"Loh, jawaban kamu kenapa begitu, Dit? Yang dikatakan Ibu itu benar, loh. Kamu harus tau, Dit, jika surganya istri ada pada suami. Jadi, apapun yang suami pinta, istri harus menurutinya. Dan kamu tahu kan, kalau surganya suami ada pada Ibunya? Maka dari itu, apapun yang dikatakan Ibu, aku selalu setuju. Dan sebagai calon istri, kamu juga harus menuruti Ibu. Karena-"
"Karena kalau mau ke surga, harus melalui ibumu dulu! Begitu, kan?"
Aku langsung saja memotong ucapan Mas Adi. Enak saja Ibunya yang mengatur urusan rumah tangga anaknya. Mau sampai kapan berada di ketiak Ibunya?
Pantas lah ditinggalkan istrinya. Bukan karena istri malas mengurus anak, tapi karena mertua terlalu ikut campur, dan suami yang tidak pernah mau tahu tentang istri.
"Dit, yang sopan, dong! Ada Ibu ini loh," tegurnya seraya melirik sang Ibu tak enak.
"Mataku juga tidak buta, Mas. Aku tau kalau di sini ada Ibumu," sahutku kesal.
"Kalau sudah tau di sini ada, Ibu. Kamu bisa kan, berbicara yang sopan padaku? Aku ini adalah anaknya. Ibu tidak akan suka pada wanita yang tidak menghargaiku di hadapannya," ucap Mas Adi yang sudah berpindah di sampingku.
Peduli hantu! Terserah Ibunya mau suka atau tidak. Aku tidak peduli lagi.
"Ekhem! Istri itu, posisinya jauh dibawah suami. Jadi, sebagai wanita yang akan menjadi istri anakku, kamu tidak boleh meninggikan suara padanya!" Calon Ibu mertua menatapku tidak suka.
"Bu, handuknya mana?" tanya seseorang dari arah belakang.
Suara laki-laki. Tapi entah siapa.
"Ambil sendiri, bisa kan, Pak? Masih punya tangan dan kaki, kan?" teriak Ibu setelah menoleh ke belakang.
Tuh, kan. Ternyata Papanya Mas Adi.
"Tadi, katanya sebagai istri harus sopan pada suami," sindirku seraya melengos.
Ibu tampak gelagapan. Tapi sedetik kemudian, dia kembali santai.
"Itu bukan urusanmu. Sebagai menantu, kau juga tidak boleh ikut campur masalah rumah tangga mertuamu!" sungut Ibu.
Huh, manusia paling egois di dunia ini. Sesuka hati mengatur orang lain. Tapi dirinya sendiri tak punya aturan. Suaminya boleh dibentak-bentak olehnya. Giliran sang anak, tidak boleh jika sang istri meninggikan suaranya.
Makan hati, kalau sampai aku jadi istri Mas Adi.
"Ya, ya. Aku tau itu," jawabku, malas.
"Dan mohon maaf, Mas. Saya sudah tidak berminat menjadi istrimu. Cari lah wanita yang mau menjadi babumu!" sambungku, pada lelaki yang selama tiga bulan ini selalu perhatian padaku.
"Kenapa, Dit? Apa karena persyaratan yang diberikan oleh Ibu?" tanya Adi panik.
"Huh. Baru persyaratan begitu saja kau tak sanggup. Seharusnya kau itu bersyukur. Masih untung ada laki-laki yang mau sama kau. Apalagi dengan status janda-mu itu! Kamu pikir, ada seorang Ibu yang rela anaknya menikah dengan janda? Tidak, tidak akan ada yang bisa rela. Apalagi janda anak dua, yang bahkan nafkah anaknya saja harus dipenuhi sendiri. Padahal mantan suami masih hidup. Hanya aku yang mau menerima janda sepertimu menjadi calon mantu!" Ibu Mas Adi bersedekap seraya menatapku tajam.
"Hello, Bu! Anak Ibu juga duda. Bukan lajang ting-ting. Seorang Ibu juga tidak akan rela jika anaknya menikah dengan duda. Apalagi duda yang memiliki banyak anak. Belum lagi rumah tangga di setir sama ibunya. Bersyukur, mantan istri Mas Adi bisa bertahan sampai memiliki empat anak. Jika aku jadi dia, mungkin sudah langsung kurac*n punya Ibu mertua sepertimu!"
"Dita! Jangan kurang ajar pada Ibu. Nanti kita juga yang susah karena tidak mendapat restunya," ucap Mas Adi ketakutan.
Terlalu percaya diri Mas Adi ini. Mungkin dia berpikir, aku masih meminta restu pada Ibunya. Padahal, aku sudah tidak lagi berniat menjadi menantu di keluarga ini.
