Adam menghela napas. Pandangannya kian kosong meski tiga puluh siswi dan siswa dari kelas 12-A di SMA Negeri 1 itu menatap ke arahnya. Sebagian dari mereka terus berbisik, tentang betapa bingungnya Adam pagi ini. Juga tentang betapa tidak bergairahnya Adam saat ini.
Pemuda yang selama ini dikenal peramah itu, mendadak saja menjadi muram. Tatapannya yang hangat berubah layu. Tidak ada lagi keramah tamahan serta kehangatan yang bisa dirasakan oleh paras siswa selama menjadi murid dari Adam.
Sudah dua hari, tepatnya ... Adam berubah seratus delapan puluh derajat. Senyum dan binar yang selalu melekat di wajahnya hilang bagaikan digondol oleh maling. Adam serupa pria tanpa rasa; lemah serta lesu.
“Pak!”
Adam bergeming.
“Pak?” ulang seorang siswi lagi.
Gadis muda yang duduk di deretan terdepan, berhadapan langsung dengan meja milik Adam mencoba memanggil. Sebagian temannya sudah risih, sebab jam istirahat sudah berbunyi semenit yang lalu.
“Pak Adam!” Kali ini panggilannya jauh lebih lantang.
Adam yang memakai batik ungu berkilau itu tersentak. Dia melirik ke kiri dan kanan, mencari suara tinggi yang baru saja menyebutkan namanya.
“Pak, sudah jam istirahat ini!” Salah satu siswa paling berandal di kelas itu kemudian menginterupsi.
Dia bersandar di kursi, menatap kesal ke arah Adam yang masih belum mengerti situasi. “Pak, kami mau makan! Sudah lapar!” gerutunya lagi, yang disambut seruan dari beberapa gadis muda sekelas.
Mereka tidak keberatan jika harus menghabiskan beberapa detik untuk Adam, sebab parasnya yang menawan itu jauh lebih memikat dibandingkan dengan seluruh siswa di sekolah.
Hanya Adam yang terlihat seperti artis ibu kota. Kulitnya bersih, rambutnya hitam berkilauan, bibirnya ranum walau tidak pernah tersentuh pelembab, begitu pun dengan kukunya yang merah muda, sebab Adam tidak pernah menyentuh kretek meski hanya sebatang.
“Hallo ... Pak? Ngelamun si bapak!” seru remaja bengal itu lagi.
Tidak mau menunggu, dia lekas meninggalkan kursi. Berlagak sombong di depan Adam, remaja itu berjalan dengan menyisipkan dua tangan di saku. Dagunya terangkat, raut wajahnya menggambarkan kesombongan yang tersimpan di dalam hati.
“Bapak pamit duluan! Kalian silahkan istirahat,” sergah Adam lebih dulu.
Pemuda itu terlihat sibuk mengemas buku-buku pelajaran ke dalam tas kerjanya. Adam melirik sebentar ke arah murid yang baru saja diajar, sebelum kemudian berlari menuju parkiran yang diisi oleh sederet motor dan mobil milik guru dan murid. Mengabaikan pandangan heran dari para siswa di dalam kelas.
Berbekal kenekatan yang dimiliki, Adam ingin berjuang sekali lagi. Dia mengeluarkan motor matik keluaran tahun dua ribu lima belas itu dari parkiran, memakai helem tanpa memedulikan bentuk rambutnya yang bisa saja kusut. Adam tidak melupakan jaket hitam untuk melindungi lengan, serta sarung tangan untuk punggung tangan.
Setelahnya, pemuda itu memacu motor, membelah lapangan voli sebelum kemudian meluncur di atas aspal yang dibangun kepala sekolah. Perasaannya berdebar terlalu cepat, sampai Adam tidak mampu menahan.
Perjalanannya begitu pasti, Adam membelokkan motor menuju desa tempatnya tinggal selama ini. Melewati sebuah rumah gaya lama dengan halaman membentang luas seperti lapangan bola di daerah Buketrata, Adam berhenti di depan pagar hitam tinggi. Dilepasnya helem, jaket serta sarung tangan, pemuda itu hanya membawa dirinya serta tas jinjing kerjanya yang mulai kusam.
