Share

Bab 4: Murid Gesit

“Pak? Ngitungin duit orang itu perlu ya, Pak?” Salah satu siswi yang diajari Adam berseru dari arah belakang. Dia melirik sekali lagi brosur dari salah satu kampus yang didapatkannya beberapa hari lalu.

Pertanyaan itu membuat Adam seketika menengadahkan wajah.  Dia yang sedari tadi sibuk memeriksa buku PR para siswa dikejutkan dengan pertanyaan mendadak.

Adam memicingkan matanya yang lelah, semalaman menghubungi ke sana ke mari demi secuil pertolongan membuat fisiknya lemah. Tetapi demi mengemban tugas yang mulia walau dengan bayaran kecil, Adam bertahan sekuat tenaga.

“Pak? Malah ngehayal lagi!” tegur siswi itu.

Gadis muda dengan gigi gingsul yang manis terus menautkan pandangannya pada Adam. Lalu, saat netra keduanya bertemu, Adam segera berdehem. Hatinya terusik ketika bibir merah muda muridnya tersenyum padanya, dalam arti yang diterjemahkan Adam secara berbeda. Risih dan merasa bersalah, Adam tidak bisa menjauh dari dua kata itu.

“Naya, tolong antarkan buku-buku ini ke kantor Bapak, ya? Letakkan di atas meja karena Bapak harus pulang.” Adam mengelak.

Dia tidak menyempatkan diri untuk berpikir mengenai jawaban yang ditanyakan oleh Naya. Ternyata, hal itu menyebabkan kericuhan di dalam seisi kelas. Remaja-remaja dengan rentang usia tujuh belas sampai delapan belas tahun itu berseru, mengolok-olok dan mengejek Naya.

“Cinta ditolak, dukun bertindak, Nay!”

“Naya, go Naya, go! Dikit lagi, Naya! Pak Adam bakalan jadi milik kamu, tapi di alam mimpi ... hahaha!” Gelegar tawa mengusik Adam.

Pemuda itu memang sudah menyadari akan hal ini. Walau seringkali bersikap dingin di kelas, Adam tetap memperhatikan murid-muridnya. Dari tiga puluh murid kelas 12-A yang diajarnya, hanya Naya yang selalu bersikap berbeda.

Gadis muda itu terlalu sering menatapnya, juga kerap kali berwajah malu-malu saat tatapan keduanya beradu. Lebih dari itu, Naya pun tidak sungkan-sungkan mengajukan diri untuk membantu di saat murid yang lain berpura-pura tidak mendengar dirinya.

Merasa bertanggungjawab untuk Naya, Adam berbalik arah. Dia yang baru saja meninggalkan dua langkah meja kerjanya, memutuskan untuk memukul permukaan meja dengan telapak tangan hingga hening tercipta.

Tidak ada lagi suara-suara sumbang yang sedari tadi mengekori langkahnya. Selain, cara pandang Naya padanya yang belum juga berubah.

“Hormati saya, jika masih ingin diajar oleh saya. Mengerti?!” Gaung suara Adam terdengar.

Pemuda itu menekan permukaan meja hingga deretan urat nadinya tercetak di balik kulitnya yang bersih. “Jangan mengejek Naya lagi, karena di kelas ini hanya dia yang mau membantu guru honorer seperti saya. Walau pelajaran yang saya emban terdengar remeh untuk kalian, tapi saya juga punya kuasa untuk memberikan nilai atas sikap kalian!” imbuh Adam lagi.

Parahnya, hal itu malah membuat wajah Naya bersemi. Senyum gadis muda itu merekah lebih lebar, hingga gigi gingsulnya yang manis terlihat pada Adam.

Lekas Adam menolehkan wajah, panik serta takut menyerang. Belum lagi, saat Naya mulai bangkit dari kursinya, membenarkan rok span yang sedikit naik ke pinggul dan juga jilbab yang disampirnya ke dua bahu.

“Naya, tolong ikuti aturan berpakaian di sekolah ini!” Adam berganti sisi, dia terpaksa menegur Naya yang terus berjalan ke arahnya tanpa rasa risih.

