Meninggalkan rumah Pak Wa Junaidi, Adam memacu kembali motor matik menuju rumah Pak Wa Razali. Pria yang dinilai Adam punya perilaku yang baik itu mungkin juga sedang ada di rumahnya, duduk berdua dengan istri serta cucunya.
Harap Adam terus menggema hingga ke langit. Seribu do’a dia panjatkan di dalam hati begitu mendapati rumah Pak Wa Razali terbuka pintunya. Sudah pasti, Pak Wa Razali atau minimal sang istri ada di dalam sana.
Adam mendorong motornya hingga ke halaman, melepas helem dan menenteng lagi tas kerja menuju teras rumah Pak Wa Razali. Berbeda dengan saat mendatangi Pak Wa Junaidi, Wa Yun—istri Pak Wa Razali menyambutnya ramah.
Air muka dari wanita yang berusia akhir empat puluhan itu terlihat bahagia, menyebabkan debar-debar penuh harap terpancar di paras Adam saat ini. Pemuda itu ikut tersenyum ramah saat Wak Yun memberinya kesempatan untuk berbicara dengan Pak Wa Razali. Adik dari ayahnya itu sedang duduk di meja makan, menikmati makan siangnya yang mewah hasil masakan dari Wak Yun sendiri.
“Kamu datang, Dam!” sapa Pak Wa Razali, kemudian dia menyuap sesendok penuh nasi kuning dan suwiran ayam sambal yang harum. “Kamu kenapa, sih?” imbuh Pak Wa Razali lagi.
Baru saja hendak berkata, Adam malah diterpa masalah kedua. Tatapan Pak Wa Razali saat ini serupa elang padanya; penuh kebencian dan rasa tidak suka. Menawarkan duduk di meja saja tidak dilakukan olehnya. Pak Wa Razali berubah total dibanding apa yang bisa diingat oleh Adam setelah pertemuan terakhir mereka di rumah Toke Sofyan.
“Kamu benar-benar bikin malu!” hardiknya.
Pak Wa Razali melempar garpu dan sendok, menyebabkan bunyi berdenting nan keras hingga Wak Yun terkejut. Wak Yun yang sibuk membereskan dapurnya yang cantik menolehkan wajah, menatap Adam yang berdiri dengan wajah sayu dan punggung suaminya.
“Pak Wa kan sudah bilang, jangan memaksakan kehendak! Kamu sulit dikasih tahu!” Pak Wa Razali terus menghardik. Ucapannya membuat Adam membuka ingatan hari itu, saat mereka bertiga pulang dari rumah Toke Sofyan.
Saat itu, Pak Wa Razali memang semarah ini, dia menentang keinginan Adam untuk melanjutkan upaya melamar Azizah meski sudah dihina dan dicaci Toke Sofyan. Tidak hanya sampai di situ, Pak Wa Razali juga tidak menyukai gagasan Adam yang baru didengarnya dari Pak Wa Junaidi beberapa menit sebelum Adam tiba di rumahnya.
“Kamu mau minjam emas di rumahnya Junaidi?” seloroh Pak Wa Razali. Setelahnya, dia meneguk air putih dari gelas sloki yang baru saja dibawakan istrinya.
Pak Wa Razali mendengkus beberapa kali. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan cara Adam mengambil keputusan. “Kamu itu sudah dibutakan oleh cinta, sampai mahar seratus mayam saja mau kamu usahakan! Sekarang, Junaidi marah-marah sama Pak Wa. Dia menuduh Pak Wa yang memberimu saran untuk meminjam emas di tokonya.”
“Yah? Yang tenang ...,” imbuh Wak Yun.
Wanita berjilbab hijau pupus itu mengusap pundak suaminya. Berharap, jika Pak Wa Razali mau melunakkan suara dan berhenti membentak Adam.
“Tenang bagaimana, Mak? Apa Mamak tahu, kemarin Ayah bertemu Toke Sofyan di pasar, dia lantang menghina keluarga kita yang nekad melamar Azizah. Seratus mayam itu, dua ratus juta, Mak. Dari pada melamar mending Ayah beli mobil sekalian.”
