Share

Memberi Pelajaran

Aku kembali menatap jendela di depanku, yang kini nampak makin menarik saja. 

Satu keluarga harmonis berdiri di sana. Ayah yang menggandeng tangan putrinya dan ibu yang menggendong bayi kecilnya. Entah apa yang mereka percakapkan, yang jelas wanita bernama Vina itu tersenyum sumringah. Aura keibuan yang hangat membuat sosoknya makin menarik. 

'Dan Sial! dia masih saja bertubuh ramping.'

Perempuan vulgar yang jadi istri Luki, mantan kekasihku itu, terlihat sangat menikmati perannya sebagai ibu dan istri. Sedangkan suami yang berdiri di sisinya membantu dia masuk ke dalam mobil dengan penuh kelembutan. 

Meski enggan mengakui, secercah rasa iri menyeruak dalam kalbu. 

"Sudahlah Kak, biarkan saja mereka. Tataplah masa depan kakak." Shania menyentuh pundakku, menghalau rasa tak nyaman yang sempat muncul sekejap tadi.

"Huh, siapa pula yang nggak move on? Asal kau tahu aja, sebentar lagi aku mau nikah."

Sekarang gantian aku yang menepuk pelan pundak Shania. Emak-emak lugu ini nampak sangat shock dengan penuturanku barusan. 

"Kenapa? Aku memang janda tapi nggak semua janda punya daya tarik seperti ini," tukasku sombong

"Maksudku kok tiba-tiba? Sama siapa?"

"Yang jelas sama manusia. Nanti ada waktunya kukenalkan sama-mu. Untuk sekarang, itu aja yang perlu kau tahu."

"Terus kakak nggak buat pesta? Nggak undang keluarga?"

Aku meniup matanya yang masih membelalak kaget, seperti melihat setan lagi shopping. 

"Nggak penting. Aku nggak nikah di catatan sipil aja. Yang penting nikahnya nggak sama monster."

Hartono memang belum menceritakan bagaimana cara pernikahan kami, namun dari sikapnya yang tidak menyukai konsep spritual, bisa kupastikan calon suamiku ini agnostik atau malah atheis, who cares? Orang seperti ini mana peduli dengan ritual pernikahan di rumah ibadah. 

Lelaki tak suka agama ditambah perempuan tidak taat beribadah, sungguh perfect couple made in hell kami ini. 

"Jadi kapan kalian mau nikah?"

"Minggu depan. Doakan aja biar semua lancar," pungkasku dalam nada monoton. 

Di luar sana bisa kulihat Luki sudah mulai mengeluarkan mobilnya dari lahan parkir. Entah dalam rangka apa mereka bisa sampai kemari. 

Akhirnya mobil hitam itu meluncur, makin jauh dan jauh, sampai akhirnya hilang dari pandangan. Dan mataku masih enggan berpaling. 

Dulu pria tampan nan jangkung itu sangat mencintaiku.

Ah, cinta mungkin kurang tepat. Dia tergila-gila padaku, bahkan rela mengesampingkan ibu dan kakaknya demi diriku. Lalu skenario hidup yang rumit membuatku malah menikah dengan Roy, si pezina dan dia menikahi perempuan dajjal bernama Vina. 

"Kak, ayoklah pulang. Kemana mau kuantar?"

"Hmm, anu..antar aku ke hotel aja dulu," sahutku gamang. 

Kemarin Hartono berpesan sesampainya di Batam aku harus tinggal di apartemennya menjelang pernikahan kami. Dia sendiri masih tinggal di Singapura hingga hari ini. Meski kami akan menikah, tetap saja risih rasanya tinggal di rumah seseorang yang masih asing. 

"Kok ke hotel? Ke rumahku aja."

Aku mendelik kesal. Pasti Shania tolol ini ingin mempertemukanku dengan mamak kami, "Tak usah mendebatku. Kalau kau nggak mau antar, ya sudah. Aku pesan taksi saja."

Tak lagi menunggu argumennya yang menyesatkan, aku segera beranjak pergi. Dengan kasar kutarik tas cangklongku yang masih di tangannya. Aku juga bingung dengan perubahan mood yang mendadak ini. Tak biasanya Shanty begini. 

"Woy! chill, chill. Tunggulah! iya, kuantar pun ke hotel! seru Shania panik.

Adikku sedikit berlari mengejarku yang sudah keburu tiba di depan kedai. Sekilas aku menoleh ke belakang. Astaga! Nyaris tak bisa menahan tawaku. Dia terlihat sangat lucu, persis penguin bertubuh gempal yang berlarian di atas salju. 

