Bagaimana rasanya, jika suamimu ada yang melamar. Seorang wanita yang kaya raya, dan juga seorang janda cantik yang hidup kesepian di tengah keramaian. Apakah seorang Gita Larasati wanita sederhana, mampu mempertahankan rumah tangganya?
Lihat lebih banyak"Mbak, bolehkah saya meminta ijin untuk menikah dengan suamimu?" tanya seorang wanita yang baru saja datang bertamu ke rumahku.
"Maksudnya apa, ya, Bu?" tanyaku bingung.
Baru dua kali ini aku bertemu dengannya, bahkan berbicara langsung dengannya baru saat ini.
"Selama dua tahun saya mengenal Pak Yunus, saya jatuh cinta dengan kebiasaannya." Aku tertawa mendengar ucapannya yang sungguh absurd menurutku.
"Bercandamu tidak lucu, Bu." Sungguh aku tidak suka dengan gaya bicaranya.
Aku menatap kesal ke arahnya, dan dia hanya tersenyum simpul. Dengan santai dia mengubah cara duduknya, menghadap ke arahku.
"Saya tidak bercanda, Mbak. Saya sungguh-sungguh mencintai Pak Yunus dan sudah dua kali saya memintanya menikahi saya dan saya rela memberikan apa saja untuk mendapatkannya!" ujarnya dengan bangga, "tapi sepertinya Pak Yunus takut dengan mbak, sehingga menolak saya!" ujarnya dengan nada mengejek.
Mataku terbelalak mendengarnya, tidak menyangka jika aku harus berhadapan dengan pelakor. Wanita yang kastanya lebih tinggi dariku, bahkan jika dibandingkan, aku bukan siapa-siapa. Wajah cantik, tubuh sintal, kulit terawat dengan baik dan tutur kata yang sangat sopan, sanggat jauh berbanding terbalik denganku.
"Lebih baik ibu keluar dari rumah saya! Jangan sampai saya teriaki ibu sebagai pelakor!" ancamku.
"Saya bukan pelakor! Saya mencintai Pak Yunus tulus, dan ingin menikah dengannya dan atas persetujuan Mbak Gita!" ucapnya pongah.
"Keluar dari rumah saya!" bentakku.
Aku berdiri dan berjalan ke depan pintu, mempersilahkan tamu yang ingin merusak rumah tanggaku pergi dari rumah ini. Tidak ingin memberinya kesempatan, sekecil apapun. Wanita itu mendekatiku, bibirnya membentuk lengkungan yang membuatku sedikit terpana.
"Jangan sampai aku merebutnya darimu, Mbak!" bisiknya.
Aku mengangkat dagu, merasa hal itu tidak mungkin. Aku terlalu mengenal suamiku, dia sangat mencintaku dan anak-anakku. Mana mungkin bisa mencintai wanita lain,
"Kamu pikir suamimu tidak memiliki perasaan yang sama sepertiku, Mbak?"lanjutnya, yang membuatku bergeming, "dia hanya tidak ingin kalian tersakiti, setelah memilihku!" imbuhnya yang membuatku hampir saja limbung.
'Tidak ... Tidak mungkin! Mas Yunus bukan lelaki seperti itu!' batinku mulai bergejolak.
Wanita di depanku menatap penuh kemenangan, senyumnya mulai terkembang sempurna. Tentu saja membuat darah dalam tubuhku mendidih, ketika melihatnya.
"Keluar!" usirku.
Wanita itu melangkah pergi, dengan gaya yang anggun. Lalu, dia mengatakan akan datang lagi ketika Mas Yunus sudah kembali dari bekerja. Tentu saja aku menola kedatangannya lagi, tapi ucapannya kali ini membuatku sungguh kecewa dan merasa tida ada harga diri.
Suaraku yang tinggi rupanya mengundang rasa penasaran para tetangga julid yang sedang nongkrong di depan rumah salah satu tatangga, mereka memasang telinga dengan seksama. Tidak ingin ketinggalan satu beritapun, agar apa yang mereka sebarkan menjadi gosip yang akurat.
"Saya akan kembali lagi, setelah Pak Yunus pulang!" ujar wanita itu ketika akaan membuka pintu mobilnya.