“Ya, Mamak tahu, tapi kan yang mau menikah itu, Adam ... bukan anak kita.”
“Ini perandaian, Mak. Kalau untuk anak sendiri saja Ayah enggak mau usahakan, apa lagi untuk anaknya orang lain!” sambung Pak Wa Razali.
Adam tercengang mendengar begitu tajamnya kalimat dari pria di depannya ini. Tubuhnya seketika bergetar bagaikan disengat oleh listrik. Dia yang berharap bisa mendapatkan bantuan atau setidaknya jalan keluar, terus-menerus dihadapkan dengan kenyataan nan pahit.
“Tidak masuk akal! Sudah gila!” Pak Wa Razali terus menyentak suaranya.
Dia berdehem sekali dengan keras, lalu meninggalkan kursi tempatnya makan tanpa menghabiskan makan siang. Baru beberapa langkah, Pak Wa Razali berbalik badan, dia menunjuk ke arah Adam yang menatapnya nanar. “Awas kalau sekali lagi kamu minta bantuan Pak Wa buat melamar Azizah, Dam. Pak Wa sendiri yang akan buat kamu sadar kalau kamu itu memang tidak tahu diri!”
Setelahnya, hanya terdengar bunyi berdebam dari pintu yang dibanting Pak Wa Razali. Pria itu menyisakan kekagetan yang luar biasa di dalam hati istrinya, dan juga rasa sakit di batin Adam.
Pemuda yang berusaha mendapatkan kebahagiaan itu, menelan air liur. Hatinya berdenyut perih di dalam dada, pun jantungnya berdetak terlalu cepat.
Matanya kian berembun, apa lagi saat Wak Yun mendekati dirinya. Wanita itu mengeluarkan sesuatu dari balik saku gamis, kemudian menyisipkannya ke dalam genggaman tangan Adam yang terasa dingin.
“Wak minta maaf karena tidak bisa membantumu, Dam. Kamu anak baik, seperti kedua orangtuamu. Wak minta maaf karena dunia ini begitu kejam sama kamu. Wak minta maaf karena suami Uwak juga kejam sama kamu. Maafkan kami, karena untuk pertama kali kamu datang meminta bantuan, kami tidak bisa membantu.” Suara Wak Yun mulai bergetar.
Adam menggeleng lemah, bibirnya yang sebenarnya bergetar dipaksakan olehnya untuk tersenyum. Bagi Adam, nasib yang menerpa dirinya itu bukan salah siapapun. Memang kenyataannya begini, dia dilahirkan dan ditinggalkan di dunia ini atas nama takdir Ilahi.
“Jangan minta maaf, Wak.”
“Ini, ambil, Dam. Ini uang julo-julo (arisan) Uwak yang diantarkan tadi. Pakai buat kebutuhan lamaran kamu. Adanya lima juta, setidaknya sudah dapat dua mayam lagi,” sambung Wak Yun.
Air mata yang berombak di kelopaknya terus menabrak batas, kemudian terjun di pipinya yang mulai keriput. Apa yang dialami Adam membuat Wak Yun terus mengingat akan anak laki-laki bungsunya yang sedang belajar di ibu kota. Di dalam hatinya yang luas, Wak Yun ingin memberikan yang terbaik pula untuk Adam, namun kemampuannya hanya sebatas ujung jari Pak Wa Razali.
“Tidak usah, Wak. Simpan saja untuk nikahan anak Uwak nantinya. Adam pamit, ya?” ujarnya seraya mendorong gulungan uang yang disodorkan Wak Yun.
Ekspresi Wak Yun berubah pucat. Dia segera memaksa Adam agar menerima pemberiannya dengan memasukkan gulungan itu ke dalam tas kerja Adam. “Ambil, Wak marah kalau nolak, Dam. Jangan tolak niat baik Uwak. Uangnya tidak usah kamu ganti. Uang ini Pak Wa tidak tahu, jadi jangan dipikirkan lagi.”
