Share

Bab 2: Mencari Pinjaman

Adam menghela napas. Pandangannya kian kosong meski tiga puluh siswi dan siswa dari kelas 12-A di SMA Negeri 1 itu menatap ke arahnya. Sebagian dari mereka terus berbisik, tentang betapa bingungnya Adam pagi ini. Juga tentang betapa tidak bergairahnya Adam saat ini.

Pemuda yang selama ini dikenal peramah itu, mendadak saja menjadi muram. Tatapannya yang hangat berubah layu. Tidak ada lagi keramah tamahan serta kehangatan yang bisa dirasakan oleh paras siswa selama menjadi murid dari Adam.

Sudah dua hari, tepatnya ... Adam berubah seratus delapan puluh derajat. Senyum dan binar yang selalu melekat di wajahnya hilang bagaikan digondol oleh maling. Adam serupa pria tanpa rasa; lemah serta lesu.

“Pak!”

Adam bergeming.

“Pak?” ulang seorang siswi lagi.

Gadis muda yang duduk di deretan terdepan, berhadapan langsung dengan meja milik Adam mencoba memanggil. Sebagian temannya sudah risih, sebab jam istirahat sudah berbunyi semenit yang lalu.

“Pak Adam!” Kali ini panggilannya jauh lebih lantang.

Adam yang memakai batik ungu berkilau itu tersentak. Dia melirik ke kiri dan kanan, mencari suara tinggi yang baru saja menyebutkan namanya.

“Pak, sudah jam istirahat ini!” Salah satu siswa paling berandal di kelas itu kemudian menginterupsi.

Dia bersandar di kursi, menatap kesal ke arah Adam yang masih belum mengerti situasi. “Pak, kami mau makan! Sudah lapar!” gerutunya lagi, yang disambut seruan dari beberapa gadis muda sekelas.

Mereka tidak keberatan jika harus menghabiskan beberapa detik untuk Adam, sebab parasnya yang menawan itu jauh lebih memikat dibandingkan dengan seluruh siswa di sekolah.

Hanya Adam yang terlihat seperti artis ibu kota. Kulitnya bersih, rambutnya hitam berkilauan, bibirnya ranum walau tidak pernah tersentuh pelembab, begitu pun dengan kukunya yang merah muda, sebab Adam tidak pernah menyentuh kretek meski hanya sebatang.

“Hallo ... Pak? Ngelamun si bapak!” seru remaja bengal itu lagi.

Tidak mau menunggu, dia lekas meninggalkan kursi. Berlagak sombong di depan Adam, remaja itu berjalan dengan menyisipkan dua tangan di saku. Dagunya terangkat, raut wajahnya menggambarkan kesombongan yang tersimpan di dalam hati.

“Bapak pamit duluan! Kalian silahkan istirahat,” sergah Adam lebih dulu.

Pemuda itu terlihat sibuk mengemas buku-buku pelajaran ke dalam tas kerjanya. Adam melirik sebentar ke arah murid yang baru saja diajar, sebelum kemudian berlari menuju parkiran yang diisi oleh sederet motor dan mobil milik guru dan murid. Mengabaikan pandangan heran dari para siswa di dalam kelas.

Berbekal kenekatan yang dimiliki, Adam ingin berjuang sekali lagi. Dia mengeluarkan motor matik keluaran tahun dua ribu lima belas itu dari parkiran, memakai helem tanpa memedulikan bentuk rambutnya yang bisa saja kusut. Adam tidak melupakan jaket hitam untuk melindungi lengan, serta sarung tangan untuk punggung tangan.

Setelahnya, pemuda itu memacu motor, membelah lapangan voli sebelum kemudian meluncur di atas aspal yang dibangun kepala sekolah. Perasaannya berdebar terlalu cepat, sampai Adam tidak mampu menahan.

Perjalanannya begitu pasti, Adam membelokkan motor menuju desa tempatnya tinggal selama ini. Melewati sebuah rumah gaya lama dengan halaman membentang luas seperti lapangan bola di daerah Buketrata, Adam berhenti di depan pagar hitam tinggi. Dilepasnya helem, jaket serta sarung tangan, pemuda itu hanya membawa dirinya serta tas jinjing kerjanya yang mulai kusam.

Dengan membaca Bismillah, Adam mengayunkan langkah. Rumah berwarna kuning terang di depannya terlihat sepi, tapi Adam tahu jika penghuninya ada di dalam. Wa Sari— istri dari Pak Wa Junaidi selalu ada di rumah, bersemedi dengan cucunya yang menggemaskan atau sekadar nonton tivi seharian.

Adam mengangkat tangannya, mengetuk daun pintu yang tebal dan kokoh. Lalu, selang beberapa detik, Wa Sari muncul dari sebaliknya.

Wajahnya seketika berubah saat menemukan Adam datang. Dia melirik ke dalam rumah sesaat, sebelum kemudian memberi celah untuk Adam masuk ke dalam.

“Masuk, Dam!” ujarnya ketus.

Adam mencoba berpikiran positif, dia membuka sepatu pantofelnya yang diganti setiap setahun sekali, lalu menginjakkan kaki di lantai keramik rumah Wa Sari dan Pak Wa Junaidi. Perasaannya berdesir hebat saat melihat Pak Wa Junaidi pun sedang berada di rumah, duduk di atas sofa berwarna krem sembari membaca koran edisi hari ini.