"Saya yang akan keluar dari rumah ini, jika Mas Yunus menerimamu!" balasku penuh emosi.
"Jangan begitu, ah! Sebentar lagi 'kan kita akan jadi satu keluarga." Dengan santai dia mengucapkan kata-kata yang menusuk hati.
"Pergii!" teriakku.
Kututup pintu dengan kasar, lalu terduduk lemas. Tidak menyangka ada wanita yang melirik suamiku. Berulang kali kupikir, apa kelebihan suamiku, sehingga dia mencintai lelaki beristri. Kepala ini terasa sakit dan beputar, dan aku menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli pada tetangga yang mengetuk pintu berulang kali. Rasanya masih sangat sakit, teramat sakit. Rumah tangga yang adem ayem selama tujuh tahun, kini terusik oleh wanita yang telah membantu kami.
Suara tangisku membangunkan tidur lelap anakku yang masih berusia tiga tahun. Tangan mungilnya menyentuh pipiku, memelukku dalam diam, perbuatannya malah membuatku makin terisak.
"Yaya enggak nakal, Ma!" ujarnya lirih.
"Iya, sayang." Aku menangkup wajahnya yang imut, dan mendaratkan satu kecupan di keningnya.
Rasa haru, kesal dan sedih makin menjadi, terlintas ketika Mas Yunus memandang kagum pada wanita lain, selain diriku. Segera kutepis pikiran buruk yang hadir untuk suamiku. Kuajak jagoanku masuk ke dalam kamar, karena matanya masih terlihat mengantuk. Pelukan erat mengakhiri tangisku, larut dalam buaian angin.
Cukup lama aku terpejam, hingga tidak menyadari kehadiran Mas Yunus. Tangannya menggenggam tanganku erat, dan dikecupnya berkali-kali. Hal yang sering dia lakukan jika dia merasa bersalah. Kutepis tangannya dengan kasar, lalu beringsut turun dari ranjang.
"Dek, tunggu!" panggilnya ketika aku membuka pintu.
Mas Yunus menggapai tangan dan langsung menarikku untuk duduk di sofa, menatapku dengan pandangan bersalah. Bibirnya bergetar, seakan-akan ragu untuk berbicara. Mengatur napasnya yang terasa berat.
"Ceraikan aku, Mas!" ucapku pasti.
"Dek!" Bentaknya.
Kutarik tangan yang dia genggam, ada rasa curiga yang tidak bisa kuredam. Ucapan wanita itu benar-benar mempengaruhi alam bawah sadarku secara tidak langsung.
"Dek, semua bisa kita bicarakan! Mas bisa jelaskan," ujarnya.
Kubingkai senyuman mengejek untuknya, dan pandanganku berpaling darinya. Saat ini rasanya sangat sulit untuk mempercainya, mendengar suara napasnya saja membuat hatiku sakit.
"Sudah berapa lama kalian menjalin hubungan di belakangku?" tanyaaku sinis.
"Dek, bukan seperti itu!" sanggahnya tanpa menjawaab tanyaku.
Kutatap wajah tampannya yang selama ini menghiasi hari-hariku, janggut tipis, alis tebal, dan matanya yang sipit, belumlah berubah. Dia masih sama seperti dulu, bahkan perlakuannya tidak berubah sama sekali. Dia kekasih hatiku, tapi kenapa dia menghianatiku?
Setitik demi setitik, cairan bening keluar dari kelopak mataku. Tidak mampu lagi menyembunyikan kepedihan yang datang secara tiba-tiba. Mas Yunus mencoba mendekatkan tubuhnya ke arahku, lalu menarik tubuhku ke dalam pelukannya yang masih sama hangatnya.
"Maaf, Dek. Maaf karena kamu tahu darinya, maaf karena mas menyimpan sendiri semuanya. Bukan tidak ingin kamu mengetahuinya, tapi aku takut reaksimu seperti ini!" ujarnya lirih.
Aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya namun, dia lebih mengeratkan tangannya yang melingkar di tubuh.
"Sudah dua kali dia melamar mas, tapi selalu mas tolak. Selain karena mas sudah memiliki kalian, mas tidak sanggup melihat kamu menangis!" ujarnya dengan suara berat.
