“Kita sepakat saling menerima. Jadi, jangan pernah tunjukkan wajah sedihmu di hadapan mereka.”
Bisikan bernada memaksa dari Arga membuat Lalita terkejut dan buru-buru menormalkan ekspresinya. Sejak pagi tadi, Lalita mendadak bersedih. Sebab, setelah janji suci nanti, hidupnya akan tergadai oleh Arga. Seminggu usai Lalita menandatangani kontrak perjanjian, pernikahan pun digelar. Rumah Arga dipilih jadi tempat akad, demi kerahasiaan yang lebih terjaga. Konsep pernikahan sederhana tanpa undangan benar-benar terasa. Nampak berbeda dengan pernikahan pada umumnya, yang terlihat di sini hanyalah kedua mempelai. Lalita cantik dengan balutan kebaya warna putih, sedangkan Arga terlihat sangat tampan dengan balutan jas dengan warna yang senada. “Iya, saya paham.” Dia berbisik, dengan lirikan mata tajam ke arah pria yang akan menyandang status sebagai suaminya. “Jika paham, tersenyumlah!” Titahnya dengan penuh penekanan. Arga dan Lalita berjalan menuju tempat akad mereka, keduanya kini tampak sumringah. Tidak terlihat sama sekali jika pernikahan ini adalah pura-pura. Janji suci telah diucap, kini mereka telah sah menjadi suami istri. Melihat anaknya yang sudah menyandang status istri membuat ibunda Lalita menangis bahagia. Wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu merasa haru, sebab akhirnya janji di masa lalu antara Kakek Arga dan kakek Lalita telah ditepati. “Ibu, jangan menangis.” Wanita itu bersimpuh di hadapan sang ibunda, tak menyangka akhirnya dia kini telah menikah meski pernikahan ini adalah pernikahan kontrak. Ibunya tersenyum, dan menghapus jejak air mata. “Ibu menangis bahagia, Nak.” Kemudian, sang ibunda menatap menantunya, "Arga, Ibu titip Lalita. Belajarlah saling mengenal, agar rasa cinta itu tumbuh di hati kalian.” Lalita menoleh dengan wajah harap-harap cemas kepada Arga. Dia khawatir, jika Arga akan bersikap buruk—sebab, inilah kali pertama pria itu bertatap muka dengan ibunya. Namun, di luar dugaan, Arga justru tersenyum ramah menyambut uluran tangan ibunya. "Ibu jangan khawatir, pasti Arga akan menjaga Lalita." Pria itu bertutur lembut, sangat berbeda jauh ketika dia berbicara pada Lalita. “Meski pernikahan ini terkesan terburu-buru, Arga dan Lalita akan berupaya untuk saling mengenal satu sama lain.” Di akhir kalimat, pria itu menatap lembut pada Lalita. Hal yang meski Lalita tahu itu adalah akting semata, tetapi mampu membuat jantungnya beredgup tidak keruan. Syukurlah, sisa ramah-tamah usai akad itu berjalan lancar. Akting mereka tidak mengecewakan, sebab kakek dan ibunya terlihat begitu percaya pada pernikahan dan janji suci mereka. Acara pernikahan itu tidak dibuat lama. Selain karena semakin lama berakting akan khawatir semakin terlihat tidak natural, kesehatan ibu Lalita jadi perhatiannya. Wanita itu tidak boleh terlalu lelah. Sehingga, tidak lama usai percakapan santai antara dua keluarga usai, ibu Lalita pun langsung pulang kembali ke rumah. Setelah Ibunya pulang, Kakek meminta Arga untuk membawa Lalita istirahat di kamarnya yang berada di lantai dua. "Kamar anda bagus dan rapi sekali Pak." Puja-puji keluar dari mulut wanita itu dengan mata yang terus memutar menikmati interior kamar. Bukannya senang akan pujian tersebut, pria itu justru menatap sinis. “Ingat statusmu bila hanya berdua denganku.” Wanita itu menoleh, kekagumannya harus berhenti karena ucapan tajam itu. “Jangan khawatir, saya masih mengingatnya dengan jelas.” “Ingat, jangan sentuh apalagi menggunakan barang pribadiku.” Arga membuka jas yang dia kenakan, lalu melemparnya asal. “Kamu bisa tidur di mana pun, selama itu bukan di ranjangku.” Lalita meradang dalam hati. Dia belum pikun, dan masih ingat apa yang tertuang dalam perjanjian itu. Selain tidak menyinggung teritori pria itu, Lalita juga harus melayani segala keperluan Arga—tentu saja, selain keperluan biologisnya. “Saya tau, sedari awal Anda memang mencari budak, bukan istri kontrak.” Arga tersenyum puas. “Kamu sudah sepakat dan tanda tangan, jadi nikmati saja tanpa mengeluh.” Malam itu, meski malam pertama sebagai pengantin baru, keduanya tidur di tempatnya sendiri. Arga yang terbalut selimut tebal sudah terlelap nyaman di ranjang king