Share

Memohon

"Dek!" Mas Yunus terperanjat ketika melihatku.

Kemudian dia mendekati, memegang tanganku, yang seketika terasa kaku.

"Dek, darahnya naik. Ayo, kamu masuk!" Mas Yunus memaksaku masuk dengan mengambil alih botol infus yang kugenggam.

Mengajakku kembali ke ranjangku, lalu membenarkan posisi botol infus. Dengan tergesa-gesa, dia keluar dan memanggil suster.

Ketika, Mas Yunus pergi, wanita itu masuk tanpa permisi. Kemudian, duduk di depanku dengan menyunggingkan senyum yang manis.

"Bagaimana keadaan Mbak Gita?" tanyanya dengan lembut.

"Untuk apa kamu ke sini?" tanyaku dengan nada tidak suka.

Mas Yunus masuk dengan membawa seorang suster, kemudian suster tersebut langsung memeriksa keadaanku. Setelah selesai memeriksa dan memarahiku, suster itu pun pergi. Mas Yunus duduk di sampingku, menggengam erat tanganku.

"Dek, mas enggak mau kamu kenapa-kenapa!" ujarnya lirih.

Aku melihat kesungguhan di mata dan suara Mas Yunus namun, tidak juga mmbuatku terpana.

"Maka ijinkan saya untuk masuk kekeluarga kalian, saya akan menjadi pelengkap bagi kalian!" sela wanita yang kehadirannya tidak kuharapkan.

Aku melepas gengaman tangan suamiku, duduk menghadap ke wanita yang benar-benar sudah kelewatan dalam mengusik kehidupan rumah tangga kami.

"Kamu lihat, Mas! Dia sangat gigih ingin menikah denganmu! Dia tidak akan seperti ini jika kamu tidak memberikan hatimu!" cecarku dengan suara tinggi.

Mas Yunus memegang bahuku dengan erat, dan meyakinkan diriku jika aku dan anak-anak adalah prioritasnya saat ini, besok dan sampai kapanpun.

"Mbak, saya tahu, Pak Yunus menyembunyikan perasaannya untuk saya. Dia hanya tidak ingin mbak sakit hati, tapi saya ingin mbak tahu. Agar kelak tidak ada rasa cemburu yang berlebihan," terang wanita itu santai.

Mulutku menganga dan mataku melotot sempurna, tidak percaya dengan apa yang sudah kudengar.

"Eh, Bu! Apakah tidak ada lelaki lain, sehingga kamu memaksa menikah dengan suamiku?" tanyaku dengan emosi.

"Di dunia ini banyak sekali laki-laki, dari yang miskin sampai yang tajir. Tapi, tidak ada yang seperti Pak Yunus. Dia satu-satunya lelaki yang mampu mencuri hatiku, lembut perkataannya, lembut perlakuannya, dan lembut dalam menghargaiku! Hal itu, cukup membuatku ingin jadi istrinya. Mbak Gita juga tahu, tentang agama. Tidak ada salahnya seorang suami menikah lagi dan semua itu tidak butuh persetujuan dari istri pertama. Saya punya itikad baik dengan meminta ijin pada Mbak Gita!" ujarnya santai.

Tidak habis pikir dengan otak yang ada di kepalanya, bagaimana bisa dia menyimpulkan demikian.

"Apa yang sudah diberikan Mas Yunus sampai-sampai kamu tidak punya otak!" makiku.

Wanita itu menyapu bibirnya membuatku terpana, tidak ingin mempercayai apa yang ada dipikiranku.

"Apa!" bentakku.

"Sentuhan bibirnya masih terasa manis!" ucapnya santai.

"Brengsek kamu, Mas! pergi ... pergi!" Aku mengusir mereka berdua.

Mas Yunus tetap di sisiku, memelukku dan mencoba menenangkanku.

"Bu, pergilah! Semua yang terjadi hanya kesalahan yang tidak disengaja! Aku hanya ingin keluargaku baik-baiknya saja, tolong, Bu!" pinta, Mas Yunus dengan sangat.

"Pak, saya tulus ingin menikah dengan Pak Yunus dan kemarin-kemarin itu bukan kesalahan. Tidak ada lelaki yang mampu membuka hati saya setelah kematian suami, kecuali Pak Yunus. Saya mohon terima lamaran saya, ya, Pak." Wanita itu memohon dengan merendahkan suaranya.