“Aku mau ngambil bukunya, Pak! Diantar ke kantor, kan?” ujar Naya masih mempertahankan senyum.

“Kamu pakai lipstik, Naya?” Suara Adam tiba-tiba meninggi. Kilatan di bibir Naya serupa dengan yang dilihatnya pada Azizah saat mereka masih kuliah dulu. “Bapak bisa laporkan kamu ke guru BK.”

“Pak, Bapak kudet, ya? Ini namanya lip balm. Kalau enggak dipakai, nanti bibirku jadi kering, kena matahari, terus hitam, berdarah. Repot tahu, Pak?” omel Naya yang membuat kepala Adam berdenyut luar biasa keras.

Tidak hilang akal, Adam mencoba mengingatkan jati diri Naya. “Bersikaplah seperti gadis Aceh yang sebenarnya, Nay!”

“Tapi, Pak ....” Naya memutar bola matanya. “Aku bukan asli Aceh, tuh! Nenek asli ....”

“Kalau begitu, bersikaplah seperti seorang perempuan yang seharusnya, Naya.” Adam mengusaikan ucapannya pada Naya.

Sebersit sesal bersarang di dalam hati. Niat untuk menolong Naya yang sering menjadi bulan-bulanan temannya, berakhir dengan dirinya yang dipermalukan oleh Naya.

Seharusnya, gadis muda itu tahu jika Adam sedang menyelamatkan wajahnya, bukannya malah ikut mencoreng wajah Adam sampai pemuda itu kehabisan kata-kata.

Adam terus mengambil langkah lebar menuju parkiran motornya, namun dari arah belakang Naya berlari sembari memeluk gunungan buku tulis yang dititipkan Adam. Wajahnya mulai memerah, kulit putih susunya terbakar matahari siang saat melintasi lapangan mengejar Adam.

“Pak?” panggil Naya.

Adam menghening. Dia mulai memusatkan perhatiannya dengan layar gawai begitu tiba di dekat motor miliknya. Sederet pesan penuh makna menghunjam jantungnya yang selalu berdetak lemah. Adam bagaikan ditampar kenyataan nan pahit saat ini.

Jemarinya bergetar saat hendak menggeser bait demi bait yang terus bermunculan di layar gawainya. Kedua manik mata Adam yang selalu berbinar menjadi redup, hatinya bagaikan dicincang, melihat fakta yang tersaji di depan mata.

“Abang mohon, tunggu sebentar, Zizah,” desah Adam sembari memejamkan mata untuk sesaat. Entah mengapa, semuanya memberat dalam hitungan detik.  

Pesan dari Azizah menjadikan Adam lupa dengan kehadiran Naya. Gadis bertubuh dewasa untuk seukuran anak SMA itu mulai bertindak agresif. Rasa penasarannya membuat dia gelap mata hingga memilih mengintip hal apa yang membuat Adam begitu gelisah.

Segesit apapun Naya, Adam jauh lebih cekatan. Dia lebih dulu mematikan layar gawai, lalu menyisipkannya kembali ke dalam tas kerja.

“Pelit banget, Pak?” gerutu Naya, lengkap dengan bibir yang mengerucut manja.

“Antarkan bukunya ke kantor Bapak, Nay. Bukan ke parkiran!”

“Yeh, si Bapak. Aku kan mau ngobrol sesuatu sama Bapak.”

“Besok kita mengobrol lagi, di kelas!” putus Adam tanpa memberi kesempatan untuk Naya.

Dia mulai menaiki motor, memakai helem, jaket serta sarung tangan. Benaknya terus berkata agar dia lebih berusaha. Adam ingat, di dalam tas kerjanya, gulungan uang pemberian Wak Yun masih tersimpan, setidaknya dengan tambahan itu, jumlah mahar yang disyaratkan Toke Sofyan bisa perlahan-lahan dia penuhi. Serta di dalam hatinya yang terdalam, Adam mengharapkan agar Azizah mau menanti.

“Bapak duluan, Naya,” pamitnya.

“Tahu deh!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status