"Sudah, Nak. Biarkan saja dia mau berkata apa. Dia juga yang rugi jika tidak jadi menikah denganmu." Ibu Mas Adi tersenyum mengejek.
Apa? Aku rugi? Nggak salah tuh. Aku akan pulang setelah kuhancurkan mental Ibunya mas Adi.
Akan kubuat dia sesak napas, serta hidung tersumbat.
"Asal kau tau, ya, Dita. Anak saya ini, sudah mapan. Rumah sudah punya, besar pula, dan isi rumah juga sudah lengkap. Pekerjaan Adit juga sudah enak. Kurang apalagi coba dia? Belum tentu kamu mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari dia, mau dari segi tampang atau pun ekonomi. Jadi, jangan sembarangan kau, dengan saya."
"Oke, baiklah, Bu. Jika saya menyanggupi semua peraturan Ibu. Apakah Ibu akan menyanggupi berapapun mahar serta uang hantaran yang saya pinta?" tanyaku dengan nada kembali sopan.
"Sanggup lah. Berapapun yang kamu pinta, akan saya sanggupin. Asalkan kau meninggalkan kedua anakmu, dan kau membantu suamimu memenuhi kebutuhan sehari-hari," jawabnya dengan sangat yakin.
"Baiklah. Saya meminta mahar tiga puluh mayam emas, uang hantaran sepuluh milyar, serta rumah, dan kebun atas nama anak saya. Ibu sanggup, kan?" tanyaku santai.
Ibu mertua membulatkan matanya dengan sempurna, serta mulut yang lupa ia katupkan.
Sementara Mas Adi menatapku tajam.
"Kenapa? Ada yang salah?" tanyaku pada mereka berdua. "Saya rasa, semua itu sebanding dengan saya yang akan jadi milik kalian seutuhnya. Anggap saja, itu harga yang pas untuk mendapatkan saya."
"Heh, bocah! Aku belum menikah. Kenpa kamu bilang sudah banyak anak? Tadi, kan, sudah Paman belikan jajan. Kenapa sekarang nggak bisa kerja sama?" tanya Pandu kesal."Kalau kakek-kakek, kan, anaknya sudah banyak. Buktinya aja, kakek Bapak anaknya, juga udah banyak," jelas Dara dengan sangat polos. Kakek Bapak adalah sebutan untuk Bapakku. Dia selalu memanggilnya dengan kakek Bapak karena terlalu banyak kakeknya. Untuk membedakan, dia selalu punya cara sendiri untuk memanggilnya. "Huuhhh. Susah memang ngejelaskan sama bocah ingusan begini!" Pandu mengacak-acak rambutnya sampai berantakan. Frustasi sekali dia gara-gara tak jadi berkenalan dengan Afifah. Hmmm, dasar lelaki! Lihat yang kinclong sedikit, aja. Langsung hijau matanya. "Kek, lihat tuh rambutnya, kayak singa bangun tidur!" Dara menunjuk kepala Pandu dan membuat lelaki itu menatap Dara dengan tajam. Kenapa sekarang ada tom and jerry di sini. Dara adalah penggantiku yang suka adu mulut dengan pandu. Hahahaha Ternyata memang
"Nggak bisa, Dit! Aku nggak mau dipanggil kakek. Aku masih muda, masih perjaka ting-ting pula. Dengar ya, anak-anak. Kalian harus panggil saya Paman Pandu. Nanti, Paman kasih uang untuk beli jajan." Pandu merayu kedua anakku yang masih berdiri sambil bersedekap tangan di teras. "Anda mau nyuap kami? Nggak ingat dosa, tah? Maaf, ya, Kek. Aku tidak mau makan uang haram," ucap Dara tegas. Gadisku satu ini. Apa yang diajarkan oleh gurunya, selalu meresap di otaknya. Dia akan selalu menerapkan apa yang menurut gurunya baik. Dia selalu patuh bahkan kadang mempraktikkan apa saja yang sudah diajarkan gurunya. "Ini bukan uang haram sayang. Ini uang halal. Yakin deh sama Paman," ucap Pandu meyakinkan Dara."Suap itu hukumnya haram. Jadi itu uang haram. Lagian, udah cocok kok di panggil Kakek, tuh rambutnya sudah banyak yang putih!" Dara menahan tawanya. Ia menunjuk ke arah kepala Pandu. Lelaki dengan postur tinggi tegap itu langsung memegangi kepalanya. Ingin kacahan, tapi tak. ada kaca. "