“Tidak, terima kasih banyak untuk niat baik Wak Yun. Adam pulang dulu, Wak ....”
Adam memberi senyuman tipis untuk Wak Yun. Dia menarik lembut tangan wanita itu, lalu mengecup punggungnya seperti yang selalu dilakukan pada almarhumah ibunya.
Air matanya yang sedari tadi terus bergelombang, terjejak di punggung tangan Wak Yun. Terlihat oleh Wak Yun, yang menyebabkan wanita itu menangis seketika. “Ya Allah, nasibmu ....”
Wak Yun segera berlalu, dia berlari kecil menuju dapur. Wak Yun terlihat sibuk, dia mengeluarkan rantangan dua susunnya dari lemari gantung, kemudian buru-buru mengisi dengan nasi kuning serta ayam suwir sambal hingga penuh.
“Ini, bawa pulang untuk makan siang, Dam. Kamu tidak perlu masak. Kamu harus terus berjuang, Dam. Datangi orang lain yang bisa kamu mintai pertolongan, Wak percaya tidak semua orang hatinya keras, Dam,” ujar Wak Yun.
Usai berkata seperti itu, Wak Yun mendorong punggung Adam. Dia memaksa Adam untuk segera meninggalkan rumahnya sebelum Pak Wa Razali keluar. Hatinya cemas, jika suaminya yang keras kepala itu juga tidak mengizinkan Adam untuk membawa pulang makanan dari rumah ini meski hanya secuil.
Terpaksa, Adam menerima. Wak Yun segera menarik pintu depan rumahnya tanpa berkata apapun lagi pada Adam. Membuat Adam tidak kuasa menahan sedih di dalam hatinya yang terus berdenyut sakit.
“Ya Allah, Ya Rabb ...,” rintih Adam. Dia mengangkat wajahnya yang rupawan, menatap semburat matahari siang yang terik di pucuk langit sana.
Matanya mendadak perih, sinar yang terlalu terang menyiksa mata Adam. “Bantu hamba, Ya Allah. Bantulah, dan berikan jalan yang terbaik untuk hamba ...,” ibanya, membiarkan air mata mengalir hingga ke garis rahang.
Namun Adam memutuskan untuk bertahan, dia menyimpan rantang dari Wak Yun di bagasi motor, kemudian mulai menyusun rencana di dalam kepala agar bisa menjemput Azizahnya.
“Pak? Ngitungin duit orang itu perlu ya, Pak?” Salah satu siswi yang diajari Adam berseru dari arah belakang. Dia melirik sekali lagi brosur dari salah satu kampus yang didapatkannya beberapa hari lalu.Pertanyaan itu membuat Adam seketika menengadahkan wajah. Dia yang sedari tadi sibuk memeriksa buku PR para siswa dikejutkan dengan pertanyaan mendadak.Adam memicingkan matanya yang lelah, semalaman menghubungi ke sana ke mari demi secuil pertolongan membuat fisiknya lemah. Tetapi demi mengemban tugas yang mulia walau dengan bayaran kecil, Adam bertahan sekuat tenaga.“Pak? Malah ngehayal lagi!” tegur siswi itu.Gadis muda dengan gigi gingsul yang manis terus menautkan pandangannya pada Adam. Lalu, saat netra keduanya bertemu, Adam segera berdehem. Hatinya terusik ketika bibir merah muda muridnya tersenyum padanya, dalam arti yang diterjemahkan Adam secara berbeda. Risih dan merasa bersalah, Adam tidak bisa menjauh dari dua kata itu.“Naya, tolong antarkan buku-buku ini ke kantor Bap
