Share

Bab 3: Wak Yun

Author: Bemine
last update Last Updated: 2022-09-24 12:02:50

Meninggalkan rumah Pak Wa Junaidi, Adam memacu kembali motor matik menuju rumah Pak Wa Razali. Pria yang dinilai Adam punya perilaku yang baik itu mungkin juga sedang ada di rumahnya, duduk berdua dengan istri serta cucunya.

Harap Adam terus menggema hingga ke langit. Seribu do’a dia panjatkan di dalam hati begitu mendapati rumah Pak Wa Razali terbuka pintunya. Sudah pasti, Pak Wa Razali atau minimal sang istri ada di dalam sana.

Adam mendorong motornya hingga ke halaman, melepas helem dan menenteng lagi tas kerja menuju teras rumah Pak Wa Razali. Berbeda dengan saat mendatangi Pak Wa Junaidi, Wa Yun—istri Pak Wa Razali menyambutnya ramah.

Air muka dari wanita yang berusia akhir empat puluhan itu terlihat bahagia, menyebabkan debar-debar penuh harap terpancar di paras Adam saat ini. Pemuda itu ikut tersenyum ramah saat Wak Yun memberinya kesempatan untuk berbicara dengan Pak Wa Razali. Adik dari ayahnya itu sedang duduk di meja makan, menikmati makan siangnya yang mewah hasil masakan dari Wak Yun sendiri.

“Kamu datang, Dam!” sapa Pak Wa Razali, kemudian dia menyuap sesendok penuh nasi kuning dan suwiran ayam sambal yang harum. “Kamu kenapa, sih?” imbuh Pak Wa Razali lagi.

Baru saja hendak berkata, Adam malah diterpa masalah kedua. Tatapan Pak Wa Razali saat ini serupa elang padanya; penuh kebencian dan rasa tidak suka. Menawarkan duduk di meja saja tidak dilakukan olehnya. Pak Wa Razali berubah total dibanding apa yang bisa diingat oleh Adam setelah pertemuan terakhir mereka di rumah Toke Sofyan.

“Kamu benar-benar bikin malu!” hardiknya.

Pak Wa Razali melempar garpu dan sendok, menyebabkan bunyi berdenting nan keras hingga Wak Yun terkejut. Wak Yun yang sibuk membereskan dapurnya yang cantik menolehkan wajah, menatap Adam yang berdiri dengan wajah sayu dan punggung suaminya.

“Pak Wa kan sudah bilang, jangan memaksakan kehendak! Kamu sulit dikasih tahu!” Pak Wa Razali terus menghardik. Ucapannya membuat Adam membuka ingatan hari itu, saat mereka bertiga pulang dari rumah Toke Sofyan.

Saat itu, Pak Wa Razali memang semarah ini, dia menentang keinginan Adam untuk melanjutkan upaya melamar Azizah meski sudah dihina dan dicaci Toke Sofyan. Tidak hanya sampai di situ, Pak Wa Razali juga tidak menyukai gagasan Adam yang baru didengarnya dari Pak Wa Junaidi beberapa menit sebelum Adam tiba di rumahnya.

“Kamu mau minjam emas di rumahnya Junaidi?” seloroh Pak Wa Razali. Setelahnya, dia meneguk air putih dari gelas sloki yang baru saja dibawakan istrinya.

Pak Wa Razali mendengkus beberapa kali. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan cara Adam mengambil keputusan. “Kamu itu sudah dibutakan oleh cinta, sampai mahar seratus mayam saja mau kamu usahakan! Sekarang, Junaidi marah-marah sama Pak Wa. Dia menuduh Pak Wa yang memberimu saran untuk meminjam emas di tokonya.”

“Yah? Yang tenang ...,” imbuh Wak Yun.

Wanita berjilbab hijau pupus itu mengusap pundak suaminya. Berharap, jika Pak Wa Razali mau melunakkan suara dan berhenti membentak Adam.

“Tenang bagaimana, Mak? Apa Mamak tahu, kemarin Ayah bertemu Toke Sofyan di pasar, dia lantang menghina keluarga kita yang nekad melamar Azizah. Seratus mayam itu, dua ratus juta, Mak. Dari pada melamar mending Ayah beli mobil sekalian.”

“Ya, Mamak tahu, tapi kan yang mau menikah itu, Adam ... bukan anak kita.”

“Ini perandaian, Mak. Kalau untuk anak sendiri saja Ayah enggak mau usahakan, apa lagi untuk anaknya orang lain!” sambung Pak Wa Razali.

