Gunawan melanjutkan langkahnya menuju kamar. Dia berusaha untuk tak menghiraukan perkataan bu Ika yang begitu menyakitkan untuknya.
'Astaghfirullahalazim,' ucap Gunawan dalam hati.Gunawan segera berpakaian dan keluar dari kamar.Meliha Gunawan keluar dari kamar, Anggun segera bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri lelaki itu."Kita makan sekarang, Mas!" ajak Anggun.Gunawan tersenyum dan mengangguk. Dia lantas mengikuti langkah sang istri ke ruang makan. Lagi dan lagi Gunawan mengucapkan syukur dalam hati. Sudah lama sekali sang istri tak pernah melayani dia seperti ini."Mau pakai lauk apa, Mas?" Anggun menyendokkan nasi sembari bertanya pada Gunawan."Pakai tahu sama tempe aja. Kuli bangunan harus tahu diri." Bu Ika tiba-tiba menyela obrolan mereka berdua."Apaan sih, Bu. Biarin lah mas Gunawan makan pakai lauk yang lain. Ini juga sebagai bentuk permintaan maafku sama mas Gunawan," ucap AnggunGunawan berjalan kembali menuju gudang. Dia tak ingin rasa curiga dan penasaran menuntunnya melakukan sesuatu dengan gegabah. 'Lebih baik aku tak usah ikut campur. Biarlah mereka yang menanggung akibatnya sendiri,' ucap Gunawan dalam hati. Langkahnya terus menjauh dari ruangan itu. Dia berjalan menuju gudang dan segera mengambil apa yang temannya tadi minta. Setelah itu dia bergegas menuju tempat kerjanya lagi. "Lama amat, Gun? Kemana aja sih!" Salah seorang temannya menegur Gunawan yang terlalu lama di gudang. "Maaf tadi aku kebelet. Jadi kabur ke toilet dulu," jawab Gunawan. Temannya itu hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Gunawan. Dia kemudian melanjutkan lagi pekerjaannya tanpa banyak bertanya pada lelaki itu. Sementara itu, bu Ika mulai mencurigai perubahan sikap Anggun. Selama ini anaknya itu selalu menuruti kemauannya. Tapi akhir-akhir ini Anggun mulai membantah perkataan bu Ika. 'Ini nggak bisa di
Gunawan menatap heran ke arah sang istri yang tampak kebingungan dan gugup. "Kenapa kamu gugup begitu? Apa benar tadi kamu ke proyek?" Gunawan mengulangi pertanyaannya sembari tetap menatap istrinya itu. "Eng-enggak kok. Aku dari tadi di rumah aja. Aku nggak ke mana-mana," jawab Anggun. Nada suaranya terdengar bergetar. Menandakan dia sedang dilanda kegugupan yang luar biasa. Gunawan tak begitu saja memercayai ucapan Anggun. Dia masih saja mengajukan pertanyaan yang membuat sang istri menjadi berang. "Kamu nggak percaya sama aku, Mas? Kamu curiga sama aku?" ujar Anggun. Suaranya sedikit meninggi karena tuduhan yang dilayangkan oleh suaminya itu. Matanya mulai berkaca-kaca saat sang suami menuduhnya seperti itu."Bukan gitu. Aku cuman nanya aja. Soalnya tadi aku—""Sama aja, Mas. Dengan kamu nanya kayak gitu, tandanya kamu nggak percaya sama aku!" potong Anggun cepat. Anggun membanting sendoknya k
Gunawan terpaku di tempatnya setelah mendengar kabar buruk hari ini. Dirinya harus menelan pil pahit untuk kedua kalinya. "Kamu saya pecat!"Ucapan sadis itu kembali terngiang-ngiang di telinganya. Hatinya seolah hancur dan remuk setelah mendengar kabar itu. "Saya tidak butuh pekerja yang pemalas seperti kamu!" Kalimat yang menjadi jawaban pak Adi ketika Gunawan menanyakan alasan beliau memecat dirinya. "Saya tidak butuh pekerja yang bisanya hanya tidur dan mengganggu kesenangan orang lain," ucapnya lagi. Gunawan menyugar rambutnya dengan kasar. Dadanya terasa sesak kala mengingat semua itu. Di saat sang istri sudah mulai bisa menerima dirinya kembali, saat itulah Allah menguji kesabarannya lagi. Sebuah tepukan halus membuyarkan lamunan Gunawan. Lelaki itu mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang menepuknya. "Sabar ya, Gun! Pak Adi memang agak aneh akhir-akhir ini," ucap salah seorang temannya. "Iy
Gunawan terus melangkah pergi. Hatinya yang hancur karena dipecat dari pekerjaannya, semakin hancur saja sekarang. Dia tak menyangka jika sang istri akan mengusirnya dari rumah itu. 'Sekarang aku harus ke mana? Aku harus berbuat apa? Astaghfirullahalazim!' ucap Gunawan dalam hati. Tanpa terasa langkah kaki Gunawan telah sampai di rumah saudara sepupunya. Dia tak langsung mengetuk pintu rumah itu. Dia hanya berdiri mematung dan menatap rumah itu. 'Haruskah aku mengadu pada mereka? Haruskah aku menceritakan semua masalahku padanya?' batin Gunawan. Di saat Gunawan tengah dilanda kebimbangan, seorang pria paruh baya tampak keluar dari dalam rumah itu. Pria itu terkejut saat melihat Gunawan berdiri di depan rumahnya. Begitu pula dengan Gunawan yang terkejut saat melihat pria itu. Gunawan mencoba tersenyum setelah dapat menguasai rasa terkejutnya. Dia lantas menghampiri pria paruh baya itu dan mencium punggung tangannya. "Assalamu'alaikum, Pakde!" ucap Gunawan. "Wa'alaikumusalam," jaw
