhuk-uhuk.." Martin tersedak air yang sedang diminumnya. "Ti-tinggal disini? Maksudmu tinggal di apartemenku?"Nina mengangguk ragu. "Apa.. boleh?"Martin meletakkan gelas yang dipegangnya ke atas meja. Dirinya tertegun mendengar permintaan Nina yang rupanya serius. "Kenapa tiba-tiba? Meskipun kita sedang mencoba hubungan serius, tapi untuk tinggal bersama.. itu belum terpikirkan olehku."Nina menghela nafas lelah. Sambil meraih bantal sofa di sebelahnya lalu dipeluknya, Nina berkata dengan lirih. "Maafkan aku. Tapi, aku benar-benar tidak punya pilihan lain selama beberapa hari ke depan ini."Martin mengabaikan nyeri di k
Ciuman demi ciuman terus berlanjut dan semakin menuntut. Nina ingin menolak rayuan Martin, namun tubuhnya memiliki pikiran sendiri. Tubuhnya melengkung nikmat, merespon kecupan demi kecupan Martin di lehernya. Sentuhan samar pada dua gundukan lembutnya menghantarkan sengatan listrik ribuan watt. Dengan cepat, gairah Nina melesat tak terkendali. Nina memejamkan matanya erat-erat menikmati sensasi hasrat yang begitu memabukkan.Kemudian..Hatsyii-hastsyii-hastyii.."Sial!" gerutu kesal Martin yang sontak menjauhkan diri dari Nina. Sedangkan Nina.. tubuhnya sontak membeku, kehilangan kehangatan tubuh Martin yang tiba-tiba tiba-tiba menjauh karena terserang bersin hebat. Dengan otak yang masih berkabut gairah, perlahan Nina bangkit dan duduk kikuk di pinggir sofa sambil merapikan pakaiannya. Nina tidak berani memandang ke arah Martin yang sedang mengusap hidungnya yang memerah dengan tisu.Hatsyii-hastsyii-hastyii.."Maafkan aku, Nina," sesal Martin seraya mengambil beberapa tisu di meja,
Blam.Suasana sangat hening ketika pintu apartemen Martin tertutup rapat.Nafas Nina yang terengah-engah membuat Martin menolehkan kepalanya. Dilihatnya bahu Nina berguncang hebat saat gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Nina menangis terisak-isak.Martin meremas gemas rambutnya seraya mengumpat tanpa suara. "Brengsek!"Hari ini banyak sekali kejadian drama yang menguras emosi. Mulai dari flu yang menjengkelkan. Dilanjutkan dengan kemunculan dua wanita cantik yang tak terduga di apartemennya, yang menambah kepala semakin sakit. Mereka adalah Helen, rekan kerja Martin, dan Nina. Adu mulut kedua wanita cantik itu juga menambah semakin runyam situasi. Tidak ketinggalan adegan bermesraan yang tidak direncanakan dengan Nina di sofa, yang akhirnya mengharuskan dirinya mengguyur kepala dengan air dingin untuk meredakan gairahnya.Lalu klimaks dari semuanya itu.. datanglah sepasang merpati tak diundang, yaitu papa kandung dan ibu tirinya, yang dengan seenaknya menerobos masuk ke