Pov Dita"Apaan sih, kamu bekap-bekap mulutku!" gerutu Pandu setelah berhasil melepaskan tanganku dari mulutnya. Aku sengaja membekap mulutnya agar dia tidak menjawab pertanyaan Mas Adi. Biarkan saja dia semakin kebakaran mendengar jawabanku yang mengatakan jika Pandu adalah kekasihku. Aku tau dia sangat marah padaku saat melihat aku berboncengan dengan laki-laki, makanya dia sampai berani mengataiku gatal.Dia juga pasti masih merasa cemburu melihatku jalan dengan lelaki lain, sampai-sampai dia kehilangan fokus dan nyebur ke parit. Untung saja bukan sungai. Kalau sungai, kurasa sudah hilang dia terbawa arus. Mas Adi belum tau jika aku memiliki Paman yang usianya masih sangat muda. Aku belum mengenalkan padanya semua anggota saudaraku. Yang dia tau hanyalah Bapak dan Ibu."Elah! Cuma gitu doang marah!" Aku memutar bola mata malas seraya nersedekap. Pandu sudah menaiki sepeda motornya sementara aku masih setia berdiri di sampingnya. "Kamu pikir, nggak engap tu tangan juga menutup
Pov Adi"Dasar, gatal!" teriakku pada Dita yang sedang dibonceng oleh seorang laki-laki. Dasar, murahan sekali dia! Baru saja lepas dariku, sudah dapat pengganti.Ternyata, dia menolakku karena sudah mendapatkan penggangiku. Awas, saja kau Dita! Tunggu karma untukmu! 'GRRUUSSAAKK!'Karena terlalu fokus melihat Dita bersama kekasihnya, aku sampai masuk parit seperti ini. Air di dalam parit lumayan dalam. Jika diukur, mungkin air tersebut sedalam betisborang dewasa. "Bangs*t!" Makiku, saat kaki ini terasa terjepit sepeda motor. Ini semua gara-gara Dita. Untuk apa coba dia bertemu denganku di jalan ini? Pasti dia sengaja melewati jalan ini karena ingin membuatku cemburu. Dia ingin memamerkan kekasih barunya itu. Aku kembali menoleh ke belakang untuk melihat Dita. Ternyata dia berhenti, dan terlihat sedang berdebat dengan lelaki itu. Huh, malas sekali melihat mereka berdua. Aku membuang muka, dan tak lagi peduli dengan mereka berdua. Aku mencoba berdiri tapi, gagal dikarenakan posis
"Iya, Paman. Dita tau. Makanya Dita tidak mau asal-asalan memilih pasangan lagi. Takutnya malah menjanda dua kali. Biarpun status Dita janda, Dita harus selektif memilih pasangan. Biarlah lama prosesnya. Yang terpenting, Dita tidak akan menjadi janda lagi." Aku mengucapkan isi hatiku yang sudah lama terpendam. Aku tidak mau terus menerus dipaksa menikah oleh Paman. Apalagi pilihan paman tidaklah sesuai dengan keinginanku. Paman membuang napas kasar. Aku tau dia sedikit kecewa denganku. Tapi aku harus bagaimana? Aku benar-benar tidak bisa menerima pilihanhya, yang menurutku tidak sesuai dengan pilihanku. Aku benar-benar tidak mau mendapatkan suami yang hanya bermalas-malasan, dan hanya mau menerimaku saja. Aku inginnya dia juga bisa menerima anakku, dan dia juga rajin bekerja.Mungkin bagi sebagian orang, keinginanku ini terlalu berlebihan. Mengingat statusku sebagai janda. Tapi, menurutku, saat kita sudah menjadi janda, maka kita harus pintar-pintar memilih pasangan. Jangan sembar
Pandu tertawa setelah Luki pergi. Dia sampai memegangi perutnya. "Ada yang lucu?" tanyaku sewot."Ahm. Nggak ada," jawabnya seraya menahan tawanya. "Senang sekali ya, kamu melihatku menyedihkan begini!" sungutku. "Siapa yang senang? Jangan su'udzon, kamu itu!" sahutnya seraya tersenyum. Senyum yang membuatku semakin jengkel. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu, dia masih saja menjengkelkan."Hiish!" Aku menyandarkan tubuhku ke sandaran sofa. "Jangan marah-marah, nanti cepat tua!" Pandu menatapku sambil mengulum senyum. "Memang sudah tua. Puas kamu!""Kamu itu, sama Pamannya kok galak banget. Kuwalat nanti kamu sama orang tua!"Awas saja. Tunggu pembalasan dariku. Aku tau, dia sangat suka melihatku terlihat menyedihkan begini. Dia itu, suka banget menggangguku dari dulu. Bahkan dia pernah berpura-pura menjadi Abang yang galak saat ada teman lelakiku yang datang ke rumah ingin PDKT. Dia akan memarahi lelaki itu habis-habisan. Ceramah panjang lebar juga ia lontarkan. Yang katanya