Gunawan berdiri dengan kikuk. Dia tak tahu harus berbuat apa sekarang. Posisinya menjadi serba salah. Dia ingin pergi dari tempat itu tanpa berpamitan namun sudut hatinya menolak itu. Terasa tidak sopan saat pergi tanpa berpamitan pada sang tuan rumah. Tapi… "Sorry ya, Gun! Bukannya aku nggak punya rasa simpati sama kamu, tapi kamu tahu sendiri kan kalau keluargaku sedang krisis keuangan," ucap seorang wanita yang ternyata adalah istri Samsul.Gunawan hanya manggut-manggut mendengar ucapan wanita betubuh sedang itu. Dalam hati dia merasa tak nyaman saat mendengar ucapan dari istri sahabatnya itu. "Jadi sebaiknya kamu pergi dari sini. Karena aku dan mas Samsul nggak bisa menerima pengangguran macam kamu. Apalagi lelaki yang doyan selingkuh seperti kamu," lanjutnya. Gunawan terkejut mendengar ucapan wanita itu. Dia tak menyangka jika ada orang yang mengatakan hal itu. Padahal dia sama sekali tak pernah berkhianat pada Anggun. Justru Anggun yang m
Gunawan tampak terpaku di tempatnya. Raut wajahnya berubah pucat kala mendengar suara di seberang telepon. Tiba-tiba tubuh Gunawan merosot ke lantai. Paman Kosim yang melihat itu segera menghampiri Gunawan. Pria bertubuh kurus itu membantu keponakannya itu untuk berdiri. "Siapa yang telepon, Gun?" tanya paman Kosim. Gunawan tak lantas menjawab pertanyaan pamannya itu. Dia hanya diam dan menatap kosong ke sudut ruangan. "Mas Gunawan kenapa, Pak?" tanya Mira yang baru saja kembali dari warung. Paman Kosim menggeleng. "Kamu bantuin ibu dulu ya, Nduk! Bapak mau menemani masku dulu," titah paman Kosim. Mira mengangguk paham. Tanpa banyak bicara, gadis manis itu segera berlalu dari ruang tamu. Menyusul sang ibu yang sedang mencuci pakaian di belakang. "Ada apa ya sama mas Gunawan? Ini pasti karena perempuan nggak tahu diri itu deh. Iya, pasti dia penyebabnya." Mira bergumam sembari mengepalkan kedua tangannya. "Kalau benar mas Gun berubah karena tuh perempuan, awas aja dia. Aku biki
Sejak pagi, Gunawan telah bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Anggun. Dalam hati dia berharap Anggun mau menerimanya kembali. Dia berharap, Anggun mau mencabut kata-katanya di telepon kemarin. "Buat apa sih ke sana? Buang-buang waktu aja," gerutu bi Darni. "Kita kan sudah bahas ini kemarin, Bu. Kita ke sana untuk mencari tahu sebuah kebenaran," jawab pak Kosim. Bi Darni mencebikkan bibirnya. Perempuan paruh baya itu nampak malas sekali untuk ikut ke rumah mertua Gunawan. Bukan apa-apa, semenjak menjadi besan di keluarga ini ibunda Anggun selalu bersikap sombong dan angkuh. "Sebagai pengganti orang tua untuk Gunawan, kita harus bisa menempatkan diri. Jangan sampai Gunawan kecewa dan merasa tidak diperhatikan," ucap pak Kosim. "Paman dan Bibi sudah siap?" Gunawan menyela obrolan kedua orang tua itu. Bi Darni memaksakan senyumnya. Dia lanta menganggukkan kepalanya. "Kita berangkat selarang?" ujar pak Kosim.
Kondisi Gunawan berangsur-angsur membaik. Dia sudah bisa melakukan aktifitas seperti biasanya. Hari ini dia berencana untuk memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan dan pabrik yang ada di kota tempat tinggalnya. "Kamu sudah sehat, Le?" tanya bi Darni. "Alhamdulillah, Bi. Aku sudah merasa baikan." Gunawan menjawab pertanyaan bibinya dengan senyum terkembang. Bi Darni menghela napas lega saat mendengar jawaban Gunawan. "Alhamdulillah kalau kamu sudah sehat. Sekarang kamu mau ke mana?" tanya bi Darni. "Aku mau mencari pekerjaan, Bi. Enggak enak juga kalau diam di rumah terus," jawab Gunawan. Bi Darni tersenyum sekali lagi mendengar jawaban Gunawan. "Santai saja dulu, Gun. Lagian kan sekarang kamu sudah single lagi. Enggak ada yang menuntut nafkah dari kamu," ucap bi Darni. Mendengar ucapan bibinya, Gunawan menghela napas panjang. Tiba-tiba rasa sesak menyerang dadanya dan membuat dia susah untuk bernapas.