size-nya, sementara Lalita meringkuk di sofa yang tidak terlalu panjang. Tanpa selimut, wanita itu menggigil kedinginan karena AC di kamar Arga. “Dasar pria kejam, lihat saja nanti.” Keesokan harinya, Arga dan Lalita bersiap ke kantor. Alasan pengantin baru membutuhkan cuti yang ditawarkan kakek, ditolak mentah-mentah oleh keduanya. Berdalih karena tidak lelah sebab pernikahannya bukan pernikahan mewah dan panjang, baik Arga maupun Lalita bersikukuh untuk tetap bekerja. Lalita juga menolak untuk berhenti kerja meski sudah menjadi istri CEO. Dia sadar, posisinya di sini hanya sementara. Untuk itu, dia tidak ingin bergantung sepenuhnya pada keluarga Winata. Di hadapan Kakek, lagi-lagi mereka bertingkah seperti pasangan suami-istri baru yang sempurna. Arga yang menggandeng lembut Lalita, membukakan pintu untuk sang istri hingga pergi ke kantor dengan mobil yang sama. Namun, di tengah jalan hal tak terduga terjadi. “Tepikan mobilnya.” Titah Arga dingin. Usai sopirnya menepikan mobil, Arga melirik Lalita tajam. “Turunlah.” Lalita menatap Arga tak percaya, “Bapak menyuruh saya turun? Tapi, ini belum sampai.” Tatapan pria itu semakin tajam ke arah Lalita, “Apa kamu berharap kita keluar dari mobil yang sama di depan lobi kantor?” Ucapan Arga sontak membuatnya terdiam. “Benar juga, aku lupa,” gumam Lalita lirih tapi masih bisa didengar oleh Arga. “Jika benar, lantas apa yang masih kamu pikirkan? Cepat turun!” Pria itu berujar lantang memaksa wanita yang baru sehari menjadi istrinya itu untuk cepat-cepat turun. “Baiklah baiklah!” Tak ingin mendebat lagi, Lalita segera turun dari mobil suaminya, lalu menutup pintu mobil dengan keras. Melihat mobil yang sudah melaju lagi, membuatnya mengumpat, “Dasar pria gila! Awas saja akan aku balas semua!” Menggunakan ojek online, Lalita sampai di kantor. Dia bergegas menuju loker untuk ganti seragam. Karena sudah agak telat, Lalita bergegas mengambil peralatan kerjanya. Akan tetapi, belum dia keluar ruangan OB, atasannya memanggil. “Lalita, mulai hari ini kamu dipindahtugaskan.” Wanita itu bertanya-tanya, akan ditugaskan dimana dia, mengingat semua bagian sudah ada bagiannya masing-masing. “Dipindah? Lalu saya ditugaskan di bagian di mana Bu?” Wanita yang menjadi atasannya memberikan selembar kertas yang menyangkut pembagian kerja semua OB. Lalita menerima mengambil kertas itu dengan firasat tak enak dan benar saja kedua bola matanya membulat sempurna setelah tau bagian apa dirinya. “Apa! Menjadi OB khusus CEO?”"Pak Rangga kenapa anda disini?" Vina nampak terkejut, pikirannya kemana-mana. Apa dia sudah tau jika yang tidur dengannya malam itu adolah Amira? "Tentu mengunjungi calon istri aku." Rangga malas untuk berdrama lagi, dia ingin segera mengungkap semua kebenarannya. "Mas...." Amira mengkode Rangga agar bisa menahan diri tapi pria itu sudah muak pada Vina terlebih Vina telah membunuh calon bayinya. "Apa anda sudah tau semuanya?" Ucap Vina gugup. "Menurutmu!" Sahut Rangga. Wajah Vina menjadi pucat pasi, tak ada harapan lagi akhirnya dia meminta maaf. Wanita itu juga memohon pada Amira agar dimaafkan. "Aku sangat mencintai Pak Rangga Mir mangkanya aku berbohong." Vina memegang tangan Amira. Namun Amira yang sudah kecewa dan sakit hati pada sahabatnya dengan segera melepas tangan Vina. "Amira kita kan sahabat." Vina kembali berekspresi sedih berharap Amira berubah pikiran namun Amira tidak mau tertipu lagi. Mungkin jika dia hanya ingin bersama Rangga tidak masalah tapi
Sore itu sepulang dari kantor, Rangga pergi ke Villa untuk menemui Vina, dia tidak bisa mengulur waktu lagi untuk mengungkap kedok wanita jahat itu. Rencananya dia akan menjebak Vina agar mengakui semua di hadapannya dan Amira. Melihat kedatangan Rangga, Vina sangat senang. Dia langsung menyambut mantan atasannya itu. "Sore Pak Rangga." Sapanya dengan tersenyum manis. Rangga membalas senyuman Vina. meski sebenarnya hatinya enggan bersikap manis terhadap wanita yang telah membunuh calon bayinya. "Sore." Dia duduk lalu menyandarkan kepalanya dia sofa. "Vina, waktu itu di club aku tidak memakai pengaman apa kamu tidak merasakan tanda-tanda kehamilan?" Pertanyaan Rangga membuat Vina berpikir, bagaimana bisa hamil sedangkan yang tidur dengan Rangga adalah Amira. "Memangnya kenapa Pak?" tanya Vina was-was. "Tidak apa-apa, aku ingin mengumumkan pernikhaan secepatnya." Jawaban Rangga membuat Vina senang, saking bahagianya dia segera memeluk CEO itu. "Sudah lepas,
