Anna menggenggam kuat tangan sang ibu di hadapan Gama yang baru saja menjelaskan keinginannya untuk membawa mereka keluar dari desa tersebut. Tidak main-main dan tidak hanya sebatas kata, Gama bahkan sudah menyiapkan semuanya untuk menjamin tidak ada penahanan apa pun dari orang yang merasa memiliki hak atas utang piutang keluarga Lusi. "Apa tidak akan ada masalah berkepanjangan dan tidak memberatkan tuan juga?" Gama menaruh sebuah kartu berwarna hitam di atas meja. "Permasalahan kalian tentang uang, 'kan? Aku bisa melunasi semuanya. Kalian tenang saja."Lusi melirik Anna, lalu menatap Gama lekat-lekat. "Nominalnya tidak sedikit, itu pasti akan memberatkan tuan. Aku rasa tidak perlu, Tuan.""Aku bisa menangani semuanya.""Apa alasan tuan sampai sebaik ini pada kami?" Pertanyaan Lusi membuat Gama dengan spontan menatap Anna yang tampak masih ragu-ragu dan cemas. Lelaki itu pun tersenyum sembari beralih menatap Lusi. "Anggap saja ini tanda terima kasihku. Aku tahu kalian membantu dan
BRUAKK!Pintu terbuka di mana Gama tanpa basa-basi menarik tubuh Luis yang masih berbaring di atas tubuh Anna. Tidak terhitung seberapa banyak pukulan yang di daratkan oleh Gama pada Luis saat Lusi membantu Anna keluar dari dalam kamar. "Benar-benar lelaki tidak tahu malu. Beraninya melecehkan perempuan di depan ibunya sendiri. Apa pikiranmu tidak disisakan untuk menyimpan akal sehat?" hardik Gama seraya terus menghajar Luis. Meski bobot tubuhnya tidak sebanding dengan Gama, Luis tampaknya tidak ingin kalah. Ia berbalik menyerang Gama setelah berhasil mendorongnya. "Kamu yang tidak tahu malu, jika sosok tidak tahu malu sepertimu tidak datang, hubungan kami tetap seperti biasa. Tapi, apa? Kamu akan membawa calon istriku ke kotamu dengan seenaknya."Gama menyunggingkan sudut bibirnya, lalu menahan pukulan di udara saat melihat bagaimana Luis sudah setengah tak berdaya. "Aku tahu apa yang ada dalam otak lelaki sepertimu. Jadi, jangan merasa paling tersakiti. Cobalah yang lihat yang leb
"Selamat pagi," sapa Gama pagi-pagi buta seraya membuka pintu kamar Anna. Perempuan yang masih terlelap itu tidak tergubris. Gama merasa tidak terganggu, ia berjalan mendekati sofa yang terletak di sisi lain kamar untuk meletakan sebuah bag besar, sebelum akhirnya beralih mendekati tepi ranjang. Gama berlanjut melirik gorden yang terbuka, tidak hanya itu, ia juga mendapati jendela dengan kondisi yang sama. "Bangun!" ucap Gama berbisik tepat di depan telinga Anna hingga sang empu terkejut dan bangkit. Sikap spontanitas itu membuat Anna yang berniat duduk sontak mencium Gama secara tidak sengaja.Keduanya mematung bersamaan dalam posisi masing-masing. Anna menutup mulutnya dengan sebelah tangan, perasaannya berubah takut setelah melihat ekspresi Gama yang hanya diam tak berkutik. "Maaf, Tuan, aku tidak sengaja. Kenapa tuan ada di situ?" ucap Anna dengan nada gugup yang jelas terdengar. Wajah memerah itu pun tidak bisa disembunyikan. Alih-alih menjawab permintaan maaf Anna, Gama jus
Sudah hampir setengah hari, Anna masih duduk di ruang tengah sembari menatap beberapa makanan ringan yang tersedia di atas meja. Setelah keinginannya ditolak mentah-mentah oleh Gama, Anna hanya bisa duduk-duduk santai tanpa melakukan kegiatan apa pun. Hal itu jelas cukup menjengkelkan untuk Anna yang terbiasa memiliki aktivitas di kediaman sebelumnya. Namun, Anna berada di titik rasa bosan. Ia akhirnya keluar dari rumah sekedar untuk menikmati lingkungan sekitar. Cukup sepi, namun ada beberapa bangunan yang sama megahnya. Anna mendapati bahwa tidak ada banyak orang yang beraktivitas seperti pada umumnya. Cukup jauh Anna berjalan-jalan santai menjelang sore. Perempuan itu pun berhenti di sebuah kursi kayu yang berada di sisi danau indah yang lebih tampak seperti sebuah taman. "Aku tidak akan pulang! Aku akan pulang saat aku ingin pulang!" Anna terdiam mendengar pembicaraan seseorang yang baru saja duduk di sampingnya. Lirikan Anna membuatnya tahu bahwa lelaki berseragam sekolah itu
Gama melempar tas kerjanya ke atas sofa yang terletak di dalam kamar, sementara itu tubuhnya dibiarkan merebah pada kasur empuk berwarna putih. Tidak hanya lelah perkara pekrjaan, asmaranya dengan Mona, Gama juga masih memikirkan terkait kecelakaannya. Ia merasa tidak memahami semua yang terjadi. TOK! TOK! "Gam, boleh ibu masuk?" Mendengar suara sahutan Dira dari luar pintu kamarnya, Gama sontak menoleh dan menjawab, "Boleh. Masuklah." Sosok perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik dengan pakaian elegan itu sudah duduk di tepi ranjang. Jemari tangannya mengusap lembut pucuk kepala sang putra. "Ada apa? Ibu baru saja tahu kalau kamu dan Mona bertengkar sampai melepas cincin. Kalian sudah dewasa, kenapa masih saja kekanak-kanakan.""Ibu tahu apa yang lebih kekanak-kanakan dari sikapku? Ya, itu perjodohan konyol ini. Aku sudah dewasa, aku bisa menemukan cintaku sendiri.""Hidup jaman sekarang tidak bisa sekedar cinta, Gam, tapi juga finansial ke depannya. Perusahaan kita sudah
Gama membaringkan tubuhnya di atas kasur. Setelah perbincangannya dan Mona sedikit memanas, ia memilih untuk mengunjungi rumah pribadi di mana sudah ada banyak perubahan di dalamnya semenjak keberadaan Lusi dan Anna. Gama merasakan ada sedikit kehangatan dari suara air mengalir, mesin cuci menyala, AC yang mendadak menjadi sebuah kehangatan dan aroma makanan setiap kali kakinya berada di dapur. TOK! TOK!Suara ketukan pintu membuat lamunan Gama tersentak, ia lantas beranjak menghampiri sumber suara. "Ada apa, Bu?" tanyanya pada Lusi yang sudah berada di depan pintu. "Tuan mungkin belum makan. Semua makanan sudah siap di bawah." "Iya, Bu, nanti saja." Gama menimpal sekenanya, lalu berniat menutup pintu kembali, tetapi hanya dalam hitungan detik tubuhnya berbalik, "Bu!" Lusi yang merasa terpanggil seketika menoleh. "Ada apa, Tuan?""Ke mana Anna? Aku tidak melihatnya dari tadi. Suaranya saja tidak terdengar." Lusi tampak sedikit terkejut dan terdiam beberapa detik. "Euh, Anna ....
Dua pasang kaki tengah asyik berlari kecil di trotoar jalan yang dipenuhi dedaunan. Anna kembali bertemu Alex untuk kesekian kalinya. Baik Anna mau pun Alex tampak senang dan nyaman satu sama lain, usia yang hanya terpaut satu tahun membuat keduanya bersikap layaknya teman yang sudah saling mengenal lebih dari hitungan hari.Cukup lama berlari bersama, langkah lincah Alex tiba-tiba dibuat berhenti saat Anna berhenti bergerak. Lelaki berseragam itu menoleh tanpa melepas genggaman tangannya pada Anna. "Ada apa, Ann? Kenapa berhenti?" "Ini gerbang perumahan ini, 'kan? Aku pikir aku keluar terlalu jauh dari rumah, Al."Alex yang semula begitu erat menarik tangan Anna perlahan meregangkannya perlahan. "Di luar sama saja, Ann.""Kita tidak akan pulang malam?"Alex terkekeh sembari menggelengkan kepala. "Tidak akan, aku janji." Alex kembali meraih pergelangan tangan Anna, "tenang, Ann, kamu denganku. Aku akan tidak akan membawamu terlalu jauh." Anna pun tersenyum, lalu kembali membiarkan A
Suara alarm berbunyi membuat kedua mata Gama bergerak tak beraturan. Sorot sinar matahari langsung menyoroti wajahnya ketika kelopak itu terbuka. Lelaki bertubuh kekar tersebut duduk untuk beberapa saat, lalu dibuat penasaran dengan suara air kolam yang terletak di halaman belakang.Lebih pagi dari biasanya, Gama memang memutuskan untuk bangun lebih awal karena sebuah urusan pekerjaan. Pergerakannya pun tertuju ke arah dapur. Gelas di tangannya menjadi alasan lelaki tersebut melangkah keluar kamar. Tidak ada tanda-tanda seseorang berada di ruangan tersebut, namun di atas meja makan udah tersedia beberapa hidangan. Gama tampak mencicipi sedikit dari salah satu sajian dan memberikan reaksi menyenangkan. "Ke mana orang-orang ini? Apa sepagi ini sudah menjemur pakaian?" tutur Gama seraya berjalan menuju jendela besar yang masih tertutup gorden berwarna nude. Dalam satu tarikan lelaki bernama Gama itu dibuat mematung saat penutup jendela tersebut disibakan. Terlihat jelas dirinya menela