Share

Terluka

Aku membuka mata, ketika merasakan sakit di kaki. Ruangan ini sangat bau, aroma yang keluar dari berbagai obat-obatan membuatku mual.

'Emil!' gumamku.

Kulihat Mas Yunus duduk di sisiku, memijat kakiku dengan kasih sayang. Tapi, entah kenapa rasanya hatiku tetap terasa sakit, bahkan tidak hilang secuil pun. Teringat Emil, aku langsung duduk dan berusaha beringsut dari tidurku. Mas Yunus yang menyadari pergerakanku, bangun dari tidurnya yang seperti ayam.

"Dek, mau apa?" tanyanya.

Rasanya ingin menangis sejadi-jadinya namun, aku harus menahan agar tidak terlihat lemah di depan Mas yunus. Tanpa kata, aku berusaha turun dari ranjang dan melepaskan infus yang ada di tangan.

"Dek, jangan gini! Dengarkan penjelasan mas, dulu!" Mas Yunus berusaha berbincang padaku namun, aku tetap abai.

Aku mencari di mana Emil berada, dan masih menerka apa yang terjadi.

"Sus, untuk ruang informasi ada di mana?" tanyaku pada suster yang kebetulan sedang lewat.

Setelah di berikan arahan, aku langsung bergegas menuju ke ruang informasi. Terpikirkan bagaimana keadaan jagoanku saat ini, diriku saja merasakan sakit di sekujur tubuh, lalu Emil bagaimana?

"Dek!' Mas Yunus memanggilku.

Aku mempercepat langkahku, enggan bersamanya yang tidak merasa bersalah akan perbuatannya. Bahkan masih saja dia berkelit disaat terakhir namun, kenyataannya dia khawatir pada wanita itu.

'Sandiwara apa yang kamu mainkan, Mas? Sampai sesempurna ini!' batinku mulai bergejolak.

"Dek! Kamu masih sakit!" ujarnya, sambil menarik tanganku.

"Mas, terakhir aku menyusahkanmu! Bayar rumah sakit, dan jauhi aku!" pintaku denagan nada tinggi.

Mas Yunus menarik tanganku dan menggapai pinggangku, lalu menggendongku kembali ke dalam kamar rawat. Meski aku meronta, Mas Yunus tidak melepaskanku.

"Dek, kamu masih istri mas, dan akan selamanya menjadi istriku! Hal apapun tidak akan mengubah semuanya, aku akan tetap menjadi kepala rumah tangga dan kamu akan tetap bersamaku membesarkan anak-anak, lalu kita menua bersama!" ujarnya, ketika sudah sampai di atas ranjangdan ucapannyamembuatku tertawa.

Tentu saja hal itu tidak akan mungkin terjadi jika wanita itu selalu berada di sisi kami, terlebih kami tinggal di rumahnya miliknya.

"Kamu bisa memberikan aku rumah?" tanyaku.

Mas Yunus terdiam, sepertinya terkejut dengan apa yang kutanyakan.

"Kalau kamu cepat sembuh kita pindah!" ujarnya langsung tanpa ragu.

Aku langsung tertawa mendengarnya, dan ini pertama kalinya aku tidak menghormatinya ketika dia sedang berbicara, bahkan terkesan meremehkannya.

"Mau pindah ke mana, Mas? Untuk biaya rumah sakit ini saja, aku yakin kamu meminjam pada wanita itu!" ucapku mengejeknya.

"InsyaaAllah, Mas ada uangnya, Dek. Kamu harus sembuh dulu!" balasnya meyakinkan.

Ingin membantah semua ucapannya namun, aku kembali teringat pada Emil.

"Emil di mana?" tanyaku.

"Emil di rumah Tari dan di jaga ibu juga," ujarnya yang membuatkku terkejut.

'Ibu, kapan ibu datang. Apa ibu tahu masalah kemarin, apa ibu tahu tentang wanita itu?' Begitu banyak pertannyaan yang tidak mungkin aku tanyakan padanya saat ini. Terlebih di situasi yang membuatku sakit hati.

"Dek, Mas mohon jangan seperti ini lagi! Semua bisa di bicarakan dengan baik-baik, mas enggak mau kehilangan kamu dan anak-anak kita!" ucapnya lirih.

Aku menghela napas panjang, enggan membahas tapi tetap harus di bahas. Meskipun harus menguatkan hati yang sudah retak tidak berbentuk. Namun, ketika melihat wajahnya yang sayu dan tidak bergairah membuatku bersalah. Apakah ini yang di rasakan oleh wanita di luaran sana, ketika suaminya yang ketahuan memiliki wanita idaman lain meminta maaf. Walaupun tidak mengakui kesalahannya.

"Mas, mungkin seorang laki-laki tidak akan tahu rasa sakitnyanya ketika ada wanita lain yang mengatakan padanya jika dia ingin menikah dengan suaminya!" ujarku, dengan menahan tangis, "sakit, Mas. Sakit sekali, di tambah suaminya benar-benar memiliki hati juga!" imbuhku penuh penekanan.