Dari rumah sakit Rangga kembali ke kontrakan Amira lagi, dia mengkonfirmasi Amira terkeit obat penggugur kandungan. Mendengar ucapan Rangga, Amira sangat shock. Bagaimana bisa vitamin menjadi obat penggugur kandungan? "Aku sungguh tidak tahu." Dengan raut wajah sedih Amira menunduk. Sementara Rangga berpikir keras, secara logika tidak mungkin ada dokter yang sengaja memberikan obat penggugur kandungan, pihak farmasi juga tidak mungkin melakukan kelalaian yang fatal jadi permasalahannya di Amira. Apakah obat itu tertukar atau gimana? "Apa ada yang kesini sebelum kamu keguguran?" Tanya Rangga dengan menatap sang wanita. Amira terperangah menatap Rangga, dia baru menyadari kedatangan Vina beberapa hari lalu. "Mas Vina datang kesini, dia menginap juga." Ucapan Amira membuat Rangga mengepalkan tangan, dia yakin Vina lah yang membunuh calon bayinya. "Beraninya dia melenyapkan calon bayiku." Ujar Rangga. Rangga bangkit, dia ingin membuat perhitungan dengan Vina, dia
Amira terus kesakitan, dia mencoba menghubungi Rangga tapi Pria itu tidak mengangkat panggilannya. Berkali-kali Amira menghubungi Rangga tapi tetap sama, Rangga tidak menerima satu pun panggilan darinya. Sakit yang semakin menusuk membuat Amira tak tahan. Saat bersamaan terdengar pintu diketuk. Sambil menahan rasa sakit, wanita itu membukakan pintu. "Andi." Kata Amira pelan. Melihat sahabatnya yang sangat pucat dan kesakitan membuat Andi khawatir, "Kamu kenapa Amira?" tanyanya panik. "Perut aku sakit." Jawabnya. Tak tahan akan sakit di perutnya, Amira lalu pingsan. Andi sempat kebingungan hingga akhirnya dia membawa Amira ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, dengan tangannya Andi membawa tubuh Amira masuk ke dalam. "Dokter Dokter! " Teriak Andi. Beberapa dokter yang mendengar teriakan segera sigap, lalu menggiring Andi ke ruang gawat darurat.Tau jika pasien mengalami keguguran, Dokter segera melakukan tindakan. "Bagaimana keadaannya Dok?" tanya Andi cem
Tatapan Lalita kini mengarah ke Amira, dia tersenyum melihat Rangga datang dengan seorang wanita. "Kekasih kamu ya Mas." Goda Lalita. Rangga tersenyum lalu mengangguk. Lalita cukup senang akhirnya Rangga sudah menemukan wanita. Masih mempertahankan senyumannya Lalita duduk di samping Amira. "Hay, aku Lalita." Dia menyodorkan tangan pada Amira. "Hay, saya Amira." Amira melakukan hal yang sama. Lalita dan Amira mengobrol, dan bersamaan dokter keluar dari ruang operasi. "Bagaimana keadaan istri saya Dok?" Damar segera bertanya. "Baik, kedua bayinya juga sehat." Ucapan Dokter membuat Damar menitikkan air mata, kini statusnya berubah menjadi seorang ayah. Rangga yang melihat teman serta rekan kerjanya bahagia pun turut bahagia, dia dapat merasakan kebahagian Damar. "Selamat atas kelahiran anak kamu." Ujarnya dengan senyuman hangatnya. "Terima kasih Pak Rangga." Pria itu memeluk Rangga. Tak selang lama, dua orang suster keluar membawa dua bayi mungil,
Mual dan muntah semakin parah, hingga Amira ijin tidak masuk karena lemas. "Apa yang kamu perlukan Amira? akan aku belikan." Vina menunjukkan wajah khawatirnya. Bukan khawatir karena sahabatnya sakit tapi dia khawatir jikalau Amira hamil. "Tidak perlu Vin, terima kasih." Ujar Amira. Karena harus kembali ke villa, Vina pun pamit dan sebelum pergi dia bilang jika akan datang lagi. Amira mengangguk, meski dia sedikit heran dengan sikap Vina yang tiba-tiba berubah jadi perhatian. Tak ingin ambil pusing, Amira mengabaikan kecurigaannya.Di sisi lain, Rangga yang mendengar kabar jika Amira sakit jadi panik, dia segera pergi ke kontrakan Amira untuk menjenguk kekasihnya itu. "Pak Rangga." Kedua bola mata Amira membulat melihat kedatangan sang pria. "Masih saya panggil Pak." Rangga menjentikkan jarinya pelan dia dahi sang wanita. Amira menggosok dahinya dengan tangan, meski jentikn tangga Rangga tidak sakit tapi dia sedikit lebay di hadapan CEO itu. "Iya Mas." Ujarnya. Ingat akan