Lamaran Adam ditolak mentah-mentah oleh Toke Sofyan. Mahar emas 100 mayam (300 gram) menjadi tameng tinggi yang menghalanginya dari Azizah. Pria itu putus asa, mencoba mencari bantuan namun nihil hasilnya. Sampai Naya- salah satu muridnya yang gila datang membawakan solusinya. Namun, apakah semuanya berjalan sesuai dengan keinginan Adam?
Lihat lebih banyakBab 1: Melamar
Adam terduduk pasrah di kursi miliknya. Wajah berseri Adam mendadak memucat cepat, seakan darah berhenti mengalir. Tidak pernah terbayangkan di dalam benaknya selama ini, jika gadis yang ingin dipinang dan dimilikinya seumur hidup kini terhempas jauh.
Kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibir Toke Sofyan telah meninggalkan luka yang membelah hatinya. Di dalam hidupnya yang pahit, Toke Sofyan ikut menaruh garam di atas goresan yang menganga.
Kepala Adam masih mengingat semua kalimat-kalimat tajam yang disebutkan oleh Toke Sofyan sesaat lalu, sebelum dia dan kedua pamannya yang berwatak keras kembali pulang dengan membawa malu.
“Seratus manyam!” Toke Sofyan berseru, dia memukuli meja jati dengan ukiran bunga mawar di setiap bagiannya. Indah, mewah, berkelas, dan Adam tidak bisa menebak berapa harga perabot itu.
“Se-seratus manyam, Toke?” balas Pak Wa Rajali, adik kandung dari ayah Adam yang sudah meninggalkan dunia ini sejak lama. Wajahnya serupa dengan Adam, bingung sekaligus tercengang.
“Iya, seratus manyam. Kamu kira, aku akan memberikan Azizah dengan mahar yang rendah? Mimpi kalian!” sentak Toke Sofyan lagi.
Pria bertubuh agak pendek itu melipat tangan di dada, sengaja memamerkan sederet cincin giok yang bersemayam di jari serta jam tangan bermerek yang dibelinya di Medan saban hari. Parasnya menegaskan jika dia memandang remeh pada Adam— pemuda yang menginginkan putrinya sejak masih di bangku kuliah dulu.
Bibir Toke Sofyan tertarik ke sudut, dirinya tidak tahan terlalu lama meladeni tiga orang yang datang ke rumahnya di malam hari di saat seharusnya dia duduk dengan tenang, beristirahat sembari menonton tivi dengan sang istri. Namun, Cut Azizah— putrinya yang menawan pemberian Allah itu malah memaksa dirinya menerima Adam. Membiarkan keluarga yang menurutnya berada jauh dari dirinya duduk di sofa bernilai puluhan juta itu.
“Seratus manyam, ya atau tidak!” tegas Toke Sofyan untuk kedua kalinya. Wajahnya sudah serupa buah naga, merah menyala.
Dia semakin tidak sabar ingin mengusir tiga orang yang tercenung dengan penuturannya barusan. Membuatnya semakin beringgas, menambah kalimat-kalimat nan tajam untuk mengoyak perasaan dan harapan Adam.
“Kamu itu sudah yatim piatu, miskin, kerjaanmu cuma honorer di SMA, sekarang mau ngelamar Azizah. Kupingmu itu enggak berfungsi atau gimana, Dam? Dari jaman kalian kuliah, aku sudah larang Azizah supaya menjauh dari kamu, memang dasarnya kamu saja yang memaksa Azizah!” omelnya pada Adam.
Ocehan Toke Sofyan serupa dengan perempuan, dirinya tidak pernah bisa membiarkan kedua bibirnya itu berhenti berbicara meski hanya sesaat. Apa lagi, di depannya ada Adam, pemuda yang paling dibencinya di dunia ini karena dinilainya sangat tidak tahu diri.
“Toke, bolehlah diturunkan sedikit? Seratus manyam itu tiga ratus gram, Toke!” Pak Wa Junaidi menimpali.
Dia sendiri yang belum lama ini menggeluti bisnis jual beli emas pun tidak berani menghardik balas Toke Sofyan. Pria gempal itu baru saja meresmikan toko emasnya yang ke sepuluh. Berderet penuh di sepanjang Jalan Gudang Kota Lhokseumawe, dan Lhoksukon saat ini.
Tidak hanya sampai di situ, jika mampu menjalin hubungan dengan pria kaya itu, maka Pak Wa Junaidi bisa ketiban untung. Perhiasan-perhiasan emas dari Toke Sofyan bisa memenuhi etalase tokonya.
“Halah, seratus manyam itu cuma dua gelang, Pak Junaidi. Anakku itu bahkan seharusnya dimaharkan satu kilogram!”
“Astagfirullah!” Seseorang menyahuti.
Toke Sofyan segera menolehkan wajah, begitu pula dengan Adam dan kedua Pak Wa-nya. Dekat dengan ambang pintu, Azizah dan ibunya telah berdiri. Mereka membawakan nampan berisi cangkir serta beberapa toples kue untuk ketiga tamu.
Azizah lekas beranjak, dia meletakkan tiga toples kue di meja berukiran mawar. Matanya yang sedari tadi jernih mulai berembun, sedetik kemudian lelehan hangat mengaliri pipinya yang kenyal.
“Masuk! Masuk kamu!” Toke Sofyan berteriak nyalang. “Adam, jangan berani-beraninya kamu melihat anakku. Mau aku tusuk matamu itu, hah?!” hardiknya pada Adam.
Padahal, pria itu hanya melirik sejenak, menatap punggung dari gadis yang ingin dimilikinya seumur hidup. Dan sekarang, segalanya berubah bagaikan mimpi di siang hari.
Panas hati Adam, membayangkan uang yang harus dia kumpulkan untuk bisa meminang Azizah. Harga per gram emas saat ini menembus angka enam ratus lima puluh ribu, sedangkan uang di dalam tabungannya tidak lebih dari lima belas juta.
Jangankan bisa mencukupi seluruh kebutuhan lamaran dan pernikahan, bahkan untuk mahar saja Adam tidak punya uang. Sebab itulah, Adam menunduk, ditatapnya lantai keramik kekuningan yang berkilauan. Air matanya yang sedari tadi dia tahan terjatuh setitik, menimpa keramik mahal di rumah Toke Sofyan.
Lekas pria itu menginjaknya dengan telapak kaki, menutup jejak kesedihan dari mata Toke Sofyan. Bisa saja, pria itu akan semakin mencerca dirinya jika tahu tentang hal ini.
“Mak, bawa anakmu masuk!” Toke Sofyan terus berteriak. Dia menyentak suara hingga istrinya sendiri terkejut.
“Yah ... jangan begini. Mereka itu tamu ....”
“Tamu kalau maharnya Azizah disanggupi, kalau enggak tetap saja mereka cuma orang kampung yang tidak tahu diri!”
“Astagfirullah, Ayah!” rintih Azizah.
Gadis dengan balutan gamis biru gelap serta pashmina keabuan itu mulai menangis. Dia bergeser, mendekati kaki Toke Sofyan. Dipeluknya kedua tungkai dari pria yang telah membesarkannya selama dua puluh dua tahun itu dengan seluruh harapan agar Toke Sofyan mau melunak.
Tetapi kenyataan selalu lebih pahit, Toke Sofyan mendorong Azizah dengan tangannya sendiri hingga gadis berparas ayu itu terjengkang ke belakang. Azizah rebah di lantai keramik, disambut jerit tangis dari ibunya sendiri, serta Adam yang tercengang melihat kekejaman di hati Toke Sofyan.
“Yah! Ini anak kita!”
“Tapi dia bikin ulah, Mak. Mamak lihat apa yang sudah dia lakukan, hah? Dia bawa pemuda ke ini sini. Jangankan bisa memberi mahar seratus manyam, dua puluh saja dia enggak sanggup. Mau ditaruh di mana muka Ayah, Mak? Anak Toke Sofyan, pemilik sepuluh toko emas di Aceh Utara menikah pakai mahar seuprit? Jangan harap. Langkahi dulu mayat Ayah!”
“Astagfirullah, Yah.” Istri Toke Sofyan berucap sembari memeluk putrinya. Keduanya bertukar air mata disertai isak tangis tidak percaya.
“Sudah, tidak perlu pakai nangis segala! Sekarang, jawab kamu Adam, sanggup atau tidak?” Toke Sofyan menoleh ke arah Adam dan ketiga pamannya. Pria yang sudah bersimpuh di lantai sebab menyamakan dirinya dengan posisi Azizah saat ini hanya bisa menundukkan wajah.
Bibirnya begitu kelu, ingin menjawab iya, serasa hampir mustahil untuk dilakukan. Membalas tidak, maka dirinya akan kehilangan Azizah.
Adam bagaikan berada di tepian kawah, menanti akhir dari waktu saat dirinya terlempar ke dalam lautan lava nan mematikan itu. Adam memejamkan kedua matanya, batinnya terasa bagaikan dicabik-cabik, bukan hanya sebab cacian yang tidak ada habisnya, melainkan kenyataan yang harus segera dia hadapi nanti.