Mas Yunus menarik napas panjang, lalu menghembuskan secara perlahan. Aku hanya bisa menarik napas yang terasa sesak, kata-kataku yang memancingnya, tepat sasaran.

"Apalagi, memiliki rumah tangga yang telah lama di bina, dengan susah payah!" lanjutku dengan nada menyindir.

"Dek istirahat dulu, sudah malam!" ujar, Mas Yunus mengalihkan pembicaraan,

Lalu dia menarik selimut untuk menutupi tubuhku, dan ingin mencium keningku namun, aku mengelak. Merasa semuanya hambar dan tidak lagi sama.

Seorang suster datang untuk mengecek botol infus dan kaget ketika tidak terhubung denganku. Kemudian dia memperbaikkinya dan memasangkannya kembali. Lalu, memberi pesan agar hati-hati dan memanggil suster jika terjadi sesuatu. Aku tidak menyahuti suster, hanya Mas Yunus yang sesekali menjawab. Setelah selesai, suster meninggalkan ruagan, dan menyisakan kami berdua lagi. Untung saja, tidak ada pasien selain diriku di ruangan ini, jika tidak, kami akan menjadi pusat perhatian.

"Dek, segera istirahat." Mas Yunus kembali membenarkan selimutku.

Aku membuang muka dan membelakanginya, ingin menumpahkan rasa sakit dengan menangis. Namun, Mas Yunus membuatku harus terlelap, dan menahan semuanya. Aku ingin mulai mandiri, jika suatu saat, lelaki yang membersamaiku selama ini benar-benar meninggalkanku.

"Aw! Shit!" rintihku, ketika menggerakan kaki.

Kenapa sekarang terasa sakit sedangkan tadi baik-baik saja, Mas Yunus bertanya kenapa, tapi tidak kujawab. Hanya rintihan yang bisa keluar dari mulutku. Mas Yunus memeriksa kakiku dan memijiitnya perlahan.

"Kamu istirahat saja, Dek. Agar cepat pulih," rayu, Mas Yunus.

Aku berusaha memejamkan mata, sembari menahan rasa sakit yang mulai menjalar. Jeritan kecil terlepas, ketika Mas Yunus memijat bagian yang sangat sakit.

"Alhamdulillah kamu dan Emil baik-baik saja, Dek. Hanya luka ringan, sedangkan Pak Ojek, lukanya cukup parah di bagian kaki, tapi tidak sampai diamputasi. Semoga lusa bisa pulang!" ujar, Mas Yunus.

Tersirat kekhawatiran dari suaranya. Aku tahu, bukan hanya karena diriku yang dirawat, akan tetapi biaya yang harus di keluarkan.

"Jual saja cincin dan gelang milikku untuk membayar biaya rumah sakit!" balasku, meski Mas Yunus tidak mengatakan masalah biaya, tapi aku tahu.

Tangan Mas Yunus berhenti memijat kakiku dan diam sejenak, lalu dia mendekat. Mendekap tubuhku erat lalu menghujaniku dengan ciuman di kening.

"Dek. Mas masih sanggup! Jangan jual ataupun di buang pemberian pertama dari mas, apapun yang terjadi, ya?" pintanya.

Tidak ada jawaban dariku dan juga tidak ada kata yang teruap lagi darinya, hanya dalam buaian malam dan kesakitan masing-masing. Sebelum mata benar-benar lelap, lirih kuucapkan, "jika kamu takut api, kenapa kamu mainkan, Mas!

Terdengar dengkuran halus darinya, menandakan dia tidak mendengar ucapanku. Aku memilih merilekskan diri, dan terlelap. Namun, memcoba menyingkirkan tangannya dari tubuhku. Ada rasa tidak rela di sentuhnya.

Ketika, buaian malam sudah menjelma menjadi mimpi indah. Suara dering ponsel Mas Yunus mengganggu, dan membuyarkan semuanya. Mata yang tadinya sudah lelah, berubah menjadi terbuka karena berisik. Mas Yunus tidak mendengar ponselnya yang telah mengganggu istirahatku. Dia masih lelah dalam mimpi yang aku tidak tahu tentang apa.

"Mas, bangun!" panggilku.

Dengan menahan kantuk, Mas Yunus bangun. Lalu, menanyakan kenapa aku membangunkannya, apakah aku membutuhkan sesuatu.

"Ponselmu mengganggu, berulang kali ada yang menelepon!" ketusku.

Mas Yunus mengucek mata dan melihat siapa yang menghubunginya di pagi buta. Mas Yunus sedikit ragu mengangkat telepon di depanku namun, tetap dia lakukan. Mungkin, tidak ingin aku merasa curiga. Karena dia menatapku, aku membalikkan tubuhku lagi, membelakanginya. Aku tahu, Mas Yunus mensilent ponselnya dan kembali memelukku yang masih tetap menepis tangannya.

Setelah memastikan aku tertidur, Mas Yunus beranjak dan keluar kamar. Aku menghembuskan napas berat dan mengikutinya perlahan agar dia tidak tahu. Suprise, dengan pemandangan yang kulihat, percaya tidak percaya.

"Mas!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status