Begitu tiba di sisiku, langsung ditariknya tas besar yang udah macam trofi bergilir tadi, "Segitu aja ngambek, percuma udah tua!" Tak lama dia menekan kunci mobilnya. Aku sudah bersiap-siap hendak masuk ketika seorang pria dalam setelan gelap tiba-tiba menghampiriku. 

"Maaf Nyonya, saya terlambat menjemput Anda."

Sontak aku menoleh. Di depanku kini berdiri pria bertubuh tegap. Lagi-lagi dengan setelan gelap. Apa mereka ini ikut sekte atau kultus yang mewajibkan anggotanya berpakaian seperti ini tiap saat? 

"Apa saya harus ikut kamu?"

"Ya, Nyonya. Itu perintah tuan."

Dia memang membungkuk hormat. Namun nada tegas dalam suara itu tak terbantahkan. Artinya: sedikit saja ada perlawanan, dia mungkin tak akan sungkan menyeretku ke dalam mobil, entah dalam keadaan sadar atau tidak. 

"Baik, sebentar ya."

Tanpa banyak kata aku menghampiri Shania yang sudah pias. Aku yakin betul, sekarang dia pasti menduga kakaknya anggota geng mafioso. 

"Tenanglah Dek, everything is fine. Aku pamit dulu, nanti kutelepon ya," ujarku merangkul pundaknya. 

Bisa kurasakan tubuhnya yang sempat menegang tadi berangsur tenang walau tatapan khawatir di mata itu tak dapat disembunyikan. 

"Kak, ada apa ini semua? Kok ada orang bertampang mafia mencari kau? Bukan buronan kau, kan? Tak ada kau buat kriminal, kan?"

Aku tersenyum miris mendengarnya. Aku memang buronan dari penjara kehidupan, tak bisa bebas barang sekejap. Mau bagaimana lagi, ini sudah pilihanku. "Bukan, tenanglah. Pokoknya nanti kukabari lagi. Hati-hati dijalan, aku pergi dulu."

Tanpa menunggu persetujuan Shania aku segera beranjak apalagi waktu kulihat orang-orang sudah mulai mengamati pria bersetelan gelap ini. Siapa suruh nggak pakai busana sesuai tempat, menarik perhatian saja. 

Begitu duduk di seat belakang sopir, aku masih sempat mengamati Shania dari balik spion. Adikku itu tergugu di tempatnya, mengamati kepergianku sampai tak lagi bisa terlihat. Perkiraanku pastilah dia pulang dengan rasa cemas. 

"Maaf Nyonya, tadi saya terlambat karena ada urusan mendadak," ucap pria bersetelan gelap tadi. 

Aku mengamati wajahnya tajam lalu membuka mulut, "Sebagai seorang pelayan sudah sepantasnya kau mendahulukan keperluan atasanmu. Aku nggak tahu urusan apa yang membuatmu terlambat, tapi jangan pernah mengulanginya lagi," ucapku tegas. 

"Ya, Nyonya. Anda benar," Dia menyahut rendah. 

Bisa kulihat mimik wajahnya berubah sedikit karena teguranku barusan. Kalau aku tak salah, pastilah pria ini sedang menguji, sejauh apa ambang batas sabarku. Kalau sedikit saja kutunjukkan toleransi bisa jadi aku segera jadi bulan-bulanan dibuatnya. 

Manusia memang makhluk aneh. Kau baik dia ngelunjak, kau perhatian dia menjauh, kau ludahi dia memohon-mohon. Sungguh rumit! 

"Nyonya, kita sudah sampai." Suara itu kembali menyapa. 

Kali ini tak ada lagi arogansi seperti waktu di depan kedai tadi. Bergegas dia turun membukakan pintu lalu mengangkat barang bawaan yang tidak banyak. Kutatap sekilas apartemen yang menjulang tinggi di depanku. Tidak ada yang istimewa. Persis seperti gedung tinggi kebanyakan, angkuh dan dingin. 

"Apa kau saudaranya Edbert?," kataku membuka percakapan begitu kami ada di dalam lift. 

"Dia sepupu saya, Nyonya," sahutnya pula. 

Hmm, pantas saja. Bisikku dalam hati. Wajah mereka punya kemiripan, hanya sikap yang beda. Kalau sikap dingin Edbert membuatmu segan padanya, maka sikap dingin cecunguk satu ini bikin keki, karena perwujudan dari keangkuhan. 

"Ting!"

Terhanyut sesaat dalam pikiranku, tahu-tahu kami sudah sampai di lantai lima. Ruangan yang dimiliki Hartono ada disini. 