Adam tercengang mendengar begitu tajamnya kalimat dari pria di depannya ini. Tubuhnya seketika bergetar bagaikan disengat oleh listrik. Dia yang berharap bisa mendapatkan bantuan atau setidaknya jalan keluar, terus-menerus dihadapkan dengan kenyataan nan pahit.

“Tidak masuk akal! Sudah gila!” Pak Wa Razali terus menyentak suaranya.

Dia berdehem sekali dengan keras, lalu meninggalkan kursi tempatnya makan tanpa menghabiskan makan siang. Baru beberapa langkah, Pak Wa Razali berbalik badan, dia menunjuk ke arah Adam yang menatapnya nanar. “Awas kalau sekali lagi kamu minta bantuan Pak Wa buat melamar Azizah, Dam. Pak Wa sendiri yang akan buat kamu sadar kalau kamu itu memang tidak tahu diri!”

Setelahnya, hanya terdengar bunyi berdebam dari pintu yang dibanting Pak Wa Razali. Pria itu menyisakan kekagetan yang luar biasa di dalam hati istrinya, dan juga rasa sakit di batin Adam.

Pemuda yang berusaha mendapatkan kebahagiaan itu, menelan air liur. Hatinya berdenyut perih di dalam dada, pun jantungnya berdetak terlalu cepat.

Matanya kian berembun, apa lagi saat Wak Yun mendekati dirinya. Wanita itu mengeluarkan sesuatu dari balik saku gamis, kemudian menyisipkannya ke dalam genggaman tangan Adam yang  terasa dingin.

“Wak minta maaf karena tidak bisa membantumu, Dam. Kamu anak baik, seperti kedua orangtuamu. Wak minta maaf karena dunia ini begitu kejam sama kamu. Wak minta maaf karena suami Uwak juga kejam sama kamu. Maafkan kami, karena untuk pertama kali kamu datang meminta bantuan, kami tidak bisa membantu.” Suara Wak Yun mulai bergetar.

Adam menggeleng lemah, bibirnya yang sebenarnya bergetar dipaksakan olehnya untuk tersenyum. Bagi Adam, nasib yang menerpa dirinya itu bukan salah siapapun. Memang kenyataannya begini, dia dilahirkan dan ditinggalkan di dunia ini atas nama takdir Ilahi.

“Jangan minta maaf, Wak.”

“Ini, ambil, Dam. Ini uang julo-julo (arisan) Uwak yang diantarkan tadi. Pakai buat kebutuhan lamaran kamu. Adanya lima juta, setidaknya sudah dapat dua mayam lagi,” sambung Wak Yun.

Air mata yang berombak di kelopaknya terus menabrak batas, kemudian terjun di pipinya yang mulai keriput. Apa yang dialami Adam membuat Wak Yun terus mengingat akan anak laki-laki bungsunya yang sedang belajar di ibu kota. Di dalam hatinya yang luas, Wak Yun ingin memberikan yang terbaik pula untuk Adam, namun kemampuannya hanya sebatas ujung jari Pak Wa Razali.

“Tidak usah, Wak. Simpan saja untuk nikahan anak Uwak nantinya. Adam pamit, ya?” ujarnya seraya mendorong gulungan uang yang disodorkan Wak Yun.

Ekspresi Wak Yun berubah pucat. Dia segera memaksa Adam agar menerima pemberiannya dengan memasukkan gulungan itu ke dalam tas kerja Adam. “Ambil, Wak marah kalau nolak, Dam. Jangan tolak niat baik Uwak. Uangnya tidak usah kamu ganti. Uang ini Pak Wa tidak tahu, jadi jangan dipikirkan lagi.”

“Tidak, terima kasih banyak untuk niat baik Wak Yun. Adam pulang dulu, Wak ....”

Adam memberi senyuman tipis untuk Wak Yun. Dia menarik lembut tangan wanita itu, lalu mengecup punggungnya seperti yang selalu dilakukan pada almarhumah ibunya.

Air matanya yang sedari tadi terus bergelombang, terjejak di punggung tangan Wak Yun. Terlihat oleh Wak Yun, yang menyebabkan wanita itu menangis seketika. “Ya Allah, nasibmu ....”

Wak Yun segera berlalu, dia berlari kecil menuju dapur. Wak Yun terlihat sibuk, dia mengeluarkan rantangan dua susunnya dari lemari gantung, kemudian buru-buru mengisi dengan nasi kuning serta ayam suwir sambal hingga penuh.

“Ini, bawa pulang untuk makan siang, Dam. Kamu tidak perlu masak. Kamu harus terus berjuang, Dam. Datangi orang lain yang bisa kamu mintai pertolongan, Wak percaya tidak semua orang hatinya keras, Dam,” ujar Wak Yun.