Dengan membaca Bismillah, Adam mengayunkan langkah. Rumah berwarna kuning terang di depannya terlihat sepi, tapi Adam tahu jika penghuninya ada di dalam. Wa Sari— istri dari Pak Wa Junaidi selalu ada di rumah, bersemedi dengan cucunya yang menggemaskan atau sekadar nonton tivi seharian.
Adam mengangkat tangannya, mengetuk daun pintu yang tebal dan kokoh. Lalu, selang beberapa detik, Wa Sari muncul dari sebaliknya.
Wajahnya seketika berubah saat menemukan Adam datang. Dia melirik ke dalam rumah sesaat, sebelum kemudian memberi celah untuk Adam masuk ke dalam.
“Masuk, Dam!” ujarnya ketus.
Adam mencoba berpikiran positif, dia membuka sepatu pantofelnya yang diganti setiap setahun sekali, lalu menginjakkan kaki di lantai keramik rumah Wa Sari dan Pak Wa Junaidi. Perasaannya berdesir hebat saat melihat Pak Wa Junaidi pun sedang berada di rumah, duduk di atas sofa berwarna krem sembari membaca koran edisi hari ini.
Adam meminta uluran dari Pak Wa Junaidi, mencium punggung tangan pria itu sebelum kemudian duduk di sofa. “Mau minum apa, Dam?” tawar Wa Sari.
“Tidak perlu, Wa, Adam sebentar saja,” balasnya santun.
Wa Sari mencebik, namun segera berlalu ke dapur tanpa menawarkan apapun lagi. Sesekali dia melirik ke arah Adam dan suaminya, sedang sesuatu terus berputar di dalam kepalanya.
“Jadi, kamu kenapa ke sini, Dam?” Pak Wa Junaidi melipat koran di tangannya.
“Be-begini, Pak Wa ... mengenai bantuan yang Pak Wa maksud di rumah Toke Sofyan itu ....”
“Bantuan?” Pak Wa Junaidi mengernyit. Hidungnya yang tinggi ikut berkerut.
“I-iya, bantuan. Untuk melamar Azizah.”
“Oh, kamu sudah pikirkan caranya?”
“A-apa aku bisa meminta ....”
“Jual saja dulu tanah orangtuamu itu. Bagi halaman rumahmu menjadi tiga bagian, dan Pak Wa akan bantu jualkan. Lagi pula, untuk apa halaman rumah sebesar lapangan bola, Dam? Kamu kan butuh uang untuk menikah!” ujar Pak Wa Junaidi sebelum kemudian bersandar di sofa.
Retak hati Adam seketika. Napasnya tercekat dalam hitungan detik. Bukan ini yang dia kira dengan bantuan, melainkan berupa pinjaman sesaat agar dia bisa menyanggupi mahar Azizah.
“Bagaimana? Jual saja, Dam.”
“Ta-tapi itu tanah satu-satunya, peninggalan ayah dan mamak, Wa. Tidak mungkin di ....”
“Loh, terus kamu mau melamar Azizah pakai apa? Pakai daun?” sergah Pak Wa Junaidi lagi.
Adam terpukul mundur. Wajahnya tertekuk saat mendengar betapanya nyaringnya Pak Wa Junaidi berkata. “Kalau Toke Sofyan mau terima, ya silahkan!”
“Apa Pak Wa tidak bisa pinjamkan ....”
“Enak saja kamu, Dam!” Wa Sari muncul dari arah dapur. Dia datang dengan pisau yang terhunus, bekas memotong sayur.
“Kamu kira, seratus manyam itu sedikit? Mau bayar pakai apa kamu kalau tidak dengan menjual tanah orangtuamu? Hah!” imbuh Wa Sari lagi.
Dia tidak bisa berhenti menghela napas, kesal sekaligus marah dengan permintaan Adam yang begitu polos. Bagi Wa Sari, dia tidak peduli dengan keadaan Adam meski pemuda itu yatim piatu sekalipun.