Motor Adam meluncur cepat, keluar dari Jalan Darussalam menuju Jalan Gudang. Hatinya kini begitu menggebu dengan semangat membara meski terik matahari memayungi perjalannnya.Di kepala Adam terus terbayangkan, dua mayam selanjutnya yang akan segera berpindah tangan. Artinya, selangkah lebih dekat menuju Azizahnya yang begitu didamba.Adam menghentikan laju motor, dia memarkir kuda besinya yang mulai tua dan membiarkan tukang parkir mengambil alih. Langkahnya kian tegas menuju sebuah toko emas dengan lambang bintang. Pria bertubuh kurus dengan jam tangan kekuningan menyambut kehadiran Adam.“Toke, dua mayam!” tegas Adam seraya menunjuk deretan cincin di dalam etalase. Hatinya berdebar hebat tatkala melihat deretas emas dalam berbagai ukuran. “Sungguh bagi para Toke Emas, menyanggupi mahar seratus mayam adalah hal yang mudah,” pikirnya.Dua pembeli di sebelah Adam ikut mencuri pehatiannya. Mereka memborong dalam jumlah yang sangat besar. Dua gelang tebal dan seuntai kalung nan berat. P
Adam berbaring di ranjang, memandangi layar gawai dan sederet pesan tadi siang. Perasaan pemuda itu semakin tidak karuan, isi chat yang dikirimkan oleh pemilik nama Azizah telah mengusik ketenangan hatinya yang rapuh.Bagi Adam, Azizah adalah perwujudan dari harapannya selama ini. Namun saat dia ingin berjuang untuk meraih mimpinya sendiri, telapak kakinya seakan menancap di tanah, begitu pula dengan orang-orang di sekitarnya yang selalu mencoba menahan langkah Adam menuju Azizah.Dielusnya dada untuk kesekian kali. Bimbang dan bingung terus merambati nadi. Pikiran Adam tidak bisa tenang meski sesaat, membayangkan bagaimana risaunya Azizah menanti perjuangannya di seberang sana.[Bang Adam, hari ini Azizah mendengar dari ayah perihal Bang Adam yang mencari pinjaman. Azizah merasa bersalah karena tidak mampu melunakkan hati ayah untuk menurunkan jumlah mahar. Azizah sendiri tidak berharap diberikan mahar sebanyak itu, karena nilainya saja sudah tidak masuk akal.
Adam terlihat pilu saat menempati salah satu meja di sudut ruangan sendirian. Peluhnya membanjiri pelipis, sesekali dia seka dengan tisu yang disediakan restoran. Meski begitu, kenyataan jika hatinya gundah gulana tetap saja mengundang bulir keringat yang baru.Saat ini, Adam tidak bisa berhenti memikirkan Azizahnya. Gadis menawan yang akan datang sebentar lagi dengan sepupunya itu, ingin berbicara tentang sesuatu yang membuat perasaan Adam kian tidak karuan.Terpaksa, Adam menghela dalam napasnya kini. Sesaknya mulai terasa saat siluet dari tubuh ramping berbalut gamis biru gelap dan pashmina coklat terlihat. Di sebelahnya, ada gadis muda dengan pakaian yang lebih trendi. Kulot gelap dipadukannya dengan atasan oversize serta pashmina yang terlilit di leher.Adam segera memindahkan pandangannya, merasa berdosa begitu kedua gadis itu mendekat padanya. Merekalah yang ditunggu Adam, hingga dia duduk sendirian dengan pelipis banjir dan punggung yang basah.&l
Dug Dug DugAdam tidak bisa menghentikan debaran nan kuat itu saat melihat wajah bersih dari pemuda yang ada di dalam gambar. Dialah anak dari toke emas lain di Aceh yang setara dengan Toke Sofyan, bahkan sepengetahuan Adam Teuku Idris sudah mulai merambah bisnis emas yang lebih milenial saat ini.Adam pun pernah melihat pemuda ini di sekolahnya, mengantar salah satu guru dengan pajero putih hingga para siswi di sekolahnya terlena cukup lama. Ya, Teuku Idris— putra dari Bu Erna dan Toke Surya merupakan pria muda yang membuat pria lainnya seperti Adam merasa rendah diri.Kini, dia dihadapkan dalam pertarungan langsung dengan Idris, pemuda kaya raya yang bisa memenuhi semua tuntutan dari Toke Sofyan. Adam merasa kalah sebelum bertanding. Sudah sebulan lebih berjuang, di tangannya tergenggam tidak lebih dari lima belas mayam, sedangkan Teuku Idris, bisa menyanggupi hingga satu kilogram tanpa rasa keberatan. Tragis, Adam merasa segalanya tidak adil.Di antara semua gadis, kenapa harus Azi