Usai berkata seperti itu, Wak Yun mendorong punggung Adam. Dia memaksa Adam untuk segera meninggalkan rumahnya sebelum Pak Wa Razali keluar. Hatinya cemas, jika suaminya yang keras kepala itu juga tidak mengizinkan Adam untuk membawa pulang makanan dari rumah ini meski hanya secuil.

Terpaksa, Adam menerima. Wak Yun segera menarik pintu depan rumahnya tanpa berkata apapun lagi pada Adam. Membuat Adam tidak kuasa menahan sedih di dalam hatinya yang terus berdenyut sakit.

“Ya Allah, Ya Rabb ...,” rintih Adam. Dia mengangkat wajahnya yang rupawan, menatap semburat matahari siang yang terik di pucuk langit sana.

Matanya mendadak perih, sinar yang terlalu terang menyiksa mata Adam. “Bantu hamba, Ya Allah. Bantulah, dan berikan jalan yang terbaik untuk hamba ...,” ibanya, membiarkan air mata mengalir hingga ke garis rahang.

Namun Adam memutuskan untuk bertahan, dia menyimpan rantang dari Wak Yun di bagasi motor, kemudian mulai menyusun rencana di dalam kepala agar bisa menjemput Azizahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Harta, Cinta dan Mahar Emas yang Orangtuamu Minta   TAMAT - Bab 48: Penjelasan (2)

    “Seorang ayah akan melakukan apapun untuk anaknya, Ayah. Saya sekarang seorang ayah, sedikit banyak saya mulai memahami perasaan Ayah untuk Naya.”Adam mengulurkan tangan, dia menjabat Toke Jaya, menundukkan kepala dan menciumi punggung tangan mertuanya. Kata maaf terus terucap dari mulutnya, disertai rintik kecil dari air mata.Hari kedua, Adam mulai aktif mengurusi Naya dan putranya. Dia mengajak Naya mengobrol, membantu Naya ke kamar mandi, menyuapi dan menggantikan pakaian sang istri. Ibu mertuanya bahkan tidak perlu turun tangan sama sekali, kecuali saat mengurus bayi kecil Adam.Kabar soal Naya melahirkan mulai tersebar. Banyak kerabat, tetangga dan teman Naya berdatangan ke rumah sakit. Mereka berkunjung dalam kelompok besar, sampai beberapa kali pihak Rumah Sakit memberi teguran.Lalu, saat sore menjelang magrib, Toke Sofyan muncul dengan keluarganya. Tidak ada Azizah di antara mereka. Rupanya, Azizah sudah datang kemarin, dia dihubungi oleh Toke Jaya dan diminta untuk datang

  • Harta, Cinta dan Mahar Emas yang Orangtuamu Minta   Bab 48: Penjelasan (1)

    [10 panggilan tak terjawab]Adam hanya melirik layar gawainya. Ini sudah hari kedua dia memilih bungkam. Apa yang ditemukannya di rumah Toke Jaya membuatnya banyak berpikir. Entah apa yang sebenarnya terjadi sampai emas itu kembali ke rumah Toke Jaya. Satu-satunya orang yang terpikir oleh Adam hanyalah Naya-istrinya sendiri.Pesan serta telepon dari beberapa orang diabaikan oleh Adam. Pria itu memilih memusatkan perhatiannya di layar komputer, menyelesaikan sisa pekerjaan sebelum jam pulang kerja. Namun, sisi lain dari hatinya terus menanyakan keadaan Naya.Drt[Naya sudah melahirkan di rumah sakit S, Bang Adam. Belum diazankan bayinya, semua menunggu Bang Adam.]Membaca pesan yang dikirimkan oleh Azizah, Adam terenyak. Pria itu berdiri dari kursinya, kemudian menatap kosong ke layar gawai.Apa yang sudah dilakukan olehnya sampai Naya melahirkan tanpa dirinya?“Kenapa, Dam?” salah satu rekan kerjanya bertanya.Pria itu menjambak rambut, kebingungan. Ini semua terasa tidak nyata. Tinda

  • Harta, Cinta dan Mahar Emas yang Orangtuamu Minta   Bab 47: Tuduhan

    “Memang kau itu bawa sial! Sudah yatim piatu, sekarang kau buat anakku jadi janda.” Toke Sofyan menggebu-gebu.Teriakannya itu membuat semua orang datang ke toko emas Toke Jaya. Mereka memandangi apa yang terjadi, menceritakan bahkan juga merekam.Hal yang membuat Toke Sofyan kesal dan ingin meluapkannya pada Adam adalah, Azizah dan teuku Idris belum juga hamil, sedangkan Naya dan Adam yang menikah belum lama sudah lebih dulu menanti kelahiran anak pertama. Tentu saja Toke Sofyan merasa sangat kalah dari Toke Jaya dan Adam.Hinaan demi hinaan terus dialamatkannya pada Adam. Pria itu juga menunjuk kening Adam, bahkan menyumpahinya. Adam lebih banyak diam, dibiarkannya Toke Sofyan banyak bicara sampai Toke Jaya sendiri yang melerai.“Sudahlah! Jangan salahkan mantuku dengan apa yang terjadi pada anakmu, Bang. Semua orang juga tahu kalau perceraian Azizah itu karena kamu sendiri. Azizah tidak cinta sama Idris, tapi kamu paksa, setelah menikah kamu selalu mengatur rumah tangga mereka. Sek

