Edi Santosa lelaki tiga puluh tahunan, ketika masih muda menjadi laki-laki idaman perempuan dikampung karena fisiknya yang menarik. Masa muda Edi dihabiskan dengan berfoya-foya, hampir setiap malam pulang dalam keadaan mabuk, seperti kebanyakan pemuda dikampungnya suka konsumsi minuman keras.Ibunya seorang pedagang sayur yang cukup laris di pasar, dan Edi adalah anak kesayangan Bu Wartini apapun yang dilakukannya walau buruk tak akan pernah membuat Ibu memarahinya. Pernah ketika Edi pulang larut malam dalam keadaan mabuk, dan terkapar diteras rumah hanya Bu Wartinilah yang memindahkannya ke kamar, sementara kakak dan kedua adiknya enggan.Hampir setiap hari Edi diberi nasihat untuk berhenti mabuk-mabukan tapi tak diindahkannya, termasuk Ani, perempuan yang saat itu dekat dengannya, dan akhirnya memilih pergi karena tak ada masa depan dala hubungan mereka. Sementara kedua adiknya tidak mampu menasihati Edi karena takut akan watak temperamentalnya saat di bawah minuman keras.Suatu sa
Hari sudah menjelang siang saat Ajeng turun dari ojek, ia mengamati rumah yang sudah lama tidak ia tempati, tentu saja rumah peninggalan orang tua Edi yang masih dihuni oleh Edi dan ketiga putri mereka.Sudah beberapa bulan terakhir Ajeng tidak pulang dan tinggal di sebuah kamar kos yang letaknya jauh dari rumah Edi. Tentu saja kamar kos itu dibiayai oleh laki-laki selingkuhan Ajeng yang entah laki-laki mana lagi, sudah tak terhitung jumlahnya. Bagi Ajeng materi adalah nomor satu, ia tidak peduli status yang masih diembannya dan juga lelaki yang bersamanya, asalkan ada yang bisa menuhi keinginannya, Ajeng rela menyerahkan harga dirinya.Untuk menutupi kebosanan dan menjaga image, Ajeng pun bekerja, tapi tetap saja tabiatnya menggoda lelaki tidak pernah berubah. Sementara Edi sekarang hanya konsentrasi bekerja untuk membesarkan ketiga anaknya dan memberi kasih sayang sepenuhnya pada mereka. Sari, kadang kakak kandung Edi merasa kasihan melihat mereka, anak masih kecil-kecil sudah tid
Si bungsu Nania tidak seberuntung kedua kakaknya. Sejak usianya empat bulan Nania sudah sering ditinggal Ajeng dan seringkali diasuh oleh orang lain, kadang adik ipar atau kakak iparnya.Usia yang masih sangat rentan dan benar-benar membutuhkan kasih sayang seorang Ibu tapi sama sekali tidak pernah mendapatkannya.Suatu sore saat Edi pulang kerja, ia dikejutkan oleh tangisan sang putri bungsu yang tak kunjung berhenti. Saat itu Nania sedang berada dalam gendongan Putri di ruang tengah rumah.“Untung Mas Edi cepat pulang, sejak tadi Nania tidak berhenti menangis dan demamnya tinggi sekali. Tadi saya sudah membaluri badannya dengan bawang merah dan minyak telon tapi sama sekali tidak membantu,” Putri yang mengurus Nania langsung melaporkan keadaannya pada Edi. Edi yang saat itu masih lelah dengan pekerjaan yang menyita waktu pun langsung menempelkan punggung tangan di dahi putri kecilnya. Benar sekali tubuh anak itu sangat panas. “Mas, mending sekarang ke dokter aja bawa Nania, biar d
Hubungan Edi dengan Ajeng masih saja tidak jelas selama bertahun-tahun. Mereka berdua sudah tidak lagi tinggal serumah. Edi sudah tidak tahu kemana istrinya itu pergi, menurut kabar Ajeng sudah tidak lagi tinggal di kontrakan lamanya melainkan kembali ke rumah orang tuanya di Madiun.Dari pengakuan teman Ajeng, kepindahannya dikarenakan tidak memiliki pekerjaan lagi dan tidak ada biaya untuk menghidupi kesehariannya.Namun untuk kembali tinggal di rumah Edi, Ajeng pun enggan, entah apa penyebabnya.Padahal jika Ajeng ingin datang dengan baik-baik, maka Edi pasti akan menerima dengan baik.Seperti apa yang selama ini dilakukan Ajeng, tiap akhir bulan, Ajeng selalu datang berkunjung ke tempat Edi, tapi bukan untuk menengok anak-anaknya. Ajeng hanya datang untuk meminta jatah uang bulanan dari Edi saja.“Dik, kamu nggak nunggu anak-anak pulang dulu, mereka nggak lama kok pergi dengan budhenya?” tanya Edi yang baru saja memberikan sejumlah uang untuk kebutuhan Ajeng beberapa waktu lalu.“
HTP 13KEhilanganWaktu sudah mendekati tengah hari, saat itulah Ajeng menghentikan sepeda motornya di depan ruamah Edi yang terlihat sepi. Ajeng tentunya sudah hapal jam berapa suaminya itu meninggallkan rumah, dan ketiga anaknya sekolah. Karena masih berstatus istri sah Edi dan Ibu dari ketiga putrinya, Ajeng pun memegang kunci duplikat rumah yang membuatnya bebas keluar masuk. Ajeng juga sengaja datang jam segini agar tidak diketahui tetangga sekitar karena pagi hari banyak yang beraktivitas."Aku datang nggak ada maksud buat jenguk anak-anak,aku mau ambil apa yang bisa aku jual"batin Ajeng sembari membuka kunci pintu belakang rumah.Tanpa ada perasaan sungkan atau rindu rumah, wanita berambut lurus itu masuk rumah dan menggeledah hampir seluruh sudut ruangan. “Aduh ini rumah sepi amat sih nggak ada yang bisa dijual sama sekali. Udah bener-bener miskin kali si Edi, TV juga udah ketinggalan jaman mana udah nggak bagus lagi, bisa laku lima puluh ribu juga udah bagus, tapi nggak sep
Edi menghempaskan tubuhnya pada soda di ruang tamunya. Pria yang usianya sudah kepala tiga itu tampak pucat dan kini tangannya menyentuh dada kirinya seperti menahan sakit, dan napasnya pun tampak berat.Seorang wanita yang rambutnya sudah memutih pun tiba-tiba keluar dari kamar tidur dan mendapati sosok Edi yang terlihat kelelahan seperti nyaris tertidur. Namun wanita itu belum tahu kalau ada sesuatu yang terjadi pada Edi, putranya.“Baru pulang Ed, mbok ya tidur di kamar situ lho!” tegurnya.Saat itu Edi memang baru pulang dari meninjau proyek di Madiun. Edi sendiri adalah seorang kontraktor sukses di Yogyakarta. Proyek yang ditanganinya tidak hanya di Yogya dan sekitarnya tapi sudah merambah hingga ke Jawa Timur.“Bu …,” Edi tak melanjutkan ucapannya, tapi ia meringis kesakitan sambil memegangi dadanya.Sebagai seorang Ibu, tentu saja Wartini begitu khawatir melihat putranya yang mulai pucat, dan keringat dingin mulai menetes di dahinya.Wanita tua itu pun mulai mondar-mandir karen
Edi yang sudah sepuluh hari di Rumah Sakit pun sudah diperbolehkan pulang. Tubuhnya memang masih lemas, tapi demi rindu pada rumah dan keluarga kecilnya ia semangat agar bisa pulang ke rumah.“Akhirnya pulang juga Mbak,” kata Edi dengan lega saat adiknya Adi dan Mbak Sari menggandengnya pulang ke rumah.“Ya udah banyak istirahat di rumah, jangan mikir macem-macem dulu. Nabila ya manut kok,” kata Bu Wartini yang menyambut putranya pulang ke rumah.Pria bertubuh kurus ini pun tampak celingak celinguk seperti mencari sosok seseorang. Semua tahu siapa yang sebenarnya dicari olehnya. Tentu saja sosok Ajeng yang tengah dicarinya.“Udah Bu, Edi biar masuk ke kamar dulu, biar istirahat,” tambah Mbak Sari langsung menggandeng Bu Wartini masuk sambil mengedipkan mata mencoba mengalihkan perhatian adiknya.Sebagai anak tertua tentu saja Sari tidak ingin kalau penyakit adiknya kambuh lagi. Apalagi anak mereka masih kecil dan masa depannya masih panjang.“Kamu di kamar aja ditemeni Ibu dan Nabila
Ajeng seringkali kedapatan tersenyum sendiri. Tingkahnya seperti seorang remaja yang baru mengenal cinta monyet. Edi yang sudah mulai terapi pun diam-diam memperhatikan tingkah laku istrinya itu. Namun ia masih berusaha untuk bersabar, dan berpikiran positif.“Biarlah, mungkin dengan ngobrol di hp atau lihat video Ajeng jadi sedikit terhibur. Kondisiku yang sekarang sudah tidak bisa membuatnya bahagia seperti dulu lagi,” pikir Edi sambil mengelus dada."Dek, sudah masak buat anak-anak", tanya Edi tiba-tiba mengejutkan Ajeng. Ajeng yang sedang asyik pun membalik ponselnya tiba-tiba karena tak ingin Edi mengetahui apa yang sedang ia lakukan."Nanti beli lauk kan bisa,saya capek hari ini lagipula sebentarl lagi ada keperluan diluar,” jawab Ajeng dengan malas.“hmm ya udah,” balas Edi sambil menghela napas panjang.Tanpa menghiraukan suaminya yang masih berdiri di tempat semula, Ajeng pun segera pergi dengan mengendarai motor yang menjadi kendaraan keluarga mereka satu-satunya. Kali ini