“Wa-mu itu benar, Dam. Sudah, jual saja tanahnya. Kamu bagi tiga bagian halaman depannya, nanti Pak Wa bantu jualkan, ya? Cukup untuk menikahi Azizah dan membangun bisnis, hehe .”
“Nah itu dengarin uwakmu, Dam. Lagian, kamu sih ... mimpi ketinggian! Sama kayak ayah mak-mu dulu. Berharap bisa kuliahin kamu sampai gelar dokter, nyatanya duluan meninggal! Ninggalin beban ke keluarga yang mau nikah saja merepotkan banyak orang!”
“Mak, jangan begitu, ah ...,” tahan Pak Wa Junaidi. Dia melirik istrinya sebab menyinggung soal kakak yang telah meninggalkan dunia ini.
Adam tidak mampu menjawab apapun. Matanya memanas hingga nanar datang menyapa. Hatinya serasa dicabik, namun sebagai seorang pemuda tanpa keluarga kandung di dunia ini, dia tidak bisa apa-apa.
Sejak dulu, saat keluarga Pak Wa Razali dan Pak Wa Junaidi mempersoalkan perihal bagian warisan walau Adam adalah lelaki sekalipun. Sampai sekarang, saat dirinya berharap untuk pertama kali agar bisa diberi bantuan. Keluarga Ayahnya selalu saja sama, abai dan acuh pada nasibnya.
“Tanah itu, ayah wariskan untuk Adam jaga, Wa. Ayah tidak mengizinkan tanah itu dijual, karena itu ....”
“Kalau begitu, lupakan Azizah. Jangan berharap bisa menikahi anaknya Toke Sofyan!” sergah Wa Sari lagi.
Dia menghentak kakinya di lantai, lalu ngacir menjauh dari ruang keluarga. Emosinya diledakkan melalui pukulan-pukulan keras di talenan kayu. Untung saja, suaminya tidak meminjankam emas sebanyak itu untuk Adam, jika tidak bisa seumur hidup hatinya panas memikirkan uang dan keuntungan yang tidak kunjung datang.
“Terima kasih kalau begitu, Wa ...,” pamit Adam yang diangguki Pak Wa Junaidi.
Pemuda itu mengangkat tas kerjanya, kemudian meniti langkah menuju pintu depan tanpa pernah menoleh meski hanya sekali.
Meninggalkan rumah Pak Wa Junaidi, Adam memacu kembali motor matik menuju rumah Pak Wa Razali. Pria yang dinilai Adam punya perilaku yang baik itu mungkin juga sedang ada di rumahnya, duduk berdua dengan istri serta cucunya.Harap Adam terus menggema hingga ke langit. Seribu do’a dia panjatkan di dalam hati begitu mendapati rumah Pak Wa Razali terbuka pintunya. Sudah pasti, Pak Wa Razali atau minimal sang istri ada di dalam sana.Adam mendorong motornya hingga ke halaman, melepas helem dan menenteng lagi tas kerja menuju teras rumah Pak Wa Razali. Berbeda dengan saat mendatangi Pak Wa Junaidi, Wa Yun—istri Pak Wa Razali menyambutnya ramah.Air muka dari wanita yang berusia akhir empat puluhan itu terlihat bahagia, menyebabkan debar-debar penuh harap terpancar di paras Adam saat ini. Pemuda itu ikut tersenyum ramah saat Wak Yun memberinya kesempatan untuk berbicara dengan Pak Wa Razali. Adik dari ayahnya itu sedang duduk di meja makan, menikmati makan siangnya yang mewah hasil masakan