  • Harta, Cinta dan Mahar Emas yang Orangtuamu Minta   Bab 46: Ujian Pernikahan

    “Apa saya boleh bertemu Naya?” Adam bertanya pelan.Pria itu terlihat bingung saat mampir ke rumah Toke Jaya. Tangannya menenteng plastik berisi beberapa kue kesukaan Naya.Tidak habis keterkejutan Adam dengan tidak adanya Naya di rumah serta tidak aktifnya gawai sang istri, kini Naya malah menolak bertemu dengannya. Dia mengurung diri di kamar, enggan makan, hanya tiduran.Dengan izin Toke Jaya, Adam masuk ke kamar Naya. Pria itu mengetuk pintu, lalu mendorong pintu kamar dengan pelan. Diintipnya dahulu, Naya bersembunyi di balik selimut, bahkan mengencangkan pegangannya agar Adam tidak bisa menarik.Pria itu hanya menghela napas. Dia mendudukkan diri di samping Naya.“Ayah sudah cerita semuanya, Dek.” Ucapan pertama Adam pada Naya.“Hm ....”“Bangun dan bicaralah. Ini semua pesan dari Zizah!” ucap Adam kemudian.Naya sempat menolak, tapi dia juga penasaran dengan apa yang selanjutnya terjadi. Akhirnya, Naya menyibak selimut. Dia mendapati Adam sedang mengulurkan gawainya pada Naya.

  • Harta, Cinta dan Mahar Emas yang Orangtuamu Minta   Bab 45: Naya Cemburu

    Sepeninggal Adam, Naya membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia memastikan jika Adam tidak ada lagi di dekatnya. Naya merasa sangat malu dengan apa yang telah terjadi semalam. Memang salahnya sudah memancing Adam, tapi jika dirinya tidak memulai maka Adam hanya akan tetap jalan di tempat. Lalu, saat sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, Naya mendengar bunyi getar dari meja nakas. Awalnya Naya mengira jika itu adalah gawainya, tapi ternyata gawainya sepi, sedangkan gawai milik suaminya bergetar berulangkali. Naya ragu, apakah sopan jika dia melihat siapa yang menghubungi suaminya di pagi hari. Tapi, saat Naya melirik ke layar gawai yang menyala, hatinya seketika merasa sakit. Ada nama Azizah yang muncul. Kakak sepupu sekaligus mantan kekasih dari suaminya mengirimi pesan beruntun. Naya kalap, dia langsung mengambil gawai Adam dan membaca semua pesan yang dikirimkan oleh Azizah. [Bang, Zizah minta maaf karena tidak mampu mempertahankan hubungan kita dulu. Zizah minta

  • Harta, Cinta dan Mahar Emas yang Orangtuamu Minta   Bab 44: Rumah Tangga Adam (2)

    “Kita mau makan malam apa, Dek?” tanya Adam saat sedang menyetir. Pria itu baru saja menjemput istrinya dari kampus. Jam sudah menunjukkan angka lima sore saat mereka bergerak menuju Kota Lhokseumawe. “Hm, hm ....” Naya menggumam. Istri dari pria dengan paras menenangkan itu malah sibuk menggigit roti isi miliknya. Adam benar-benar tahu cara membahagiakan sang istri. Semalam, Naya bercerita soal teman kelasnya yang dibelikan roti isi dari sebuah toko roti ternama di kota. Ada berbagai jenis roti dengan isian yang melimpah dan masih cukup terjangkau. Hal itu dipahami oleh Adam sebagai sebuah permohonan, hingga Adam langsung mampir ke toko roti yang disebut Naya sebelum pergi menjemputnya. “Apa mau mampir dan makan di rumah ayah?” tawar Adam. Pria itu menatap jalanan yang sesak. Menuju kota Lhokseumawe, mereka dihadapkan dengan situasi yang macet. Jam sibuk, akses jalanan yang sempit, serta banyaknya orang yang lalu lalang membuat keadaan jadi sulit. “Makan di luar saja, makan di r

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status