Share

Bab 2

"Loh, jawaban kamu kenapa begitu, Dit? Yang dikatakan Ibu itu benar, loh. Kamu harus tau, Dit, jika surganya istri ada pada suami. Jadi, apapun yang suami pinta, istri harus menurutinya. Dan kamu tahu kan, kalau surganya suami ada pada Ibunya? Maka dari itu, apapun yang dikatakan Ibu, aku selalu setuju. Dan sebagai calon istri, kamu juga harus menuruti Ibu. Karena-"

"Karena kalau mau ke surga, harus melalui ibumu dulu! Begitu, kan?"

Aku langsung saja memotong ucapan Mas Adi. Enak saja Ibunya yang mengatur urusan rumah tangga anaknya. Mau sampai kapan berada di ketiak Ibunya? 

Pantas lah ditinggalkan istrinya. Bukan karena istri malas mengurus anak, tapi karena mertua terlalu ikut campur, dan suami yang tidak pernah mau tahu tentang istri. 

"Dit, yang sopan, dong! Ada Ibu ini loh," tegurnya seraya melirik sang Ibu tak enak. 

"Mataku juga tidak buta, Mas. Aku tau kalau di sini ada Ibumu," sahutku kesal.

"Kalau sudah tau di sini ada, Ibu. Kamu bisa kan, berbicara yang sopan padaku? Aku ini adalah anaknya. Ibu tidak akan suka pada wanita yang tidak menghargaiku di hadapannya," ucap Mas Adi yang sudah berpindah di sampingku. 

Peduli hantu! Terserah Ibunya mau suka atau tidak. Aku tidak peduli lagi. 

"Ekhem! Istri itu, posisinya jauh dibawah suami. Jadi, sebagai wanita yang akan menjadi istri anakku, kamu tidak boleh meninggikan suara padanya!" Calon Ibu mertua menatapku tidak suka. 

"Bu, handuknya mana?" tanya seseorang dari arah belakang.

Suara laki-laki. Tapi entah siapa. 

"Ambil sendiri, bisa kan, Pak? Masih punya tangan dan kaki, kan?" teriak Ibu setelah menoleh ke belakang.

Tuh, kan. Ternyata Papanya Mas Adi. 

"Tadi, katanya sebagai istri harus sopan pada suami," sindirku seraya melengos. 

Ibu tampak gelagapan. Tapi sedetik kemudian, dia kembali santai. 

"Itu bukan urusanmu. Sebagai menantu, kau juga tidak boleh ikut campur masalah rumah tangga mertuamu!" sungut Ibu. 

Huh, manusia paling egois di dunia ini. Sesuka hati mengatur orang lain. Tapi dirinya sendiri tak punya aturan. Suaminya boleh dibentak-bentak olehnya. Giliran sang anak, tidak boleh jika sang istri meninggikan suaranya.

Makan hati, kalau sampai aku jadi istri Mas Adi. 

"Ya, ya. Aku tau itu," jawabku, malas. 

"Dan mohon maaf, Mas. Saya sudah tidak berminat menjadi istrimu. Cari lah wanita yang mau menjadi babumu!" sambungku, pada lelaki yang selama tiga bulan ini selalu perhatian padaku. 

"Kenapa, Dit? Apa karena persyaratan yang diberikan oleh Ibu?" tanya Adi panik.

"Huh. Baru persyaratan begitu saja kau tak sanggup. Seharusnya kau itu bersyukur. Masih untung ada laki-laki yang mau sama kau. Apalagi dengan status janda-mu itu! Kamu pikir, ada seorang Ibu yang rela anaknya menikah dengan janda? Tidak, tidak akan ada yang bisa rela. Apalagi janda anak dua, yang bahkan nafkah anaknya saja harus dipenuhi sendiri. Padahal mantan suami masih hidup. Hanya aku yang mau menerima janda sepertimu menjadi calon mantu!" Ibu Mas Adi bersedekap seraya menatapku tajam. 

"Hello, Bu! Anak Ibu juga duda. Bukan lajang ting-ting. Seorang Ibu juga tidak akan rela jika anaknya menikah dengan duda. Apalagi duda yang memiliki banyak anak. Belum lagi rumah tangga di setir sama ibunya. Bersyukur, mantan istri Mas Adi bisa bertahan sampai memiliki empat anak. Jika aku jadi dia, mungkin sudah langsung kurac*n punya Ibu mertua sepertimu!"

"Dita! Jangan kurang ajar pada Ibu. Nanti kita juga yang susah karena tidak mendapat restunya," ucap Mas Adi ketakutan. 

Terlalu percaya diri Mas Adi ini. Mungkin dia berpikir, aku masih meminta restu pada Ibunya. Padahal, aku sudah tidak lagi berniat menjadi menantu di keluarga ini. 

"Sudah, Nak. Biarkan saja dia mau berkata apa. Dia juga yang rugi jika tidak jadi menikah denganmu." Ibu Mas Adi tersenyum mengejek. 

Apa? Aku rugi? Nggak salah tuh. Aku akan pulang setelah kuhancurkan mental Ibunya mas Adi.

Akan kubuat dia sesak napas, serta hidung tersumbat. 

"Asal kau tau, ya, Dita. Anak saya ini, sudah mapan. Rumah sudah punya, besar pula, dan isi rumah juga sudah lengkap. Pekerjaan Adit juga sudah enak. Kurang apalagi coba dia? Belum tentu kamu mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari dia, mau dari segi tampang atau pun ekonomi. Jadi, jangan sembarangan kau, dengan saya."

"Oke, baiklah, Bu. Jika saya menyanggupi semua peraturan Ibu. Apakah Ibu akan menyanggupi berapapun mahar serta uang hantaran yang saya pinta?" tanyaku dengan nada kembali sopan. 

"Sanggup lah. Berapapun yang kamu pinta, akan saya sanggupin. Asalkan kau meninggalkan kedua anakmu, dan kau membantu suamimu memenuhi kebutuhan sehari-hari," jawabnya dengan sangat yakin. 

"Baiklah. Saya meminta mahar tiga puluh mayam emas, uang hantaran sepuluh milyar, serta rumah, dan kebun atas nama anak saya. Ibu sanggup, kan?" tanyaku santai.

Ibu mertua membulatkan matanya dengan sempurna, serta mulut yang lupa ia katupkan. 

Sementara Mas Adi menatapku tajam. 

"Kenapa? Ada yang salah?" tanyaku pada mereka berdua. "Saya rasa, semua itu sebanding dengan saya yang akan jadi milik kalian seutuhnya. Anggap saja, itu harga yang pas untuk mendapatkan saya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status