Jari tanganku dia perhatikaan satu persatu, lalu dia kecup secara bergantian.
Helaan napasnya menandakan ada sesuatu yang dia sembunyikan, apakah benar jika Mas Yunus memiliki perasaan yang sama seperti ucapan wanita tadi.
Kudekatkan telingaku pada dadanya, sebelum bertanya padanya.
"Mas, seberapa besar cintamu padaku?" tanyaku dengan santai.
"Sama seperti dulu, dan tidak akan pernah berubah!" jawabnya.
Jantungnya berdetak seperti biasanya, membuatku lega.
"Lalu, apa kamu mencintai wanita itu juga?" tanyaku.
Pelukannya terasa longgar dan jantungnya berdebar sangat kencang. Sungguh di luar dugaanku.
"Mas! Jangan pernah bohongi aku!" ujarku dengan nada tinggi dan melepaskan diri dari pelukannya.
Wajahnya tampak pias, dan berkeringat. berkali-kali menghembuskan napas beratnya. Tangannya kembali mencoba meraihku namun, aku menjauh darinya. Aku beranjak dan masuk ke kamar anakku.
"Aku akan mengajukan cerai! Cerai!"
Ketika aku masuk ke dalam kamar, pintu depan ada yang mengetuk. Terdengar suara orang berbincang dan salah satu suara itu, milik Mas Yunus.
"Tolong ... Tolong!"
"Kamu mau ke mana?" tanyanya, suaranya melunak. "Apakah kamu kekurangan di sini?" sambkiungnya Sungguh aneh lelaki di depanku ini. Wajah tampan, kaya raya dan memiliki segalanya, Mengapa menahanku untuk tetap tinggal. "Di sini bagaikan surga dunia yang tidak pernah kubayangkan, tapi di sini tidak ada satupun yang memiliki hubungan denganku. Maka aku tidak pantas di sini, lagi pula, aku hanya makan, tidur dan ibadah saja! Aku pun memiliki suami yang harus aku urus!" ucapku miris. Renald berdiri dan menatapku pedih, "Suami? Suami yang tidak membelamu?" tanyanyaa. "Bagaimanapun, aku tetap istri sahnya. Dia belum menjatuhkan talaknya untukku!" sanggahku. Renald mengambil ponsel yang ada di saku celananya dan menghubungi seseorang. [Ke sini, bawa berkas dari lelaki brengsek itu!] Hanya kalimat itu yang dia lontarkan, lalu mengakhiri panggilan telepon. Dia duduk di sampingku. "Maaf atas perlakuanku tadi, sehingga membuatmu me
Aku berhasil mendorong tubuh Renald menjauh dariku berkat suara wanita yang baru saja datang. Wanita itu mendekat dan melayangkan satu tamparan di pipiku. Terasa panas dan membekas, aku tahu ini pantas untukku meskipun aku tidak tahu siapa wanita cantik berpakaian kurang bahan ini."Berani-beraninya kamu, mencium tunanganku jalang!" ucapnya, membuatku terpana.Aku seperti dejavu, mengingat perlakuanku pada Santi. Akan tetapi, dia memang jalang yang merebut suamiku. Tapi, aku? Apakah aku juga jalang?Ingin rasanya tenggelam dalam dunia yang fana ini, tapi itu tidak mungkin. Maka aku menyingkir dari sepasang kekasih ini, berharap tidak akan menjadi masalah besar. Sayang, hati dan kakiku tidak bisa singkron. Aku tidak bergeming sedikitpun dari tempatku. Terlihat rona merah padam di wajah wanita bermata coklat itu.Tangan wanita itu terangkat lagi, dan mengarah ke wajahku. Tapi, Renald menahannya dan menepisnya dengan kasar."Aku sudah membatalkan pert
