Share

Lelah atau Pasrah

'Ada apa, ya?' gumamku penasaran.

Perlahan aku keluar dari kamar, untuk mengetahui ada apa. Tidak biasannya, Mas Yunus berbicara dengan nada sekeras itu.

"Tolong jangan seperti ini, Bu!" tegas Mas Yunus.

Aku semakin penasaran dengan siapa, Mas Yunus berbicara. Lalu, aku mendekatinya. Mata ini terbelalak, ketika melihat lawan bicara suamiku.

"Wow, Kamu tidak ada harga dirinya, ya!" Kutatap wajah wanita di depanku, "kamu juga, Mas. Tega sekali melakukan hal ini!" imbuhku dengan perasaan campur aduk.

Mas Yunus menatapku sayu, bibirnya bergerak namun, tidak berucap kata. Sedangkan wanita itu, maju mendekat. Dengan dagu mendongak, dia menatapku.

Pandangan angkuh yang tidak pernah ingin aku lihat, dan berharap tidak akan pernah terjadi dalam hidupku. Namun, kini aku harus berhadapan dengan wanita yang mencintai suamiku dan ingin merusak kebahagian keluarga kecil kami setelah puluhan tahun dibina.

"Dek, mas tidak tahu menahu tentang ini!" Mas Yunus mencoba membela diri.

Aku hanya melemparkan senyuman sinis pada mereka berdua yang menatapku. Aku mungkin bukan wanita yang berpendidikan tinggi, tapi untuk masalah penghianatan tidak bisa kutolerin.

Aku membalikkan tubuh, lalu berjalan menuju kamar anakku. Mengambil tas berukuran besar, kemudian memasukkan pakaian milik--Emil--anakku. Setelah selesai, aku masuk ke kamar kusendiri untuk membereskan pakaiaanku.

"Tolong, pergi dari sini, Bu!" Suara Mas Yunus masih bisa kudengar.

Wanita itu menolak untuk meninggalkan rumah yang kami tinggali, dia ingin mendengar jawaban dariku dan Mas Yunus mengenai lamarannya. Tentu saja, darahku berdesir ketika mendengar ucapannya.

Mas Yunus mendekatiku, menarik tas yang sedang aku tenteng. Lalu, menarik paksa tanganku untuk duduk. Dia duduk di sisiku, meraih jemariku.

"Dek, tidak ada wanita yang bisa menggantikan dirimu di hati, Mas!" ujarnya.

Aku tertawa, untuk menahan air mata yang ingin tumpah. Agar dia tahu, bahwa aku bukanlah wanita yang lemah.

"Maaf, Mas. Wanita yang sudah nekat seperti itu pasti ada penyebabnya dan aku tidak ingin terjebak dalam situasi yang rumit. Apa lagi harus menahan sakit hati, ketika melihat kemesraan kalian! Aku mundur, bukan karena aku kalah, tapi demi menyelamatkan mental anak-anak!" balasku dengan yakin.

Mas Yunus menatapku lekat, lalu kepalanya bergerak. Menolak dengan cara menggelengkan kepalanya. Terlihat, ada embun di dalam matanya. Tapi, tidak membuatku terlena. Aku mengingat ucapan sahabatku yang berpisah karena orang ketiga "seorang pelakor akan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diingikannya."

Situasiku ini, tidak ubahnya seperti seorang istri yang langsung menyerah dengan seorang perusak rumah tangganya. Meski sakit saat ini, aku yakin akan lebih baik ketimbang menahan rasa sakit diduakan.

"Silahkan, kamu ambil keputusan, Mas! Aku tidak akan memaksa. Pilihlah sesuai hati nuranimu!" Aku bangkit dan berlalu dari hadapannya.

"Dek, mas tidak rela kamu pergi dari rumah!" ucapnya lantang.

Langkahku terhenti, lalu menatapnya dengan pandangan yang entahlah.

"Lalu, apa mas pikir aku rela ada wanita lain di hatimu!" ujarku dengan menaikkan nada suara.

Mas Yunus diam dan menunduk. Aku menggelengkan kepalaku, menahan sesak di dada. Berarti benar dugaanku, Mas Yunus memiliki hati pada wanita itu.

