Si bungsu Nania tidak seberuntung kedua kakaknya. Sejak usianya empat bulan Nania sudah sering ditinggal Ajeng dan seringkali diasuh oleh orang lain, kadang adik ipar atau kakak iparnya.Usia yang masih sangat rentan dan benar-benar membutuhkan kasih sayang seorang Ibu tapi sama sekali tidak pernah mendapatkannya.Suatu sore saat Edi pulang kerja, ia dikejutkan oleh tangisan sang putri bungsu yang tak kunjung berhenti. Saat itu Nania sedang berada dalam gendongan Putri di ruang tengah rumah.“Untung Mas Edi cepat pulang, sejak tadi Nania tidak berhenti menangis dan demamnya tinggi sekali. Tadi saya sudah membaluri badannya dengan bawang merah dan minyak telon tapi sama sekali tidak membantu,” Putri yang mengurus Nania langsung melaporkan keadaannya pada Edi. Edi yang saat itu masih lelah dengan pekerjaan yang menyita waktu pun langsung menempelkan punggung tangan di dahi putri kecilnya. Benar sekali tubuh anak itu sangat panas. “Mas, mending sekarang ke dokter aja bawa Nania, biar d
Hubungan Edi dengan Ajeng masih saja tidak jelas selama bertahun-tahun. Mereka berdua sudah tidak lagi tinggal serumah. Edi sudah tidak tahu kemana istrinya itu pergi, menurut kabar Ajeng sudah tidak lagi tinggal di kontrakan lamanya melainkan kembali ke rumah orang tuanya di Madiun.Dari pengakuan teman Ajeng, kepindahannya dikarenakan tidak memiliki pekerjaan lagi dan tidak ada biaya untuk menghidupi kesehariannya.Namun untuk kembali tinggal di rumah Edi, Ajeng pun enggan, entah apa penyebabnya.Padahal jika Ajeng ingin datang dengan baik-baik, maka Edi pasti akan menerima dengan baik.Seperti apa yang selama ini dilakukan Ajeng, tiap akhir bulan, Ajeng selalu datang berkunjung ke tempat Edi, tapi bukan untuk menengok anak-anaknya. Ajeng hanya datang untuk meminta jatah uang bulanan dari Edi saja.“Dik, kamu nggak nunggu anak-anak pulang dulu, mereka nggak lama kok pergi dengan budhenya?” tanya Edi yang baru saja memberikan sejumlah uang untuk kebutuhan Ajeng beberapa waktu lalu.“
HTP 13KEhilanganWaktu sudah mendekati tengah hari, saat itulah Ajeng menghentikan sepeda motornya di depan ruamah Edi yang terlihat sepi. Ajeng tentunya sudah hapal jam berapa suaminya itu meninggallkan rumah, dan ketiga anaknya sekolah. Karena masih berstatus istri sah Edi dan Ibu dari ketiga putrinya, Ajeng pun memegang kunci duplikat rumah yang membuatnya bebas keluar masuk. Ajeng juga sengaja datang jam segini agar tidak diketahui tetangga sekitar karena pagi hari banyak yang beraktivitas."Aku datang nggak ada maksud buat jenguk anak-anak,aku mau ambil apa yang bisa aku jual"batin Ajeng sembari membuka kunci pintu belakang rumah.Tanpa ada perasaan sungkan atau rindu rumah, wanita berambut lurus itu masuk rumah dan menggeledah hampir seluruh sudut ruangan. “Aduh ini rumah sepi amat sih nggak ada yang bisa dijual sama sekali. Udah bener-bener miskin kali si Edi, TV juga udah ketinggalan jaman mana udah nggak bagus lagi, bisa laku lima puluh ribu juga udah bagus, tapi nggak sep
Edi menghempaskan tubuhnya pada soda di ruang tamunya. Pria yang usianya sudah kepala tiga itu tampak pucat dan kini tangannya menyentuh dada kirinya seperti menahan sakit, dan napasnya pun tampak berat.Seorang wanita yang rambutnya sudah memutih pun tiba-tiba keluar dari kamar tidur dan mendapati sosok Edi yang terlihat kelelahan seperti nyaris tertidur. Namun wanita itu belum tahu kalau ada sesuatu yang terjadi pada Edi, putranya.“Baru pulang Ed, mbok ya tidur di kamar situ lho!” tegurnya.Saat itu Edi memang baru pulang dari meninjau proyek di Madiun. Edi sendiri adalah seorang kontraktor sukses di Yogyakarta. Proyek yang ditanganinya tidak hanya di Yogya dan sekitarnya tapi sudah merambah hingga ke Jawa Timur.“Bu …,” Edi tak melanjutkan ucapannya, tapi ia meringis kesakitan sambil memegangi dadanya.Sebagai seorang Ibu, tentu saja Wartini begitu khawatir melihat putranya yang mulai pucat, dan keringat dingin mulai menetes di dahinya.Wanita tua itu pun mulai mondar-mandir karen
Edi yang sudah sepuluh hari di Rumah Sakit pun sudah diperbolehkan pulang. Tubuhnya memang masih lemas, tapi demi rindu pada rumah dan keluarga kecilnya ia semangat agar bisa pulang ke rumah.“Akhirnya pulang juga Mbak,” kata Edi dengan lega saat adiknya Adi dan Mbak Sari menggandengnya pulang ke rumah.“Ya udah banyak istirahat di rumah, jangan mikir macem-macem dulu. Nabila ya manut kok,” kata Bu Wartini yang menyambut putranya pulang ke rumah.Pria bertubuh kurus ini pun tampak celingak celinguk seperti mencari sosok seseorang. Semua tahu siapa yang sebenarnya dicari olehnya. Tentu saja sosok Ajeng yang tengah dicarinya.“Udah Bu, Edi biar masuk ke kamar dulu, biar istirahat,” tambah Mbak Sari langsung menggandeng Bu Wartini masuk sambil mengedipkan mata mencoba mengalihkan perhatian adiknya.Sebagai anak tertua tentu saja Sari tidak ingin kalau penyakit adiknya kambuh lagi. Apalagi anak mereka masih kecil dan masa depannya masih panjang.“Kamu di kamar aja ditemeni Ibu dan Nabila
Ajeng seringkali kedapatan tersenyum sendiri. Tingkahnya seperti seorang remaja yang baru mengenal cinta monyet. Edi yang sudah mulai terapi pun diam-diam memperhatikan tingkah laku istrinya itu. Namun ia masih berusaha untuk bersabar, dan berpikiran positif.“Biarlah, mungkin dengan ngobrol di hp atau lihat video Ajeng jadi sedikit terhibur. Kondisiku yang sekarang sudah tidak bisa membuatnya bahagia seperti dulu lagi,” pikir Edi sambil mengelus dada."Dek, sudah masak buat anak-anak", tanya Edi tiba-tiba mengejutkan Ajeng. Ajeng yang sedang asyik pun membalik ponselnya tiba-tiba karena tak ingin Edi mengetahui apa yang sedang ia lakukan."Nanti beli lauk kan bisa,saya capek hari ini lagipula sebentarl lagi ada keperluan diluar,” jawab Ajeng dengan malas.“hmm ya udah,” balas Edi sambil menghela napas panjang.Tanpa menghiraukan suaminya yang masih berdiri di tempat semula, Ajeng pun segera pergi dengan mengendarai motor yang menjadi kendaraan keluarga mereka satu-satunya. Kali ini
Penuturan dari Bu Rini ini tentu saja mengejutkan Edi. Apalagi ia tahu kalau Bu Rini bukanlah orang yang berada. Kalau sampai menagih hutang sudah pasti wanita itu benar-benar membutuhkannya."Loh … hutang apa ya Mbak?” tanya Edi yang memang sama sekali tidak mengetahui perilah hutang piutang istrinya.Selama ini ia memberikan Ajeng uang dua juta setiap bulan, hanya untuk Ajeng saja tidak termasuk untuk kebutuhan anak dan rumah lainnya."Memangnya kamu ga dikasih tau istrimu ya?”"Nggak pernah Mbak,yang ada malah berantem terus hampir tiap hari,” balas Edi sambil mengusap wajah.Rini pun mengangguk-angguk kemudian sedikit mencondongkan tubuh ke arah Edi."Denger-denger istrimu sering keluar dengan laki-laki lain," bisik Rini.Bu Rini memang termasuk member dari cctv tetangga alias komunitas ghibah tetangga setempat. Edi yang paham karakter tetangganya ini pun mencoba untuk menutupi keburukan sang istri. Meskipun ia sendiri sudah mencurigai hubungan Ajeng dengan Seno dan juga pesan-pes
Edi duduk sambil merenung dan memperhatikan unggas peliharaannya. Pikirannya tertuju pada kedua anaknya.“Nabila dan Nadia masih kecil, kalau begini terus bisa-bisa mereka nggak sekolah dan nggak punya masa depan,” gumamnya.Hampir setahun lamanya Edi tidak bekerja dan biaya untuk kebutuhan sehari-hari tentunya tidak akan berhenti. Edi yang merasa tubuhnya lebih baik walaupun tidak bisa beraktivitas berat seperti dulu pun bertekad untuk melobi teman-temannya untuk mendapatkan pekerjaan.Ia pun bergegas menghubungi beberapa temannya untuk meminta pekerjaan. Ada yang memberi tanggapan positif adapula yang berpura-pura sibuk dan tidak mengenalnya.“Huft, harus gimana ini. Tidak aku tidak boleh menyerah, aku adalah seorang ayah dan aku wajib menafkahi kedua anakku. Ibunya anak-anak sudah tidak bisa diharapkan, yang ia pedulikan hanya dirinya sendiri. Mungkin juga karena usianya yang masih sangat muda jadi belum memiliki tanggung jawab,” gumam Edi sambil mencoba menghubungi salah satu tema