Bu Siti berdehem, dia seperti telah melakukan kesalahan. Kemudian berlalu dari hadapanku. Matanya tidak menatapku ketika akan pergi, tapi fokus ke arah belakangku. Aku menebak, jika lelaki itu ada di belakangku."Ada apa?" tanyaku seteleh memutar tubuh ke belakang."Mau ke mana?" tanyanya lirih."Ya, pergilah! Biar hidupku tidak kamu atur!" tukasku.Renald melotot kepadaku, tapi tidak kupedulikan.. Melangkah pergi menjauh darinya dan dari kehidupannya yang membosankan, menurutku."Berhenti!" bentaknya.Dadaku seperti diremas, ketika dia mengeluarkan suara yang begitu keras. Kemudian, suaranya menggelegar memanggil Bu Siti. Wanita paruh baya itu bergegas mendekat dan menunduk, benar-benar membuatku muak."Bawa Emil ke taman, tutup semua pintu dan jangan biarkan orang lain masuk!" perintahnya dengan suara tinggi.Bu Siti membawa Emil dengan hati-hati dan meminta pelayan lain untuk menutup semua pintu dan pastinya mereka keluar da
Seminggu berlalu, aku kini berada di rumah megah yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Menunggu Emil membaik. Aku hanya bisa termenung setiap harinya, memikirkan cara bagaimana setelah ini. "Saya sudah membantu kamu mendaftarkan perceraian kalian!" Suara itu mengejutkanku. "Maksudnya?" tanyaku bingung. Pikiranku, mulai tidak fokus. sehingga tidak langsung menangkap apa yang di maksud oleh lelaki itu. "Kamu ingin bercerai, kan?" tanya datar. "i-iya!" jawabku. "Team pengacara sedang mengurusnya!" Orang yang paling di segani di rumah ini duduk di sofa yang memang ada di kamar ini. Aku mengerutkan dahi dan menatapnya tajam, kesal dengan setiap keputusannya yang dia ambil secara sepihak tanpa bertanya padaku. "Hei, Tuan! Ini hidupku, kamu tidak bisa seenaknya!" Rasa kesal kutumpahkan begitu saja. Renald memandangku sekilas, lalu kembali ke buku yang dia baca sejak tadi. Terlihat cool dan keren sih, tapi membuat
"Wanita murahan!" maki Santi.Wanita di depanku seperti seseorang yang tertindas olehku, padahal dialah yang menindas dan mengambil kebahagianku. Bahkan, baru beberapa hari, Mas Yunus bersamanya sudah sangat berubah. Aku sudah tidak mengenalinya lagi, meskipun sedang berhadapan dengannya,"Aku tidak ingin berdebat!" ujarku. "Sepertinya, kamu tidak butuh istri murahan sepertiku. Ada baiknya kamu ceraikan aku, Mas! Tapi jangan berani-beraninya mengambil anakku!""Dia akan menceraikanmu! Wanita tidak berguna dan murahan!" hina Santi."Aku akan sujud syukur! Aku tunggu surat cerainya!' tantangku."Tidak ... Tidak akan ada perceraian antara kita! Dek, tolong kembali ke rumah!" pinta Mas Yunus.Entah mengapa dia melunak seperti itu, mungkin merasa iba denganku. Atau ingin menyiksaku dengan cara berpoligami."Terimakasih, Mas! Tapi, apa kamu mau meninggalkan wanita itu?" tanyaku mengejek.Mas Yunus menhela napas berat dan menata
"Apa maksudmu mencegah Emil, menemuiku?" tanyaku penuh emosi.Wanita itu menukir senyum smirk di wajahnya, membuat emosiku memuncak."Dia anakku! Bukan anakmu!" tegasnya.Bibirku gemetar, ketika dia mengatakan hal itu. Apakah karena dia menikahi Mas Yunus, maka dia berhak atas semuanya termasuk Emil."Kamu pikir, aku melamar Mas Yunus hanya sekedar nafsu saja! Lebih dari itu!" tambahnya membuat mataku membelalak.Apalagi maksud wanita ular ini. Apa yang tidak kuketahui, sehingga dia berani mengatakan hal itu."Sekali pelakor, tetap pelakor! Akan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ambil, Mas Yunus yang tidak bisa menepati janjinya, tapi ...!" ucapku terhenti."Aku bukan pelakor!" pekiknya.Santi, melepaskan pegangan tangannya pada Emil. Membuatku leluasa menggapainya, tentu saja Santi mengamuk dan ingin mengambil alih Emil dariku."Jangan berani-beraninya mengambil anakku! Dan jangan pernah m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen