“Pak? Ngitungin duit orang itu perlu ya, Pak?” Salah satu siswi yang diajari Adam berseru dari arah belakang. Dia melirik sekali lagi brosur dari salah satu kampus yang didapatkannya beberapa hari lalu.
Pertanyaan itu membuat Adam seketika menengadahkan wajah. Dia yang sedari tadi sibuk memeriksa buku PR para siswa dikejutkan dengan pertanyaan mendadak.
Adam memicingkan matanya yang lelah, semalaman menghubungi ke sana ke mari demi secuil pertolongan membuat fisiknya lemah. Tetapi demi mengemban tugas yang mulia walau dengan bayaran kecil, Adam bertahan sekuat tenaga.
“Pak? Malah ngehayal lagi!” tegur siswi itu.
Gadis muda dengan gigi gingsul yang manis terus menautkan pandangannya pada Adam. Lalu, saat netra keduanya bertemu, Adam segera berdehem. Hatinya terusik ketika bibir merah muda muridnya tersenyum padanya, dalam arti yang diterjemahkan Adam secara berbeda. Risih dan merasa bersalah, Adam tidak bisa menjauh dari dua kata itu.
“Naya, tolong antarkan buku-buku ini ke kantor Bapak, ya? Letakkan di atas meja karena Bapak harus pulang.” Adam mengelak.
Dia tidak menyempatkan diri untuk berpikir mengenai jawaban yang ditanyakan oleh Naya. Ternyata, hal itu menyebabkan kericuhan di dalam seisi kelas. Remaja-remaja dengan rentang usia tujuh belas sampai delapan belas tahun itu berseru, mengolok-olok dan mengejek Naya.
“Cinta ditolak, dukun bertindak, Nay!”
“Naya, go Naya, go! Dikit lagi, Naya! Pak Adam bakalan jadi milik kamu, tapi di alam mimpi ... hahaha!” Gelegar tawa mengusik Adam.
Pemuda itu memang sudah menyadari akan hal ini. Walau seringkali bersikap dingin di kelas, Adam tetap memperhatikan murid-muridnya. Dari tiga puluh murid kelas 12-A yang diajarnya, hanya Naya yang selalu bersikap berbeda.
Gadis muda itu terlalu sering menatapnya, juga kerap kali berwajah malu-malu saat tatapan keduanya beradu. Lebih dari itu, Naya pun tidak sungkan-sungkan mengajukan diri untuk membantu di saat murid yang lain berpura-pura tidak mendengar dirinya.
Merasa bertanggungjawab untuk Naya, Adam berbalik arah. Dia yang baru saja meninggalkan dua langkah meja kerjanya, memutuskan untuk memukul permukaan meja dengan telapak tangan hingga hening tercipta.
Tidak ada lagi suara-suara sumbang yang sedari tadi mengekori langkahnya. Selain, cara pandang Naya padanya yang belum juga berubah.
“Hormati saya, jika masih ingin diajar oleh saya. Mengerti?!” Gaung suara Adam terdengar.
Pemuda itu menekan permukaan meja hingga deretan urat nadinya tercetak di balik kulitnya yang bersih. “Jangan mengejek Naya lagi, karena di kelas ini hanya dia yang mau membantu guru honorer seperti saya. Walau pelajaran yang saya emban terdengar remeh untuk kalian, tapi saya juga punya kuasa untuk memberikan nilai atas sikap kalian!” imbuh Adam lagi.
Parahnya, hal itu malah membuat wajah Naya bersemi. Senyum gadis muda itu merekah lebih lebar, hingga gigi gingsulnya yang manis terlihat pada Adam.
Lekas Adam menolehkan wajah, panik serta takut menyerang. Belum lagi, saat Naya mulai bangkit dari kursinya, membenarkan rok span yang sedikit naik ke pinggul dan juga jilbab yang disampirnya ke dua bahu.
“Naya, tolong ikuti aturan berpakaian di sekolah ini!” Adam berganti sisi, dia terpaksa menegur Naya yang terus berjalan ke arahnya tanpa rasa risih.
“Aku mau ngambil bukunya, Pak! Diantar ke kantor, kan?” ujar Naya masih mempertahankan senyum.
“Kamu pakai lipstik, Naya?” Suara Adam tiba-tiba meninggi. Kilatan di bibir Naya serupa dengan yang dilihatnya pada Azizah saat mereka masih kuliah dulu. “Bapak bisa laporkan kamu ke guru BK.”
“Pak, Bapak kudet, ya? Ini namanya lip balm. Kalau enggak dipakai, nanti bibirku jadi kering, kena matahari, terus hitam, berdarah. Repot tahu, Pak?” omel Naya yang membuat kepala Adam berdenyut luar biasa keras.
Tidak hilang akal, Adam mencoba mengingatkan jati diri Naya. “Bersikaplah seperti gadis Aceh yang sebenarnya, Nay!”
“Tapi, Pak ....” Naya memutar bola matanya. “Aku bukan asli Aceh, tuh! Nenek asli ....”
“Kalau begitu, bersikaplah seperti seorang perempuan yang seharusnya, Naya.” Adam mengusaikan ucapannya pada Naya.
Sebersit sesal bersarang di dalam hati. Niat untuk menolong Naya yang sering menjadi bulan-bulanan temannya, berakhir dengan dirinya yang dipermalukan oleh Naya.
Seharusnya, gadis muda itu tahu jika Adam sedang menyelamatkan wajahnya, bukannya malah ikut mencoreng wajah Adam sampai pemuda itu kehabisan kata-kata.
Adam terus mengambil langkah lebar menuju parkiran motornya, namun dari arah belakang Naya berlari sembari memeluk gunungan buku tulis yang dititipkan Adam. Wajahnya mulai memerah, kulit putih susunya terbakar matahari siang saat melintasi lapangan mengejar Adam.
“Pak?” panggil Naya.
Adam menghening. Dia mulai memusatkan perhatiannya dengan layar gawai begitu tiba di dekat motor miliknya. Sederet pesan penuh makna menghunjam jantungnya yang selalu berdetak lemah. Adam bagaikan ditampar kenyataan nan pahit saat ini.
Jemarinya bergetar saat hendak menggeser bait demi bait yang terus bermunculan di layar gawainya. Kedua manik mata Adam yang selalu berbinar menjadi redup, hatinya bagaikan dicincang, melihat fakta yang tersaji di depan mata.
“Abang mohon, tunggu sebentar, Zizah,” desah Adam sembari memejamkan mata untuk sesaat. Entah mengapa, semuanya memberat dalam hitungan detik.
Pesan dari Azizah menjadikan Adam lupa dengan kehadiran Naya. Gadis bertubuh dewasa untuk seukuran anak SMA itu mulai bertindak agresif. Rasa penasarannya membuat dia gelap mata hingga memilih mengintip hal apa yang membuat Adam begitu gelisah.
Segesit apapun Naya, Adam jauh lebih cekatan. Dia lebih dulu mematikan layar gawai, lalu menyisipkannya kembali ke dalam tas kerja.
“Pelit banget, Pak?” gerutu Naya, lengkap dengan bibir yang mengerucut manja.
“Antarkan bukunya ke kantor Bapak, Nay. Bukan ke parkiran!”
“Yeh, si Bapak. Aku kan mau ngobrol sesuatu sama Bapak.”
“Besok kita mengobrol lagi, di kelas!” putus Adam tanpa memberi kesempatan untuk Naya.
Dia mulai menaiki motor, memakai helem, jaket serta sarung tangan. Benaknya terus berkata agar dia lebih berusaha. Adam ingat, di dalam tas kerjanya, gulungan uang pemberian Wak Yun masih tersimpan, setidaknya dengan tambahan itu, jumlah mahar yang disyaratkan Toke Sofyan bisa perlahan-lahan dia penuhi. Serta di dalam hatinya yang terdalam, Adam mengharapkan agar Azizah mau menanti.
“Bapak duluan, Naya,” pamitnya.
“Tahu deh!”
Motor Adam meluncur cepat, keluar dari Jalan Darussalam menuju Jalan Gudang. Hatinya kini begitu menggebu dengan semangat membara meski terik matahari memayungi perjalannnya.Di kepala Adam terus terbayangkan, dua mayam selanjutnya yang akan segera berpindah tangan. Artinya, selangkah lebih dekat menuju Azizahnya yang begitu didamba.Adam menghentikan laju motor, dia memarkir kuda besinya yang mulai tua dan membiarkan tukang parkir mengambil alih. Langkahnya kian tegas menuju sebuah toko emas dengan lambang bintang. Pria bertubuh kurus dengan jam tangan kekuningan menyambut kehadiran Adam.“Toke, dua mayam!” tegas Adam seraya menunjuk deretan cincin di dalam etalase. Hatinya berdebar hebat tatkala melihat deretas emas dalam berbagai ukuran. “Sungguh bagi para Toke Emas, menyanggupi mahar seratus mayam adalah hal yang mudah,” pikirnya.Dua pembeli di sebelah Adam ikut mencuri pehatiannya. Mereka memborong dalam jumlah yang sangat besar. Dua gelang tebal dan seuntai kalung nan berat. P
Adam berbaring di ranjang, memandangi layar gawai dan sederet pesan tadi siang. Perasaan pemuda itu semakin tidak karuan, isi chat yang dikirimkan oleh pemilik nama Azizah telah mengusik ketenangan hatinya yang rapuh.Bagi Adam, Azizah adalah perwujudan dari harapannya selama ini. Namun saat dia ingin berjuang untuk meraih mimpinya sendiri, telapak kakinya seakan menancap di tanah, begitu pula dengan orang-orang di sekitarnya yang selalu mencoba menahan langkah Adam menuju Azizah.Dielusnya dada untuk kesekian kali. Bimbang dan bingung terus merambati nadi. Pikiran Adam tidak bisa tenang meski sesaat, membayangkan bagaimana risaunya Azizah menanti perjuangannya di seberang sana.[Bang Adam, hari ini Azizah mendengar dari ayah perihal Bang Adam yang mencari pinjaman. Azizah merasa bersalah karena tidak mampu melunakkan hati ayah untuk menurunkan jumlah mahar. Azizah sendiri tidak berharap diberikan mahar sebanyak itu, karena nilainya saja sudah tidak masuk akal.
Adam terlihat pilu saat menempati salah satu meja di sudut ruangan sendirian. Peluhnya membanjiri pelipis, sesekali dia seka dengan tisu yang disediakan restoran. Meski begitu, kenyataan jika hatinya gundah gulana tetap saja mengundang bulir keringat yang baru.Saat ini, Adam tidak bisa berhenti memikirkan Azizahnya. Gadis menawan yang akan datang sebentar lagi dengan sepupunya itu, ingin berbicara tentang sesuatu yang membuat perasaan Adam kian tidak karuan.Terpaksa, Adam menghela dalam napasnya kini. Sesaknya mulai terasa saat siluet dari tubuh ramping berbalut gamis biru gelap dan pashmina coklat terlihat. Di sebelahnya, ada gadis muda dengan pakaian yang lebih trendi. Kulot gelap dipadukannya dengan atasan oversize serta pashmina yang terlilit di leher.Adam segera memindahkan pandangannya, merasa berdosa begitu kedua gadis itu mendekat padanya. Merekalah yang ditunggu Adam, hingga dia duduk sendirian dengan pelipis banjir dan punggung yang basah.&l
Dug Dug DugAdam tidak bisa menghentikan debaran nan kuat itu saat melihat wajah bersih dari pemuda yang ada di dalam gambar. Dialah anak dari toke emas lain di Aceh yang setara dengan Toke Sofyan, bahkan sepengetahuan Adam Teuku Idris sudah mulai merambah bisnis emas yang lebih milenial saat ini.Adam pun pernah melihat pemuda ini di sekolahnya, mengantar salah satu guru dengan pajero putih hingga para siswi di sekolahnya terlena cukup lama. Ya, Teuku Idris— putra dari Bu Erna dan Toke Surya merupakan pria muda yang membuat pria lainnya seperti Adam merasa rendah diri.Kini, dia dihadapkan dalam pertarungan langsung dengan Idris, pemuda kaya raya yang bisa memenuhi semua tuntutan dari Toke Sofyan. Adam merasa kalah sebelum bertanding. Sudah sebulan lebih berjuang, di tangannya tergenggam tidak lebih dari lima belas mayam, sedangkan Teuku Idris, bisa menyanggupi hingga satu kilogram tanpa rasa keberatan. Tragis, Adam merasa segalanya tidak adil.Di antara semua gadis, kenapa harus Azi
“Kamu ngomongin apa sama Bang Adam tadi, Nay?” Azizah menelisik dari arah punggung.Dia yang diboncengi Naya sejak datang dan pulang, tidak bisa melepaskan pikiran dari Adam dan Naya. Keduanya terlibat perbincangan yang begitu serius saat dirinya keluar dari restoran karena tersinggung dengan ucapan dari Naya.Saat itu, Azizah yang terlanjur mengikuti perasaannya, hanya bisa mengintip Adam dan Naya. Membawa rasa penasaran yang dalam akan apa yang mereka bicarakan hingga Naya baru keluar dari restoran tiga puluh menit kemudian. Lebih dari itu, Azizah merasa cemburu, sebab wajah Naya menunjukkan kepuasaan yang teramat dalam.“Nay? Kalian ngomongin apa?” tuntut Azizah lagi.Dia sengaja mengintip ekspresi Naya dari spion kanan. Wajahnya yang tertutup helem bogo milik Naya malah terpatut di spion, namun dia tidak berhasil menemukan yang dicarinya.“Kak, minggirin wajahnya, spionku kehalang tahu!” sungut Naya, masih mencoba mengulur waktu untuk menjawab Azizah.“Kakak penasaran, Nay. Kalian
Toke Jaya melipat bungkus nasi padang yang baru dibelinya. Baru sesuap kecil dan itu tidak sempat dinikmati dengan nyaman. Toke Jaya tidak bisa merasa tenang jika harus berhadapan dengan gadis kecilnya yang telah remaja— Naya. Apa lagi, di belakangnya muncul seorang pemuda rupawan yang serupa dengan lelaki impian Naya. Bentuk wajah, postur tubuh serta ekspresi, semua poin-poin yang melekat di Adam itu selalu disebutkan Naya sebagai lelaki idamannya jika akan menikah nanti.“Jadi, dia ....”“Yah, emas yang ini buat Naya!”Mata Toke Jaya seketika membeliak tidak percaya. Sergahan yang melesat dari bibir ranum anak gadisnya membuat seorang pengusaha ternama sepertinya juga bisa tercengang.Dia bisa menebak sesuatu yang ada di dalam kotak itu, namun Toke Jaya belum mampu menerka berapa harga isinya. “Berapa mayam, Nay?”“Seratus, Yah!” ungkap Naya sembari mengeluarkan untaian kalung rantai dari dala
Wajah Adam memucat saat mendapati Toke Sofyan masuk ke ruang tamu rumahnya yang megah. Dia duduk dengan cara menghempas tubuh sampai bunyi berderak terdengar.Ketidaksukaannya terhadap Adam terasa samar dibanding sebelumnya. Ekspresi Toke Sofyan kali ini jauh berbeda dengan apa yang dihadapi Adam sebulan lalu. Toke Sofyan terlihat bahagia, hingga bersenandung pelan, mendendangkan irama lagu bungong jeumpa sendirian di sofa.Tidak ada sang istri, atau Azizah. Toke Sofyan sendiri yang menyambut kehadiran dari pemuda yang ingin melamar Azizahnya untuk kali kedua. Bibirnya terus melengkung, sesekali mencebik, sesuai dengan suasana hatinya.“Duduk!” perintahnya tanpa ada kesan ramah.Melihat itu semua, Adam menghela napas. Langkah Adam mencoba menduduki sofa megah yang pernah menjadi saksi atas luka yang dirasa. Di dekatnya, Teungku Imum berbisik pelan, “Sudah sampaikan pada Azizah, Dam?”Adam mengangguk pelan. “Ta
Toke Jaya menunggu dengan sabar. Pemuda yang baru saja kehilangan impiannya itu meringkuk tidak berdaya di atas sofa ruang kerjanya yang mulai kusam. Ekspresi Adam sudah menjelaskan semua hal yang ingin diketahui oleh Toke Jaya tanpa harus bertanya.Toke Jaya memilih menyesap lagi kopi hitamnya yang nikmat. Lalu, memandangi bergantian antara cangkir kopi dengan Adam yang diam di sofa.Di mata Toke Jaya, keduanya terlihat mirip. Bibir hitam Toke Jaya melengkung sesaat, telunjuknya mengitari bibir cangkir yang basah dengan cairan hitam beraroma pekat.“Kamu tahu, Dam ... nasibmu itu seperti kopi di mata orang yang tidak menyukai kopi.”Adam menoleh sejenak, setelah menemukan keberadaan Toke Jaya, dia kembali memejamkan mata. Ingin dirasakannya ketenangan dari apapun yang ada di sekitar, termasuk Toke Jaya sekalipun.“Kamu itu, ditolak, bukan berarti kamu buruk. Kalau orangnya tidak suka kopi, mau diceritakan nikmatnya segelas kopi p