“Toke, apa tidak bisa diberi waktu?” Pak Wa Junaidi menyela.
“Waktu bagaimana, Jun? Keluarga ini sudah menghina kita!” Pa Wa Razali menyela seraya menunjuk paras bengis Toke Sofyan.
Setitik rasa iba untuk Adam membuatnya angkat bicara. Dia tidak peduli dengan posisi Toke Sofyan selaku pria kaya raya itu. Berbeda dengan adiknya— Junaidi, yang menyanggupi permintaan Adam hanya untuk menjalin hubungan dengan Toke Sofyan.
“Mau minta berapa lama? Kalian kira ini perjanjian kredit mobil, hah?”
“Beri kami waktu dua bulan, Toke!” tawar Pak Wa Junaidi, mengabaikan ucapan Pak Wa Razali. Setelahnya, dia melihat ke arah belakang kepala Adam, keponakannya yang hidup sendirian dengan begitu menyedihkan. “Tenang saja, Adam. Pak Wa akan carikan bantuan,” imbuhnya.
Sebuah senyuman tipis terbit di bibirnya yang gelap. Bagi Pak Wa Junaidi, menjadikan Adam sebagai menantu di keluarga kaya ini, akan membuat dirinya semakin untung suatu saat nanti.
“Oke! Dua bulan. Jika tidak kalian sanggupi, Azizah akan aku nikahkan dengan laki-laki lain!” Toke Sofyan memutuskan pembicaraan.
Pria gempal itu menyentakkan langkah, kemudian berlalu begitu saja tanpa berpamitan pada kedua tamunya. Toke Sofyan juga acuh pada Azizah dan sang istri yang masih berbagi sedih, dengan terus berjalan meninggalkan ruang tamunya yang mewah.
“Seorang ayah akan melakukan apapun untuk anaknya, Ayah. Saya sekarang seorang ayah, sedikit banyak saya mulai memahami perasaan Ayah untuk Naya.”Adam mengulurkan tangan, dia menjabat Toke Jaya, menundukkan kepala dan menciumi punggung tangan mertuanya. Kata maaf terus terucap dari mulutnya, disertai rintik kecil dari air mata.Hari kedua, Adam mulai aktif mengurusi Naya dan putranya. Dia mengajak Naya mengobrol, membantu Naya ke kamar mandi, menyuapi dan menggantikan pakaian sang istri. Ibu mertuanya bahkan tidak perlu turun tangan sama sekali, kecuali saat mengurus bayi kecil Adam.Kabar soal Naya melahirkan mulai tersebar. Banyak kerabat, tetangga dan teman Naya berdatangan ke rumah sakit. Mereka berkunjung dalam kelompok besar, sampai beberapa kali pihak Rumah Sakit memberi teguran.Lalu, saat sore menjelang magrib, Toke Sofyan muncul dengan keluarganya. Tidak ada Azizah di antara mereka. Rupanya, Azizah sudah datang kemarin, dia dihubungi oleh Toke Jaya dan diminta untuk datang
[10 panggilan tak terjawab]Adam hanya melirik layar gawainya. Ini sudah hari kedua dia memilih bungkam. Apa yang ditemukannya di rumah Toke Jaya membuatnya banyak berpikir. Entah apa yang sebenarnya terjadi sampai emas itu kembali ke rumah Toke Jaya. Satu-satunya orang yang terpikir oleh Adam hanyalah Naya-istrinya sendiri.Pesan serta telepon dari beberapa orang diabaikan oleh Adam. Pria itu memilih memusatkan perhatiannya di layar komputer, menyelesaikan sisa pekerjaan sebelum jam pulang kerja. Namun, sisi lain dari hatinya terus menanyakan keadaan Naya.Drt[Naya sudah melahirkan di rumah sakit S, Bang Adam. Belum diazankan bayinya, semua menunggu Bang Adam.]Membaca pesan yang dikirimkan oleh Azizah, Adam terenyak. Pria itu berdiri dari kursinya, kemudian menatap kosong ke layar gawai.Apa yang sudah dilakukan olehnya sampai Naya melahirkan tanpa dirinya?“Kenapa, Dam?” salah satu rekan kerjanya bertanya.Pria itu menjambak rambut, kebingungan. Ini semua terasa tidak nyata. Tinda