"Tidak ada yang perlu di pertahankan, jika ada kebohongan sebesar ini!" ujarku dengan menampilkan senyum smirk.

Menertawakan kepedihan diri sendiri, yang ternyata cinta dan kesetiaanku bisa digeser oleh wanita lain.

Aku keluar kamar dengan membawa tas berisi baju-baju, kemudian mengambil anakku. Mas Yunus tetap merayuku dan berjanji akan membereskan semuanya, agar tidak ada yang terluka. Tentu saja, ucapannya membuat darahku semakin memanas.

"Terlalu egois kamu, Mas! Kamu pikir aku tidak punya perasaan, sehingga harus menerima kamu mendua?" ucapku emosi.

"Bukan begitu, Dek. Mas, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Maka dari itu, mas ingin meluruskan semuanya. Kamu dukung mas, ya!" ucapnya memohon.

"Mas, wanita tidak akan senekat itu, jika laki-laki tidak memberikan harapan padanya!" ujarku dengan nada mengejek.

Kulihat, Mas Yunus menundukkan pandangannya, tentu saja hal itu sudah kumengerti. Salah satu kebiasaannya, jika sedang merasa bersalah.

"Lihat! Feeling seorang istri tidak pernah salah, Mas! Masihkah kamu mau mengingkarinya?" tanyaku, dengan hati teriris-iris, "jangan, Mas ... Jangan kamu menghianati hati banyak orang! Aku rela mundur, jika hatimu ada wanita lain!" imbuhku.

Aku enggan membuang energi, untuk memaki dan menghardik mereka berdua. Akan tetapi, tidak bisa menghilangkan rasa yang sudah terlanjur terjalin. Lagi-lagi, teringat apa yang telah terjadi pada sahabatku dua tahun lalu, saat diri kami sedang terjebak dalam ujian yang mahadahsyat.

"Hati-hati menerima bantuan dari seorang janda mapan, karena sekali pelakor beraksi maka tidak akan berhenti dan keluargamu akan jadi korbannya," ujarnya waktu itu, ketika kami sedang terdesak dan dia sedang diuji dengan hadirnya seorang pelakor.

Mengingat itu, aku tidak ingin mengemis dan bertengkar sehingga energiku terkuras sia-sia dan anakku tersiksa. Selagi nyawa masih ada di tubuhku, Allah pasti memberi rezeki untukku dan anak-anak.

"Dek, mas tidak akan menceraikanmu! Mas, akan mempertahankan rumah tangga ini, sampai kapan pun!" tegasnya.

Tidak ingin terluka lebih dalam, aku berlalu dari hadapan Mas Yunus. Benar-benar ingin meninggalkan penderitaan ini sementara waktu, agar kewarasanku tetap terjaga. Belum juga sampai di ruang tamu, terdengar teriakan dari wanita itu.

"Aw! Lepas, Mbak!" Suaranya terdengar menahan rasa sakit.

Aku bergegas ke depan, melihat apa yang sedang terjadi. Sungguh, pemandangan yang tersaji di luar dugaanku. Mas Yunus berdiri di sampingku, dan meminta ijin dariku untuk membantu wanita itu dari amukan sepupunya. Aku hanya diam saja, ketika Mas Yunus merelai mereka, aku pergi dari rumah tanpa perlu persetujuannya lagi. Terlalu sakit ketika suamiku menyentuh tangannnya.

"Dek, tunggu!" panggil Mas Yunus namun, tangannya ditarik oleh wanita itu untuk berlindung dari amukan--Tari--sepupu Mas Yunus.

"Pergi, Mbak!" pekik Tari, "biar pelakor ini aku yang tangani," imbuhnya dengan menghadiahi wanita itu satu tamparan.

Hatiku sungguh miris melihatnya namun, rasa sakit ini lebih besar. Segera kunaikki ojek yang memang biasa mangkal di ujung gang setelah kupanggil.

"Pak, bisa bawa motornya lebih cepat?" pintaku.

"Bisa, Bu," balasnya.

Motor dilajukan dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba pandanganku mengabur dan seperti ada yang menetes di dahiku. Lalu, teriakan beberapa orang terdengar di telingaku. Namun, lama-kelamaan suara itu menghilang. Suasana hening dan gelap gulita

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status