Share

Aku Kembali

Kepulanganku ke tanah air, tepatnya kota Batam, tak menimbulkan riak berarti. Tak ada sambutan hangat, reuni singkat, atau pun pesan basa-basi yang bertanya 'kapan sampai'. 

Bukan salah dunia. Aku yang memilih mengasingkan diri dari kehidupan. Lelah dengan semua kerumitan emosi yang menghantam jiwaku belakangan. Kadang-kadang tidak berharap apapun pada semesta jauh lebih baik, meski itu bukanlah bagian yang cocok untuk perempuan ambisius seperti aku. 

Begitu tiba di bandara, kudorong koper kecil sembari menenteng sebuah tas cangklong ukuran besar. Kacamata hitam yang tadi kugantung di kerah kaos, kini kembali bertengger manis di puncak hidungku. 

"Kak, aku disini!"

Refleks aku menoleh ke sisi kiri, ternyata adikku Shania sudah berdiri disana dengan senyum lebar yang mirip seringai beruk minta kawin. 

"Akhirnya kau sampai Kak, dari tadi aku udah pegal nungguin kau," ujarnya dengan napas tersengal karena barusan berlari-lari kecil menghampiriku. 

"Yang minta kau nunggu aku, siapa?" aku membalas  tak acuh. Tatapanku yang tajam menyelidik dari ujung kaki hingga rambut, membuat rasa bersalah jadi terbit di matanya. 

Wajar dia merasa bersalah. Kalau tebakanku benar, pastilah perempuan tengil ini memantau posisiku lewat pelacak handphone atau email yang belum sempat log-out dari laptopnya yang sempat kupakai kemarin. Betapa menakutkannya teknologi! 

"Maaf Kak, habis kau nggak pernah kasih kabar. Kalau nggak secara ilegal, kayak mana mau tahu kabarmu?"

Ternyata ibu dua anak ini masih berusaha membela diri. Dasar emak-emak keras kepala.

"Hmmm, iya deh. Nah, silakan kerjakan tugasmu. Siapa suruh datang kemari."

Tanpa basa-basi, kulempar tas cangklong besar itu ke depannya. Peduli amat dengan wajah cemberut Shania. 

Dia berusaha keras mensejajari langkahku. Membawa beban ditambah ukuran tubuh yang cukup subur tentu bukan perkara mudah. Tak lama napasnya mulai tersengal diantara peluh yang terus bercucuran. 

"Sudah, kemarikan tas itu," ujarku tak tega. Shania satu-satunya manusia yang masih kuanggap kerabat di bumi ini. "Lagian kau parkir kok jauh betul," sungutku lagi. 

"Hehehe, aku parkir di luar Kak. Malas menyetir ke dalam," gelaknya dalam sikap malu-malu yang kentara. Jelas sekali, kemampuan menyetirnya yang masih di bawah standar. 

Aku hanya bisa menggeleng. 

Adikku yang baik ini memang suka merepotkan diri. Sudah tahu belum jago menyetir masih juga memaksakan diri. Apa salahnya menggaji sopir pribadi?

Tidak sepertiku, Shania hidup mapan bersama sang suami. Walau tidak tampan, adik iparku tipe pria setia dan pekerja keras. Mampu mencukupi kebutuhan anak-istrinya dengan baik. 

"Siapa yang menjaga kedua anakmu?" tanyaku ditengah langkah yang makin terseok

"Kutitip sama mamak Kak. Beliau lagi dirumah."

"Oh, gitu," sahutku singkat. Tak lagi berminat melanjutkan pembicaraan. 

Jika anak lain selalu mengelu-elukan ibu mereka sebagai sosok penuh kasih tanpa pamrih, tidak demikian dengan kami, aku khususnya. 

Sejak kecil, wanita yang kami panggil 'mamak' itu selalu mendidik kami untuk satu tujuan : Kehidupan yang kaya dan terhormat. Itulah yang menjadi target hidupku sejak muda -- setidaknya dulu aku berpikir begitu -- sekarang sudah terlambat untuk mengubahnya.

Setan cinta uang dalam diriku sudah tumbuh tak terkendali. Menjadi denyut yang menggerakkan urat nadi kehidupanku. 

"Akhirnya kita sampai." Suara Shania yang terdengar serupa desau angin berucap di belakangku. 

Aku berhenti sejenak lalu mengikuti langkahnya menuju sebuah mobil hitam yang terparkir di depan warung penjual makanan.