“Kamu ngomongin apa sama Bang Adam tadi, Nay?” Azizah menelisik dari arah punggung.Dia yang diboncengi Naya sejak datang dan pulang, tidak bisa melepaskan pikiran dari Adam dan Naya. Keduanya terlibat perbincangan yang begitu serius saat dirinya keluar dari restoran karena tersinggung dengan ucapan dari Naya.Saat itu, Azizah yang terlanjur mengikuti perasaannya, hanya bisa mengintip Adam dan Naya. Membawa rasa penasaran yang dalam akan apa yang mereka bicarakan hingga Naya baru keluar dari restoran tiga puluh menit kemudian. Lebih dari itu, Azizah merasa cemburu, sebab wajah Naya menunjukkan kepuasaan yang teramat dalam.“Nay? Kalian ngomongin apa?” tuntut Azizah lagi.Dia sengaja mengintip ekspresi Naya dari spion kanan. Wajahnya yang tertutup helem bogo milik Naya malah terpatut di spion, namun dia tidak berhasil menemukan yang dicarinya.“Kak, minggirin wajahnya, spionku kehalang tahu!” sungut Naya, masih mencoba mengulur waktu untuk menjawab Azizah.“Kakak penasaran, Nay. Kalian
Toke Jaya melipat bungkus nasi padang yang baru dibelinya. Baru sesuap kecil dan itu tidak sempat dinikmati dengan nyaman. Toke Jaya tidak bisa merasa tenang jika harus berhadapan dengan gadis kecilnya yang telah remaja— Naya. Apa lagi, di belakangnya muncul seorang pemuda rupawan yang serupa dengan lelaki impian Naya. Bentuk wajah, postur tubuh serta ekspresi, semua poin-poin yang melekat di Adam itu selalu disebutkan Naya sebagai lelaki idamannya jika akan menikah nanti.“Jadi, dia ....”“Yah, emas yang ini buat Naya!”Mata Toke Jaya seketika membeliak tidak percaya. Sergahan yang melesat dari bibir ranum anak gadisnya membuat seorang pengusaha ternama sepertinya juga bisa tercengang.Dia bisa menebak sesuatu yang ada di dalam kotak itu, namun Toke Jaya belum mampu menerka berapa harga isinya. “Berapa mayam, Nay?”“Seratus, Yah!” ungkap Naya sembari mengeluarkan untaian kalung rantai dari dala
Wajah Adam memucat saat mendapati Toke Sofyan masuk ke ruang tamu rumahnya yang megah. Dia duduk dengan cara menghempas tubuh sampai bunyi berderak terdengar.Ketidaksukaannya terhadap Adam terasa samar dibanding sebelumnya. Ekspresi Toke Sofyan kali ini jauh berbeda dengan apa yang dihadapi Adam sebulan lalu. Toke Sofyan terlihat bahagia, hingga bersenandung pelan, mendendangkan irama lagu bungong jeumpa sendirian di sofa.Tidak ada sang istri, atau Azizah. Toke Sofyan sendiri yang menyambut kehadiran dari pemuda yang ingin melamar Azizahnya untuk kali kedua. Bibirnya terus melengkung, sesekali mencebik, sesuai dengan suasana hatinya.“Duduk!” perintahnya tanpa ada kesan ramah.Melihat itu semua, Adam menghela napas. Langkah Adam mencoba menduduki sofa megah yang pernah menjadi saksi atas luka yang dirasa. Di dekatnya, Teungku Imum berbisik pelan, “Sudah sampaikan pada Azizah, Dam?”Adam mengangguk pelan. “Ta