“Pak? Ngitungin duit orang itu perlu ya, Pak?” Salah satu siswi yang diajari Adam berseru dari arah belakang. Dia melirik sekali lagi brosur dari salah satu kampus yang didapatkannya beberapa hari lalu.Pertanyaan itu membuat Adam seketika menengadahkan wajah. Dia yang sedari tadi sibuk memeriksa buku PR para siswa dikejutkan dengan pertanyaan mendadak.Adam memicingkan matanya yang lelah, semalaman menghubungi ke sana ke mari demi secuil pertolongan membuat fisiknya lemah. Tetapi demi mengemban tugas yang mulia walau dengan bayaran kecil, Adam bertahan sekuat tenaga.“Pak? Malah ngehayal lagi!” tegur siswi itu.Gadis muda dengan gigi gingsul yang manis terus menautkan pandangannya pada Adam. Lalu, saat netra keduanya bertemu, Adam segera berdehem. Hatinya terusik ketika bibir merah muda muridnya tersenyum padanya, dalam arti yang diterjemahkan Adam secara berbeda. Risih dan merasa bersalah, Adam tidak bisa menjauh dari dua kata itu.“Naya, tolong antarkan buku-buku ini ke kantor Bap
Motor Adam meluncur cepat, keluar dari Jalan Darussalam menuju Jalan Gudang. Hatinya kini begitu menggebu dengan semangat membara meski terik matahari memayungi perjalannnya.Di kepala Adam terus terbayangkan, dua mayam selanjutnya yang akan segera berpindah tangan. Artinya, selangkah lebih dekat menuju Azizahnya yang begitu didamba.Adam menghentikan laju motor, dia memarkir kuda besinya yang mulai tua dan membiarkan tukang parkir mengambil alih. Langkahnya kian tegas menuju sebuah toko emas dengan lambang bintang. Pria bertubuh kurus dengan jam tangan kekuningan menyambut kehadiran Adam.“Toke, dua mayam!” tegas Adam seraya menunjuk deretan cincin di dalam etalase. Hatinya berdebar hebat tatkala melihat deretas emas dalam berbagai ukuran. “Sungguh bagi para Toke Emas, menyanggupi mahar seratus mayam adalah hal yang mudah,” pikirnya.Dua pembeli di sebelah Adam ikut mencuri pehatiannya. Mereka memborong dalam jumlah yang sangat besar. Dua gelang tebal dan seuntai kalung nan berat. P
Adam berbaring di ranjang, memandangi layar gawai dan sederet pesan tadi siang. Perasaan pemuda itu semakin tidak karuan, isi chat yang dikirimkan oleh pemilik nama Azizah telah mengusik ketenangan hatinya yang rapuh.Bagi Adam, Azizah adalah perwujudan dari harapannya selama ini. Namun saat dia ingin berjuang untuk meraih mimpinya sendiri, telapak kakinya seakan menancap di tanah, begitu pula dengan orang-orang di sekitarnya yang selalu mencoba menahan langkah Adam menuju Azizah.Dielusnya dada untuk kesekian kali. Bimbang dan bingung terus merambati nadi. Pikiran Adam tidak bisa tenang meski sesaat, membayangkan bagaimana risaunya Azizah menanti perjuangannya di seberang sana.[Bang Adam, hari ini Azizah mendengar dari ayah perihal Bang Adam yang mencari pinjaman. Azizah merasa bersalah karena tidak mampu melunakkan hati ayah untuk menurunkan jumlah mahar. Azizah sendiri tidak berharap diberikan mahar sebanyak itu, karena nilainya saja sudah tidak masuk akal.