Bau hidangan oriental yang lezat seketika menyapa indra penciumanku, tak pelak Shania yang memang penyuka makana juga berhenti beberapa langkah dari mobilnya lalu menatapku ragu. 

"Kak, udah makan?"

Aku memutar mata jengah. Pura-pura bertanya udah makan apa belum, padahal aku yakin seratus persen kalau cacing dalam perutnya yang sudah teriak-teriak minta diisi. 

"Bilang aja kalau mau makan. Jangan protes nanti kalau jarum timbanganmu makin ke kanan," balasku pedas tapi adikku hanya mengedikkan bahu. 

Kami segera memasukkan barang dalam bagasi mobil lalu melangkah memasuki warung sederhana yang dikelola seorang Ayi paruh baya. 

"Yi, pesan nasi ayam Hainan dua, jus jeruk dua." Shania berucap begitu mendekati pintu masuk. 

Kami memang sering beradu pendapat dalam banyak hal namun kalau soal makanan selera kami hampir sama, lebih lagi kuliner oriental.

Lahir dan besar di kepulauan Riau membuat masakan Tionghoa cukup akrab dilidah, khususnya makanan khas suku khek yang banyak menetap di sini. 

Tidak seperti kuliner hokkien, masakan khek lebih minim bumbu, mungkin karena pahitnya kehidupan leluhur mereka dulu. 

"Mau bungkus apa makan sini," sahut Ayi dalam logat khas chindo. 

"Makan disini aja, " Balas Shania. 

Setelahnya dia bergabung denganku yang masih sibuk menekuni buku menu di meja, kalau-kalau ada sajian lain yang menarik perhatian dan patut ditambah dalam daftar pesanan. Namun nihil. 

Seperti kebanyakan tempat makan yang dikelola etnis Tionghoa, yang lebih mengutamakan kualitas menu daripada ragamnya, rupanya disini juga begitu. Tak banyak pilihan tersedia. 

"Kak, kau nggak mau ketemu mamak?" tanya Shania begitu duduk di depanku

"Buat apa? Pasti yang terjadi perang dunia ketiga."

"Kau yakin, Kak? Sepertinya mamak pengen kali ketemu sama kau."

Pramusaji meletakkan dua gelas air putih dan dua gelas jus di depan kami. Sepertinya nasi ayam harus menunggu lebih lama. Kedai memang lagi ramai. 

"Hahaha, kau masih saja naif kayak dulu. Dia bukan rindu sama aku, tapi sama uangku," sahutku enteng sambil menyeruput jus jeruk dengan rakus. Cuaca kota Batam yang terik membuat dahaga mencapai titik kulminasi. "Memangnya apa dibilang mamak sama kau?" tak urung aku bertanya juga

Shania berdehem lalu berbicara dengan aksen ibuku, "Di manalah kakakmu, ya? Gimana keadaannya sekarang? Risau kalilah mamak."

"Pfffttt"

Aku nyaris tersedak. Seperti biasa, ibuku paling bisa diandalkan dalam bersandiwara. Ah! Seandainya dulu beliau menekuni dunia peran, sudah pasti saat ini kami jadi anak artis. 

"Kau masih saja tertipu. Kau ini wanita tambun atau lembu tambun, gampang betul ditipu. Pastilah dia ngomong kayak gitu biar kau buka mulut. Nggak ada kau cerita apa-apa, kan?"

Shania hanya menggeleng lemah. Adikku memang selalu berprasangka baik, bahkan terhadap orang yang sudah menyakitinya sejak kecil. 

Ibu kami, meski tidak memukul, tidak membentak, namun ucapannya selalu pedas dan tajam, mampu merobek asa yang paling dalam. Belum lagi dia selalu membandingkan Shania denganku, bikin adikku ini jadi insecure sama diri sendiri. 

"Sebenarnya kau buat jasa apa sama tante Sally? Dia loyal kali sama-mu," Adikku mengalihkan cerita untuk meredakan situasi yang mulai memanas gara-gara ibu kami. 

"Memangnya kenapa dia?"

"Yah, dia selalu merekomendasikan kliennya supaya skincare-an di tempatmu, udah gitu tiap ada preman yang mau mengganggu klinikmu dia langsung maju pasang badan"

Aku tersenyum kecil dan berujar, "Bukan soal kebaikan tapi balas budi."

Setelahnya benakku mulai melayang pada peristiwa tiga tahun silam. Waktu itu Sally cuma pemilik salon langgananku. Kiosnya sederhana, cuma sebuah ruko kecil. Namun kepiawaian Sally dalam urusan rambut, sulam alis, dan bibir tak perlu diragukan. 

Entah kesalahan apa yang dilakukan Sally di masa mudanya hingga perempuan berbakat seperti dia mesti stuck dengan laki-laki bajingan dalam wujud suaminya. Pria jelek itu, jangankan memberi nafkah malah suka melakukan kekerasan, baik fisik maupun verbal serta penjudi ulung. Segala keburukan diborongnya semua. 

Disuatu siang yang suram, pria itu tiba-tiba datang ke tempat usaha Sally lalu mengobrak-abrik segala isinya sampai pelanggan berlarian keluar. Penyebabnya tentu pasal rupiah. Kalah taruhan di meja judi membuat dirinya kalap hingga tega menganiaya Sally waktu itu. 

Tak tahan lagi dengan perlakuan suami yang kombo toxic-nya, Sally memantapkan hati untuk pisah. Tentu saja lelaki sangar itu tak mau, bahkan sampai mengancam Sally.

Disinilah peran besarku muncul. Waktu itu Roy yang masih kepincut padaku rela turun tangan. Tak ayal pria pengecut macam suami Sally pun akhirnya mundur teratur. 

"Ini makanannya Kak, maaf lama, ya," suara ramah pramusaji sontak membuyarkan segala lamunanku. 

Begitu nasi beserta lauknya terhidang, kami berdua pun makan dalam diam, menikmati setiap kenangan yang mampu dibangkitkan seporsi nasi ayam dalam ingatan. 

"Ingat nggak dulu pertama kali mamak bawa kita makan nasi ayam?" seraya menyendokkan sesuap nasi ke mulutnya, Shania menukas. 

"Mana mungkin aku lupa. Waktu itu mamak baru menjual sepetak tanah warisan oppung. Untuk pertama kali dibawalah kita makan di luar. Biar jangan kentara kali cuma dia yang makan uangnya." Aku menyahut dalam humor yang pahit. 

"Dih, kakak ini terus aja melihat yang jelek-jelek dari mamak."

"Habis aku ini bukan malaikat atau lembu tambun kayak kau."

"Ckckck, hina aja terus. Asal kakak tahu, lakik-ku suka perempuan bohay kayak aku bukan tipe tengkorak hidup macam situ!" Terpancing emosi karena terus kuejek, Shania menyahut kasar

"Hahaha, iya deh adikku sayang. Jangan diambil hati ya. Aku cuma iri sama-mu Dek. Suami tajir dan baik hati, anakmu sehat dan lucu, sedangkan aku... "

Sampai di sini aku sengaja menggantung ucapan demi memberi efek dramatis. Bukannya tidak sedih dengan jalan hidup namun diriku bukan pula jenis manusia yang gemar menyesal dan meratapi nasib. 

Jadi, lakonku barusan cuma untuk mengurai amarah Shania. Dan, ya! Itu berhasil. 

Shania yang tadinya cemberut bin galak kini berubah simpatik, "Sudahlah Kak, semua orang punya struggle masing-masing. Yang pahit nggak usah diingat lagi," hiburnya padaku. 

Aku yang tadi sibuk menunduk seolah berduka kini menatap wajahnya lurus, "Makasih Dek, jangan marah lagi, ya." 

Adikku melengos tapi hidungnya kembang-kempis juga, terbuai bujuk rayu kakaknya. 

Terbit jugalah senyum di wajahku. Menenangkan Shania memang selalu mudah. Sifatnya yang mellow itu jadi kelebihan sekaligus kekurangannya.

Seraya mengusap mulut, aku membuang pandang ke samping. Tepat pada saat inilah kulihat sesuatu yang sebenarnya belum ingin kulihat. Mataku mengerjap cepat beberapa kali. Tanda paling jelas jika perasaanku sedang tak nyaman. 

Shania yang akhirnya menyadari tindakan anehku, ikut menatap ke arah yang sama. Dalam sekejap pahamlah dia mengapa diriku tiba-tiba bersikap defensif. 

"Kau masih mengharapkannya?" Dia menukas hati-hati seraya memandang wajahku. 

Seperti biasa, diriku hanya melengos kecil. Seolah apa yang dia katakan barusan satire paling mustahil di alam semesta. 

'Memangnya aku semenyedihkan itu?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status