Pria yang belakangan kutahu bernama Edwin ini bergegas membukakan pintu untukku. Hawa dingin seketika menyeruak begitu pintu yang kokoh itu terkuak. Perlahan netra mataku menyesuaikan diri dengan cahaya temaram dalam ruangan. 

Tak seperti dugaanku, apartemen jenis penthouse ini tertata rapi, walau tentu saja didominasi warna monoton putih dan abu-abu gelap, seperti pemiliknya. Furniture minimalis serba canggih memberi kesan mahal dan eksklusif. 

Jika saja aku tidak sedang menjejakkan kaki di lantai, pastilah benak ini akan tertipu, mengira dirinya sedang berada dalam salah satu episode film Korea. Sebisa mungkin kubuang sikap canggungku, supaya si Edwin ini tidak memandang rendah diriku yang dikiranya pengemis jalanan.

"Kalau begitu saya pamit dulu, Nyonya. Masih mau memeriksa usaha Tuan Hartono. Beliau sangat membutuhkan bantuan saya disini."

"Bantuan?" Aku menekan suaraku pada kata itu seraya tersenyum dan berujar, "Bagus! Nanti akan kusampaikan supaya beliau bisa mengucapkan terimakasih secara layak padamu."

Wajah Edwin jadi pias seketika. Dimana pula ada majikan kaku macam Hartono mau mengucapkan terima kasih? Apa yang dilakukan Edwin semata-mata adalah tugasnya sebagai bawahan yang dibayar dengan layak, bukan bantuan seperti klaim-nya barusan. 

"Tak...perlu Nyonya. Ini memang tugas saya sebagai bawahan beliau. Kalau begitu saya pamit dulu."

Sekali lagi dia membungkuk takzim padaku sebelum pergi dengan tergesa. 

Langkah yang terlampau lebar membuat dirinya hampir menabrak pintu yang belum membuka sempurna.

Sungguh pria angkuh yang payah. Mudah-mudahan saja rasa malu yang menderanya hari ini tak lantas membuat dia jadi dendam padaku. Menambah musuh di situasi sulit bukanlah pilihan bijak. 

Ponselku yang tersimpan di dalam tas tiba-tiba bergetar. Ternyata pesan dari Hartono. 

[Sudah sampai?]

Secepatnya kuketik kata 'sudah'

[Bagaimana apartemennya?]

Kubalas lagi dengan kata 'lumayan'

Sesudahnya hening, tak ada lagi balasan. Mungkin dia kesal juga dengan jawabanku yang serba singkat, mirip kuis adu kecerdasan. 

Kupijit keningku sambil merebahkan diri di sofa empuk berukuran besar. Tak terasa tiga jam sudah berlalu sejak aku tiba di bandara tadi. 

Kuputuskan untuk mandi agar rasa lelah ini sedikit berkurang. Namun begitu mata yang terpejam membuka, seraut wajah keibuan yang ramah menyambutku. 

"Perkenalkan Nyonya, saya pelayan disini. Kalau butuh apapun, Anda bisa meminta bantuan saya," cetusnya sopan. 

Kutatap sekilas pakaian bersahaja dibalik apron motif kotak-kotak yang menggantung di bahunya. Entah kenapa, firasatku bilang wanita paruh baya ini bukan sembarang pelayan. Yang paling penting dia juga bukan orang jahat. Aura yang dipancarkannya teduh dan hangat, tanpa kepalsuan. 

"Tak usah memanggilku nyonya, Bu. Panggil saja Shanty," ucapku ramah. Ini benar-benar langka.

"Wah, itu tak patut. Bagaimanapun, Anda calon istri bos saya."

"Kalau begitu cukup memanggilku nyonya di depan orang luar. Kalau cuma kita berdua panggil Shanty saja Ibu," tolakku tegas. 

Akhirnya dia mengalah. Sambil tersenyum ramah dia berucap lagi, "Kalau begitu aku akan lancang menyebut namamu, Nak. Bagaimana kalau kamu makan sekarang, pasti sudah lapar, kan?"

"Tak usah repot-repot Bu, tadi aku sudah makan di luar. Kalau begitu aku pamit dulu. Mau mandi," sahutku lagi sambil mengangkat tubuh dari sofa yang membuai ini. 

Dia hanya mengangguk ramah. 

Tapi ada yang aneh. Meski senyum simpatik itu tak pudar, namun jika ditelisik lebih dekat ada kilatan asing di matanya. Kilat yang memancarkan rasa iba sekaligus... amarah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status