Kemudian dia menggamit tangan Mas Yunus, di depanku tanpa ada rasa canggung atau pun malu. Diajaknya berbicara di depan kamar dan Mas Yunus pun mengikutinya. Kulepas infus yang baru di pasang ulang oleh suster, lalu melempar ke arah mereka berdua.

"Brengsek kamu, Mas! Brengsek!" makiku dan aku merasa tidak puas.

Lalu, aku mendekati mereka berdua, kutatap mata Mas Yunus yang mulai sayu. Ada rasa luka ketika mengingat ucapan wanita ini yang mengatakan bibir Mas Yunus terasa manis.

"Bibirmu memang manis, Mas!" sindirku.

Plak!

Satu tamparan kudaratkan di pipi suamiku, rasanya aku ingin lari sekuat tenaga. Hatiku hancur, tidak pernah terbayangkan jika Mas Yunus akan menghianati kami. Lima tahun bukan waktu yang sesaat untuk kami bersama dalam suka duka, tapi dihancurkan hanya sekejap mata saja.

"Dan kamu! Wanita perusak rumah tangga orang, pelakor! Aku enggak akan membiarkan kalian hidup dengan tenang!

"Mbak jangan marah seperti ini, pikirkan dengan kepala dingin. Saya bisa memberikan apapun kebutuhan kalian, dan saya hanya meminta Pak Yunus menikahi saya!

"Dasar, wanita gila dan tidak punya otak!" Kudaratkan satu tamparan juga ke aranya, dan terlihat dia sangat terkejut dengan perbuatanku.

Namun, Mas Yunus terlihat membelanya, "Dek, jangan seperti ini!"

"Kamu sakit, Mas? Sakit!" tanyaku ulang, "Rasanya lebih dari itu, Mas!" pekikku, dengan menunjuk ke arah dadaku.

Tubuhku didorong oleh wanita itu dengan sangat kuat, hingga aku jatuh tersungkur dan Mas Yunus mencoba menolongku namun, aku menepis tangannya.

"Maaf, Mbak! Tahan emosimu, saya melamar Pak Yunus dengan baik-baik dan dia pun sebenarnya mencintai saya, hanya butuh restu dari mbak saja. Tidak ada salahnya kita menjadi satu keluarga!" ujarnya pongah.

"Bu, saya tidak pernah menjanjikan pernikahan! Jangan seperti ini! Meskipun saya mencintai ibu, saya tidak akan memilih ibu," Mas yunus akhirnya mengakui perasaannya.

"Kita cerai, Mas!" teriakku di depan wajah Mas Yunus, lalu aku berlari darinya, karena orang yang menonton semakin banyak dan beberapa satpam mulai mendekat.

"Dek, tunggu! Dek," panggil Mas Yunus.

Suaranya terhenti, ketika seorang satpam menahannya, aku tahu akan hal itu karena biaya rumah sakit ini belum dibayar olehnya.

Aku bingung harus ke mana, karena aku juga tidak memegang uang. Tidak peduli dengan keadaan kakiku, aku terus berlari dan berlari, meninggalkan area rumah sakit dengan cepat meski terseok-seok menahan nyeri akibat terjatuh beberapa kali.

Gelapnya malam, membuatku leluasa untuk menjauh dari Mas Yunus. Rasa haus kini menyerang tenggorokanku, membuatku berlari ke arah seberang jalan tanpa melihat ke kiri dan ke kanan.

Brak!

Tubuhku seperti melayang, lagi-lagi semua terasa dingin dan gelap. Terdengar orang riuh saling bersahutan, dan aku tidak dapat mendengar mereka lagi. Hening dan gelap gulita.

'Kali ini, aku pasti mati!' batinku.

Mataku terbuka dan terlihat cahaya terang di ujung sana, tempat yang begitu damai dan tenang. Pohon rindang dan suara hewan kecil saling bersautan. Sungguh tempat yang sangat diimpikan oleh siapa saja.

"Mbak ... Mbak!" Suara seseorang menggema di telingaku. Suaranya lembut dan ada aroma mint, yang keluar bebarengan dengan suara panggilan itu.

'Di surga pasti ada pelayannya, mungkin itu suara pelayannya!' ujarku dalam hati.

Sejenak semua kembali gelap gulita dan berganti suasana di dalam ruangan yang sangat megah.

"Ya Tuhan, jangan biarkan surga ini hilang! Biarkan aku tinggal di surgamu!" ucapku dengan menengadahkan tangan.

"Aaakh!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status