Adam terlihat pilu saat menempati salah satu meja di sudut ruangan sendirian. Peluhnya membanjiri pelipis, sesekali dia seka dengan tisu yang disediakan restoran. Meski begitu, kenyataan jika hatinya gundah gulana tetap saja mengundang bulir keringat yang baru.Saat ini, Adam tidak bisa berhenti memikirkan Azizahnya. Gadis menawan yang akan datang sebentar lagi dengan sepupunya itu, ingin berbicara tentang sesuatu yang membuat perasaan Adam kian tidak karuan.Terpaksa, Adam menghela dalam napasnya kini. Sesaknya mulai terasa saat siluet dari tubuh ramping berbalut gamis biru gelap dan pashmina coklat terlihat. Di sebelahnya, ada gadis muda dengan pakaian yang lebih trendi. Kulot gelap dipadukannya dengan atasan oversize serta pashmina yang terlilit di leher.Adam segera memindahkan pandangannya, merasa berdosa begitu kedua gadis itu mendekat padanya. Merekalah yang ditunggu Adam, hingga dia duduk sendirian dengan pelipis banjir dan punggung yang basah.&l
Dug Dug DugAdam tidak bisa menghentikan debaran nan kuat itu saat melihat wajah bersih dari pemuda yang ada di dalam gambar. Dialah anak dari toke emas lain di Aceh yang setara dengan Toke Sofyan, bahkan sepengetahuan Adam Teuku Idris sudah mulai merambah bisnis emas yang lebih milenial saat ini.Adam pun pernah melihat pemuda ini di sekolahnya, mengantar salah satu guru dengan pajero putih hingga para siswi di sekolahnya terlena cukup lama. Ya, Teuku Idris— putra dari Bu Erna dan Toke Surya merupakan pria muda yang membuat pria lainnya seperti Adam merasa rendah diri.Kini, dia dihadapkan dalam pertarungan langsung dengan Idris, pemuda kaya raya yang bisa memenuhi semua tuntutan dari Toke Sofyan. Adam merasa kalah sebelum bertanding. Sudah sebulan lebih berjuang, di tangannya tergenggam tidak lebih dari lima belas mayam, sedangkan Teuku Idris, bisa menyanggupi hingga satu kilogram tanpa rasa keberatan. Tragis, Adam merasa segalanya tidak adil.Di antara semua gadis, kenapa harus Azi
“Kamu ngomongin apa sama Bang Adam tadi, Nay?” Azizah menelisik dari arah punggung.Dia yang diboncengi Naya sejak datang dan pulang, tidak bisa melepaskan pikiran dari Adam dan Naya. Keduanya terlibat perbincangan yang begitu serius saat dirinya keluar dari restoran karena tersinggung dengan ucapan dari Naya.Saat itu, Azizah yang terlanjur mengikuti perasaannya, hanya bisa mengintip Adam dan Naya. Membawa rasa penasaran yang dalam akan apa yang mereka bicarakan hingga Naya baru keluar dari restoran tiga puluh menit kemudian. Lebih dari itu, Azizah merasa cemburu, sebab wajah Naya menunjukkan kepuasaan yang teramat dalam.“Nay? Kalian ngomongin apa?” tuntut Azizah lagi.Dia sengaja mengintip ekspresi Naya dari spion kanan. Wajahnya yang tertutup helem bogo milik Naya malah terpatut di spion, namun dia tidak berhasil menemukan yang dicarinya.“Kak, minggirin wajahnya, spionku kehalang tahu!” sungut Naya, masih mencoba mengulur waktu untuk menjawab Azizah.“Kakak penasaran, Nay. Kalian
Toke Jaya melipat bungkus nasi padang yang baru dibelinya. Baru sesuap kecil dan itu tidak sempat dinikmati dengan nyaman. Toke Jaya tidak bisa merasa tenang jika harus berhadapan dengan gadis kecilnya yang telah remaja— Naya. Apa lagi, di belakangnya muncul seorang pemuda rupawan yang serupa dengan lelaki impian Naya. Bentuk wajah, postur tubuh serta ekspresi, semua poin-poin yang melekat di Adam itu selalu disebutkan Naya sebagai lelaki idamannya jika akan menikah nanti.“Jadi, dia ....”“Yah, emas yang ini buat Naya!”Mata Toke Jaya seketika membeliak tidak percaya. Sergahan yang melesat dari bibir ranum anak gadisnya membuat seorang pengusaha ternama sepertinya juga bisa tercengang.Dia bisa menebak sesuatu yang ada di dalam kotak itu, namun Toke Jaya belum mampu menerka berapa harga isinya. “Berapa mayam, Nay?”“Seratus, Yah!” ungkap Naya sembari mengeluarkan untaian kalung rantai dari dala