Adam meminta uluran dari Pak Wa Junaidi, mencium punggung tangan pria itu sebelum kemudian duduk di sofa. “Mau minum apa, Dam?” tawar Wa Sari.

“Tidak perlu, Wa, Adam sebentar saja,” balasnya santun.

Wa Sari mencebik, namun segera berlalu ke dapur tanpa menawarkan apapun lagi. Sesekali dia melirik ke arah Adam dan suaminya, sedang sesuatu terus berputar di dalam kepalanya.

“Jadi, kamu kenapa ke sini, Dam?” Pak Wa Junaidi melipat koran di tangannya.

“Be-begini, Pak Wa ... mengenai bantuan yang Pak Wa maksud di rumah Toke Sofyan itu ....”

“Bantuan?” Pak Wa Junaidi mengernyit. Hidungnya yang tinggi ikut berkerut.

“I-iya, bantuan. Untuk melamar Azizah.”

“Oh, kamu sudah pikirkan caranya?”

“A-apa aku bisa meminta ....”

“Jual saja dulu tanah orangtuamu itu. Bagi halaman rumahmu menjadi tiga bagian, dan Pak Wa akan bantu jualkan. Lagi pula, untuk apa halaman rumah sebesar lapangan bola, Dam? Kamu kan butuh uang untuk menikah!” ujar Pak Wa Junaidi sebelum kemudian bersandar di sofa.

Retak hati Adam seketika. Napasnya tercekat dalam hitungan detik. Bukan ini yang dia kira dengan bantuan, melainkan berupa pinjaman sesaat agar dia bisa menyanggupi mahar Azizah.

“Bagaimana? Jual saja, Dam.”

“Ta-tapi itu tanah satu-satunya, peninggalan ayah dan mamak, Wa. Tidak mungkin di ....”

“Loh, terus kamu mau melamar Azizah pakai apa? Pakai daun?” sergah Pak Wa Junaidi lagi.

Adam terpukul mundur. Wajahnya tertekuk saat mendengar betapanya nyaringnya Pak Wa Junaidi berkata. “Kalau Toke Sofyan mau terima, ya silahkan!”

“Apa Pak Wa tidak bisa pinjamkan ....”

“Enak saja kamu, Dam!” Wa Sari muncul dari arah dapur. Dia datang dengan pisau yang terhunus, bekas memotong sayur.

“Kamu kira, seratus manyam itu sedikit? Mau bayar pakai apa kamu kalau tidak dengan menjual tanah orangtuamu? Hah!”  imbuh Wa Sari lagi.

Dia tidak bisa berhenti menghela napas, kesal sekaligus marah dengan permintaan Adam yang begitu polos. Bagi Wa Sari, dia tidak peduli dengan keadaan Adam meski pemuda itu yatim piatu sekalipun.

“Wa-mu itu benar, Dam. Sudah, jual saja tanahnya. Kamu bagi tiga bagian halaman depannya, nanti Pak Wa bantu jualkan, ya? Cukup untuk menikahi Azizah dan membangun bisnis, hehe .”

“Nah itu dengarin uwakmu, Dam. Lagian, kamu sih ... mimpi ketinggian! Sama kayak ayah mak-mu dulu. Berharap bisa kuliahin kamu sampai gelar dokter, nyatanya duluan meninggal! Ninggalin beban ke keluarga yang mau nikah saja merepotkan banyak orang!”

“Mak, jangan begitu, ah ...,” tahan Pak Wa Junaidi. Dia melirik istrinya sebab menyinggung soal kakak yang telah meninggalkan dunia ini.

Adam tidak mampu menjawab apapun. Matanya memanas hingga nanar datang menyapa. Hatinya serasa dicabik, namun sebagai seorang pemuda tanpa keluarga kandung di dunia ini, dia tidak bisa apa-apa.

Sejak dulu, saat keluarga Pak Wa Razali dan Pak Wa Junaidi mempersoalkan perihal bagian warisan walau Adam adalah lelaki sekalipun. Sampai sekarang, saat dirinya berharap untuk pertama kali agar bisa diberi bantuan. Keluarga Ayahnya selalu saja sama, abai dan acuh pada nasibnya.

“Tanah itu, ayah wariskan untuk Adam jaga, Wa. Ayah tidak mengizinkan tanah itu dijual, karena itu ....”

“Kalau begitu, lupakan Azizah. Jangan berharap bisa menikahi anaknya Toke Sofyan!” sergah Wa Sari lagi.

Dia menghentak kakinya di lantai, lalu ngacir menjauh dari ruang keluarga. Emosinya diledakkan melalui pukulan-pukulan keras di talenan kayu. Untung saja, suaminya tidak meminjankam emas sebanyak itu untuk Adam, jika tidak bisa seumur hidup hatinya panas memikirkan uang dan keuntungan yang tidak kunjung datang.

“Terima kasih kalau begitu, Wa ...,” pamit Adam yang diangguki Pak Wa Junaidi.

Pemuda itu mengangkat tas kerjanya,  kemudian meniti langkah menuju pintu depan tanpa pernah menoleh meski hanya sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status