“Memang kau itu bawa sial! Sudah yatim piatu, sekarang kau buat anakku jadi janda.” Toke Sofyan menggebu-gebu.Teriakannya itu membuat semua orang datang ke toko emas Toke Jaya. Mereka memandangi apa yang terjadi, menceritakan bahkan juga merekam.Hal yang membuat Toke Sofyan kesal dan ingin meluapkannya pada Adam adalah, Azizah dan teuku Idris belum juga hamil, sedangkan Naya dan Adam yang menikah belum lama sudah lebih dulu menanti kelahiran anak pertama. Tentu saja Toke Sofyan merasa sangat kalah dari Toke Jaya dan Adam.Hinaan demi hinaan terus dialamatkannya pada Adam. Pria itu juga menunjuk kening Adam, bahkan menyumpahinya. Adam lebih banyak diam, dibiarkannya Toke Sofyan banyak bicara sampai Toke Jaya sendiri yang melerai.“Sudahlah! Jangan salahkan mantuku dengan apa yang terjadi pada anakmu, Bang. Semua orang juga tahu kalau perceraian Azizah itu karena kamu sendiri. Azizah tidak cinta sama Idris, tapi kamu paksa, setelah menikah kamu selalu mengatur rumah tangga mereka. Sek
“Apa saya boleh bertemu Naya?” Adam bertanya pelan.Pria itu terlihat bingung saat mampir ke rumah Toke Jaya. Tangannya menenteng plastik berisi beberapa kue kesukaan Naya.Tidak habis keterkejutan Adam dengan tidak adanya Naya di rumah serta tidak aktifnya gawai sang istri, kini Naya malah menolak bertemu dengannya. Dia mengurung diri di kamar, enggan makan, hanya tiduran.Dengan izin Toke Jaya, Adam masuk ke kamar Naya. Pria itu mengetuk pintu, lalu mendorong pintu kamar dengan pelan. Diintipnya dahulu, Naya bersembunyi di balik selimut, bahkan mengencangkan pegangannya agar Adam tidak bisa menarik.Pria itu hanya menghela napas. Dia mendudukkan diri di samping Naya.“Ayah sudah cerita semuanya, Dek.” Ucapan pertama Adam pada Naya.“Hm ....”“Bangun dan bicaralah. Ini semua pesan dari Zizah!” ucap Adam kemudian.Naya sempat menolak, tapi dia juga penasaran dengan apa yang selanjutnya terjadi. Akhirnya, Naya menyibak selimut. Dia mendapati Adam sedang mengulurkan gawainya pada Naya.
Sepeninggal Adam, Naya membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia memastikan jika Adam tidak ada lagi di dekatnya. Naya merasa sangat malu dengan apa yang telah terjadi semalam. Memang salahnya sudah memancing Adam, tapi jika dirinya tidak memulai maka Adam hanya akan tetap jalan di tempat. Lalu, saat sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, Naya mendengar bunyi getar dari meja nakas. Awalnya Naya mengira jika itu adalah gawainya, tapi ternyata gawainya sepi, sedangkan gawai milik suaminya bergetar berulangkali. Naya ragu, apakah sopan jika dia melihat siapa yang menghubungi suaminya di pagi hari. Tapi, saat Naya melirik ke layar gawai yang menyala, hatinya seketika merasa sakit. Ada nama Azizah yang muncul. Kakak sepupu sekaligus mantan kekasih dari suaminya mengirimi pesan beruntun. Naya kalap, dia langsung mengambil gawai Adam dan membaca semua pesan yang dikirimkan oleh Azizah. [Bang, Zizah minta maaf karena tidak mampu mempertahankan hubungan kita dulu. Zizah minta
“Kita mau makan malam apa, Dek?” tanya Adam saat sedang menyetir. Pria itu baru saja menjemput istrinya dari kampus. Jam sudah menunjukkan angka lima sore saat mereka bergerak menuju Kota Lhokseumawe. “Hm, hm ....” Naya menggumam. Istri dari pria dengan paras menenangkan itu malah sibuk menggigit roti isi miliknya. Adam benar-benar tahu cara membahagiakan sang istri. Semalam, Naya bercerita soal teman kelasnya yang dibelikan roti isi dari sebuah toko roti ternama di kota. Ada berbagai jenis roti dengan isian yang melimpah dan masih cukup terjangkau. Hal itu dipahami oleh Adam sebagai sebuah permohonan, hingga Adam langsung mampir ke toko roti yang disebut Naya sebelum pergi menjemputnya. “Apa mau mampir dan makan di rumah ayah?” tawar Adam. Pria itu menatap jalanan yang sesak. Menuju kota Lhokseumawe, mereka dihadapkan dengan situasi yang macet. Jam sibuk, akses jalanan yang sempit, serta banyaknya orang yang lalu lalang membuat keadaan jadi sulit. “Makan di luar saja, makan di r
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen