"Maksud Ibu?"
Sambil menyendok sesuap bubur ke mulutku, Sumiati berkata lagi."Kudengar, mereka mesti berenang malam-malam biar nggak terpantau anak buah penjahat itu. Lolos dari air, harus melewati ladang ranjau. Anak buah Hartono saja sampai mati tiga orang."Entah Hartono yang menyuruh ibunya bercerita demi merebut simpatiku, namun fakta bahwa dia bisa saja kehilangan nyawa waktu itu, bikin jantungku ketar-ketir."Apa dia terluka waktu itu, Bu?""Kalau itu aku kurang tahu. Tapi sesudah kita di mansion, ada dokter bolak-balik masuk ke kamar utama selama tiga hari."Pantas muka Hartono pucat waktu itu. Kurasa ada bagian tubuhnya yang tertembus peluru musuh. Kemungkinan ini bikin ulu hatiku jadi ngilu. Suami yang sudah tega mengumpankan kami pada musuhnya, ternyata hampir meregang nyawa juga waktu menyelamatkan kami."Shanty, cepat pulih ya Nak. Joan dan Joyce sudah rindu." Ujar Sumiati seraya membereskan peralatan maAtas desakan Hartono, hari ini kami pergi ke rumah Shania untuk mengunjungi bapak-mamak serta Alex. Agar orangtuaku tak terkejut, status Hartono kami rahasiakan hingga yang mereka tahu, suamiku cuma karyawan kantoran. Setelah basa-basi sejenak, kutinggalkan Hartono meladeni kedua bapak dan mamak, sementara aku sendiri pergi menemui Alex di kamarnya. 'Tenanglah Shan, anakmu tak akan membencimu. Ujarku berulang-ulang di sepanjang jalan menuju kamar Alex. Rasa takut dan gugup yang melandaku tak terkatakan lagi. Kalau bukan karena didorong keinginan yang kuat, maulah rasanya aku kabur detik ini juga. Begitu daun pintu itu kubuka, tampaklah anak kecil yang wajahnya amat mirip denganku itu sedang menggambar sesuatu di bukunya. "Hai Alex..." Sapaku memulai percakapan. Bocah laki-laki berambut lurus itu menatapku datar, lalu duduk dari posisi telungkupnya. Sikapnya yang dewasa dan teratur, bikin aku makin gugup.
"Sial! Ini bukan kamarku!" Aku menjerit kaget usai melihat ruangan yang tampak asing ini. Perlahan aku menatap sekeliling. Gorden yang lebih lebar dan usang, posisi AC yang tidak sama dengan kamarku yang biasa, sprei asing, dan selimut yang lebih tebal. Pikiranku seketika teringat pada peristiwa semalam. 'Bukankah semalam aku bersama suamiku?' Mataku mengerjap lagi dan menatap sisi kanan. Kini, aku sukses terlonjak dari posisi tidur. Didorong rasa kaget yang luar biasa, tubuh ini jadi sadar sepenuhnya. Kutatap pria yang lelap itu, dan nyatalah itu wajah asing, bukan suamiku. "Apa yang sedang terjadi?!" Aku membatin, mulai histeris. Apalagi waktu selimut tersingkap, ternyata tubuhku hanya dibalut sepasang bra dan cawat merah. Aku ingat, pakaian ini memang sengaja kupakai semalam demi memancing hasrat suami yang mulai padam. Meski masih bertanya-tanya, alarm di otak menyuruhku segera berpakaian dan keluar dari tempat terkutuk ini. Kupunguti pakaian yang tercecer di lantai lalu meng
Tiga tahun kemudian. Dari balik kaca pemantau di pintu, aku menatap wanita yang masih tampak cantik di usia tua. Dalam kamarnya yang mewah layaknya kamar hotel bintang lima, tampak cairan infus masih terhubung di pergelangan tangannya. Penyakit komplikasi menyerang wanita yang kuketahui bernama Nyonya Lim itu. Sudah dua minggu beliau dirawat di kamar ini. Jika bisa kusimpulkan, beliau adalah gambaran dari kesempurnaan ragawi. Rambut kelabu yang tersisir rapi ke belakang, pakaian, serta wajah bersih yang dipoles make up tipis. Tak ketinggalan pangkal hidung yang tampak mencuat dari salah satu sisi wajahnya. "Selamat pagi, Nyonya."Aku menyapanya ramah, seraya membawa nampan berisi makanan, obat, dan buku status pasien. Sebagai seorang perawat pasien khusus kamar VVIP di sebuah rumah sakit mewah di Singapura, beginilah kesibukanku tiga tahun terakhir ini."Hai, selamat pagi juga." Dia menatapku dengan senyum tipis aristokrat. "Waktunya sarapan di hari yang indah, Nyonya." Aku beruca
[Temui aku nanti malam tepat pukul tujuh di Orchard Road]Begitu kalimat pembuka pesan ini yang diikuti alamat sebuah restoran mewah dan nama si pengirim: Hartono Lim.Begitu singkat dan dominan! Seperti pemiliknya. Niatku ingin menyantap lunch selesai sudah. Alih-alih ke kantin, aku malah naik ke rooftop untuk menikmati tiupan angin yang mengantarkan terik mentari untuk berpikir kembali. Langkah apa yang harus aku ambil ke depannya? Apakah langkah ini sudah benar? Usai meyakinkan diri sendiri, aku terhenyak kala mengingat satu hal lain.Astaga! Jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan angka satu, artinya waktu makan siang yang berharga sudah selesai. Buru-buru kuhabiskan soft drink yang tinggal separuh setelah menikmati sandwich tuna dalam dua kunyahan besar.Aku bergegas turun. Ms. Jane, kepala ruangan kami, tadi pagi memintaku menemuinya. Firasatku tak enak soal panggilan mendadak ini. Benar saja. Begitu pintu ruang kerjanya terbuka, beliau menatapku dengan ekspresi kesal yan
"Ini tunjangan dan aset yang kamu dapat jika menjadi istriku."Aku membaca dengan saksama poin-poin alias keuntungan yang kudapatkan jika bergelar nyonya muda Lim. Bahkan, saat berstatus sebagai istri Roy dulu, tak ada tunjangan semurah hati ini.Selain dapat uang saku yang mencapai dua digit perbulan, aku juga mendapat butik dan hotel bintang empat yang bisa kukelola sendiri. Jika ditambah restoran dan klinik kecantikan yang kumiliki saat ini, bisakah aku merasa jadi jutawan kelas kampung?"Tentu saja jika suatu saat kita bercerai, kamu tidak mendapatkan apapun lagi. You are on your own." Pria karismatik itu kini menyandarkan tubuhnya yang tegap, menatapku lekat-lekat, kemudian menjatuhkan bom-nya, "Lalu aku mau bertanya. Apa yang kamu harapkan dariku makanya begitu gigih mendekati mama?"Shit! Jeritku lagi. Mungkin kali ini dia bisa melihat kilatan kaget di mataku, karena setelahnya, dia mencetus lagi, "Aku tahu segalanya, Darling."Sudah kuduga tak akan ada yang luput dari pandanga
Kepulanganku ke tanah air, tepatnya kota Batam, tak menimbulkan riak berarti. Tak ada sambutan hangat, reuni singkat, atau pun pesan basa-basi yang bertanya 'kapan sampai'. Bukan salah dunia. Aku yang memilih mengasingkan diri dari kehidupan. Lelah dengan semua kerumitan emosi yang menghantam jiwaku belakangan. Kadang-kadang tidak berharap apapun pada semesta jauh lebih baik, meski itu bukanlah bagian yang cocok untuk perempuan ambisius seperti aku. Begitu tiba di bandara, kudorong koper kecil sembari menenteng sebuah tas cangklong ukuran besar. Kacamata hitam yang tadi kugantung di kerah kaos, kini kembali bertengger manis di puncak hidungku. "Kak, aku disini!"Refleks aku menoleh ke sisi kiri, ternyata adikku Shania sudah berdiri disana dengan senyum lebar yang mirip seringai beruk minta kawin. "Akhirnya kau sampai Kak, dari tadi aku udah pegal nungguin kau," ujarnya dengan napas tersengal karena barusan berlari-lari kecil menghampiriku. "Yang minta kau nunggu aku, siapa?" aku
Aku kembali menatap jendela di depanku, yang kini nampak makin menarik saja. Satu keluarga harmonis berdiri di sana. Ayah yang menggandeng tangan putrinya dan ibu yang menggendong bayi kecilnya. Entah apa yang mereka percakapkan, yang jelas wanita bernama Vina itu tersenyum sumringah. Aura keibuan yang hangat membuat sosoknya makin menarik. 'Dan Sial! dia masih saja bertubuh ramping.'Perempuan vulgar yang jadi istri Luki, mantan kekasihku itu, terlihat sangat menikmati perannya sebagai ibu dan istri. Sedangkan suami yang berdiri di sisinya membantu dia masuk ke dalam mobil dengan penuh kelembutan. Meski enggan mengakui, secercah rasa iri menyeruak dalam kalbu. "Sudahlah Kak, biarkan saja mereka. Tataplah masa depan kakak." Shania menyentuh pundakku, menghalau rasa tak nyaman yang sempat muncul sekejap tadi."Huh, siapa pula yang nggak move on? Asal kau tahu aja, sebentar lagi aku mau nikah."Sekarang gantian aku yang menepuk pelan pundak Shania. Emak-emak lugu ini nampak sangat s
Kutatap wajah yang disapu makeup tipis di depan cermin rias. Sempurna! Aku suka pantulan mukaku yang terlihat merona sehat. Tak banyak dempulan foundation, tapi sudah cukup membuatnya tampil flawless. Harga skincare memang bukan bualan. Terus terang, seperempat penghasilan bulanan habis hanya untuk perawatan tubuh dan kulit. Tapi lagi-lagi, setiap sen tidak sia-sia. Tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar. "Masuk," sahutku tanpa menoleh. Paling yang mengetuk barusan Sumiati, pelayan yang tinggal denganku di apartemen ini. Siapa lagi yang berani mengetuk pintu pagi-pagi begini, langsung ke kamar pribadi pula. Ternyata aku salah!Betapa kaget diriku manakala mata ini bertatapan dengan iris gelap itu lewat cermin datar. "Ah, kamu sudah disini ternyata," ujarku sedikit gugup. "Kenapa? Kaget melihatku disini?"Hartono duduk di tepi ranjang seraya menggulung lengan kemejanya sampai siku. Sepertinya dia baru mandi. Rambutnya yang lurus itu disisir rapi tapi agak diacak sedikit di bagian a